Latar Belakang Model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang. Wang 2007 melakukan analisis jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang. Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan, infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang handling cost. Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor administrasi dan faktor teknik. Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan tingginya biaya transportasi merupakan contoh tingginya biaya akibat faktor teknik. Biaya transpotasi yang tinggi merupakan indikator jaringan industri yang tidak efisien. Tidak efisiennya jaringan industri perikanan di Indonesia karena pemerintah menerapkan model Point yang sentralistik pada pembangunan pelabuhan perikanan. Model Point adalah model jaringan industri perikanan berbasis pelabuhan perikanan yang berfungsi sebagai sentral aktivitas ekonomi sektor 2 perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah zonasi, terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan. Model Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek perdagangan monopoli, oligopoli, monopsoni, oligopsoni serta menimbulkan dead weight loss DWL. Ditinjau dari segi teknik, model Point menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini. Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan fishing ground, aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi. Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental, wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai. Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer Subagiyo 2007. Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang biasa disebut “entry port ” The Bilbao Port Authority 2006, Subagiyo 2007. Pelabuhan entry point cukup besar di Uni Eropa antara lain pelabuhan Rotterdam Belanda dan pelabuhan Anwerpen Belgia. Pelabuhan HUB juga berkembang di beberapa negara maju Asia antara lain Pelabuhan Ghuang Zhou di China, Tsukiji dan Shinminato di Jepang, pelabuhan Seoul dan Busan di Korea Yang et al 2005, Tai dan Hwang 2005, Wang 2007. Keuntungan model HUB antara lain mempermudah pengawasan mutu, mempermudah pengawasan sumber daya alam 3 SDA, mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi. Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta PPSJ merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang mengakibatkan adanya dead weight loss DWL. Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron 2007, jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang 2007 dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang 2005. Perbedaan penelitian hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan. Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara serverspoke dan client feeder. Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada penelitian Israel dan Roque 2000 mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat pentahapan yaitu persiapan, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan penulisan disertasi. Penelitian jaringan industri perikanan tangkap 4 dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Be litung.

1.2 Perumusan Masalah