Total Kebutuhan 62,078,530
37,033,551 Hasil Panen
81,825,000 50,875,000
Keuntungan Panen 19,746,470
13,841,449 Benefit Cost Ratio BC Ratio
1.32 1.37
Tabel 11 diatas menunjukkan perbedaan kebutuhan untuk membuat plot konvensional dan plot konservasi. Dari perhitungan jumlah bibit pada kedua plot
pengamatan dengan dua kali ulangan, diperoleh rata-rata jumlah bibit per Hektar pada plot konvensional adalah 4.500 kg dan rata-rata jumlah bibit per Hektar
pada plot konservasi adalah sebanyak 2.197 kg. Dengan harga per Kg bibit Rp. 10.000 diperoleh kebutuhan bibit per Hektar pada plot konvensional adalah
Rp.45.000.000 dan pada plot konservasi adalah Rp. 21.970.000. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan bibit pada plot konservasi hanya 49 dari
jumlah bibit pada plot konvensional atau bisa dikatakan hampir setengah dari total bibit yang dibutuhkan pada plot konvensional.
Dari perhitungan biaya pengolahan lahan pada pertanian kentang diperoleh hasil dimana plot konvensional membutuhkan biaya rata-rata sebesar Rp.
9.192.725 sedangkan plot konservasi membutuhkan biaya rata-rata sebesar Rp 7.403.937. Jumlah biaya yang dikeluarkan pada plot konservasi hanya 81 dari
total biaya yang dikeluarkan pada plot konvensional atau Rp. 1.788.788 lebih murah.
Pada perlakuan searah kontur yang dimodifikasi dengan SPA dan tanaman penguat teras, terdapat bangunan konservasi berupa SPA drop Structure dan
tanaman penguat teras dari jenis rumput Gajah Setaria spp dibibir terasnya. Untuk bibit rumput Gajah tidak membutuhkan biaya karena bibit bisa diambil di
sekitar lahan. Untuk pembuatan SPA dibutuhkan biaya untuk penyediaan bahan Bambu dan upah bagi tenaga pembuat. Untuk pembuatan 12 drop structure
dibutuhkan Rp. 10.000 untuk bahan berupa bambu dan Rp. 25.000 untuk tenaga pembuat drop structure. Dari perhitungan, diketahui jumlah SPA yang dibutuhkan
tiap Hektarnya adalah 1000 buah. Dari perhitungan total biaya didapatkan Rp. 2.917.000 untuk pembuatan SPA pada plot konservasi per Hektarnya. Untuk
tenaga pembuat teras dan penanaman rumput, rata-rata dibutuhkan waktu selama 63 HOK dengan total biaya yang diperlukan adalah Rp. 954.525. Biaya ini tidak
ada pada plot konvensional karena tidak dilakukan pembuatan terasering sejajar kontur.
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap penggunaan obat-obat pestisida, herbisida, plot konvensional membutuhkan biaya sekitar Rp. 938.115 tiap
Hektarnya sedangkan plot konservasi hanya membutuhkan setengahnya atau Rp. 464.600. Untuk biaya penggunaan pupuk dasar kandang, Urea, SP, Phonska, dll,
plot konvensional membutuhkan biaya sekitar Rp. 4.407.690 untuk setiap Hektarnya. Sedangkan biaya pemakaian pupuk pada plot konservasi hanya 49
dari biaya yang diperlukan pada plot konvensional yaitu sebesar Rp. 2.165.999. Untuk alat
– alat seperti diesel, selang, drum dll biasanya petani hanya membeli alat
– alat itu satu kali dan digunakan sampai alat itu rusak, sehingga pengeluaran biaya tiap periode tanam Kentang tidak bisa diperkirakan karena bersifat tentatif.
Untuk biaya panen dibagi menjadi 2 yaitu kebutuhan biaya untuk pekerja dan jasa mobil angkut. Hasil akhir perhitungan menunjukkan bahwa biaya panen yang
dibutuhkan pada plot konvensional untuk setiap hektarnya adalah Rp. 2.540.000. Sedangkan biaya panen yang dibutuhkan pada plot konservasi untuk setiap
hektarnya adalah Rp. 1.157.490 atau hanya 46 dari total biaya pemanenan pada plot konvensional.
Gambar 9. a Plot konservasi dengan model teras sejajar kontur b Plot konvensional dengan model teras sejajar lereng
Pada data produksi Kentang tiap Hektarnya dapat diketahui produksi Kentang tiap jenisnya yaitu AB Kentang sayur, DN Kentang Bibit dan rindil
Kentang kecil pada plot konvensional dan plot konservasi. Pada perhitungan harga jual total Kentang tiap Hektar menunjukkan bahwa total harga jual Kentang
pada plot konvensional untuk satu hektar diperkirakan mencapai Rp.
81.825.000
a b
dan pada plot konservasi diperkirakan mencapai Rp.50.875.000. Terdapat selisih nilai harga penjualan sebesar Rp. 30.950.000 atau 62 dari harga penjualan dari
hasil panen kentang pada plot konvensional. Harga jual total Kentang dipengaruhi oleh harga Kentang per Kg nya dan harga jual total Kentang diatas didapat dengan
mengalikan jumlah produksi Kentang per Hektar dengan harga Kentang per Kg saat ini. Harga kentang juga bervariasi untuk setiap jenisnya, dimana Kentang AB
memiliki harga jual Rp. 5000kg, Kentang DN memiliki harga jual Rp.7000kg serta Kentang Rindil memiliki harga jual Rp.1200kg. Semua harga tersebut
merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian ini dilakukan. Setelah mengetahui kebutuhan
– kebutuhan untuk usahatani Kentang serta input dari usahatani Kentang itu sendiri, didapatkan informasi keuntungan
usahatani Kentang. Pada plot konvensional diperoleh keuntungan usahatani yaitu Rp.19.746.470 sedangkan pada plot konservasi diperoleh keuntungan usahatani
yaitu Rp. 13.841.449 per Hektarnya. Dari hasil perhitungan di atas, maka didapat nilai opportunity cost yang
hilang apabila petani mau mengubah teknik pengolahan tanah pada lahan Kentangnya dari teknik pengolahan tanah searah lereng menjadi teknik
pengolahan tanah searah kontur yang dimodifikasi SPA dan tanaman penguat teras dengan nilai sebesar Rp. 5.905.021 tiap Hektarnya untuk setiap kali panen.
Nilai itu diperoleh dari selisih keuntungan usahatani pada plot konvensional dan plot konservasi tiap Hektarnya. Nilai ini yang diharapkan dapat disubstitusi
melalui skema imbal jasa lingkungan yang nantinya akan dikembangkan di kawasan Dieng.
Analisis Benefit Cost Ratio BC ratio biasanya digunakan untuk mengukur kelayakan suatu usahatani, yaitu dengan cara membandingkan antara
penerimaan kotor hasil penjualan dan biaya total yang dikeluarkan. Perhitungan pada Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa nilai BC ratio untuk plot konvensional
adalah 1.32 sedangkan nilai BC ratio untuk plot konservasi adalah 1.37. Hal berarti bahwa usahatani kentang pada plot konvensional dengan modal Rp 1,-
dapat memperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1,32,- sedangkan usahatani kentang pada plot konservasi dengan modal Rp 1,- dapat memperoleh hasil penjualan
sebesar Rp 1,37. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya secara kelaikan usaha
tani, plot konservasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan plot konvensional.
Teknik pengolahan tanah pada tiap perlakuan sangat besar pengaruhnya terhadap produksi Kentang, karena pada plot konvensional jumlah tanamannya
lebih banyak dari pada plot konservasi. Tabel 12 menunjukkan bahwa pada plot konvensional produksi kentang yang dihasilkan mencapai 15.88 tonha sedangkan
hasil panen kentang pada plot konservasi hanya 10 tonha atau 37 lebih rendah. Akan tetapi kalau dilihat dari produksi per tanaman, plot konservasi menghasilkan
produksi sebesar 0.31 kgtanaman, atau 26 lebih besar dibanding produksi per tanaman pada plot konvensional dengan nilai 0.23 kgtanaman.
Tabel 12. Produksi Tanaman Kentang pada Tiap Perlakuan Perlakuan
Produksi kgTanaman Produksi TonHa
Plot Konvensional
0.23 15.88
Plot Konservasi 0.31
10.00
Tabel 13. Nilai Opportunity cost penurunan erosi pada lahan pertanian kentang
Komponen
Plot Konvensional
Plot Konservasi
Selisih Keuntungan Panen
Rpha
a
Rp.
1
9.746.470 Rp.
13
.
841
.
449
Rp. 5.905.021
a
Erosi tonha
b
6.095 4.975
1.12
b
Opportunity
cost ab Rp. 5.272.340
Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa nilai yang dibutuhkan untuk menurunkan 1 ton erosi selama 1 kali musim panen adalah Rp. 5.272.340. Nilai
tersebut didapat dari selisih keuntungan panen dari pertanian kentang konvensional dengan pertanian kentang konservasi. Hasil selisih tersebut
kemudian dibagi dengan nilai selisih pengendalian erosi dari pertanian kentang konvensional dengan pertanian kentang konservasi.
Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengolahan tanah secara konservasi memang benar mengurangi produksi kentang bila
dibandingkan dengan pengolahan tanah secara konvensional. Akan tetapi kurangnya produksi itu disebabkan karena pada pengolahan tanah secara
konservasi, jumlah tanamannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan
pengolahan tanah secara konvensional, bukan karena pengolahan tanah secara konservasi meningkatkan kemampuan tanaman menyimpan air sehingga umbi
kentang akan mudah busuk. Hal ini dapat menjawab persepsi yang selama ini berkembang di masyarakat dimana teknik konservasi cenderung merugikan
mereka.
5.2. Pengukuran Laju Erosi dan Limpasan Permukaan
Pengukuran laju erosi dan limpasan permukaan dilakukan bersama-sama dengan Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
Unibraw, Malang. Kegiatan penelitian dilakukan selama 5 bulan yaitu dari bulan Januari 2011 hingga Mei 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi survey
pendahuluan, diskusi, pembuatan konstruksi plot erosi, kalibrasi, pemasangan alat sensor curah hujan, serta pengumpulan data.
Gambar 10. Proses konstruksi plot erosi. Dari kiri ke kanan: Pembangunan penampung sedimen berupa gutter dan pemasangan chinong meter.
5.2.1. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Limpasan Permukaan Run Off dan Erosi
Curah hujan merupakan faktor penting pada proses terjadinya limpasan permukaan dan erosi pada suatu lahan karena sebagian dari air hujan yang tidak
terinfiltrasi ke tanah akan terlimpas menjadi limpasan permukaan dan semakin besar limpasan permukaan akan diikuti semakin tinggi pula massa tanah yang
tererosi. Hasil korelasi Lampiran 5a menunjukkan bahwa curah hujan
berhubungan erat dan berpengaruh nyata terhadap limpasan permukaan dan erosi.
Dengan nilai koefisien korelasi antara curah hujan dengan limpasan permukaan pada perlakuan konvensional r = 0.74 sedikit lebih besar bila dibandingkan
dengan perlakuan konservasi r = 0.73. Berbeda dengan nilai koefisien antara curah hujan dengan erosi, nilai koefisien korelasi antara curah hujan dengan erosi
Lampiran 5b pada perlakuan konvensional r = 0.59 lebih kecil bila dibandingkan dengan perlakuan konservasi r =0.67. Pada dua perlakuan,
hubungan curah hujan dengan limpasan permukaan lebih erat bila dibandingkan dengan hubungan curah hujan dengan erosi.
Gambar 11. Pengolahan tanah dan penanaman tanaman kentang di plot erosi; a Perlakuan guludan konservasi, b Pemasangan drop struktur pada saluran
pembuangan air, c konstruksi chinometer dan jirigen, d Saluran pengarah aliran permukaan menuju chinometer, penampung aliran permukaan.
Hasil perhitungan ini menunjukkan secara umum semakin besar curah hujan juga diikuti semakin besarnya limpasan permukaan run off dan erosi, tapi
pada beberapa kali pengamatan terdapat beberapa data yang menunjukkan limpasan permukaan run off dan erosi yang melebihi angka normal sehingga
sangat mempengaruhi jumlah keseluruhan limpasan permukaan run off dan erosi pada satu periode tanam Kentang.
Menurut Sanchez 1992 keadaan hujan dengan intensitas tinggi dengan kondisi tanah cepat jenuh akan menyebabkan limpasan yang banyak, bahkan juga
pada kondisi lereng yang tidak terlalu landai. Air akan mengalir dipermukaan tanah apabila banyaknya air hujan lebih besar dari pada kemampuannya
menginfiltrasi air ke lapisan lebih dalam. Sedangkan menurut Rahim 2003, limpasan permukaan atau aliran
permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat tergantung kepada jumlah air
hujan persatuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi terutama kemiringan lahan, jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya.
Limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar
– besaran. Supirin 2001 menambahkan, hujan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan tingginya aliran permukaan dan erosi tanah. Tetesan air hujan yang menghantam permukaan tanah mengakibatkan terlemparnya partikel tanah ke
udara. Karena gaya gravitasi bumi, partikel tersebut jatuh kembali ke bumi dan sebagian partikel tanah halus menutupi pori
– pori tanah sehingga porositas menurun. Dengan tertutupnya pori
– pori tanah, maka kapasitas infiltrasi menjadi berkurang sehingga air yang mengalir dipermukaan sebagai faktor erosi akan
semakin besar.
5.2.2. Pengaruh Limpasan Permukaan Run Off Terhadap Erosi pada Tiap Perlakuan
Tingkat korelasi antara curah hujan dengan limpasan permukaan dan erosi ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi Lampiran 6. Hasil korelasi antara
limpasan permukaan dan erosi pada perlakuan konvensional r = 0.79, sedangkan pada perlakuan konservasi r = 0.96. Pada perlakuan konvensional
limpasan permukaan berpengaruh nyata terhadap erosi, sedangkan pada perlakuan konservasi limpasan permukaan juga berpengaruh nyata terhadap erosi. Dari nilai
koefisien korelasi dapat diketahui, perlakuan konservasi lebih dipengaruhi limpasan permukaan bila dibandingkan dengan perlakuan konvensional R² =
0.911. Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian -
bagian dari tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alam. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian
– bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan atau
pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin Arsyad, 1989
Tabel 14. Data Limpasan Permukaan Run Off dan Erosi pada tiap Perlakuan Perlakuan
Ulangan Limpasan
Permukaan mm
Erosi TonHa
Rata-rata Limpasan
Permukaan mm Rata-rata
Erosi TonHa
Konvensional
1 119.06
7.67 98.16
6.095 2
77.26 4.52
Konservasi
1 94.22
7.28 64.88
4.975 2
35.54 2.67
Dari data limpasan permukaan run off dan erosi diatas, terlihat bahwa semakin meningkatnya limpasan permukaan juga diikuti semakin meningkatnya
erosi. Limpasan permukaan run off dan erosi pada plot yang diolah dengan teknik pengolahan searah lereng Plot konvensional lebih besar bila dibandingkan
dengan limpasan permukaan run off dan erosi pada plot yang diolah dengan teknik pengolahan tanah searah kontur yang dimodifikasi dengan SPA dan
tanaman penguat teras Plot Konservasi. Data menunjukkan pengolahan tanah plot konservasi mampu mengurangi nilai limpasan permukaan run off sebesar
33.90 dan erosi 18.38 jika dibandingkan dengan pengolahan tanah plot konvensional.
Kowal 1970 dalam Amstrong et al. 1981 melaporkan bahwa teknik penanaman Kentang diatas guludan memotong lereng searah kontur mampu
menekan erosi sebanyak 82 dibandingkan dengan penanaman diatas guludan searah lereng. Hal ini karena guludan searah kontur bisa berfungsi sebagai dam
kecil sehingga menekan air dan memberikan kesempatan air untuk berinfiltrasi ke dalam tanah sehingga aliran permukaan turun secara nyata yang selanjutnya
mengurangi laju erosi. Sedangkan Sinukaban dan Banuwo 1995 melaporkan, hasil penelitian di
Pangelangan bahwa pada tanaman Kentang dan Kubis ditanah Andisol dengan kemiringan 30 pada ketinggian 1450 m di atas permukaan laut, menunjukkan
bahwa tindakan konservasi dengan penanaman pada guludan sejajar kontur dapat menekan erosi sebesar 71,1
– 71,6 , dan aliran permukaan sebesar 80,9 – 93,6. Suganda et. al 1997 menambahkan, pengolahan tanah yang tidak searah
garis kontur atau searah lereng dapat memicu terjadinya longsor akibat gerusan- gerusan tanah di antara dua bidang lahan oleh konsentrasi aliran permukaan yang
mengalir dalam pola aliran yang tidak teratur. Guludan atau bedengan yang dibuat diagonal terhadap kontur masih menyebabkan erosi dua kali lebih besar
dibandingkan dengan erosi pada guludan searah kontur. Guludan dapat diperkuat dengan tanaman konservasi seperti serengan
jantan Flemingia congesta, glirisidia Glyrisidae sp, dan lamtoro Leucaena sephala. Bisa juga dengan rumput-rumputan seperti setaria, rumput gajah,
rumput raja, rumput bede, dan paspalum. Dengan ditanami tanaman penguat, maka teras gulud lama-kelamaan dapat membentuk teras bangku yang efektif
menahan erosi Arsyad, S, 1989.
5.2.3. Pengaruh Limpasan Permukaan Run Off dan Erosi, serta Teknik Pengolahan Tanah Terhadap Produksi Kentang Solanum Tuberosum L.
Tabel 15. Besar Limpasan permukaan mm dan Erosi TonHa serta Produksi Kentang KgTanaman
Plot Limpasan
Permukaan mm Erosi TonHa
Produksi TonHa
Produksi kgTanaman
Konvensional 98.16
6.10 15.88
0.23 Konservasi
64.88 4.98
11.62 0.35
Tabel 15 menunjukkan besarnya limpasan permukaan run off dan erosi diikuti dengan produksi Kentang per Tanaman. Dari Uji F 5 menunjukkan
bahwa produksi Kentang per Tanaman pada tiap perlakuan tidak berbeda nyata. Tabel 15 menunjukkan besarnya limpasan permukaan run off dan erosi diikuti
dengan semakin menurunnya produksi Kentang per Tanaman. Tingkat korelasi antara limpasan permukaan run off dan erosi dengan produksi Kentang
pertanaman ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi. Semakin besar nilai koefisien korelasi menunjukkan kolerasi semakin nyata. Hasil korelasi antara
limpasan permukaan run off dan erosi dengan produksi Kentang pertanaman menunjukkan bahwa limpasan permukaan run off dan erosi berhubungan erat
terbalik dan berpengaruh nyata dengan produksi Kentang per Tanaman dengan nilai koefisien korelasi limpasan permukaan run off dengan produksi per
Tanaman r = 0.99 dan koefisien korelasi erosi dengan produksi per Tanaman r = 0.95.
Menurut Purbiati 2008, lahan dataran tinggi yang diolah secara terus- menerus pada lahan yang sama akan mengakibatkan terjadinya produktifitas lahan
rendah, serangan hama penyakit dan meningkatkan erosi. Rendahnya produktivitas kentang Indonesia disebabkan karena petani banyak mengusahakan
pertanaman kentang dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida dan tidak mengunakan metode konservasi kondisi demikian akan terjadi kerusakan serta
penurunan tingkat produktifitas lahan Deptan, 2004. Sedangkan menurut Winarso 2005, pengukuran kualitas tanah
merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang, karena dapat dipakai sebagai alat
untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan. Pada umumnya proses degradasi tanah dalam sistem pertanian dapat disebabkan oleh erosi, pemadatan, penurunan
ketersediaan hara atau penurunan kesuburan, kehilangan bahan organik tanah dan lain lain.
Beasley 1972 menambahkan, kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi terutama akibat hilangnya sebagian tanah dari tempat tersebut karena erosi.
Hilangnya sebagian tanah ini mengakibatkan hal – hal berikut, yaitu : penurunan
produktivitas tanah, kehilangan unsur hara ang diperlukan tanaman, kualitas tanaman menurun, laju infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air berkurang,
struktur tanah menjadi rusak, lebih banyak tenaga yang diperlukan untuk mengolah tanah, erosi gully dan tebing longsor menyebabkan lahan terbagi
– bagi dan mengurangi luas lahan yang dapat ditanami, dan pendapatan petani
berkurang. Masyarakat berpendapat bahwa jika teknik pengolahan tanah searah
kontur konservasi diterapkan pada lahan Kentang mereka, maka akan merugikan karena teknik pengolahan tanah searah kontur akan menyebabkan aliran air
terhambat oleh guludan sehingga kemampuan tanah menyimpan air tinggi. Kemampuan menyimpan air yang tinggi ini menyebabkan Kentang mudah
terserang berbagai penyakit dan jamur sehingga produksi bisa menurun. Untuk membuktikan anggapan tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisis kadar air
tanah pada 1 hari setelah hujan.
Tabel 16. Kadar Air Tanah Satu Hari Setelah Hujan pada Tiap Perlakuan dan Tiap Bulan
Label Kadar air tanah
Bulan Ke 1 Kadar air tanah
Bulan ke 2 Kadar air tanah
Bulan ke 3
Konvensional Konservasi
Konvensional Konservasi
Konvensional Konservasi
GK1 24
23 23
19 20
16
GK2
18 22
18 22
18 17
GK3 26
27 18
25 22
18
GK4
30 24
20 20
22 15
SK1 23
23 21
23 16
19
SK2
25 24
24 20
19 16
Ket : G = Guludan, S = Selokan antar guludan, K1 = Kedalaman 0-10 cm, K2 = Kedalaman 10-20 cm, K3 = Kedalaman 20-30 cm dan K4 = Kedalaman 30-40 cm
Tabel 16 diatas menunjukkan bahwa kadar air satu hari setelah hujan pada plot yang diolah dengan teknik konvensional dan plot yang diolah dengan teknik
konservasi berbeda tapi tidak nyata. Hal itu dapat dilihat pada uji T kadar air tanah 1 hari setelah hujan pada perlakuan konvensional dan perlakuan konservasi
Lampiran 8. Tapi apabila dilihat pada tabel, kadar air tanah pada perlakuan konservasi tidak selalu lebih besar dari kadar air tanah pada perlakuan
konvensional. Kadar air tanah satu hari setelah hujan pada plot konvensional maupun
konservasi semakin menurun pada tiap bulannya. Hal ini disebabkan karena semakin lama pertumbuhan tanaman Kentang maka semakin luas pula tutupan
lahannya sehingga sebagian air hujan yang jatuh ditangkap oleh tanaman Kentang yang digunakan untuk metabolisme tanaman dan sebagian lagi menguap. Menurut
Supirin 2001, vegetasi dapat mengurangi besarnya aliran permukaan dan pengangkutan massa tanah karena dapat menghalangi air hujan agar tidak
langsung jatuh di permukaan tanah, sehingga air yang jatuh ke permukaan tanah
tekanannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit karena terkurangi untuk metabolism vegetasi itu dan sebagian terevaporasi.
Dari Tabel Produksi Kentang dan Tabel Kadar air tanah 1 hari setelah hujan, dapat disimpulkan bahwa teknik konservasi memang benar mengurangi
produksi Kentang tiap Hektarnya. Akan tetapi penurunan produksi itu bukan disebabkan karena konservasi dapat menyebabkan kemampuan tanah menyimpan
air lebih tinggi sehingga Kentang mudah busuk. Akan tetapi penurunan produksi tersebut disebabkan karena teknik konservasi dapat mengurangi jumlah tanaman
tiap Hektarnya. Pengurangan jumlah tanaman per Hektarnya tersebut juga akan diikuti dengan penurunan jumlah produksi Kentang per Hektarnya.
5.3. Karakteristik Sosial Ekonomi Responden 5.3.1.
Kondisi Lingkungan Hidup
Pertanian kentang secara intensif masih dipercaya memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat, tapi di sisi lain secara tidak disadari hal
ini menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Kawasan pertanian kentang yang intensif ini menyebabkan Desa Igirmranak rawan terhadap erosi dan longsor yang
dikarenakan pengolahan lahan yang tidak tepat. Sedikitnya jumlah pohon serta kemiringan lahan yang sangat curam di Desa Igirmranak menyebabkan potensi
terjadinya longsor dan erosi baik pada lahan pertanian maupun pemukiman menjadi sangat tinggi. Hal ini sudah terlihat dimana pada beberapa lokasi terlihat patahan-
patahan akibat longsor yang terjadi.
5.3.2.
Karakteristik Responden
Lokasi penelitian hanya terfokus pada keluarga yang berdomisili dan bertani di sekitar lokasi penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kepala desa
setempat, jumlah penduduk desa Igirmranak adalah sejumlah 213 KK. Karakteristik umum responden di Desa Igir Mranak ini diperoleh berdasarkan data hasil survey
terhadap 100 kepala keluarga. Karakteristik umum responden dinilai dari berbagai beberapa variabel, yaitu usia, pendidikan formal terakhir, kepemilikan anak jumlah
tanggungan anak, jumlah pendapatan, serta sumber pendapatan.
5.3.3.
Usia Responden
Tingkat umur responden bervariasi, dimulai dari 21 tahun hingga diatas umur 71 tahun. Distribusi tingkat umur responden dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Sebaran responden menurut Usia
Dari gambar di atas terlihat bahwa responden terbanyak pada kisaran umur 31 – 40
tahun yaitu sejumlah 36 orang atau 36 dari keseluruhan responden, dan pada kisaran umur 21
– 30 tahun sebanyak 20 orang atau 20 dari keseluruhan responden. Responden yang berusia antara 41
– 50 tahun sejumlah 18 orang atau 18 dari keseluruhan responden, responden yang berusia antara 51
– 60 tahun sejumlah 17 orang atau 17 dari keseluruhan responden, responden yang berusia antara 61
– 70 tahun sejumlah 8 orang atau 8 dari keseluruhan responden sedangkan responden
yang berusia di atas 71 tahun sejumlah 1 orang atau satu persen dari keseluruhan responden.
5.3.4.
Tingkat Pendidikan
Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa responden umumnya lulusan Sekolah Dasar atau sederajat yaitu sejumlah 87 orang atau 87 dari keseluruhan
responden. Responden yang memiliki pendidikan formal terakhir SMP atau sederajat berjumlah 6 orang atau atau 6 dari keseluruhan responden, responden yang
memiliki pendidikan formal terakhir SMA atau sederajat berjumlah 2 orang atau atau 2 dari keseluruhan responden, sedangkan responden yang tidak sekolah berjumlah 5
orang atau 5 dari keseluruhan responden.
Gambar 13. Sebaran responden menurut Pendidikan
5.3.5.
Jumlah Tanggungan
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki anak 3 orang yaitu sejumlah 43 keluarga atau 43 dari keseluruhan
responden. Selanjutnya diikuti dengan responden memiliki 2 orang anak yaitu sejumlah 28 keluarga atau 28 dari keseluruhan responden. Responden yang
memiliki 4 orang anak yaitu sejumlah 14 keluarga atau 14 dari keseluruhan responden, responden yang memiliki 1 orang anak yaitu sejumlah 9 keluarga atau 9
dari keseluruhan responden, responden yang memiliki 5 orang anak yaitu sejumlah 4 keluarga atau 4 dari keseluruhan responden serta responden yang memiliki 6 dan 7
orang anak masing-masing berjumlah 1 keluarga atau 1 dari keseluruhan responden Gambar 14.
Gambar 14. Sebaran responden menurut Jumlah Tanggungan
5.3.6.
Pendapatan
Walaupun responden tinggal pada daerah pertanian kentang, komoditi pertanian kentang bukan satu-satunya sumber pendapatan bagi masyarakat di desa
Igirmranak. Hasil survey menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil pertanian kentang hanya menyumbang hampir 70 dari total pendapatan keluarga responden.
Selain itu, 17 total pendapatan lainnya berasal dari upah sebagai buruh maupun gaji sebagai perangkat desa, guru maupun PNS, 8 dari sektor perdagangan berupa
warung maupun sebagai pengumpul kentang sedangkan 5 sisanya berasal dari sektor jasa, industri rumah tangga, ternak serta sumber lain. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dari Gambar 15.
Gambar 15. Sumber pendapatan responden
Tabel 17 dibawah menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan responden perkapita untuk setiap bulannya adalah Rp. 279.762,- dimana nilai
tersebut sebenarnya masih diatas nilai garis kemiskinan kabupaten Wonosobo sebesar Rp. 147.687,- BPS, 2008. Apabila dilihat dari nilai pendapatan perkapita
untuk setiap rumah tangga yang disurvey, diketahui bahwa sebanyak 39 responden berada dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten Wonosobo. Hal ini berarti rumah tangga mereka tidak mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar sehingga dikategorikan sebagai petani miskin.
Tabel 17. Rata-rata Pendapatan Per Kapita Responden
Sumber Pendapatan
Total pendapatan Per Tahun
Rata-rata pendapatan per HH
per tahun Rata-rata
pendapatan per Kapita per bulan
Rupiah Rupiah
Rp
1. Pertanian 882,914,750
66.41 8,918,331
66.41 185,799
2. Non Pertanian
Dagang 120,240,000
9.04 1,220,606
9.04 25,303
Industri RT 3,960,000
0.30 40,000
0.30 833
Jasa 58,920,000
4.43 595,152
4.43 12,399
Kiriman 6,000,000
0.45 60,606
0.45 1,263
UpahGaji 247,494,000
18.61 2,499,939
18.61 52,082
Ternak 3,900,000
0.29 39,394
0.29 821
Lain-lain 6,000,000
0.45 60,606
0.45 1,263
TOTAL 1,330,028,750
100 13,434,634
100 279,762
5.4. Persepsi Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden menyadari bahwa sungai memiliki banyak arti penting di dalam kehidupan mereka. Hal tersebut tergambar
melalui jawaban yang beragam yang disampaikan. Sebanyak 68 responden berpendapat bahwa peran penting sungai bagi kehidupan mereka adalah untuk
pengairan bagi pertanian kentang mereka Gambar 16. Hal ini disebabkan karena tanaman kentang sangat bergantung kepada pasokan air sepanjang tahun, terutama
pada saat musim kemaraukering. Sebanyak 14 berpendapat bahwa air sungai juga dapat digunakan sebagai campuran untuk pestisida yang mereka gunakan
sedangkan hanya 10 responden yang berpendapat bahwa air sungai bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari. Hanya sebagian
kecil responden 7 yang beranggapan bahwa sungai merupakan tempat pembuatan berbagai sampah dari kehidupan mereka. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius agar pemahaman-pemahaman seperti ini tidak muncul secara lebih luas di kalangan masyarakat Desa Igir Mranak.
Gambar 16. Peran penting sungai menurut responden
Masyarakat menyadari bahwa lingkungan mereka saat ini sudah mengalami penurunan kualitas apabila dibandingkan dengan satu dekade yang