Perbandingan nilai asupan produksi pertanian Kentang

PLOT Produksi KgTanaman total AB Kentang Sayur DN Bibit Rindil Plot 1 0.136 0.033 0.011 0.179 Plot 2 0.200 0.036 0.014 0.250 Plot 3 0.209 0.059 0.018 0.286 Plot 4 0.272 0.064 0.024 0.360 Perlakuan Produksi Kg40 m² Produksi kgTanaman AB Kentang Sayur DN Bibit Rindil Produksi Total AB Kentang Sayur DN Bibit Rindil Produksi Total Searah Lereng 47.00 12.50 4.00 63.50 0.172 0.046 0.015 0.23 Searah Kontur 31.00 6.50 2.50 40.00 0.236 0.050 0.019 0.31 PLOT Produksi TonHa_1 Produksi TonHa_2 AB Kentang Sayur DN Bibit Rindil Total AB Kentang Sayur DN Bibit Rindil Total Plot 1 9.250 2.250 0.750 12.25 9.250 2.250 0.750 12.25 Plot 2 7.000 1.250 0.500 8.75 7.000 1.250 0.500 8.75 Plot 3 14.250 4.000 1.250 19.50 14.250 4.000 1.250 19.50 Plot 4 8.500 2.000 0.750 11.25 8.500 2.000 0.750 11.25 LAMPIRAN 4. Hasil Analisis Regresi Logit dengan STATA xi: logit wta bid2 age educ fam_mem own_years area plots_owned i.slope i.time_preff_2 i.benefit income i.slope _Islope_1-2 naturally coded; _Islope_1 omitted i.time_preff_2 _Itime_pref_1-4 naturally coded; _Itime_pref_1 omitted i.benefit _Ibenefit_1-3 naturally coded; _Ibenefit_1 omitted Iteration 0: log likelihood = -69.294717 Iteration 1: log likelihood = -60.633589 Iteration 2: log likelihood = -60.484389 Iteration 3: log likelihood = -60.483892 Logistic regression Number of obs = 100 LR chi2 14 = 17.62 Prob chi2 = 0.2246 Log likelihood = -60.483892 Pseudo R2 = 0.1272 ------------------------------------------------------------------------------ wta | Coef. Std. Err. z P|z| [95 Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------- bid2 | .0002585 .0001126 2.30 0.022 .0000379 .0004791 age | -.0159152 .026321 -0.60 0.545 -.0675033 .035673 educ | -.1302222 .1280966 -1.02 0.309 -.3812869 .1208425 fam_mem | .0227114 .2203571 0.10 0.918 -.4091807 .4546034 own_years | -.0094735 .0231384 -0.41 0.682 -.0548239 .0358769 area | -.9634299 1.633429 -0.59 0.555 -4.164893 2.238033 plots_owned | -.3585383 .3239138 -1.11 0.268 -.9933977 .276321 _Islope_2 | .5401554 .5061928 1.07 0.286 -.4519642 1.532275 _Itime_pre~2 | -1.647929 1.096595 -1.50 0.133 -3.797215 .5013564 _Itime_pre~3 | -1.04055 .8875156 -1.17 0.241 -2.780048 .6989488 _Itime_pre~4 | -.9192055 .7985244 -1.15 0.250 -2.484285 .6458735 _Ibenefit_2 | .449642 .5429313 0.83 0.408 -.6144838 1.513768 _Ibenefit_3 | 1.652398 .8747175 1.89 0.059 -.0620171 3.366812 income | -1.17e-08 1.49e-08 -0.78 0.433 -4.08e-08 1.75e-08 _cons | 1.294394 1.705635 0.76 0.448 -2.04859 4.637378 ------------------------------------------------------------------------------ LAMPIRAN 5. Hubungan Antara Curah hujan dengan Limpasan Permukaan Run Off dan Erosi pada Tiap Perlakuan a Korelasi antara Curah Hujan dengan Limpasan Permukaan Run Off pada Tiap Perlakuan Parameter Curah Hujan mm Limpasan Permukaan Searah Lereng mm Limpasan Permukaan Searah Kontur mm Curah Hujan mm 1 Limpasan Permukaan Searah Lereng mm .74 1 Limpasan Permukaan Searah Kontur mm .73 .96 1 b Korelasi antara Curah Hujan dengan Erosi pada Tiap Perlakuan Parameter Curah Hujan mm Erosi Searah Lereng TonHa Erosi Searah Kontur TonHa Curah Hujan mm 1 Erosi Searah Lereng TonHa .59 1 Erosi Searah Kontur TonHa .67 .83 1 LAMPIRAN 6. Korelasi Limpasan Permukaan Run Off dan Erosi pada Tiap Perlakuan Parameter Limpasan Permukaan Searah Lereng mm Limpasan Permukaan Searah Kontur mm Erosi Searah Lereng TonHa Erosi Searah Kontur TonHa Limpasan Permukaan Searah Lereng mm 1 Limpasan Permukaan Searah Kontur mm .97 1 Erosi Searah Lereng TonHa .79 .76 1 Erosi Searah Kontur TonHa .92 .96 .84 1 LAMPIRAN 7. Uji T Kadar Air 1 Hari Setelah Hujan dari Dua Perlakuan Parameter Levenes Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means F Sig. t Df Sig. 2- tailed Mean Difference Std. Error Difference 95 Confidence Interval of the Difference Lower Upper Kadar Air Tanah 1.503 .228 2.484 35 .018 2.69430 1.08467 .49231 4.89629 2.501 33.674 .017 2.69430 1.07709 .50462 4.88398 ABSTRACT RACHMAN PASHA. The Internalization Cost of Conservation Practices of Potato Farming in Serayu Watershed Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub- District, Wonosobo District. Supervised by SAMBAS BASUNI and SUYANTO Environmental degradation caused by intensive potato farming on the upper Dieng Plateau has reached an alarming level. Farmers who intensively plant potatoes and other vegetables in this Plateu mostly do not apply soil and water conservation practices on their gardens. This is suspected as one of the main causes of high erosion and sedimentation rates in the watershed. These environmental problems combined with farmers’ behavior torwards soil and water conservation in their potato gardens require further attention and information on how to solve such problem. Therefore, this research offers some fundamental analysis on farm-budget under different conservation techniques, farmers’ willingness to accept in improving their conservation practices and potential of application of rewards for environmental services schemes in the upper Dieng Plateu. The objective of this study are i to evaluate the conservation practices of potato farming by comparing rate of erosion and farm productivity under different soil and water conservation techniques, ii to determine the Willingness to Accept WTA value to environmentally friendly farming practices for sedimentation reduction. The research involving 100 respondents was carried out in January–May 2011 at Igirmranak village, Wonosobo district, Central Java, Indonesia. The study shows that the total potato production on land without conservation techniques was 37 higher compared to the one with conservation techniques. This result is based on the measurement of the potato farming erosion rate that the conservation techniques could control erosion and run-off at higher rates 18.38 and 33.90 respectively compared to potato farming without conservation techniques. Farmers who adopted conservation techniques experience less profit per season IDR 5,905,021 than those who do not apply such technique. In contrast, the potato production per stem in conservation farming was 26 higher compared to production on land without conservation techniques. The study also showed that the value of WTA among farmers was IDR 5,000,000. Some factors that influenced them to make decisions were 1 bid amount and 2 perception of profitability of potato. Overall, this study concluded that the RES concept in Dieng could be implemented by setting enabling conditions for environmentally friendly agriculture system that could provide long-term benefits to farmers. Government involvement and support would be needed to provide livelihoods’ alternatives that can fill the gap between opportunity costs and WTA. Keywords: Land conservation, erosion and run off, willingness to accept, opportunity cost RINGKASAN RACHMAN PASHA. Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan SUYANTO. Degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pertanian intensif kentang di hulu Dataran Tinggi Dieng telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Para petani yang menanam kentang dan berbagai sayur-sayuran secara intensif, pada umumnya tidak menerapkan praktek konservasi yang baik dan benar di lahan pertanian mereka. Kondisi ini diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya erosi dan sedimentasi yang sangat tinggi di Daerah Aliran Sungai DAS Serayu. Masalah serius lainnya di DAS ini adalah mengeringnya beberapa danau pada musim kemarau dan serta seringnya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada saat musim hujan tiba. Berbagai permasalahan lingkungan yang dikombinasikan dengan perilaku petani dalam mengelola lahan pertanian kentang memerlukan perhatian lebih lanjut untuk dapat mencari berbagai solusi untuk menghadapi masalah tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk melakukan beberapa analisa fundamental mengenai analisis usaha tani berdasakan penerapan teknik konservasi yang berbeda, menilai besaran insentif yang dinginkan petani untuk menerima dan melakukan praktik konservasi Willingness to AcceptWTA serta melihat potensi penerapan skema jasa lingkungan di Dieng. Tujuan dari penelitian ini adalah i untuk mengevaluasi praktek-praktek konservasi usahatani kentang dengan membandingkan laju erosi dan produktivitas pertanian bawah tanah yang berbeda dan teknik konservasi air, ii untuk menentukan nilai WTA petani kentang agar bersedia melakukan praktek pertanian ramah lingkungan bagi upaya pengurangan sedimentasi. Penelitian yang melibatkan 100 responden ini dilakukan pada Januari-Mei 2011 di Igirmranak desa, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total produksi kentang pada lahan tanpa teknik konservasi adalah 37 lebih tinggi dibandingkan dengan lahan dengan teknik konservasi. Hasil pengukuran laju erosi dan limpasan permukaan pada lahan pertanian kentang menunjukkan bahwa teknik konservasi mampu mengendalikan erosi dan limpasan permukaan pada tingkat yang lebih tinggi 18,38 dan 33,90 masing-masing dibandingkan dengan lahan pertanian kentang tanpa teknik konservasi. Petani yang mengadopsi teknik konservasi akan mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit per musim Rp 5.905.021 dibandingkan dengan para petani yang tidak menerapkan teknik tersebut. Sebaliknya, produksi kentang per batang dalam pertanian konservasi 26 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada lahan tanpa teknik konservasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai WTA di kalangan petani adalah Rp 5.000.000. Beberapa faktor yang mempengaruhi mereka untuk membuat keputusan adalah 1 Jumlah tawaran dan 2 Persepsi profitabilitas kentang. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep RES di Dieng dapat diterapkan dengan menetapkan kondisi yang memungkinkan untuk sistem pertanian ramah lingkungan yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi para petani. Keterlibatan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk dapat menyediakan alternatif mata pencaharian yang dapat mengisi kesenjangan antara opportunity costs and WTA. Kata Kunci: Konservasi lahan, Erosi dan limpasan permukaan, Wilingness to Accept, Opportunity Cost

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sungai dan Daerah Aliran Sungai DAS menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit listrik, irigasi sawah, sumber air minum, pemandian dan sebagainya. Salah satu fungsi DAS yang utama adalah sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir Farida dan Noordwijk, 2004. Ketersediaan air sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan di hulu DAS karena daerah ini merupakan pintu utama dalam menjaga ketersediaan suplai air. Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru Farida dan Noordwijk, 2004. Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas kuantitas air sungai. Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak, baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal Verbist dan Pasya, 2004. Kondisi di atas juga terjadi di DAS Serayu, tepatnya pada dataran tinggi Dieng. Masyarakat secara intensif mengusahakan lahan miliknya untuk budidaya tanaman semusim, terutama kentang. Usaha budidaya tanaman kentang yang selama ini dilakukan masyarakat cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta, ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-Rp 48 juta per hektar untuk sekali musim tanam TKPD 2008. Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500kg sehingga menyebabkan daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD 2008, pada tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng 5.724 hektar, tahun 2006 menjadi 6.902 hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi 8.075 hektar. Tim Kerja Pemulihan Dieng – TKPD 2008 mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan sebagai berikut: • Di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, terhitung tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai DAS Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut. • Pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Sungai Serayu, sejak tahun 1989. Pendangkalan di waduk ini telah mencapai 60,106 m3 atau 40 dari kapasitas waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 7,106 m3 pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng. • Empat danau besar yang ada pada kawasan Dieng, saat ini sudah mengering. Kini, di dataran tersebut hanya tinggal satu danau yaitu Telaga Warna yang masih berair, namun saat ini airnya sudah tidak lagi menampilkan warna yang mempesona seperti kondisi 15-20 tahun silam • Penurunan produktifitas lahan dan banjir di daerah hilir Serayu dan anak-anak sungainya • Penurunan kualitas dan kuantitas air menyebabkan mulainya kesulitan pemenuhan kebutuhan air bagi lahan pertanian dan konsumsi rumah tangga Kondisi demikian telah mendorong berbagai pihak untuk peduli terhadap pemulihan kawasan Dieng. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo, telah memasukkan program rehabilitasi kawasan Dieng dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah 2010-2015. Hanya saja tampaknya pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng yang berkelanjutan belum efektif dan menghasilkan capaian-capaian sesuai harapan. Imbal Jasa Lingkungan-Payment for Environmental Services PES merupakan salah satu pendekatan dengan tujuan untuk mencari solusi dari permasalahan hulu-hilir yang banyak diterapkan di berbagai negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang Wunder et al. 2008. Pendekatan ini sudah mulai diterapkan di wilayah Amerika Latin, tetapi masih tergolong suatu hal yang baru di Asia, terutama di Indonesia Leimona, 2007. Salah satu pendekatan inovatif dalam pengelolaan DAS adalah melalui skema pembayaran jasa lingkungan payment for environmental services dan imbal jasa lingkungan rewards for environmental services Van Noordwijk, 2005; Van Noordwijk and Leimona, 2010. Dalam skema imbal jasa lingkungan, petani terutama yang tinggal di hulu suatu DAS, dipandang sebagai pengambil keputusan penggunaan lahan dan berkontribusi sebagai penyedia jasa lingkungan environmental service providers. Di lain pihak, masyarakat luas yang menggunakan air dipandang sebagai pemanfaat jasa lingkungan environmental service beneficiaries Leimona et all, 2009.