Pertanian 882,914,750 Non Pertanian Manfaat Penelitian

Industri RT 3,960,000 0.30 40,000 0.30 833 Jasa 58,920,000 4.43 595,152 4.43 12,399 Kiriman 6,000,000 0.45 60,606 0.45 1,263 UpahGaji 247,494,000 18.61 2,499,939 18.61 52,082 Ternak 3,900,000 0.29 39,394 0.29 821 Lain-lain 6,000,000 0.45 60,606 0.45 1,263 TOTAL 1,330,028,750 100 13,434,634 100 279,762

5.4. Persepsi Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden menyadari bahwa sungai memiliki banyak arti penting di dalam kehidupan mereka. Hal tersebut tergambar melalui jawaban yang beragam yang disampaikan. Sebanyak 68 responden berpendapat bahwa peran penting sungai bagi kehidupan mereka adalah untuk pengairan bagi pertanian kentang mereka Gambar 16. Hal ini disebabkan karena tanaman kentang sangat bergantung kepada pasokan air sepanjang tahun, terutama pada saat musim kemaraukering. Sebanyak 14 berpendapat bahwa air sungai juga dapat digunakan sebagai campuran untuk pestisida yang mereka gunakan sedangkan hanya 10 responden yang berpendapat bahwa air sungai bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari. Hanya sebagian kecil responden 7 yang beranggapan bahwa sungai merupakan tempat pembuatan berbagai sampah dari kehidupan mereka. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar pemahaman-pemahaman seperti ini tidak muncul secara lebih luas di kalangan masyarakat Desa Igir Mranak. Gambar 16. Peran penting sungai menurut responden Masyarakat menyadari bahwa lingkungan mereka saat ini sudah mengalami penurunan kualitas apabila dibandingkan dengan satu dekade yang lalu. Hal tersebut ditunjukkan dengan data yang menggambarkan bahwa sebanyak 77 responden berpendapat demikian. Beberapa bentuk kerusakan alam yang paling banyak disampaikan oleh responden selama penelitian adalah longsor, banjir, erosi, perubahan profil sungai, panen menurun serta kualitas tanah yang semakin rendah. Sedangkan sisanya sebanyak 20 responden berpendapat bahwa kondisi lingkungan mereka saat ini lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada beberapa tahun yang lalu Gambar 17a. Berbagai pendapat dari reponden menyebutkan bahwa penyebab kerusakan tersebut bersumber dari manusia dan kondisi alam itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah jawaban sebesar 60 Gambar 17b. Sementara itu, sebagian responden berpendapat bahwa penyebab kerusakan yang terjadi murni semata-mata adalah karena ulah manusia saja 18 dan murni karena kondisi alamtopografi 18. Beberapa bentuk dan contoh kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia diantaranya adalah penebangan hutan secara tidak terkendali, penggunaan bahan kimia yang berlebihan serta pola pengolahan lahan pertanian yang cenderung tidak mengikuti kaidah konservasi yang baik dan benar. Sedangkan kerusakan yang disebabkan karena alam digambar dengan contoh tingginya curah hujan dan topografi yang curam yang dianggap sebagai penyebab utama terjadi kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor. a b c Gambar 17. a Kondisi lingkungan saat ini b Faktor-faktor penyebab kerusakan c Beban tanggung jawab atas kerusakan lingkungan Meskipun demikian, masyarakat menyadari bahwa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya penurunan kualitas di daerah tempat tinggal dan lahan pertanian mereka adalah mereka sendiri serta masyarakat sekitar. Hal ini cukup jelas digambarkan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 48 responden menjawab bahwa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ada adalah mereka sendiri, dan sebanyak 33 berpendapat bahwa masyarakat umum juga memiliki tanggung jawab serupa. Hanya sebagian kecil saja, yaitu 19 rerponden yang berpendapat bahwa pemerintahlah yang sepenuhnya harus bertanggung jawab atas semua kerusakan lingkungan yang ada Gambar 17c. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, hampir seluruh masyarakat di Desa Igir Mranak melakukan bercocok tanam kentang sebagai mata pencaharian utama dari sektor pertanian. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan dengan beberapa orang tokoh masyarakat dari desa lokasi, diperoleh keterangan bahwa sejarah masuk dan diperkenalkannya tanaman kentang ke desa mereka sudah berlangsung semenjak tahun 1982. Sebelumnya, masyarakat setempat mengusahakan tembakau sebagai komoditas utama mereka. Dari hasil wawancara diperoleh hasil bahwa alasan mereka menanam kentang adalah karena faktor tradisi yang cukup kuat yang terjadi secara turun temurun 71. Sedangkan sebagian kecil responden berpendapat bahwa tanaman kentang memiliki masa panen yang relatif lebih cepat dan menguntungkan Gambar 18. Gambar 18. Alasan menanam kentang menurut responden Walaupun demikian, masyarakat tidak menampik bahwa tanaman kentang yang mereka usahakan hingga saat ini memiliki berbagai dampak negatif terhadap lingkungan tempat tinggal dan lahan pertanian mereka. Sebanyak 37 responden menyatakan bahwa dampak negatif tanaman kentang adalah dapat menimbulkan erosi dan longsor, sedangkan 36 responden menyatakan bahwa tanaman kentang dapat menyebabkan lahan yang ditanami lama-kelamaan akan menjadi tidak subur dan produktif lagi Gambar 19a. Dampak negatif ini ditimbulkan akibat pola pengolahan lahan yang tidak memenuhi kaidah konservasi serta dilakukan hingga pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan ekstrem diatas 90. Selain itu, penggunaan pupuk kimia serta berbagai obat- obatan kimia juga dianggap oleh responden sebagai penyebab semakin menurunnya kualitas dan produktifitas lahan pertanian mereka. Hal tersebut diperburuk dengan banyaknya lapisan subur yang sudah tergerus oleh erosi sehingga tanah yang tersisa hanyalah bagian yang kurang subur. Yang cukup menarik, sebagian kecil responden 16 menyatakan bahwa tanaman kentang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian kentang mereka berada pada lahan yang relatif datar sehingga tidak mengalami berbagai dampak yang disebutkan diatas secara langsung. a b c Gambar 19. a Dampak Negatif Kentang b Pendapat dari menanam kentang c Alasan petani tetap menanam kentang Berbanding lurus dengan dampak yang dihasilkan, pendapatan dari pertanian kentang juga memberikan hasil yang baik kepada para responden. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah 52 dari responden menyatakan bahwa mereka mengalami kerugian dari mengusahakan komoditi ini, setidaknya untuk 10 tahun terakhir. Selain itu, 36 responden menyatakan bahwa menanam kentang justru menguntungkan serta 12 responden lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara untung dan rugi Gambar 19b. Untuk menutupi kerugian tersebut, pada umumnya mereka meminjam uang kepada para tengkulak, tetangga dan bank. Bentuk usaha ―gali loban g tutup lobang‖ ini berlangsung hampir setiap tahun dimana para petani biasanya membayar utang mereka dari hasil panen yang mereka dapatkan sebelumnya. Namun demikian, responden tetap memilih kentang sebagai komoditas utama pertanian mereka. Hal ini disebabkan karena mereka mengaku tidak memiliki pilihan 61 untuk mengganti tanaman kentang dengan jenis komoditi yang lain. Selain itu, faktor kebiasaan tradisi juga merupakan salah satu faktor yang membuat mereka tetap pada usaha tanaman kentang. Hal ini mengingat bahwa pengetahuan yang mereka miliki hanyalah bercocok tanaman kentang yang sudah berlangsung turun temurun sehingga mereka merasa tidak nyaman apabila harus melakukan alih komoditi dengan komoditas yang lain Gambar 19c. Berdasarkan kondisi diatas, sebagian besar responden sudah berpikir untuk melakukan alih komoditi, mengingat usaha pertanian kentang yang mereka jalani sekarang sudah tidak memberikan hasil keuntungan kepada mereka lagi. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan bahwa 56 responden mau melakukan alih komoditi sedangkan 44 responden lainnya tetap memilih kentang sebagai usaha utama mereka Gambar 20a. Hanya saja ketika pertanyaan mengenai jenis tanaman yang mereka inginkan sebagai pengganti tanaman kentang disampaikan, jawaban yang diberikan sangat beragam seperti cabai, tembakau, karika dan lain-lain. Beragamnya jawaban mereka ini menunjukkan bahwa mereka masih belum memiliki keinginan yang jelas mengenai jenis tanaman pertanian yang mereka inginkan. Jawaban yang diberikan masih terkesan ragu-ragu dan tidak meyakinkan. Hal ini dirasa wajar mengingat bahwa mereka sekian lama sudah melakukan pertanian kentang sehingga ketika diberikan pilihan untuk mengusahakan tanaman jenis lain, mereka terlihat ragu dan bingung. a b Gambar 20. a Keinginan alih komoditi b Alasan menolak alih komoditi Bagi responden yang menyatakan menolak untuk melakukan alih komoditi, terdapat beberapa alasan yang mereka kemukakan. Sebanyak 52 responden menyatakan bahwa tanaman kentang masih merupakan komoditi yang terbaik apabila dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman lain yang biasa dibudidayakan oleh para petani di daerah Dieng seperti sayur-sayuran dan buah- buahan. Hal ini disebabkan karena pasar kentang yang memang sudah jelas serta pengetahuan yang mereka kuasai akibat sudah terbiasa semenjak lama menanam kentang 5. Selain itu mereka juga terjebak dengan kondisi yang ada, dimana mereka tidak memiliki dan tidak meilhat pilihan lain yang lebih baik selain menanam kentang 25 sehingga mereka tidak berani untuk mengambil keputusan untuk melakukan alih komoditi 18 Gambar 20b. Tidak banyak responden yang memahami pembuatan teknik konservasi yang sesuai dengan kaidah yang benar. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebanyak 89 petani melakukan teknik konservasi terasering searah lereng dalam usaha pertanian kentang, sedangkan 11 responden lainnya mengaku telah menerapkan teknik konservasi terasering searah kontur dalam menanam kentang Gambar 21. Berbagai pendapat dan alasan membuat teras searah lereng dikemukakan oleh responden, diantaranya adalah teras searah kontur akan mengurangi bidang tanam, biaya pembuatan mahal, perawatan yang relatif sulit, aliran air menjadi tidak lancar sehingga membuat kentang menjadi busuk, pengetahuan serta waktu yang tidak cukup serta berbagai alasan lainnya. Hal ini memang cukup wajar, dimana persepi yang terbangun selama ini di masyarakat adalah membuat teras serah lereng yang menurut mereka lebih praktis, ekonomis dan baik untuk pertumbuhan kentang. Gambar 21. Jenis terasering yang diterapkan oleh responden Secara lebih jauh, wawancara juga menggali berbagai jawaban untuk melihat perbandingan antara teras searah lereng dengan teras searah kontor nyabuk gunung. Berdasarkan hasil wawancara, responden berpendapat bahwa pembuatan teras searah lereng akan menguntungkan secara ekonomi mengingat biayanya yang cenderung lebih murah 60. Selain itu, kebutuhan bibit yang diperlukan juga cukup banyak 58, sehingga jumlah tanaman kentang yang dapat ditanam dan hasil panen nantinyapun akan lebih banyak 58 Gambar 22. Gambar 22. Grafik perbandingan teras searah lereng dan teras searah kontur nyabuk gunung Sedangkan pembuatan teras searah kontur nyabuk gunung memiliki keunggulan dari sisi konservasi, dimana sebanyak 81 responden setuju bahwa pembuatan teras serah kontur akan dapat mengawetkan tanah dari ancaman erosi dan longsor. Selain itu, responden juga berpendapat bahwa teras searah kontur memiliki fungsi perlindungan yang sangat tinggi 84 dan mempermudah mereka dalam melakukan perawatan lahan dan tanaman kentang karena cederung lebih datar 67. Yang menarik adalah sebanyak 40 responden berpendapat bahwa pembuatan teras searah kontur maupun serah lereng tidak akan mempengaruhi dari kualitas kentang yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan paradigma yang ad adi masyarakat Dieng secara umum, dimana pembuatan teras serah kontur akan menyebabkan hasil tanaman kentang menjadi lebih buruk dan busuk sebagai akibat adanya pengendapan air di tanah.

5.5. Nilai Tingkat Diskonto Discount Rate

Banyak para peneliti ekonomi lingkungan yang menunjukkan bagaimana kemiskinan berhubungan erat dengan degradasi lingkungan Holden et al., 1998; Leimona et al, 2010. Holden et al, 1998 menunjukkan bagaimana kemiskinan dapat ditunjukkan melalui penerapan Rate of Time Preferences RTP bagi petani di negara-negara berkembang. Menurut Barbier 1996 dalam Suyanto 2002, salah satu faktor yang menentukan kecenderungan petani untuk melakukan pertanian sehat dengan menerapkan teknik konservasi adalah faktor tingkat diskonto. Petani yang memiliki tingkat diskonto rendah cenderung akan mau menerima teknik konservasi yang ditawarkan, dan begitu juga sebaliknya. Di dalam penelitian ini, nilai RTP digali dengan mengumpulkan informasi tingkat diskonto perseorangan melalui serangkaian pertanyaan yang diajukan. Reponden diminta untuk membuat pilihan dari dua pilihan yang diberikan, seperti ―dalam waktu 6 bulan, ada akan memiliki Rp. 100.000, - saat ini ataukah Rp.100.000 + Rp. X dalam waktu 6 bulan mendatang ?‖. Berdasarkan hasil wawancara dan simulasi yang dilakukan dengan para responden, didapat hasil bahwa lebih dari setengah responden yaitu 60 memiliki tingkat diskonto yang sangat tinggi yaitu di atas 100, 22 memiliki tingkat diskonto yang tinggi 51-100 serta 18 lainnya memiliki tingkat diskonto yang rendah 50. Hasil ini menunjukkan bahwa responden cenderung sulit untuk menerima teknik konservasi yang ditawarkan karena memiliki tingkat diskonto yang tinggi. Tabel 18 dan Gambar 23. Tabel 18. Tingkat Diskonto Discount Rate Responden Discount Rate Total Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 10 8 22 60 100 Tingginya tingkat diskonto responden ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi mereka yang mayoritas rendah. Hal ini mndorong mereka untuk cenderung mengejar hasil pertanian setinggi-tingginya guna pemenuhan kebutuhan hidup mereka dalam waktu singkat tanpa memikirkan inventasi lahan dalam jangka panjang sehingga prinsip-prinsip konservasi yang baik dan benar pun diabaikan. Gambar 23. Grafik Tingkat Diskonto Discount Rate Responden 5.5. Nilai Willingness to Accept WTA 5.5.1. Membangun Pasar Hipotesis Setting up the Hypothetical Market Pada saat pengumpulan data WTA, seluruh responden diberi informasi mengenai beberapa bentuk kerusakan dan bencana yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengelolaan DAS yang serampangan. Oleh karena itu, dalam rangka perbaikan fungsi DAS untuk mencegah terjadinya kejadian-kejadian tersebut pada masa mendatang, maka pemerintah membuat program baru untuk dapat meningkatkan kualitas DAS. Program ini merupakan suatu skenario yang mendorong para petani agar mau melakukan usaha pertanian ramah lingkungan dengan menerapkan beberapa teknik konservasi yang telah ditentukan. Agar petani mau melakukan program pemerintah tersebut, maka pemerintah menawarkan sejumlah insentif berupa uang kepada mereka sebagai bentuk kompensasi dan penghargaan atas keinginan masyarakat berpartisipasi. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan insentif serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam usaha konservasi pada daerah hulu DAS Serayu.

5.5.2. Memperoleh Wilai WTA Obtaining Bids

Besaran nilai WTA diperoleh dari hasil wawancara dengan para responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tertera di dalam kuisioner. Dari 100 responden yang diwawancara, sebanyak 51 menerima skenario yang diajukan, sementara 49 diantaranya menolak. Jumlah responden yang tidak bersedia menerima skenario yang diajukan cukup besar dimana hampir setengah dari jumlah total responden yang diwawancara. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah responden merasa bahwa nilai yang diberikan tidak mencukupi untuk menutupi biaya kerugian yang akan diderita apabila mereka menerapkan system konservasi yang akan mengorbankan jumlah tanaman kentang mereka. Selain itu mereka juga berpendapat bahwa kondisi lahan yang ada saat ini tidak memungkinkan untuk diterapkan teknik konservasi karena luasan lahan pengelolaan mereka yang relatif sempit dan curam. Sedangkan bagi responden yang bersedia untuk menerima skenario konservasi yang diajukan, secara umum menyatakan bahwa kesediaan mereka tersebut merupakan bagian bentuk partisipasi mereka untuk menjaga lingkungan DAS Serayu agar dapat terpelihara dengan baik guna mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan yang lebih parah. Tentunya mereka sangat mengharapkan agar upaya tersebut tidak menjadi tanggung jawab mereka semata, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan di Dieng.

5.5.3. Menduga Kurva Penawaran WTA

Kurva WTA responden dibentuk berdasarkan nilai WTA responden terhadap dana kompensasi atau nilai pembayaran jasa lingkungan yang dikehendaki. Kurva ini menunjukkan hubungan antara tingkat WTA yang diinginkan dalam Rphatahun dengan jumlah responden yang bersedia menerima pada tingkat WTA tersebut. Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari hasil wawancara, maka nilai WTA digolongkan menjadi 10 kelompok seperti yang dijelaskan pada Tabel 19 dan kurva WTA pada Gambar 24 berikut: Tabel 19. Tabel Dugaan Tawaran WTA Responden No Nilai WTA YA Tidak Jumlah Frekuensi Relatif 1 1,000,000 1 4 5 0.20 2 2,000,000 3 6 9 0.33 3 3,000,000 4 1 5 0.80 4 4,000,000 7 13 20 0.35 5 5,000,000 10 3 13 0.77 6 6,000,000 5 9 14 0.36 7 7,000,000 10 6 16 0.63 8 8,000,000 6 3 9 0.67 9 9,000,000 4 2 6 0.67 10 10,000,000 1 2 3 0.33 Gambar 24. Dugaan kurva tawaran WTA responden 5.6. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Willingness to Accept WTA dengan metode Regresi Logit Untuk mengetahui peubah-peubah yang mempengaruhi terhadap kesediaan menerima WTA skenario konservasi yang ditawarkan serta apakah secara statistik nilai WTA tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan atau tidak, maka dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA responden dengan teknik Logistic Regression. Variabel dependen yang digunakan serta hipotesis hubungannya dengan WTA responden dijelaskan dalam Tabel 20 berikut: Tabel 20. Tabel Dugaan Variabel yang mempengaruhi WTA Responden No Variabel Penjelasan Dugaan Hubungan 1 Nilai WTA Besaran nilai WTA yang diajukan untuk melakukan konservasi Semakin besar, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 2 Usia Usia responden pada saat diwawancara Semakin tua, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 3 Pendidikan Jumlah tahun responden mengeyam pendidikan formal Semakin tinggi, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 4 Jumlah Tanggungan Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden Semakin besar, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 5 Luas area Luas areal lahan pertanian kentang yang dimiliki Semakin luas lahan, kecenderungan menerima WTA semakin besar 6 Lama Memiliki Lahan Jangka waktu memiliki lahan Semakin lama, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 7 Pendapatan Rumah Tangga Total pendapatan rumah tangga respoden selama satu tahun Semakin besar, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 8 Jumlah Kepemilikan Lahan Total jumlah petak lahan yang dimiliki Semakin banyak, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 9 Kemiringan Lahan Kondisi kemiringan lahan berdasarkan pengamatan responden;1 datar,2 miring, 3 curam Semakin miring, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 10 Persepsi respoden mengenai pendapatan dari kentang Persepsi bahwa usaha tani kentang menghasilkan 1 keuntungan, 2kerugian atau 3sama saja Responden yang menjawab pendapatan kentang membuat rugi, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar 11 Time Preferrence Tingkat diskonto responden yang diukur dengan kritera: 1 rendah 2sedang, 3tinggi 4 sangat tinggi Semakin tinggi, kecenderungan menerima WTA akan semakin kecil Sedangkan hasil pengolahan data untuk model diatas disajikan pada Tabel 21 berikut: Tabel 21. Hasil Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima Pembayaran atas Jasa Lingkungan dengan Regresi Logit Logistic Regression Peubah Koefisien Std Err t P|t| [95 Conf. Interval] Pembayaran Rp .0002585 .0001126 2.30 0.022 .0000379 .0004791 Usia USIA -.0159152 .026321 -0.60 0.545 -.0675033 .035673 Pendidikan PDDK -.1302222 .1280966 -1.02 0.309 -.3812869 .1208425 Jumlah Tanggungan TANG .0227114 .2203571 0.10 0.918 -.4091807 .4546034 Lama Memiliki LMLK -.0094735 .0231384 -0.41 0.682 -.0548239 .0358769 Pendapatan PDPT -1.17e-08 1.49e-08 -0.78 0.433 -4.08e-08 1.75e-08 Luas Lahan AREA -.9634299 1.633429 -0.59 0.555 -4.164893 2.238033 Jumlah Plot JMPL -.3585383 .3239138 -1.11 0.268 -.9933977 .276321 Kemiringan Lahan SLOP_2 .5401554 .5061928 1.07 0.286 -.4519642 1.532275 Pendapatan Kentang PKTG_2 .449642 .5429313 0.83 0.408 -.6144838 1.513768 Pendapatan Kentang PKTG_3 1.652398 .8747175

1.89 0.059

-.0620171 3.366812 Time Preferrence TIME_2 -1.647929 1.096595 -1.50 0.133 -3.797215 .5013564 Time Preferrence TIME_3 -1.04055 .8875156 -1.17 0.241 -2.780048 .6989488 Time Preferrence TIME_4 -.9192055 .7985244 -1.15 0.250 -2.484285 .6458735 Konstanta 1.294394 1.705635 0.76 0.448 -2.04859 4.637378 Log likelihood: 60.483892 N yata p0.05 Nyata p0,1 LR chi2 14: 17.62 Prob chi2: 0.2246  P Value as a whole Pseudo R2: 0.1272 Berdasarkan hasil analisis dengan variable-variabel sosial ekonomi yang diperkirakan dapat mempengaruhi responden untuk menerima pembayaran sebagaimana yang disajikan pada Tabel 21 di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan nilai multiple R r dapat dilihat bahwa hubungan antar variabel input-input yang digunakan tersebut dengan output yang dihasilkan memiliki hubungan yang kurang erat. Berdasarkan nilai R square R2 dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi R 2 yang dihasilkan adalah sebesar 12.72 yang mana berarti bahwa model regresi tersebut hanya bisa menjelaskan sebesar 12.72 dari nilai WTA konservasi yang ditawarkan, sedangkan sisanya sebesar 87,28 dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Hasil uji t t-test terhadap peubah-peubah tersebut terdapat dua peubah yang berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden, yaitu besaran Nilai WTA X1 yang berbeda pada taraf nyata 95, dan Persepsi pendapatan dari kentang X10 yang berbeda pada taraf nyata 90. Variabel nilai WTA memiliki nilai Sig sebesar 0,022 yang berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia menerima pembayaran untuk m elakukan teknik konservasi α 5 persen. Sedangkan nilai koefisien bertanda positif + pada variabel tersebut berarti bahwa semakin tinggi nilai tawaran yang diberikan maka semakin besar pula kecenderungan peluang responden untuk bersedia menerima pembayaran jasa lingkungan. Hal ini sesuai dengan hukum penawaran yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai imbal jasa lingkungan yang ditawarkan kepada petani, maka semakin besar pula peluang para petani tersebut untuk menerima nilai yang ditawarkan. Variabel X10 merupakan variabel dummy yang menyatakan persepsi responden mengenai pendapatan dari pertanian kentang. Variabel X10 memiliki nilai Sig sebesar 0,059 yang berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia menerima pembayaran untuk melakukan teknik konservasi pada taraf α 10 persen. Sedangkan nilai koefisien bertanda positif + memiliki arti bahwa responden yang berpendapat bahwa pendapatan dari menanam kentang tidak memberikan keuntungan maupun kerugian secara ekonomi sama saja memiliki peluang bersedia membayar lebih besar 1.556224 kali dibandingkan dengan responden yang berpendapat bahwa menanam kentang malah memberikan kerugian secara ekonomi bagi mereka. Variabel penjelas lainnya yang diduga memiliki pengaruh terhadap kesediaan melakukan konservasi pada pertanian kentang seperti variabel Usia, Pendidikan, Jumlah tanggungan, Pendapatan, Lama memiliki lahan, Luas Lahan, Jumlah Plot, Kemiringan dan Time Preferrence memiliki nilai Sig yang lebih besar dari taraf kepercayaan α 20 persen, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel respon tersebut tidak berpengaruh nyata. Dari nilai koeefisien yang dihasilkan, terdapat beberapa variable lainnya yang sesuai dengan hipotesis yang dibuat, diantaranya adalah Jumlah Tanggungan, Kemiringan Lahan serta Time Preferrence. Semakin besar jumlah tanggungan, semakin miring lahan yang dimiliki dan semakin rendah tingkat diskonto maka kecenderungan petani untuk menerima WTA juga akan semakin besar. Hanya saja karena variable-variabel tersebut memiliki nilai signifikansi yang besar 10, hubungan tersebut menjadi tidak nyata. Berdasarkan model di atas, dapat dihitung nilai rata-rata WTA responden untuk melakukan teknik konservasi di lahan pertanian kentang. Nilai tersebut didapat dengan membagi nilai alpha α dan beta β seperti perhitungan dibawah: WTA = α β = 1.294394 0.0002585 = 5.007.326,-  Rp. 5.000.000 Berdasarkan hasil perhitungan nilai WTA dengan menggunakan model regresi logistik dapat dilihat bahwa rata-rata besaran nilai WTA responden adalah sebesar Rp. 5.000.000hapanen. Nilai ini mendekati nilai opportunity cost yaitu sebesar Rp. 5.905.021hapanen. Walaupun banyak kritik terhadap penggunaan metode CVM dalam menduga nilai WTA, akan tetapi hasil perhitungan WTA pada penelitian ini tidak terlalu jauh dari nilai opportunity cost yang diperoleh melalui analisis usaha tani. Kelemahan penggunaan CVM ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

5.7. Evaluasi Penggunaan CVM

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik yang dilakukan, diperoleh nilai Pseudo R 2 sebesar 12.87 . Menurut Mitchell dan Carson 1989 dalam Hanley dan Spash 1993 penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai Pseudo R 2 sampai dengan 15 persen, hal ini dikarenakan penelitian tentang lingkungan berhubungan dengan perilaku manusia yang memiliki nilai bias yang cukup tinggi. Meskipun demikian, nilai Pseudo R 2 yang kecil tidak membuat suatu model dianggap tidak bagus. Hal ini dikarenakan nilai Pseudo R 2 yang bernilai 0 sampai dengan 1 bukan merupakan interpretasi alami melainkan tiruan untuk mengganti R square OLS pada model logit Greene, 2000. Hal tersebut juga didukung oleh Gujarati 2003 yang berpendapat bahwa dalam model regresi logistik, hal utama yang harus diperhatikan adalah indikator signifikansi model, signifikansi variable-variabel independen dan arah koefisien dari variable tersebut. Sedangkan besar nilai Pseudo R 2 tidak diutamakan. Selain itu penggunaan data cross section pada penelitian ini membawa implikasi nilai R square yang rendah belum tentu menandakan model yang digunakan tidak baik Hakim, 2009. Apabila hasil pengujian t-stat menunjukkan hasil yang signifikan serta sesuai dengan arah dari teori ekonomi, model tersebut masih dapat digolongkan sebagai model yang layak untuk statistik Gujarati, 2003. Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenaran dan keandalannya. Rendahnya nilai Pseudo R 2 dalam penelitian ini tidak terlepas dari beberapa kelemahan yang terdapat dalam teknik CVM. Menurut Fauzi 2006, meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTAWTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari pendekatan ini adalah timbulnya bias. Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut Hanley dan Spash 1993 dalam Fauzi 2006 terdiri dari: 1 Bias Strategi Strategic Bias Adanya responden yang meminta suatu nilai WTA yang relatif besar karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan mendorong responden untuk mengajukan nilai WTA yang benar. Hoehn dan Randall 1987 dalam Hanley dan Spash 1993 menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum terhadap nilai WTA yang terlalu tinggi 2 Bias Rancangan Design Bias Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden adalah: a. Pemilihan jenis tawaran bid vehicle. Jenis tawaran yang diberikan dapat mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran. b. Bias titik awal starting point bias. Pada metode bidding game, titik awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai tawaran bid yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera responden disukai responden karena responden tidak memiliki pengalaman tentang nilai perdagangan benda lingkungan yang dipermasalahkan. c. Sifat informasi yang ditawarkan nature of information provided. Dalam sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja. Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei. 3 Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden Mental Account Bias Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu. 4 Kesalahan Pasar Hipotetik Hypotetical Market Error Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTA yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias pasar hipotetik bergantung pada: a. Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei. b. Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi. c. Bagaimana format WTA yang digunakan. Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari responden.

5.8. Potensi Pengembangan Jasa Lingkungan di Dieng

Ide atau gagasan mengembangkan konsep jasa lingkungan oleh Tim Kerja Pemulihan Dieng TKPD sebagai kelompok kerja sukalera berbasis lokal bersama para pihak terkait diawali dengan pemikiran bahwa laju kerusakan DAS Serayu semakin tinggi. Kenyataannya DAS Serayu hanya dipandang sebagai tempat yang ideal untuk bercocok tanam tanaman holtikultura terutama kentang saja. Namun apabila diteliti sebetulnya masih banyak komponen yang lebih besar nilainya selain pertanian seperti potensi air, ekowisata, panorama alam, dan lain- lain yang menyangkut air, keanekaragaman hayati dan wisata. Tantangannya saat ini bagaimana memberikan penjelasan kepada masyarakat petani yang berada di hulu DAS mengenai pentingnya fungsi konservasi melalui penerapan pertanian ramah lingkungan sebagai sistem pengendali dan antisipasi terhadap kerusakan DAS yang ada. Desakan ekonomi dan idealisme masyarakat dalam bertani kentang sampai saat ini masih sangat kuat, dan menurut mereka hingga kini belum ada alternatif komoditi lain yang bisa menyaingi kentang. Membanjirnya kentang impor Cina yang menawarkan harga yang jauh lebih murah akan membuat daya saing kentang lokal di tingkat petani akan semakin turun. Kondisi ini di satu sisi akan membuat posisi ekonomi para petani kentang semakin terjepit, akan tetapi kondisi ini juga membuka peluang untuk intervensi konservasi yang semakin tinggi sebagai akibat nilai profitabilitas kentang yang semakin rendah. Hal ini tentu saja manjadi suatu dilema. Adanya skema imbal jasa lingkungan dimana penggantian komoditas kentang dengan tanaman yang mampu menjadi penyangga tanah dan air, diharapkan pendapatan masyarakat dapat sebanding dengan yang mereka dapatkan dari kentang. Cukup banyak kisah sukses yang menunjukkan keberhasilan alih komoditi dari sayuran intensif menjadi tanaman keras dengan pola agroforestry yang bisa dijadikan model bagi para petani kentang di Dieng, seperti di daerah Pengalengan dan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Namun kembali melihat kondisi dimana tingkat ketergantungan petani Dieng terhadap komoditi kentang ini yang masih tinggi, maka perlu dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang bersifat partisipatif sebelum melangkah ke skema imbal jasa. Di Kabupaten Wonosobo sendiri konsep pengembangan jasa lingkungan sudah sampai pada tahap penyamaan persepsi pada tataran pengambil kebijakan maupun pada tahap melakukan penilaian assessment potensi jasa lingkungan dan pelatihan pada tingkat lapang pada tataran masyarakat dan penggiat lingkungan. Salah satu strategi yang ditempuh TKPD adalah melalui raising awareness atau peningkatan kepedulian masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan. Nugroho 2010 menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu dinilai dalam kajian valuasi ekonomi kawasan Dieng. Aspek-aspek tersebut memiliki maksud dan kegunaan yang berbeda, yang secara sinergis diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan pengelolaanpemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng, khususnya pada persoalan yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang terkait dengan ekonomi usaha tani budidaya tanaman semusim bernilai tinggi kentang. Salah satu aspek yang dimaksud adalah kebijakan penetapan insentif dan dis-insentif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng melalui skema jasa lingkungan. Insentif merupakan instrumen yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keputusan produsenkonsumen baik berdasarkan pertimbangan finansial maupun non-finansial. Dalam kasus pemulihan kawasan Dieng, insentif perlu diberikan untuk mendorong petani dan pihak pemanfaat sumberdaya lahan dan hutan lainnya dalam penerapan teknik budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya dis-insentif, perlu dikembangkan untuk menghambat penerapan teknik-teknik pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang tidak ramah lingkungan. Nugroho 2010 menyatakan bahwa terdapat banyak model regime insentif dan dis-insentif yang dapat diterapkan, misalnya 1 insentif yang berorientasi pada kebendaanfinansial remunerative incentives or financial incentives, 2 insentif yang berorientasi moral moral incentives dengan mengajakmengkapanyekan hal-hal baik dan terpuji untuk dilakukan, dan 3 insentif paksaan coercive incentives dengan memberikan hukuman, pengucilan, dsb dis-insentif. Sasaran insentifdis-insentif dapat diberikan kepada individu personal incentives dan insentif untuk masyarakat luas social incentives. Berdasarkan paparan di atas, alternatif-alternatif insentif yang paling mungkin adalah sebagai berikut: a. Insentif untuk penerapan teknik budidaya ramah lingkungan, terdiri dari: • Kompensasi, misalnya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan payment for environmental services danatau REDD. • Subsidi, misalnya keringan pajak PBB atau subsidi input teknologi. • Fasilitasi perolehan harga premium premium price atas komoditas hasil pertanian yang dilakukan dengan teknik budidaya yang ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan maraknya kampanye – kampanye yang dilakukan oleh berbagai instansi mengenai isu green product. b. Dis-insentif untuk penerapan teknik budidaya konvensional tidak ramah lingkungan dengan pengenaan pajak berlipat misal: PBB, penggunaan air dalam dan telaga, dls van Noordwijk dan Leimona 2010 juga menyatakan bahwa skema Imbal Jasa Lingkungan IJL yang berfokus bahwa ―insentifpembayaran‖ bagi penyedia jasa lingkungan tidak hanya berupa uang tunai tetapi dapat berupa imbalan non- tunai, seperti peningkatan kapasitas masyarakat, fasilitas umum untuk kesehatan dan pendidikan, akses pasar untuk komoditas pertanian dan pekebunan setempat, dan sebagainya. Salah satu contoh insentif berupa uang adalah aplikasi IJL di Cidanau dimana masyarakat petani mendapatkan pembayaran tunai jika mereka berhasil menanam sejumlah pohon berkayu dan memeliharanya dalam jangka waktu tertentu Leimona, Pasha, and Rahadian 2010. Hasil penelitian di sejumlah negara Asia Indonesia, Filipina, dan Nepal menunjukkan bahwa imbalan non- tunai lebih diharapkan oleh masyarakat penyedia jasa lingkungan Leimona, Joshi, and Van Noordwijk 2009. Penganut paham PJL berpendapat bahwa pemberian imbalan non-tunai dapat mengurangi efektivitas dari skema karena non-peserta dianggap penunggan bebas free rider dan peserta tidak menerima pembayaran utuh sebagai pengganti biaya kesempatannya opportunity cost yang hilang Pagiola, Arcenas, and Platais 2005; Grieg-Gran, Porras, and Wunder 2005. Kurangnya pembayaran tunai bagi penyedia jasa lingkungan dianggap sebagai salah satu akibat lunturnya performa mereka dalam melaksanakan kontrak konservasi. Namun, perlu pula dipertimbangkan bahwa pemberian uang tunai terutama bagi masyarakat pedesaan, dipandang merendahkan norma sosial mereka dalam melestarikan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Dieng memiliki banyak potensi untuk pengembangan imbal jasa lingkungan. Jasa lingkungan tersebut tidak hanya dari aspek sumber air, tetapi juga ekowisata, keanekaragaman hayati, sumber tenaga listrik, potensi karbon stok dan keindahan bentang alam. Sehingga pengembangan imbal jasa lingkungan bisa berupa kombinasi dari aspek jasa-jasa lingkungan yang tersedia tersebut bundle ES. Pada akhirnya, dengan menerapkan mekanisme imbal jasa lingkungan di Dieng adalah terpeliharanya jasa-jasa lingkungan dengan memperhatikan tradeoff antara produktivitas suatu lahan dalam menyediakan produk yang tangible dan berkontribusi langsung terhadap penghidupan dengan jasa lingkungan yang akan mendukung keberlanjutan potensi sumber daya alam di Dieng. Selain mendorong upaya penerapan IJL sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ada, penetapan wilayah untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya juga harus semakin diperjelas lagi agar tidak terjadi tumpang tindih pengelolaan dan kebijakan di lapangan. Kondisi ini biasanya muncul pada wilayah-wilayah pedesaan atau wilayah yang dihuni oleh masyarakat tradisional seperti kawasan Dieng, dimana perlindungan tidak bisa terlepas dengan pemanfaatan wilayah. Pada wilayah ini konsep pembagian wilayah lindung dan wilayah budidaya perlu dikaji lagi dengan mengedepankan kedua aspek ini sekaligus. Ini terkait dengan budaya masyarakat, pada masyarakat pedesaan terutama masyarakat tradisional, dimana sistem perlindungan dan pemanfaatan menyatu dalam satu ritme kehidupan. Ketergantungan masyarakat pada alam secara otomatis akan membentuk budaya yang juga ikut melestarikan alam. Pola masyarakat yang seperti ini disebut dengan masyarakat ekosentris. Penataan ruang di Indonesia seharusnya sudah mampu mengadopsi sistem yang membagi wilayah secara lebih detail. Bahwa blok Taman Nasional atau Cagar Alam misalnya harus juga memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah hidup jauh sebelum wilayah tersebut dijadikan wilayah lindung. Pertanyaan yang paling sulit adalah bagaimana mengelola wilayah tersebut agar fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak saling merugikan.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah 1. Teknik konservasi terbukti mampu menurunkan nilai limpasan permukaan run off sebesar 33,90 dan erosi 18,38 jika dibandingkan dengan pengolahan tanah searah lereng. Teknik konservasi juga terbukti tidak menyebabkan terjadinya penyimpanan air di dalam tanah yang menyebabkan kebusukan pada kentang 2. Teknik konservasi yang diterapkan memang terbukti menurunkan jumlah produksi hasil panen secara keseluruhan sebesar 37 lebih rendah, akan tetapi terbukti dapat meningkatkan produktifitas per tanaman sebesar 26 . Hal ini diduga karena teknik konservasi mampu menahan laju kehilangan zat-zat hara dan pupuk yang dibutuhkan oleh tanaman kentang 3. Besarnya biaya yang harus diinternalisasi oleh petani dalam penerapan konservasi lahan tanaman kentang adalah: Rp. 5.000.000,- hapanen dengan pendekatan WTA atau sebesar Rp. 5.905.021 hapanen atau Rp. 5.272.340 Ton erosi dengan pendekatan Opportunity Cost.. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi WTA petani adalah Nilai Tawaran Bid dan persepsi responden tentang keuntungan dari petanian kentang. 4. Apabila ditinjau dari besarnya erosi dan produksi Kentang, maka pengolahan tanah yang paling menguntungkan petani untuk jangka panjang adalah searah kontur yang dimodifikasi dengan SPA dan tanaman penguat teras karena nilai erosi pada perlakuan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengolahan tanah searah lereng dan produksinyapun tidak jauh beda dengan pengolahan tanah searah lereng.

5.2. Saran

1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini hendaknya juga dilengkapi dengan melihat aspek kesediaan membayar Willingness to PayWTP dari para pemanfaat DAS, aspek sejarah dan budaya masyarakat petani kentang serta pengambilan data erosi dan limpasan permukaan yang dilakukan dalam kurun waktu yang lebih panjang dan ulangan yang lebih banyak. 2. Dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk dapat memfasilitasi permasalahan di Dieng dengan mencoba meningkatkan kesadaran akan pentingnya pertanian ramah lingkungan untuk manfaat dalam jangka panjang 3. Penyediaan insentif bagi usaha pertanian ramah lingkungan harus bersifat terpadu dan tidak terbatas hanya berupa pembayaran jasa lingkungan saja. Perlu ada tambahan inisiatif lain seperti misalnya peternakan, perikanan yang dapat memberikan manfaat sampingan bagi petani kentang 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat alternatif bentuk pengelolaan lahan yang memiliki nilai ekonomis dan konservasi seperti penggantian kentang menjadi penanaman tanaman keras dengan pola agroforestry ataupun komoditas lain yang lebih ramah lingkungan.