The Internalization Cost of Conservation Practices of Potato Farming in Serayu Watershed (Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub- District, Wonosobo District).

(1)

Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah

Rachman Pasha P052080111

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini

Bogor, Juli 2012

Rachman Pasha NIM P052080111


(3)

Farming in Serayu Watershed (Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub-District, Wonosobo District). Supervised by SAMBAS BASUNI and SUYANTO

Environmental degradation caused by intensive potato farming on the upper Dieng Plateau has reached an alarming level. Farmers who intensively plant potatoes and other vegetables in this Plateu mostly do not apply soil and water conservation practices on their gardens. This is suspected as one of the main causes of high erosion and sedimentation rates in the watershed. These environmental problems combined with farmers’ behavior torwards soil and water conservation in their potato gardens require further attention and information on how to solve such problem. Therefore, this research offers some fundamental analysis on farm-budget under different conservation techniques, farmers’ willingness to accept in improving their conservation practices and potential of application of rewards for environmental services schemes in the upper Dieng Plateu. The objective of this study are (i) to evaluate the conservation practices of potato farming by comparing rate of erosion and farm productivity under different soil and water conservation techniques, (ii) to determine the Willingness to Accept (WTA) value to environmentally friendly farming practices for sedimentation reduction. The research involving 100 respondents was carried out in January–May 2011 at Igirmranak village, Wonosobo district, Central Java, Indonesia.

The study shows that the total potato production on land without conservation techniques was 37% higher compared to the one with conservation techniques. This result is based on the measurement of the potato farming erosion rate that the conservation techniques could control erosion and run-off at higher rates (18.38% and 33.90% respectively) compared to potato farming without conservation techniques. Farmers who adopted conservation techniques experience less profit per season (IDR 5,905,021) than those who do not apply such technique. In contrast, the potato production per stem in conservation farming was 26% higher compared to production on land without conservation techniques. The study also showed that the value of WTA among farmers was IDR 5,000,000. Some factors that influenced them to make decisions were 1) bid amount and 2) perception of profitability of potato. Overall, this study concluded that the RES concept in Dieng could be implemented by setting enabling conditions for environmentally friendly agriculture system that could provide long-term benefits to farmers. Government involvement and support would be needed to provide livelihoods’ alternatives that can fill the gap between opportunity costs and WTA.

Keywords: Land conservation, erosion and run off, willingness to accept, opportunity cost


(4)

RACHMAN PASHA. Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo). Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan SUYANTO.

Degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pertanian intensif kentang di hulu Dataran Tinggi Dieng telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Para petani yang menanam kentang dan berbagai sayur-sayuran secara intensif, pada umumnya tidak menerapkan praktek konservasi yang baik dan benar di lahan pertanian mereka. Kondisi ini diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya erosi dan sedimentasi yang sangat tinggi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu. Masalah serius lainnya di DAS ini adalah mengeringnya beberapa danau pada musim kemarau dan serta seringnya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada saat musim hujan tiba. Berbagai permasalahan lingkungan yang dikombinasikan dengan perilaku petani dalam mengelola lahan pertanian kentang memerlukan perhatian lebih lanjut untuk dapat mencari berbagai solusi untuk menghadapi masalah tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk melakukan beberapa analisa fundamental mengenai analisis usaha tani berdasakan penerapan teknik konservasi yang berbeda, menilai besaran insentif yang dinginkan petani untuk menerima dan melakukan praktik konservasi (Willingness to Accept/WTA) serta melihat potensi penerapan skema jasa lingkungan di Dieng. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) untuk mengevaluasi praktek-praktek konservasi usahatani kentang dengan membandingkan laju erosi dan produktivitas pertanian bawah tanah yang berbeda dan teknik konservasi air, (ii) untuk menentukan nilai WTA petani kentang agar bersedia melakukan praktek pertanian ramah lingkungan bagi upaya pengurangan sedimentasi. Penelitian yang melibatkan 100 responden ini dilakukan pada Januari-Mei 2011 di Igirmranak desa, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total produksi kentang pada lahan tanpa teknik konservasi adalah 37% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan dengan teknik konservasi. Hasil pengukuran laju erosi dan limpasan permukaan pada lahan


(5)

masing-masing) dibandingkan dengan lahan pertanian kentang tanpa teknik konservasi. Petani yang mengadopsi teknik konservasi akan mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit per musim (Rp 5.905.021) dibandingkan dengan para petani yang tidak menerapkan teknik tersebut. Sebaliknya, produksi kentang per batang dalam pertanian konservasi 26% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada lahan tanpa teknik konservasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai WTA di kalangan petani adalah Rp 5.000.000. Beberapa faktor yang mempengaruhi mereka untuk membuat keputusan adalah 1) Jumlah tawaran dan 2) Persepsi profitabilitas kentang.

Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep RES di Dieng dapat diterapkan dengan menetapkan kondisi yang memungkinkan untuk sistem pertanian ramah lingkungan yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi para petani. Keterlibatan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk dapat menyediakan alternatif mata pencaharian yang dapat mengisi kesenjangan antara opportunity costs and WTA.

Kata Kunci: Konservasi lahan, Erosi dan limpasan permukaan, Wilingness to Accept, Opportunity Cost


(6)

@ Hak Cipta milik IPB tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB


(7)

Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah

Rachman Pasha P052080111

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(8)

(9)

(10)

Karya Ilmiah ini kupersembahkan kepada Istri dan anakku tersayang

(Silvia Pasha dan Tiara Pasha),

Alm .Mama Yetti, Papa Wahab, Abang, Adik-adikku

Serta seluruh keluarga besar dan semua orang

yang tanpa henti memberikan dukungan.

Terima Kasih yang tulus untuk semuanya


(11)

Alhamdullilah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo)”. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat utama penyelesaian studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (PS-PSL IPB). Kesuksesan hingga tahap akhir dari perjuangan selama masa studi di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Suyanto M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.Trop dan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Penguji Perwakilan Program Studi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi PSL, para staf dosen dan staf sekretariat PSL atas segala bantuan, sumbangsih IPTEK dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama studi.

4. Dr. Beria Leimona selaku RUPES Project Coordinator atas bantuan berupa dorongan bimbingan serta dana penelitian yang bersumber dari IFAD (International Fund for Agriculture Development).

5. Teman-teman peneliti di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang (Iraz Tumita Sari, Kurniawan Sigit, Iva Dewi Lestariningsih, Dr. Widianto dan Prof. Kurniatun Hairiah) yang telah turut membantu mendisain penelitian ini.


(12)

atas masukan, diskusi dan fasilitasi selama penelitian dilakukan serta para enumerator (Agung, Munadhom, dkk) yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

7. Kepada teman-teman PSL IPB angkatan 2008 atas segala kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama proses studi di IPB.

8. Rekan – rekan kerja di World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia Regional Office atas segala semangat., dukungan dan kebersaman yang telah diberikan.

9. Seluruh teman-teman, sanak saudara dan handai taulan telah memberikan kontribusi lewat berbagai cara selama proses penelitian dan penyelesaian studi di IPB. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan berkat- Nya bagi kita semua. Amin

Penulis mengucapkan maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini karena keterbatasan yang dimiliki. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Juni 2012


(13)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 April 1982 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Hizran Wahab dan Alm. Ibu Yetti Rosmiati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Bhayangkari II Padang pada tahun 1994 kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri 172 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis menempuh sekolah menengah atas pada SMU Negeri 7 Padang dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sarjana ditempuh di tahun yang sama pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan (JKSH), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dari tahun 2000 – 2005. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Master di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS-PSL) di universitas yang sama pada tahun 2008 - 2012. Saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti bidang Jasa Lingkungan di World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia Regional Office, suatu lembaga riset internasional yang bergerak dibidang Pertanian, Kehutanan dan Agroforestry.


(14)

ŀ

!

" # $ %"#$& '

( "#$ )

! " # $

* + , "#$

+ - + $ '

* . * /

0

1 " ! " 2

!


(15)

" )

3 )

3 /

"#

# - )

4 "

$ 4 5 3

5 3

6 " % &

6 . #&

# 7 87 9 6

. #& " 3 5

' 4: (; )

) * , " " '

$

'

$ '


(16)

* + , ! " #

* ! * . *

* 8 3 "5 %<& *

. * # " // 8 //

* 3 0

* 0 3 3 0 '

* 3 3 $ + 3 0

'

* ' 3 3 3 3 3 0 /

* ) 1 " " 0 . + *

3 0

* / 3 1 " 3 * . *

* * 3 3 )

* 3 3

* 6 3

* " % & 3 4 3

* % & 3 4 % = &

3 % = '

* 3 # $ $ 3


(17)

* 5 8 3 5 3

* ' " % & 5 3

* ) * " 1 . # 5 3

* / * " ; * + . #

5 3

* 6 ! 3 * 3 +

* + , 3


(18)

> *

> * #3 * . *

> * " * 3 * . *

> * ( 1 " 3 +

> * 3 0

> * 0 3 3 0 )

> * 3 3 3 3 3 0

> * ' $ 4 ?( @ A

> * ) % & : " 3 $ %*&

#- 3 3 $

> * / 4

> * " "

4

> * $ * 3

-> * $ * 3 3 3

> * $ * 3 ,

> * $ * 3 5 3

> * 3

> * % & 3 %*& 7 8! + * *

%0& * 1 *

> * ' # 3

> * ) % & " 6 ! %*& 3 3

%0& # '

> * / % & 3 %*& # 3 /


(19)

> * > ! * 3 3

> * > ! " % & 5 3


(20)

# - )

$ 4 B B 3

. #

)

- /

# 5 3 $ # # /

* # ( 3

% 3 4 3

/

& 3 4 3


(21)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit listrik, irigasi sawah, sumber air minum, pemandian dan sebagainya. Salah satu fungsi DAS yang utama adalah sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir (Farida dan Noordwijk, 2004). Ketersediaan air sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan di hulu DAS karena daerah ini merupakan pintu utama dalam menjaga ketersediaan suplai air.

Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru (Farida dan Noordwijk, 2004). Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas & kuantitas air sungai. Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak, baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal (Verbist dan Pasya, 2004).

Kondisi di atas juga terjadi di DAS Serayu, tepatnya pada dataran tinggi Dieng. Masyarakat secara intensif mengusahakan lahan miliknya untuk budidaya tanaman semusim, terutama kentang. Usaha budidaya tanaman kentang yang selama ini dilakukan masyarakat cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi


(22)

tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta, ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-Rp 48 juta per hektar untuk sekali musim tanam (TKPD 2008). Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500/kg sehingga menyebabkan daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD (2008), pada tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng 5.724 hektar, tahun 2006 menjadi 6.902 hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi 8.075 hektar.

Tim Kerja Pemulihan Dieng – TKPD (2008) mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan sebagai berikut:

• Di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, terhitung tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut.

• Pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Sungai Serayu, sejak tahun 1989. Pendangkalan di waduk ini telah mencapai 60,106 m3 atau 40% dari kapasitas


(23)

waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 (7,106 m3) pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng.

• Empat danau besar yang ada pada kawasan Dieng, saat ini sudah mengering. Kini, di dataran tersebut hanya tinggal satu danau yaitu Telaga Warna yang masih berair, namun saat ini airnya sudah tidak lagi menampilkan warna yang mempesona seperti kondisi 15-20 tahun silam

• Penurunan produktifitas lahan dan banjir di daerah hilir Serayu dan anak-anak sungainya

• Penurunan kualitas dan kuantitas air menyebabkan mulainya kesulitan pemenuhan kebutuhan air bagi lahan pertanian dan konsumsi rumah tangga

Kondisi demikian telah mendorong berbagai pihak untuk peduli terhadap pemulihan kawasan Dieng. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo, telah memasukkan program rehabilitasi kawasan Dieng dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah 2010-2015. Hanya saja tampaknya pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng yang berkelanjutan belum efektif dan menghasilkan capaian-capaian sesuai harapan.

Imbal Jasa Lingkungan-Payment for Environmental Services (PES) merupakan salah satu pendekatan dengan tujuan untuk mencari solusi dari permasalahan hulu-hilir yang banyak diterapkan di berbagai negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang (Wunder et al. 2008). Pendekatan ini sudah mulai diterapkan di wilayah Amerika Latin, tetapi masih tergolong suatu hal yang baru di Asia, terutama di Indonesia (Leimona, 2007). Salah satu pendekatan inovatif dalam pengelolaan DAS adalah melalui skema pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) dan imbal jasa lingkungan (rewards for environmental services) (Van Noordwijk, 2005; Van Noordwijk and Leimona, 2010). Dalam skema imbal jasa lingkungan, petani terutama yang tinggal di hulu suatu DAS, dipandang sebagai pengambil keputusan penggunaan lahan dan berkontribusi sebagai penyedia jasa lingkungan (environmental service providers). Di lain pihak, masyarakat luas yang menggunakan air dipandang sebagai pemanfaat jasa lingkungan (environmental service beneficiaries) (Leimona et all, 2009).


(24)

Kombinasi penerapan teknik pertanian yang bersifat ramah lingkungan dan penyediaan insentif melalui skema jasa lingkungan bagi para petani yang bersedia mengadopsi teknik tersebut, diharapkan menjadi salah satu solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik masyarakat maupun lingkungan. Tidak hanya memiliki manfaat dari sisi ekologi, akan tetapi juga manfaat dari sisi ekonomi dan sosial.

B. Rumusan Masalah

Tingkat pemanfaatan yang tidak diikuti dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan menyebabkan terlampauinya daya dukung kawasan Dieng. Karakteristik hak kepemilikan pribadi (private property rights) yang otonom dalam pengambilan keputusan menyebabkan pemilik lahan memiliki kebebasan dalam memanfaatkan lahannya yang terkadang tanpa memperhitungkan eksternalitas yang dihasilkan oleh pola pengelolaan lahan yang diterapkan. Keputusan-keputusan yang dibuat umumnya didasarkan pada rasionalitas jangka pendek dan untuk kemanfaatan individu, sementara kemanfaatan jangka panjang dan perlindungan lingkungan untuk kemanfaatan sosial jarang dijadikan acuan. Akibatnya dampak-dampak negatif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang eksploitatif seperti banjir, tanah longsor, sulitnya memperoleh air dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan rusaknya kawasan wisata menjadi beban bagi orang lain.

Kondisi demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena akan menimbulkan masalah ekonomi di kemudian hari. Tidak saja bagi masyarakat umum dan pemerintah melainkan bagi petani kentang itu sendiri. Bagi petani pelaku aktif budidaya kentang misalnya, semakin lama biaya produksi usaha taninya semakin besar, sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh akan semakin menipis. Akibat jangka panjangnya akan menurunkan kemampuan investasi petani dalam pengelolaan asset lahannya, sehingga pada suatu saat lahan yang mereka miliki tidak dapat lagi ditanami kentang atau tidak mampu lagi menghasilkan manfaat. Bagi pemerintah, kerusakan lingkungan yang parah akan menurunkan kesempatan penggunaan anggaran bagi pembangunan kesejahteraan


(25)

sosial karena dana yang ada dan terbatas habis untuk membiayai pencegahan dan penanganan bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor.

Namun demikian, kebijakan pemulihan kawasan Dieng tidak lantas diarahkan untuk menghentikan kegiatan budidaya kentang di kawasan Dieng. Kebijakan demikian mungkin akan menyelesaikan masalah rusaknya kawasan Dieng, tetapi tidak menjamin bahwa kerusakan serupa tidak terjadi di tempat lain seperti Garut, Lembang dan tempat-tempat lain yang memiliki kondisi agroklimat yang sesuai bagi budidaya kentang. Oleh karenanya kebijakan pemulihan kawasan Dieng seharusnya ditujukan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan Dieng tanpa mengabaikan kepentingan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat.

Untuk itu pertimbangan-pertimbangan yang holistik diperlukan dalam pembuatan kebijakan pemulihan kawasan Dieng yang kompleksitas permasalahannya sangat tinggi dengan penyebab yang beragam mulai dari penyebab yang terkait dengan ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat dan pemerintah, hingga kualitas sumberdaya manusia dan ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam banyak kasus penyebab-penyebab tersebut terkait satu sama lain. Valuasi ekonomi sumberdaya lahan untuk kawasan Dieng dapat dijadikan input untuk intervensi kebijakan penyelesaian masalah yang terkait dengan ekonomi usaha tani yang berkelanjutan. Oleh karenanya valuasi ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng perlu dilakukan.

Namun demikian, disadari bahwa untuk melakukan penilaian ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan bukanlah pekerjaan yang ringan. Untuk mendapatkan kualitas dan validitas yang memadai diperlukan kajian yang mendalam dan membutuhkan korbanan dana dan waktu yang tidak sedikit. Mengingat kemampuan yang ada pada saat ini belum dapat memenuhi keinginan melakukan valuasi ekonomi sesuai standar keilmuan baku, maka dalam kesempatan ini kajian akan dibatasi pada pengungkapan gambaran awal issue dan permasalahan kerusakan sumberdaya lahan di kawasan Dieng sebagai sarana untuk menuju valuasi ekonomi manfaat ekologis dan


(26)

kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng yang sesuai dengan standar ilmiah, berkualitas dan valid.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghitung besaran nilai eksternalitas yang perlu internalisasi oleh petani kentang sebagai dasar dan acuan untuk merancang skema PES yang cocok, adil dan berkelanjutan bagi proses perbaikan kawasan Dieng. Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Membandingkan tingkat kesuburan tanah pada pertanian kentang yang diukur dari tingkat erosi dan limpasan permukaan yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan.

2. Menghitung besaran nilai ekonomi pertanian kentang yang dihasilkan yang diukur dari tingkat produksi dan keuntungan panen yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan.

3. Menghitung besarnya nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan Opportunity Cost dan Willingness to Accept (WTA) serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya.

D. Hipotesis

1. Tingkat erosi dan limpasan permukaan pada plot yang menerapkan teknik konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi

2. Hasil panen kentang pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi akan tetapi produktifitas kentang per tanaman pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih tinggi dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi

3. Nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan WTA lebih rendah dari nilai opportunity cost


(27)

E. Kerangka Pemikiran Penelitian

Secara skematis, kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan berupa acuan kepada pihak pemerintah daerah Wonosobo untuk penyusunan Skema Imbal Jasa Lingkungan bagi pengelolaan DAS Serayu dimasa yang akan datang guna memotivasi masyarakat selaku pengelola jasa lingkungan di dalam menjaga dan memelihara kualitas DAS Serayu. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan kawasan Dieng, terutama bagi pemerintah dan masyarakat di dalam membuat kebijakan dan menentukan pola pengelolaan lahan pertanian kentang yang bernilai ekonomis dan ramah lingkungan.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk, sungai, atau danau serta maraknya kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir dan kekeringan, dapat dipandang sebagai indikator tidak optimalnya pengelolaan sumberdaya (alam dan manusia) dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Intervensi dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis.

Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan pada era Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Saat ini diketahui bahwa jumlah DAS kritis yang ada di Indonesia mencapai 458 DAS dimana 60 DAS diantaranya termasuk kedalam prioritas I, 222 DAS termasuk ke dalam prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong ke dalam prioritas III untuk upaya penanggulangannya/ rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 hektar dan 23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori, 2008).

Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994 dengan luas lahan kritis mencapai 12.517.632 ha dan pada tahun 2000 DAS kritis berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai 23.714.000 ha (Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari 470 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan.

Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya persoalan pengelolaan sumber daya alam serta dampak pengelolaan yang buruk. Selain itu pendekatan pengelolaan DAS yang lebih menonjolkan aspek erosi sedimentasi ternyata menjadi bumerang bagi pengelolaan DAS. DAS tidak hanya menghasilkan satu fungsi yang selama ini lebih ditonjolkan tetapi banyak fungsi DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, pendaur ulang sampah, penyedia air, mitigasi kekeringan, mitigasi banjir, keanekaragaman hayati,


(29)

penyedia energi dan sebagainya. Selama ini multifungsi tersebut seakan tenggelam dan ditenggelamkan oleh erosi sedimentasi yang sejak lama dikampanyekan pemerintah dalam pengelolaan DAS. Paper ini menguraikan imbal jasa multifungsi DAS untuk mendukung pengelolaan DAS dan implementasi serta kendala yang mungkin terjadi.

2.2. Cakupan Pengelolaan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pembangunan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).

(DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat bahwa hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan untuk bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, di mana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu. Sementara itu, hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Namun


(30)

tidak selalu daerah hilir menerima dampak dari kegiatan di hulu karena dapat terjadi daerah hulu menerima dampak dari aktivitas ekonomi di daerah hilir. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya di dalam DAS perlu dilakukan secara terpadu (integrated resource management) untuk dapat mengakomodir semua kepentingan.

Kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pertama kali di Indonesia dilakukan pada tahun 1970-an. Pada saat itu, pengelolaan DAS merupakan respon terhadap banjir besar yang terjadi di kota Solo pada tahun 1966 (BTP DAS Surakarta, 2001). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).

Pengelolaan DAS terpadu menurut Easter et al. (1986) adalah proses formulasi dan implementasi suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut sumberdaya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan faktor-faktor institusi yang ada di DAS tersebut dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS ditujukan pada kesejahteraan manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan DAS yang hanya bertumpu pada salah satu aspek tanpa memperhatikan aspek yang lain akan mengalami kegagalan. Hal ini terbukti bahwa pengelolaan DAS pada masa lalu yang lebih menonjolkan pada monofungsi DAS yang disederhanakan sebagai pengendali erosi dan sedimentasi ternyata telah gagal dengan ditunjukkannya banyaknya bencana dan kemiskinan. Padahal DAS memiliki banyak fungsi baik tangible maupun intagible seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan udara, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya. Hilang atau dihilangkannya multifungsi DAS tersebut telah membuat DAS hanya sebatas wacana dan penarik dana keproyekan. Strategi pengelolaan DAS yang memfokuskan pada pengendalian erosi sedimentasi ternyata tidak fokus dan gagal mengkampanyekan bahwa DAS merupakan pendukung kehidupan. Untuk itu, pendekatan perlu diubah menjadi multifungsi DAS dan peran DAS yang dominan


(31)

dalam kehidupan manusia. Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir yang saling terkait (Asdak, 1995). Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir. Sebagai salah satu sumberdaya alam, maka sumberdaya yang ada pada suatu wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Lahan di kawasan DAS dipergunakan untuk pembangunan pertanian baik yang berada di kawasan hulu maupun hilir. Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti huma, tegalan, dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Tabel 1. Perbandingan Antara Daerah Hulu dengan Hilir (Cahyono dan Purwanto, 2006)

HILIR HULU

Faktor – Faktor Biofisik

 Datar

 Tidak rentan terhadap erosi

 Relatif banyak sedimentasi

 Seragam

 Sedikit hutan yang tertinggal

 Lapisan olahnya tebal dan subur

 Umumnya lahan teririgasi

 Sistem usahatani sejenis, padi

 Pertanian intensif

 Berlereng miring

 Rentan terhadap erosi

 Relatif sedikit sedimentasi

 Beragam

 Masih cukup banyak sisa hutan

 Lapisan olahnya dangkal, kritis

 Umumnya lahan kering

 Sistem usahatani beragam

 Pertanian ekstensif

Faktor-Faktor Sosial Ekonomi

 Keragaman etnis/suku yang kecil

 Budaya mayoritas

 Mudah dicapai

 Infrastruktur yang baik

 Pendidikan lebih tinggi

 Pekerja buruh

 Kemampuan ekonomi lebih baik

 Kredit lebih mudah diberikan

 Berorientasi pasar

 Pusat aktivitas, pengambilan keputusan

 Hak kepemilikan tanah jelas

 Kepemilikan tanah perseorangan

 Keragaman etnis/suku besar

 Kelompok etnis minoritas

 Terpencil

 Infrastruktur yang buruk

 Pendidikan lebih rendah

 Pekerja keluarga

 Kemampuan ekonomi rendah, miskin

 Kredit sukar diberikan

 Berorientasi subsisten

 Bukan pusat aktivitas

 Hak kepemilikan tanah rumit


(32)

Pendekatan Penyuluhan

 Teknologi yang kompleks

 Paket teknologi

 Paket diberikan

 Fokus pada sistem pertanian

 Pelayanan penyuluhan baik

 Teknologi yang sederhana

 Pilihan teknologi

 Proses difasilitasi

 Relevan dengan tata guna lahan

 Pelayanan penyuluhan kurang baik

Teknologi Yang Menentukan

 Penyediaan air/irigasi

 Jenis tanaman unggulan

 Pengendalian hama penyakit, pemupukan berimbang

 Konservasi tanah dan air

 Konservasi unsur hara

 Pola tanam intercropping dengan tanaman tahunan

Adanya keterkaitan antara daerah hulu dan hilir sebagai suatu ekosistem DAS membuat pengelolaan DAS harus terintegrasi dan holistik. Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip

―satu daerah aliran sungai, satu rencana, satu pengelolaan. Pengembangan hilir

tanpa memperhatikan wilayah hulu akan mengakibatkan rendahnya kesejahteraan di hulu. Namun, hal itu akan mengancam kesinambungan pembangunan wilayah di daerah hilir. Bila dicermati, pengembangan di daerah hulu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan daerah hilir, baik dari segi perhatian, program, dana, dan sebagainya. Hal ini wajar karena secara nilai ekonomis wilayah hilir yang bernilai ekonomis tinggi akan lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan dengan wilayah hulu. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah hulu dengan hilir. Daerah hilir umumnya menjadi pusat-pusat aktivitas manusia dan daerah hulu merupakan pemasok bahan baku dan sumberdaya bagi daerah hilir. Bila ini tidak diantisipasi akan menimbulkan konflik kepentingan antara daerah hulu dengan hilir. Konflik yang sering terjadi berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemberian kompensasi bagi daerah hulu dari hilir yang selama ini cenderung menikmati apa yang dihasilkan oleh wilayah hulu.

Pengembangan budidaya tanaman pangan di wilayah hulu yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air biasanya menimbulkan degradasi lingkungan yang dicerminkan dengan tingginya laju erosi, sedimentasi, dan kehilangan unsur hara mineral. Upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi telah banyak dilakukan. Namun, tingkat partisipasi masyarakat rendah dan


(33)

kompleksitas kondisi sosial ekonomi dan fisik di daerah hulu membuat upaya tersebut kurang signifikan.

2.3. Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai selama ini lebih sering dipahami dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan erosi dan sedimentasi. Hal ini wajar karena kampanye pengelolaan DAS pada periode yang lalu lebih menonjolkan pada peran yang dapat dimainkan DAS dalam rangka mengeliminir dampak yang merugikan dari erosi sedimentasi. Konsep DAS terlihat tengelam dan kehilangan arus utamanya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun secara kewilayahan. Hal tersebut kasat mata terlihat bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya lebih berpegang pada batas administratif dibandingkan dengan batas alami DAS.

Daerah aliran sungai perlu dilihat dalam dimensi yang lebih luas, yaitu tidak terbatas hanya sebagai pengendali erosi sedimentasi dan sedikit produksi. DAS dapat menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan juga sekaligus sebagai penghasil jasa yang tidak bisa dipasarkan. Berbagai fungsi itu antara lain penyedia produk (pangan, sandang, dan papan), keindahan lansekap, mitigasi banjir, mitigasi, kekeringan, mitigasi longsor, mengurangi erosi, mitigasi gas rumah kaca, tempat rekreasi, penyejuk udara, mempertahankan keanekaragaman hayati, pendaur ulang limbah organik, menjaga ketahanan pangan, penyangga ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan sebagainya.

Daerah aliran sungai terdiri dari penggunaan lahan dan setiap penggunaan lahan memiliki beragam fungsi. Misal, sawah memiliki banyak fungsi yang penting bagi kehidupan. Berbagai studi menunjukkan bahwa sawah selain sebagai penyedia pangan juga mempunyai jasa terhadap lingkungan baik lingkungan biofisik, kimia maupun sosial ekonomi (Agus et al, 2003; Pawitan, 2004; dan Wahyunto et al, 2004).

2.4 Tanaman Kentang

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas


(34)

Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. (Beukema, 1977).

Tanaman kentang berasal dari Amerika Selatan (Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina) serta beberapa daerah Amerika Tengah. Di Eropa daratan tanaman itu diperkirakan pertama kali diintroduksi dari Peru dan Colombia melalui Spanyol pada tahun 1570 dan di Inggris pada tahun 1590 (Hawkes, 1990). Penyebaran kentang ke Asia (India, Cina, dan Jepang), sebagian ke Afrika, dan kepulauan Hindia Barat dilakukan oleh orang-orang Inggris pada akhir abad ke-17 dan di daerah-daerah tersebut kentang ditanam secara luas pada pertengahan abad ke-18 (Hawkes, 1992).

Menurut Permadi (1989), saat masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua (Kabupaten Bandung) dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusat di Pangalengan, Lembang, dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu (Jawa Tengah), serta Batu dan Tengger (Jawa Timur).

Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan subtropika (Ewing dan Keller, 1982), dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai 3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir. Tanaman kentang toleran terhadap pH pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5 sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, pH yang baik adalah 5,0 sampai 6,5. Menurut Asandhi dan Gunadi (1989), tanaman kentang yang ditanam pada pH kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam kentang yang menimbulkan masalah penyakit kudis, pH tanah diturunkan menjadi 5,0 sampai 5,2. Pertumbuhan tanaman kentang sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Tanaman kentang tumbuh baik pada lingkungan dengan suhu rendah, yaitu 15 sampai 20


(35)

oC, cukup sinar matahari, dan kelembaban udara 80 sampai 90 % (Sunarjono, 1975).

Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap bulan rata-rata 200 sampai 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan umbi dan pembentukan stolon. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke, 1989). Hal itu didukung oleh Gandar dan Tanner (1976) yang menyatakan bahwa perpanjangan dan bentangan daun menurun jika potensial air daun menurun. Hasil umbi kentang akan terganggu jika kelembaban terlalu tinggi.

2.5. Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Nilai finansial jasa multifungsi DAS dapat dipahami dan dimanfaatkan untuk mendorong pengelolaan DAS yang lebih bijak dan menghambat praktek pengelolaan DAS yang merusak. Sistem pasar dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan multifungsi DAS dan menganggap jasa yang dihasilkan sebagai eksternalitas telah menyebabkan semakin rendahnya insentif pengelolaan DAS. Nilai atau manfaat multifungsi DAS memiliki ciri seperti public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar. Keadaan ini membuat pengambil manfaat dari multifungsi tersebut kurang menyadari dan tidak memberikan perhatian yang sepatutnya pada penjaga dan pengelola penyedia jasa multifungsi tersebut.

Tabel 2. Potensi Keuntungan dan Kerugian dalam Penerapan Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (Cahyono dan Purwanto, 2006)

Potensi Keuntungan Potensi Kerugian

- Meningkatkan dan menjaga kualitas air - Pengalokasian suplai air lebih efisien - Pengadaan kembali aliran air alami - Mengurangi biaya sekunder yang muncul

karena penyaringan endapan/sedimen

- Kompleksitas permasalahan manajemen DAS menyebabkan kesulitan (atau bahkan tidak mungkin) dalam memperoleh informasi lengkap mengenai sebab


(36)

- Mengurangi biaya kesehatan tambahan - Memberikan layanan yang diperlukan pengguna atau industri dengan lebih efisien dan murah dibandingkan dengan pendekatan kebijakan atau pengawasan

- Berpotensi sebagai sumber pendapatan dalam jangka waktu yang lama untuk melindungi kawasan termasuk ekosistem kritis.

- Mendorong makin diakuinya nilai ekonomis dan ekologis DAS

- Keuntungan sekaligus biaya jasa DAS dapat tersebar dengan lebih merata

- Mengurangi jurang perbedaan urban-rural dan meningkatkan pemerataan

- Memberikan kesempatan untuk pengembangan mekanisme pengaturan yang partisipatif dan kooperatif yang berdampak positif yang bersifat sosial lebih luas

- Memperbaiki regulasi atau struktur hukum perlindungan air dan DAS Komunikasi yang lebih baik di antara para pemangku kepentingan - Penyedia jasa lingkungan memperoleh

kompensasi. Ini berarti meningkatkan

pendapatan masyarakat miskin pedesaan – jika hak mereka diakui dan kepastian kepemilikan lahan meningkat

- Peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan melalui pengembangan keterampilan dalam praktik pemanfaatan lahan, manajemen, dan kesempatan baru yang muncul

- Peningkatan representasi politik masyarakat miskin

- Peningkatan pemahaman secara ilmiah - Perlindungan warisan budaya/leluhur -

Peningkatan kesempatan rekreasi - Peningkatan penyediaan jasa DAS - Potensi pasar yang sangat besar untuk jasa

hidrologi

akibat dan pengukuran dampak

- Pengembangan pasar dan

kelembagaan merupakan proses yang lambat, berulang serta memerlukan waktu

- Tingginya biaya transaksi yang dikaitkan dengan pengembangan pasar yang mungkin berupa: (a) perencanaan dan negosiasi, (b) pemantauan dan penerapan

- Kesepakatan dan kerjasama diantara pemangku kepentingan multipihak (multiple stakeholder agreements and collaboration) untuk mengatasi masalah free-riding

- Pengumpulan informasi ilmiah dan informasi lainnya untuk mendukung pembuatan keputusan

- Penjelasan kepada para pemangku kepentingan dan membuat mereka mnyadari kemungkinan

ketidakpastian yang muncul sehingga harapan yang tidak realistik dapat dihindarkan

- Kejelasan hak atas lahan

- Memperkuat kerangka hukum dan perundangan

- Pengembangan lembaga perantara

- Pemecahan permasalahan akses pasar dapat berupa (a) rendahnya

pendidikan, (b) isolasi geografis, (c) kurangnya hak atas lahan, (d) kekuatan tawar yang tidak merata

- Biaya penerapan langkah perlindungan

- Ketidakadilan mungkin akan timbul

– ketidakadilan yang ada semakin tajam jika tidak ditangani secara


(37)

intensif

- Hilangnya biaya peluang terhadap pemanfaatan lahan tertentu. Daya beli pemakai air mungkin rendah

- Potensi kehilangan hak guna informasi akibat meningkatnya kompetisi dan pemberlakuan berbagai pembatasan

- Peliknya prosedur valuasi ekonomi jasa lingkungan

Tidak seperti insentif finanisal yang tergantung pada subsidi pemerintah, imbal jasa ini mensyaratkan pemanfaat jasa multifungsi DAS membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa tersebut. Selain itu harus disepakati jasa apa saja yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa multifungsi DAS tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa. Namun, banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS dapat menyebabkan situasi yang kompleks, rumit dan membutuhkan biaya transaksi yang tinggi.

Menurut Cahyono dan Purwanto (2006), mekanisme imbal jasa multifungsi DAS dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk yaitu:

a. Kesepakatan yang diatur sendiri

Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.

b. Skema pembayaran publik

Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis


(38)

iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya.

c. Skema pasar terbuka

Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari multifungi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.

Selain mekanisme yang dipergunakan dalam imbal jasa multifungsi DAS, tipe imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan akan menentukan implementasi lapangan. Gouyon (2004) membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam 3 kategori yaitu:

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik

2.6. Bahaya Usaha Tani yang Serampangan

Apa yang terkandung dalam tanah merupakan unsur hara atau makanan yang sangat diperlukan tanaman. Kemampuan tanah dalam memenuhi kebutuhan tanaman disebut dengan produktifitas tanah. Produktifitas tanah semakin lama akan semakin menurun akibat Usaha tani yang tidak benar, pengikisan lapisan tanah atas yang dibiarkan, pencemaran lingkungan, dan bencana alam.

Usaha tani yang kita lakukan secara terus menerus dengan mengangkut hasil panenan keluar tanpa dilakukan upaya pengembalian kembali sisa bahan


(39)

tersebut dan bahan organik lainnya, akan menguras kesuburan tanah. Unsur hara atau makanan yang ada di tanah akan diambil tanaman untuk pertumbuhan batang, daun dan buah. Unsur hara yang diambil itu adalah unsur hara Makro (unsur yang diambil tanaman dalam jumlah besar) yaitu, N (nitrogen), P (fosfor), K (kalium), Ca (Calsium), Mg (magnesium), dan S (sulfur) dan juga unsur mikro (unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit) yaitu Fe (besi), Mn (mangan), Bo (boron), Mo (molibdenum), Cu (tembaga), Zn (seng), Cl (klor)dan Co (kobalt). Oleh karena itu setiap panenan banyak sekali unsur hara yang terangkut dari dalam tanah tanpa dikembalikan lagi ke dalam tanah.

Pada lahan-lahan miring, kehilangan lapisan tanah atas akan terjadi bersamaan dengan mengalirnya air ke bawah. Lapisan atas yang mengandung unsur hara akan segera habis dengan besarnya pengaliran air di atasnya. Hilangnya lapisan atas akan menyisakan lapisan tanah dalam atau yang sering disebut tanah tulang. Tanpa usaha pencegahan tanah tidak akan mampu lagi mendukung pertumbuhan tanaman secara maksimal. Penggunaan bahan-bahan kimia dan racun secara berlebihan akan mengganggu kondisi lingkungan kita. Racun akan terserap ke dalam tanah dan akan membunuh makhluk hidup lain di dalam tanah, sehingga tanah menjadi mati dan tidak mampu berproduksi dengan semestinya.

Bencana alam baik yang terjadi secara alamiah seperti banjir, dan tanah longsor akibat ulah manusia seperti penggundulan hutan akan mempengaruhi produktifitas tanah. Oleh karenanya usaha yang akan kita lakukan harus selalu diiringi dengan upaya pemeliharaa nnya agar usaha yang sedang kita kembangkan dapat mencapai tujuan dan langgeng. Keberhasilan dalam berusaha tani tidak hanya diukur dengan berapa banyak keuntungan yang kita dapatkan saat ini, tetapi juga sampai berapa lama keuntungan itu dapat kita peroleh.


(40)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi umum dari lokasi penelitian yaitu dimulai dari kondisi umum Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar, Dataran Tinggi Dieng hingga profil desa penelitian yaitu Desa Igirmranak. Data dan informasi yang dipaparkan dalam bab ini bersumber pada dokumen Wonosobo Dalam Angka tahun 2009 dan Wonosobo Dalam Angka tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wonosobo serta beberapa informasi yang didapat melalui wawancara dengan beberapa stakeholders kunci.

3.1. Kabupaten Wonosobo a. Letak dan Luas

Wonosobo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten di Jawa Tengah yang

terletak pada 7˚ 04’13‖ - 7˚ 04’.40‖ LS, dan 109˚ 43’19‖ dan 110˚ 04’ 40‖ BT dengan luas wilayah mencapai 98.468 hektar. Secara administratif Kabupaten Wonosobo terbagi menjadi 15 Kecamatan, yaitu Kecamatan Wonosobo, Kertek, Selomerto, Leksono, Garung, Kejajar, Mojotengah, Watumalang, Sapuran, Kepil, Kalikajar, Kalibawang, Kaliwiro, Wadaslintang dan Kecamatan Sukoharjo. Kabupaten ini berbatasan dengan:

• Kabupaten Banjarnegara, Kendal dan Batang di sebelah utara.

• Kabupaten Temanggung dan Magelang di sebelah timur.

• Kabupaten Purworejo dan Kebumen di sebelah selatan.

• Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen di sebelah Barat.

Secara lebih jelas, peta administrasi Kabupaten Wonosobo disajikan pada Gambar 2 berikut.


(41)

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010

Gambar 2. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo

b. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan

Penggunaan lahan utama di wilayah Kabupaten Wonosobo adalah untuk tegalan/kebun, yang mana luas lahan untuk tanah kering/tegalan/kebun adalah 55.140,90 ha atau 55,99% dari total wilayah kabupaten. Penggunaan lainnya meliputi tanah sawah yang mencakup 18.696,68 ha (18,99%), hutan negara 18.909,72 ha (19,20%), perkebunan negara/swasta seluas 2.764,51 ha (2,80%) dan lainnya seluas 2.968,07 ha (3,01%) (Gambar 3).


(42)

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010

Gambar 3. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo

Tanah kering merupakan bagian terluas dari wilayah Wonosobo. Pada wilayah tersebut penguasaan ada pada masyarakat, selain sawah dan penggunaan lainnya. Sementara itu, hutan dikuasai oleh negara (state forest) yang pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani, dan perkebunan oleh swasta. Tidak ditemukan data rinci mengenai penggunaan tanah kering tersebut.

Dapat dikemukakan bahwa kondisi tanah di Kabupaten Wonosobo tergolong subur, karena terletak di sekitar gunung api muda. Wajar jika dimanfaatkan untuk tanaman pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat Wonosobo. Komoditi utama pertanian yang dikembangkan antara lain kentang, tembakau, kopi, pepaya carica, purwaceng, jamur, kol dan wortel. Kebun dan hutan rakyat berkembang sangat pesat, khususnya di wilayah bagian tengah dan selatan (Nugroho, 2009).

c. Kondisi Agro-ekosistem

Wonosobo beriklim tropis dengan suhu rata-rata antara 24˚-30˚C pada

siang hari, dan turun menjadi 20˚C pada malam hari. Pada bulan Juli sampai

Agustus suhu udara terasa lebih dingin, antara 15˚-20˚C pada siang hari, dan

mencapai 12˚C pada malam hari. Hujan turun hampir sepanjang tahun, dengan


(43)

bulan yang paling jarang hujan, dan paling banyak terjadi hujan pada bulan Januari. Rata-rata hari hujan adalah 196 hari dengan curah hujan rata-rata 3.400 mm, tertinggi di Kecamatan Garung (4.802 mm) dan terendah di Kecamatan Watumalang (1.554 mm). Peta curah hujan untuk kawasan Dieng dan sekitarnya disajikan pada Gambar 4 berikut:

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2011

Gambar 4. Peta Curah Hujan Kawasan Dieng dan sekitarnya

Menurut data BPS Kabupaten Wonosobo 2010, jenis tanah di Kabupaten Wonosobo dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

- Andosol (25%), tersebar di Kecamatan Kejajar, sebagian Garung, Mojotengah, Watumalang, Kertek dan Kalikajar,

- Regosol (40%), terdapat di Kecamatan Kertek, Sapuran, Kalikajar, Selomerto, Watumalang dan Garung, dan

- Tanah Podsolik (35%) terdapat di Kecamatan Selomerto, Leksono dan Sapuran.

Bentang alam Wonosobo berupa pegunungan dengan ketinggian berkisar antara 270 meter sampai dengan 2.250 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sulit menemukan daerah datar di Wonosobo. Hanya 54,4 ha luas wilayah masuk dalam


(44)

kategori datar. Sebagian besar wilayah mempunyai tingkat kemiringan lebih dari 30% (Tabel 3). Dan beberapa wilayah kabupaten Wonosobo merupakan daerah yang labil sehingga rawan terjadi tanah longsor.

Tabel 3. Topografi Luas Kemiringan Lahan Kabupaten Wonosobo

URAIAN LUAS (Ha)

Datar ( 3 – 8 % ) 54,4 ha

Bergelombang ( 8 – 15 % ) 24.769,1 ha

Curam ( 15 – 40 % ) 42.173,6 ha

Sangat Curam ( > 40 % ) 31.829,9 ha

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010

Daerah pegunungan Wonosobo di bagian utara menjadi sumber mata air yang mengalir beberapa sungai, yaitu Sungai Serayu, Bogowonto, Kali Putih, Kali Galuh, Kali Semagung, dan Luk Ulo. Sebagian besar sungai ini dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, keperluan rumah tangga, air minum komersial dan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terdapat satu bendungan besar Mrica (Sudirman) di wilayah Kabupaten Banjarnegara yang berasal dari Sungai Serayu yang digunakan untuk irigasi dan PLTA. Aliran sungai lainnya digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Mengacu pada pembagian wilayah pengelolaan sungai, Sub Satuan Wilayah Sungai (SSWS) di Kabupaten Wonosobo adalah sebagai berikut :

 SSWS Serayu Hulu mempunyai luas daerah tangkapan 591,34 km2 dengan panjang sungai 45 km

 SSWS Bogowonto seluas 146,10 km2 dengan panjang sungai 26,70 km  SSWS Medono seluas 196,10 km2 dengan panjang sungai 10,25 km

 SSWS Luk Ulo seluas 51,27 km2 dengan Sungai Luk Ulo dengan panjang sungai 7,50 km.


(45)

d. Kependudukan dan Perekonomian Kependudukan

Hasil Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2009, jumlah penduduk Kabupaten Wonosobo adalah sebanyak 789.848 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 398.933 jiwa dan perempuan 390.915 jiwa dengan rasio jenis kelamin 102,05. Pertambahan penduduk dari tahun 2008 ke 2009 sebesar 5.622 jiwa berasal dari mutasi penduduk lahir sebanyak 9.961 jiwa, meninggal sebanyak 3.733 jiwa, datang 3.983, dan pergi 4.589. Tingkat kelahiran tertinggi sebesar 16,86% terjadi di Kecamatan Kaliwiro dan tingkat kematian tertinggi sebesar 6,97% terjadi di Kecamatan Kepil.

Bila dilihat per kecamatan, jumlah penduduk terbesar adalah di Kecamatan Kertek yaitu sebanyak 77.169 jiwa, disusul Kecamatan Wonosobo sebesar 76.996 jiwa, sedangkan Kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Kalibawang yaitu sebesar 26.029 jiwa. Ditinjau dari pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir (2005-2009), Kecamatan Garung mengalami pertumbuhan penduduk yang paling tinggi sebesar 0,93%, sedangkan pertumbuhan penduduk terendah di Kecamatan Wonosobo sebesar 0,27%.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Wonosobo tahun 2009 sebesar 802 jiwa per Km2. Bila dilihat per kecamatan, angka kepadatan penduduk cukup bervariasi. Angka kepadatan penduduk yang paling tinggi terdapat di kecamatan Wonosobo sebesar 2.378 jiwa per Km2 sedangkan yang paling rendah di Kecamatan Wadaslintang sebesar 433 jiwa per Km2.

Perekonomian

Sektor pertanian memiliki perananan penting dalam perekonomian Kabupaten Wonosobo. Merujuk pada angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2004-2006, Sektor Pertanian menyumbang rata-rata per tahun sebesar 48,95%. Nilai kontribusi bertambah besar jika memasukan sektor industri pengolahan berbasis pertanian ikut diperhitungkan. Kontribusi masing-masing sektor dalam PDRB disajikan pada Tabel 4.


(46)

Tabel 4. Peranan masing-masing sektor dalam PDRB (%) Kabupatren Wonosobo Atas Dasar harga Konstan Tahun 2004 - 2006

No Sektor Produk Domestik Regional Bruto (Tahun)

2004 2005 2006

1 Pertanian 48,93 49,04 49,08

2 Pertambangan dan Penggalian

0,71 0,72 0,72

3 Industri Pengolahan 11,28 11,13 11,08

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,72 0,72 0,72

5 Bangunan 4,04 4,04 4,04

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran

11,60 11,65 11,74

7 Angkutan dan Komunikasi 5,93 5,89 5,86

8 Bank, Persewaan & Jasa Perusahaan

6,14 6,15 6,12

9 Jasa-jasa 10,66 10,66 10,65

PDRB 100 100 100

Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2009

3.2. Kecamatan Kejajar

Kecamatan Kejajar merupakan wilayah Kabupaten Wonosobo yang seluruhnya berada di Kawasan Dieng. Luas wilayah Kecamatan Kejajar adalah 5.762 hektare yang tebagi dalam 15 desa, yaitu: Buntu, Sigedang, Tambi, Kreo, Serang, Igirmanak, Surengede, Tieng, Parikesit, Sembungan, Jojogan, Patak Banteng, Dieng, Sikunang dan Campursari. Desa terbesar adalah Sigedang dengan luasan 1.081,52 hektar dan desa terkecil adalah Igirmanak 109, 86 hektar.

3.2.1 Penggunaan Lahan

Kecamatan Kejajar berada pada ketinggian antara 1.360 – 2.302 meter dari permukaan laut. Kecamatan Kejajar memiliki suhu udara yang sejuk dan cenderung dingin yaitu 14 – 230C. Tanah di kecamatan Kejajar terdiri dari tanah tegalan, hutan dan perkebunan. Luas tanah tegalan mencapai luasan 3.067,31 hektar, hutan negara terdapat pada semua desa dan mencapai luasan 2.307 hektar (Tabel 5).


(47)

Tabel 5 Penggunaan Lahan di Kecamatan Kejajar

No. Lahan Jumlah Prosentase

1 Pekarangan 157,21 2.7% 2 Tegalan 3.066,31 53.2% 3 Kolam 1,67 0.0% 4 Hutan Negara 2.307,20 40.0% 5 Rawa/Telaga 21,00 0.4% 6 Perkebunan 155,85 2.7% 7 Lainnya 52,67 0.9%

Jumlah 5.761,90 100.0%

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Komposisi lahan terbesar berupa tegalan yang dipakai sebagai lahan budidaya tanaman semusim oleh masyarakat, yang mana bentuk pengusahaan lahan ini diduga kuat sebagai merupakan salah satu sumber penyumbang erosi terbesar di DAS Serayu.

3.2.2. Kepemilikan Lahan

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011


(48)

Dari Gambar 5 diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata kepemilikan lahan untuk setiap rumah tangga di Kecamatan Kejajar adalah di bawah 1 Ha. Keterbatasan lahan ini menyebabkan pengolahan lahan di Kejajar menjadi sangat intensif, bahkan menurut beberapa sumber yang diwawancara, kondisi seperti ini yang pada masa lalu akhirnya mendorong masyarakat merambah kawasan hutan untuk menanam tanaman semusim.

3.2.3. Mata Pencaharian

Mata pencaharian sebagian besar penduduk di Kecamatan Kejajar adalah sebagai petani dengan komoditi yang dibudidayakan meliputi kentang, sawi, kacang merah, daun bawang, kobis dan jagung. Secara lebih jelas, sebaran penduduk menurut mata pencahariannya disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7 serta gambar 3.5 berikut:

Tabel 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar

No. Mata pencaharian Jumlah Prosentase

1 Petani 9.539 48% 2 Buruh Tani 5.095 26% 3 Penambang 144 1% 4 Industri 688 3% 5 Bangunan 854 4% 6 Perdagangan 1.305 7% 7 Transportasi 399 2% 8 PNS/Polri 284 1% 9 Pensiunan 71 0% 10 Lainnya 1.492 8%

Jumlah 19.871 100%

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Tabel 7. Luas Panen dan Produksi Tanaman Sayuran di Kecamatan Kejajar

No Tanaman Luas Panen (ha)

Produksi (Ton)

Prosentase Luas

Prosentase Produksi

1 Bawang Putih 8 3,7 0.1% 0.0% 2 Kentang 3.920 74.993,3 40.8% 86.7% 3 Sawi 574 1.485 6.0% 1.7% 4 Kacang Merah 811 256 8.4% 0.3%


(49)

5 Daun Bawang 315 799 3.3% 0.9% 6 Kobis 3.970 8.999 41.4% 10.4%

Jumlah 9.598 86.536 100.0% 100.0%

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Gambar 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar

Melihat dari komposisi mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Kejajar, sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dan buruh tani yang mengindikasikan bahwa adanya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap keberadaan lahan pertanian. Kondisi ini menyebabkan upaya-upaya perbaikan lingkungan yang sempat diinisiasi oleh pemerintah menjadi terhambat karena program rehabilitasi tersebut cenderung bertentangan dengan metode pengolahan lahan yang selama ini dianut oleh masyarakat. Perlu dicoba untuk mengembangkan alternatif pekerjaan sampingan yang tidak berbasis lahan seperti pembuatan kerajinan, pariwisata, pengolahan bahan mentah menjadi setengah jadi dan sebagainya, sehingga fokus mata pencaharian masyarakat tidak hanya dari pertanian semata.


(50)

3.2.4 Tingkat Pendidikan

Tabel 8. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar

Desa SD SLTP SMA AKD

/PT

tidak/belum tamat SD

tidak

sekolah Jumlah

01. Buntu 1.189 124 122 23 183 48 1689 02. Sigedang 1.412 132 59 16 231 72 1922 03. Tambi 1.911 352 202 21 822 186 3494 04. Kreo 699 99 52 8 165 74 1097 05. Serang 1.764 502 236 27 286 152 2967 06. Kejajar 1.289 486 349 37 93 79 2333 07. Igirmranak 257 23 7 0 87 49 423 08. Surengede 1.835 211 56 6 86 147 2341 09. Tieng 1.553 492 253 84 503 164 3049 10. Parikesit 1.017 58 26 7 157 109 1374 11. Sembungan 584 31 14 3 68 56 756 12. Jojogan 588 107 51 7 205 54 1012 13. Patakbanteng 1.286 143 59 11 78 94 1671 14. Dieng 948 211 117 17 74 63 1430 15. Sikunang 832 219 57 7 255 91 1461 16. Campursari 828 37 22 3 631 126 1647

Jumlah 17.992 3227 1682 277 3924 1564 28666

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Berdasarkan komposisi tingkat pendidikan masyarakat Kejajar, terlihat bahwa hal mendesak lain yang perlu segera ditangani adalah peningkatan kapasitas masyarakat. Tabel 8 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa sekitar 62% (17.992) tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Kejajar hanya pada taraf Sekolah Dasar (SD) saja. Tingginya jumlah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan mempersulit proses persuasi dalam mengajak masyarakat agar mau terlibat dalam upaya penyelamatan Dieng, karena mereka tidak memahami pentingnya upaya tersebut. Diperlukan suatu upaya peningkatan kesadaran (raising awareness) dan peningkatan kapasitas (capacity building) yang intensif agar masyarakat di Kecamatan Kejajar dapat memahami mengenai pentingnya menerapkan usaha tani yang ramah lingkungan dan tentunya semua sektor yang berkepentingan harus saling mendukung untuk mencapai tujuan tersebut.


(51)

Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011

Gambar 7. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar

3.2.5. Karakteristik Masyarakat Kejajar

Masyarakat Kejajar merupakan masyarakat agraris, dimana hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hanya saja ternyata belum semua petani memiliki pengetahuan yang cukup memadai di bidang pertanian itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sejarah pertanian di Kejajar ketika mulai booming tanaman kentang tahun 80-an, ternyata hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti untuk pengelolaan pertanian. Masyarakat petani sejauh ini hanya mengandalkan penyuluhan-penyuluhan dari agen-agen pabrik pestisida yang sesungguhnya hanya mempromosikan produknya. Akibatnya petani tidak mengetahui benar apa saja yang sesungguhnya dibutuhkan oleh tanaman dan lahan pertaniannya. Mereka hanya berusaha untuk mempertinggi hasil panen dengan menambah dosis obat atau mengganti obat dengan kandungan yang lebih kuat. Akibatnya tanaman semakin resisten dan kandungan bahan kimia dalam tanah semakin tinggi dan merusak struktur tanah (TKPD, 2011).

Beberapa tahun terakhir ini ketika harga kentang semakin turun sementara harga pupuk dan obat-obatan melambung, keuntungan dari budidaya tanaman kentang menipis. Hanya saja petani tidak mempunyai alternatif lain untuk mengefisienkan biaya produksi maupun mengganti tanaman lain yang punya nilai ekonomis setara dengan kentang.


(52)

Perhatian utama masyarakat Kejajar selama ini hanya tertuju pada bidang pertanian, terutama tanaman kentang yang secara ekonomis cukup menguntungkan sehingga bidang-bidang lain kurang mendapat perhatian. Pendidikan dan ketrampilan lain belum menjadi kebutuhan karena orientasi mereka masih pada materi dan sudah terpenuhi dari hasil tanaman kentang. Maka salah satu dampaknya adalah minimnya pengetahuan masyarakat di bidang-bidang lain seperti pariwisata sehingga sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan menuju desa wisata masih belum memadai (TKPD, 2011).

Hutan yang sudah terlanjur gundul di Desa Kejajar belum direhabilitasi sampai sekarang sehingga erosi terjadi hampir di seluruh kawasan desa yang topografinya berbukit-bukit sehingga mendorong terjadi pengendapan lumpur di daerah hilir.

3.3. Kawasan Dieng

Kawasan Dieng dapat dikatakan merupakan tulang punggung sistem penyangga kehidupan (life support system) Kabupaten Wonosobo. Hampir semua aktivitas ekonomi bersumber pada kawasan Dieng. Demikian pula potensi bencana yang ada. Dengan demikian, peran dan fungsi Kawasan Dieng berupa produktivitas ekonomi maupun jasa lingkungan, dapat terwujud apabila dikelola secara lestari (Nugroho, 2009).

Meski demikian, tidak semua Kawasan Dieng berada seluruhnya di Kabupaten Wonosobo. Kawasan seluas 54.974,24 ha secara administratif berada di wilayah 6 (enam) kabupaten yaitu Kabupaten Banjarnegara, Temanggung, Wonosobo, Kendal, Batang dan Pekalongan. Letak geografis Kawasan Dieng

adalah antara 7º 7’ 4‖ –7 º 35’ 2‖ LS dan 109º 59’ 53‖ –110º 04’ 34‖ BT. Secara

lebih rinci sebaran luasan dari tiap Kabupaten di Kawasan Dieng dapat dilihat pada Tabel 9


(53)

Tabel 9. Luas Kawasan Dieng Dirinci Menurut Wilayah Kabupaten dan Kecamatan

KABUPATEN KECAMATAN LUAS (Ha)

Banjarnegara

Batur 5987.96

Kalibening 1381.66

Pejawaran 2005.41

Wanayasa 2420.32

Banjarnegara Total 11.795, 35

Batang

Bawang 2232.62

Blado 2516.99

Reban 836.72

Batang Total 5.586, 33

Kendal Plantungan 1018.09

Sukorejo 523.27

Kendal Total 1.541.36

Pekalongan

Doro 191.15

Kajen 855.02

Karanganyar 551.49

Lebak Barang 2505.05

Paninggaran 1489.26

Petung Kriono 12182.68

Talun 1011.42

Pekalongan Total 18. 786,07

Temanggung

Candiroto 302.69

Ngadirejo 1315.41

Parakan 1669.07

Tretep 2330.04

Temanggung Total 5.617,21

Wonosobo

Garung 784.49

Kejajar 8031.79

Kertek 1535.3

Mojo Tengah 368.43

Watu Malang 398.17


(54)

KABUPATEN KECAMATAN LUAS (Ha)

Wonosobo 384.64

Wonosobo Total 11.647,95 Jumlah 54.974, 27

Sumber: Nugroho, 2009

Keistimewaan kawasan Dieng adalah merupakan hulu dari 8 DAS yang mengalir ke wilayah selatan dan utara Pulau Jawa. Alirannya mengaliri ribuan ha sawah dan mencukupi kebutuhan air bagi jutaan penduduk. Kedelapan sungai tersebut adalah hulu DAS Serayu (seluas 22.921 ha), hulu DAS Progo (seluas 2.672,13 ha), hulu DAS Bodri Ds (seluas 3.646,62 ha), hulu DAS Lampir Ds (seluas 5.967,56 ha), hulu DAS Sengkarang Ds (seluas 16.857,65 ha), hulu DAS Comal (seluas 380,48 ha), dan hulu DAS Sragi (seluas 2.526,56 ha). Khusus untuk Sungai Serayu, kawasan ini menjadi daerah tangkapan air (DTA) waduk Sudirman yang merupakan investasi besar guna irigasi dan tenaga listrik (Nugroho, 2009).

Dilihat dari fungsinya, hutan di dalam Kawasan Dieng diperuntukan kawasan konservasi seluas 53,4 ha, Hutan Produksi Terbatas 26.170,08 ha, Hutan Produksi 489,89 ha, Hutan Lindung 7.506,34 ha, dan Areal Penggunaan Lain 20.754,56 ha Seluruh hutan di Kawasan Dieng dikelola KPH Kedu Utara yang berstatus hutan lindung. Luas hutan lindung di kawasan dataran tinggi Dieng yang dikelola Perum Perhutani seluas 4.292,0 Ha berada di BKPH Wonosobo seluas 3.178,6 Ha dan BKPH Candiroto seluas 1.112,4 Ha, dengan rincian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 10


(1)

2. Perhitungan Input dan Ouput Plot B (Bukhori)

I/O Item Unit Non Perlakuan Perlakuan Harga Non Perlakuan Perlakuan

0.25 Ha 1 Ha 0.25 Ha 1 Ha 0.25 Ha 1 Ha 0.25 Ha 1 Ha

Bibit

Kentang Granola (G4) Rp/kg 1125 4500 515 2060 10,000 11,250,000 45,000,000 5,150,000 20,600,000

Jumlah Tanaman Knol 17063 68250 7813 31250

Pupuk

Pupuk Kandang Rp/kg 2000 8000 920 3680 400 800,000 3,200,000 368,000 1,472,000

Phonska Rp/kg 100 400 46 184 2,500 250,000 1,000,000 115,000 460,000

Obat-obatan -

Mantep Rp/kg 1 4 0.46 1.84 55,000 55,000 220,000 25,300 101,200

Corzet Rp/kg 0.3 1.2 0.14 0.552 135,000 40,500 162,000 18,630 74,520

Agrimax Botol 0.25 1 0.12 0.46 110,000 27,500 110,000 12,650 50,600

Lanete Rp/kg 0.2 0.8 0.09 0.368 140,000 28,000 112,000 12,880 51,520

Marsal Botol 0.5 2 0.23 0.92 40,000 20,000 80,000 9,200 36,800

Supertonik Botol 0.5 2 0.23 0.92 45,000 22,500 90,000 10,350 41,400

Material SPA & Teras

Bambu Rp/Set - - 250 1000 10,000 - - 2,500,000 10,000,000

Pembuatan SPA Rp/HOK - - 31 125 20,000 - - 620,000 2,500,000

Pembuatan Terasering Rp/HOK - - 16 64 15,000 - - 240,000 960,000

Tenaga Kerja

Persiapan Lahan Rp/HOK 21 84 9.66 38.64 15,000 315,000 1,260,000 144,900 579,600

Pembuatan LubangTanam +

Pupuk Dasar + Penanaman Rp/HOK 20 80 9.2 36.8 15,000 300,000 1,200,000 138,000 552,000

Pembuatan Parit Rp/HOK 3 12 1.38 5.52 15,000 45,000 180,000 20,700 82,800

Pembersihan Piringan Rp/HOK 40 160 18.4 73.6 15,000 600,000 2,400,000 276,000 1,104,000

Penyemprotan Rp/HOK 7 28 3.22 12.88 15,000 105,000 420,000 48,300 193,200

Pemanenan Rp/HOK 20 80 9.2 36.8 30,000 600,000 2,400,000 276,000 1,104,000

Penyiraman Rp/HOK 20 80 9.2 36.8 15,000 300,000 1,200,000 138,000 552,000

Pengangkutan pupuk Rp/HOK 18 59 8.28 33.12 2,000 36,000 118,000 16,560 66,240

Pemanenan

Pengangkutan panen Rp/angkut 3 12 1.38 5.52 50,000 150,000 600,000 69,000 276,000

Mobil pengangkutan panen Unit 3 12 1.38 5.52 40,000 120,000 480,000 55,200 220,800


(2)

3. Perbandingan nilai asupan produksi pertanian Kentang

I/O Item Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4

0.3 Ha 1 Ha 0.3 Ha 1 Ha 0.25 Ha 1 Ha 0.25 Ha 1 Ha

Bibit 3,510,000 45,000,000 7,010,000 23,340,000 11,250,000 45,000,000 5,150,000 20,600,000

Pupuk 1,386,000 4,615,380 720,720 2,399,998 1,050,000 4,200,000 483,000 1,932,000

Obat-obatan 331,000 1,102,230 172,120 573,160 193,500 774,000 89,010 356,040

Material SPA & Teras - - 3,760,000 12,500,000 - - 3,120,000 12,500,000

Tenaga Kerja Teras - - 285,000 949,050 - - 240,000 960,000

Tenaga Kerja 2,765,000 9,207,450 1,437,800 4,787,874 2,301,000 9,178,000 2,505,000 10,020,000

Pemanenan 800,000 4,000,000 546,000 1,818,180 270,000 1,080,000 124,200 496,800

Total 18,792,000 63,925,060 13,931,640 46,368,262 15,064,500 60,232,000 11,711,210 46,864,840

4. Perbandingan Hasil Panen

Jenis Kentang Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4

0.004 Ha 1 Ha Rp/Ha 0.004 Ha 1 Ha Rp/Ha 0.004 Ha 1 Ha Rp/Ha 0.004 Ha 1 Ha Rp/Ha

AB (Kentang Sayur) 37 9,250 46,250,000 28 7,000 35,000,000 57 14,250 71,250,000 34 8,500 42,500,000

DN (Kentang Bibit) 9 2,250 15,750,000 5 1,250 8,750,000 16 4,000 28,000,000 8 2,000 14,000,000

Rindil 3 750 900,000 2 500 600,000 5 1,250 1,500,000 3 750 900,000

Total 49 12,250 62,900,000 35 8,750 44,350,000 78 19,500 100,750,000 45 11,250 57,400,000

5. Perbandingan Rata-rata nilai asupan produksi pertanian Kentang

I/O Item Plot A Plot B

Bibit 45,000,000 21,970,000

Pupuk 4,407,690 2,165,999

Obat-obatan 938,115 464,600

Material SPA & Teras - 2,971,000

Tenaga Kerja Teras - 954,525

Tenaga Kerja 9,192,725 7,403,937

Pemanenan 2,540,000 1,157,490


(3)

6. Perbandingan Hasil Panen

Jenis Kentang Plot A Plot B

AB (Kentang Sayur) 58,750,000 38,750,000

DN (Kentang Bibit) 21,875,000 11,375,000

Rindil 1,200,000 750,000

Total 81,825,000 50,875,000

6. Perbandingan akhir Input dan Output

Kebutuhan Per Hektar Plot BAU (Rp) Plot Konservasi (Rp)

Bibit 45,000,000 21,970,000

Pupuk 4,407,690 2,165,999

Obat-obatan 938,115 464,600

Material SPA & Teras (Drop Structure) 0 2,917,000

Tenaga Kerja teras 0 954,525

Tenaga Kerja 9,192,725 7,403,937

Pemanenan 2,540,000 1,157,490

Total Kebutuhan 62,078,530 37,033,551

Hasil Panen 81,825,000 50,875,000

Keuntungan Panen 19,746,470 13,841,449

7. Data Produksi Kentang

PLOT Produksi (Kg/40 m²)

AB (Kentang Sayur) DN (Bibit) Rindil Total

Plot 1 37 9 3 49.00

Plot 2 28 5 2 35.00

Plot 3 57 16 5 78.00


(4)

PLOT

Produksi (Kg/Tanaman)

total AB (Kentang Sayur) DN (Bibit) Rindil

Plot 1 0.136 0.033 0.011 0.179

Plot 2 0.200 0.036 0.014 0.250

Plot 3 0.209 0.059 0.018 0.286

Plot 4 0.272 0.064 0.024 0.360

Perlakuan Produksi (Kg/40 m²) Produksi (kg/Tanaman)

AB (Kentang Sayur) DN (Bibit) Rindil Produksi Total AB (Kentang Sayur) DN (Bibit) Rindil Produksi Total

Searah Lereng 47.00 12.50 4.00 63.50 0.172 0.046 0.015 0.23

Searah Kontur 31.00 6.50 2.50 40.00 0.236 0.050 0.019 0.31

PLOT Produksi (Ton/Ha)_1 Produksi (Ton/Ha)_2

AB (Kentang Sayur) DN (Bibit) Rindil Total AB (Kentang Sayur) DN (Bibit) Rindil Total

Plot 1 9.250 2.250 0.750 12.25 9.250 2.250 0.750 12.25

Plot 2 7.000 1.250 0.500 8.75 7.000 1.250 0.500 8.75

Plot 3 14.250 4.000 1.250 19.50 14.250 4.000 1.250 19.50


(5)

LAMPIRAN 4. Hasil Analisis Regresi Logit dengan STATA

xi: logit wta bid2 age educ fam_mem own_years area plots_owned i.slope i.time_preff_2 i.benefit income

i.slope _Islope_1-2 (naturally coded; _Islope_1 omitted) i.time_preff_2 _Itime_pref_1-4 (naturally coded; _Itime_pref_1 omitted) i.benefit _Ibenefit_1-3 (naturally coded; _Ibenefit_1 omitted) Iteration 0: log likelihood = -69.294717

Iteration 1: log likelihood = -60.633589 Iteration 2: log likelihood = -60.484389 Iteration 3: log likelihood = -60.483892

Logistic regression Number of obs = 100 LR chi2 (14) = 17.62 Prob > chi2 = 0.2246 Log likelihood = -60.483892 Pseudo R2 = 0.1272 --- wta | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- bid2 | .0002585 .0001126 2.30 0.022** .0000379 .0004791 age | -.0159152 .026321 -0.60 0.545 -.0675033 .035673 educ | -.1302222 .1280966 -1.02 0.309 -.3812869 .1208425 fam_mem | .0227114 .2203571 0.10 0.918 -.4091807 .4546034 own_years | -.0094735 .0231384 -0.41 0.682 -.0548239 .0358769 area | -.9634299 1.633429 -0.59 0.555 -4.164893 2.238033 plots_owned | -.3585383 .3239138 -1.11 0.268 -.9933977 .276321 _Islope_2 | .5401554 .5061928 1.07 0.286 -.4519642 1.532275 _Itime_pre~2 | -1.647929 1.096595 -1.50 0.133 -3.797215 .5013564 _Itime_pre~3 | -1.04055 .8875156 -1.17 0.241 -2.780048 .6989488 _Itime_pre~4 | -.9192055 .7985244 -1.15 0.250 -2.484285 .6458735 _Ibenefit_2 | .449642 .5429313 0.83 0.408 -.6144838 1.513768 _Ibenefit_3 | 1.652398 .8747175 1.89 0.059* -.0620171 3.366812 income | -1.17e-08 1.49e-08 -0.78 0.433 -4.08e-08 1.75e-08 _cons | 1.294394 1.705635 0.76 0.448 -2.04859 4.637378 ---

LAMPIRAN 5. Hubungan Antara Curah hujan dengan Limpasan

Permukaan (

Run Off)

dan Erosi pada Tiap Perlakuan

a)

Korelasi antara Curah Hujan dengan Limpasan Permukaan (

Run Off)

pada Tiap Perlakuan

Parameter Curah Hujan (mm)

Limpasan Permukaan Searah Lereng

(mm)

Limpasan Permukaan Searah Kontur

(mm)

Curah Hujan (mm) 1

Limpasan Permukaan

Searah Lereng (mm) .74

**

1 Limpasan Permukaan

Searah Kontur (mm) .73

**


(6)

b)

Korelasi antara Curah Hujan dengan Erosi pada Tiap Perlakuan

Parameter Curah

Hujan (mm)

Erosi Searah Lereng (Ton/Ha)

Erosi Searah Kontur (Ton/Ha)

Curah Hujan (mm) 1

Erosi Searah Lereng (Ton/Ha) .59** 1

Erosi Searah Kontur (Ton/Ha) .67** .83** 1

LAMPIRAN 6. Korelasi Limpasan Permukaan

(Run Off

) dan Erosi pada

Tiap Perlakuan

Parameter Limpasan Permukaan Searah Lereng (mm) Limpasan Permukaan Searah Kontur (mm)

Erosi Searah Lereng (Ton/Ha)

Erosi Searah Kontur (Ton/Ha)

Limpasan Permukaan

Searah Lereng (mm) 1

Limpasan Permukaan

Searah Kontur (mm) .97

**

1

Erosi Searah Lereng

(Ton/Ha) .79

**

.76** 1

Erosi Searah Kontur

(Ton/Ha) .92

**

.96** .84** 1

LAMPIRAN 7. Uji T Kadar Air 1 Hari Setelah Hujan dari Dua Perlakuan

Parameter

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t Df Sig.

(2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Kadar Air Tanah

1.503 .228 2.484 35 .018 2.69430 1.08467 .49231 4.89629