Hubungan Laju Infiltrasi Dengan Penggunaan Lahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Laju Infiltrasi Dengan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan hutan menempati tingkat yang paling dominan di lokasi penelitian. Sebagian besar termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS. Hutan yang berada di Kampung Lebakpicung merupakan hutan sekunder dan hutan tanaman. Hutan tanaman sebagian besar berada di dalam kawasan TNGHS, sedangkan hutan sekunder berada di dalam dan di luar kawasan TNGHS Handini, 2010. Tanaman yang tumbuh diantaranya yaitu harendong kota, puspa, pisang hutan, dan pohon sobsi. Selain pohon- pohonan tersebut, terdapat juga tumbuh-tumbuhan lain seperti semak, rumput- rumputan, lumut, dan jenis tumbuhan lainnya. Gambar secara visual berbagai jenis penggunaan lahan pada lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 4 A B C D Gambar 4. A. Hutan; B. Kebun Campuran; C. Sengon; D. Sawah Kebun campuran di lokasi penelitian ditanami oleh tanaman tahunan dan tanaman musiman yaitu pohon lame, sobsi, tebu, dan turubuk. Sedangkan lahan yang didominasi oleh pohon sengon dikategorikan termasuk ke dalam penggunaan lahan sengon untuk dilakukan pengukuran infiltrasi. Sawah merupakan jenis penggunaan lahan cukup luas di lokasi penelitian. Luas sawah di luar kawasan taman nasional lebih besar dibandingkan di dalam kawasan. Lahan sawah sudah ada sebelum adanya kawasan taman nasional dan merupakan mata pencaharian utama di Kampung Lebakpicung sehingga lahan sawah di dalam taman nasional cukup luas. Keadaan penggunaan lahan sawah ketika pengukuran sedang diberakan karena belum masuk masa tanam di musim penghujan. Penyusun geologi di lokasi penelitian terdisi dari Formasi Cikotok, Formasi Napal, dan Formasi Cimapag. Formasi Cikotok mengandung batuan yang mengalami alterasi dan pola kelurusan struktur yang berpotongan. Formasi Napal merupakan formasi yang didominasi oleh napal dengan sedikit batugamping dan batupasir. Pada beberapa tempat batuan ini terpropolitkan dan terkersikan dengan piritisasi yang kadang-kadang telah berubah menjadi limonit Sugeng, 2005. Formasi Cimapag merupakan formasi yang berumur miosen awal. Bagian atas terdiri dari lapisan basal breksi dan konglomerat polimik yang mengandung fragmen yang lebih tua. Batuan vulkanik yang berkomposisi andesitik, kadang- kadang berselingan dengan konglomerat, batupasir, batuapung, dan batugamping. Formasi Cimapag diduga sebagai penyebab mineralisasi di daerah ini Sutisna et al., 1994. Formasi Citorek dan Cimapag berada pada satuan breksi gunungapi 3. Hasil pengukuran infiltrasi pada beberapa titik lokasi di daerah penelitian memberikan nilai yang cukup bervariasi Tabel 1. Keanekaragaman tersebut menunjukkan bahwa setiap titik lokasi mempunyai laju infiltrasi yang tidak sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan memiliki peran besar dalam menentukan tinggi rendahnya infiltrasi. Dalam kondisi penggunaan lahan berbeda hutan, kebun campuran, sengon, dan sawah dan kemiringan lereng yang berbeda menghasilkan laju infiltrasi yang berbeda. Tabel 1. Laju infiltrasi pada berbagai penggunan lahan dan lereng Landuse Lereng Laju infiltrasi cmjam Laju infiltrasi rata-rata Kelas laju infiltrasi Hutan 26 60 51,5 sangat cepat Hutan 25 66 Hutan 24 28,5 Sengon 35 6 15 cepat Sengon 27 33 Sengon 34 6 keb cam 27 7,5 5 agak cepat keb cam 30 4,5 keb cam 34 3 Sawah 27 5,4 2,75 sedang Sawah 33 0,2 Sawah 22 2,65 Laju infiltrasi pada lahan hutan di titik pertama sebesar 60 cmjam. Nilai ini didapatkan dari hasil pembacaan mistar pada ring kecil dari ring infiltrometer. Pembacaan dilakukan pada awal waktu yang telah ditetapkan dan dibaca kembali pada setiap 30 detik pengukuran sehingga didapatkan jarak per-30 detik pembacaan. Kemudian penurunan tersebut dikonversikan dari detik ke dalam satuan per-jam. Pengukuran dihentikan ketika penurunan dengan jarak yang telah terlihat konstan tiga sampai lima kali, maka didapatkan nilai konstan laju infiltrasi pada titik tersebut yaitu 60 cmjam. Nilai ini adalah hasil rata-rata dari dua pengukuran yang dilakukan komposit pada setiap titik. Waktu selama 30 detik ditetapkan berdasarkan kecepatan penurunan air yang terlihat secara visual dan dapat berbeda di setiap titik pengukuran. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Semakin besar kemampuan tanah dalam meresapkan air, semakin cepat penurunan air dan semakin pendek waktu yang ditetapkan. Sebaliknya, semakin lambat penurunan air, maka waktu ditetapkan lebih lama bahkan dapat berbeda satuan waktu detik atau menit. Berdasarkan hasil pengukuran infiltrasi di lapang, dapat ditunjukkan bahwa laju infiltrasi rata-rata pada setiap penggunaan lahan sangat bervariasi. Kelas laju infiltrasi yang ditetapkan berdasarkan Kohnke 1968 menunjukkan bahwa kelas laju infiltrasi yang paling cepat pada lahan hutan. Sedangkan kelas laju infiltrasi yang paling rendah berada pada lahan sawah. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju infiltrasi berbeda pada setiap penggunaan lahan. Kemiringan lereng terlihat tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada setiap titik pengukuran. Hal ini bertolak belakang dengan teori yang diungkapkan oleh Nordwijk et al. 2009 yang menyatakan bahwa semakin besar kemiringan lereng, peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan menjadi lebih besar. Adanya perbedaan ini, dimungkinkan karena metode pengukuran yang tidak sama antara pengukuran yang dilakukan Nordwijk et al. 2009 dan pengukuran infiltrasi pada penelitian ini. Nordwijk et al. 2009 mengukur langsung peresapan air ke dalam tanah melalui hujan yang dilihat pada suatu topografi sehingga kemiringan lereng menjadi faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya peresapan air ke dalam tanah. Sedangkan penelitian ini mengukur peresapan air ke dalam tanah melalui pengukuran infiltrasi menggunakan double ring infiltrometer. Pengukuran ini dilakukan in-situ pada suatu titik yang menjadikan peresapan air lebih dikendalikan oleh ring. Selain itu, perbedaan ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang pengaruhnya lebih besar terhadap laju infiltrasi daripada kemiringan lereng. Misalnya faktor tutupan lahan, kondisi sifat fisik tanah, sistem perakaran tanaman, dan panjang lereng. Panjang lereng merupakan jarak dari titik awal aliran sampai titik dimana mulai ada pengendapan atau aliran permukaan masuk ke saluran. Sinukaban 1986 menyatakan bahwa semakin panjang lereng permukaan suatu tanah, semakin rendah infiltrasi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Panjang lereng tidak diperhitungkan pada penelitian ini karena kondisi lapang yang sulit dalam mengamati panjang lereng. Selain itu, walaupun sudah ada peta kontur, namun ternyata tidak bagus untuk disesuaikan dengan kondisi di lapang. Pengukuran infiltrasi in-situ pada penggunaan lahan hutan awalnya besar kemudian menurun dengan cepat menurut waktu dan akhirnya mencapai konstan. Nilai laju infiltrasi pada penggunaan lahan hutan paling cepat dibandingkan dengan lahan lainnya. Hal ini karena pada lahan hutan mempunyai vegetasi sebagai penutup permukaan tanahnya berupa pohon keras yang akar dari pepohonan tersebut mampu menembus tanah dan membentuk pori-pori antara butir tanah sehingga menyebabkan air lebih mudah terinfiltrasi ke dalam tanah. Selain itu, serasah yang terbentuk cukup tebal melindungi permukaan tanah sehingga air tertahan dan mempunyai waktu lebih lama untuk meresap ke dalam tanah juga menjadikan fauna tanah yang berada di dalamnya mendapatkan makanan yang cukup sehingga tanah menjadi gembur. Menurut beberapa penelitian, tanah berstruktur remahgembur mempunyai pori-pori diantara agregat yang lebih banyak daripada yang berstruktur gumpal sehingga perembesan airnya lebih cepat. Oleh karena itu terjadinya aliran permukaan diperkecil pada tanah dengan pori-pori yang besar dan struktur yang baik sehingga memiliki kecepatan infiltrasi yang besar. Pada penggunaan lahan sengon diperoleh laju infiltrasi rata-rata sebesar 15 cmjam dan termasuk kelas cepat. Lahan ini didominasi oleh sengon yang mempunyai akar yang dalam sehingga pori-pori tanah yang dibentuk oleh akar menjadi besar dan memberikan banyak ruang untuk perjalanan air meresap ke dalam tanah. Partikel tanah terdiri dari butir-butir yang berbeda dalam hal susunan kimia, mineral, ukuran butir, bentuk, dan arah penyebarannya. Distribusi ukuran zarah tanah merupakan sifat dasar yang sangat penting karena dapat menentukan jumlah dan distribusi ukuran pori tanah sehingga akan menentukan kemampuan menahan dan mengalirkan air. Pada lahan kebun campuran, laju infiltrasi rata-rata yaitu 5 cmjam agak cepat. Sedangkan laju infiltrasi pada lahan sawah termasuk ke dalam kelas sedang yaitu sebesar 2,75 cmjam. Sawah merupakan lahan yang telah dijenuhi air dalam waktu yang lama sehingga laju relatif cepat untuk mencapai konstan. Bahkan ketika dilapang, pengukuran infiltrasi harus dilakukan berulangkali karena beberapa titik mengalami kendala dengan lamanya penurunan air yang terbaca di mistar dalam ring. Lahan sawah memiliki laju infiltrasi paling kecil atau mempunyai kemampuan meresapkan air yang tergolong lambat. Pada lahan sawah tekstur halus, liat, lekat, dengan air tanah dangkal dan telah terjadi pemadatan tanah menyebabkan air sulit terinfiltrasi ke dalam tanah. Disamping itu, sawah mempunyai kelembaban tanah yang relatif lebih tinggi karena sering diairi sehingga kadar air dalam tanah lebih tinggi. Vegetasi yang berupa tanaman kecil seperti padi, palawija, dan rumput, memberikan pengaruh terhadap daya serap air ke dalam tanah. Tajuk yang dominan pendek membuat laju infiltrasi lambat dan lebih banyak terjadi aliran permukaan. Pada proses pengukuran di lapang, laju infiltrasi semakin berkurang dengan semakin bertambahnya waktu. Hal ini karena secara teoritis pada saat tanah belum mencapai jenuh, terdapat gaya hisapan matrik dan gaya gravitasi yang bekerja. Akibatnya laju infiltrasi berkurang dengan bertambahnya waktu hingga mencapai minimum dan konstan. Menurut Hardjowigeno 2003 semakin banyak perakaran tanaman semakin tinggi porositas tanah sehingga air lebih banyak mengalami infiltrasi ke dalam tanah. Secara umum tanah yang ditutupi tanaman mempunyai laju infiltrasi lebih besar daripada permukaan tanah terbuka. Selain itu, dikuatkan oleh Winanti 1996 pengaruh vegetasi terhadap infiltrasi ditentukan oleh sistem perakaran yang berbeda antara tanaman berakar pendek, sedang, dan dalam. Vagetasi menjadi faktor penentu besar kecilnya infiltrasi, yaitu semakin banyak dan lebat vagetasi, laju infiltrasi semakin cepat Stothoff, 1999. Vegetasi secara efektif dapat mengabsorpsi air hujan dan mempertahankan laju infiltrasi Foth, 1984, meningkatkan laju infiltrasi Hardjowigeno, 2003, dan kemampuan dalam menahan air. Resapan air lebih efektif pada lahan yang ditumbuhi vegetasi, karena vegetasi dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi Sosrodarsono dan Takeda, 2003. Gambar 5. Pola tutupan lahan dengan laju infiltrasi Pengukuran laju infiltrasi pada berbagai jenis pola tutupan lahan yaitu hutan H, sengon Sg, kebun campuran KC, dan sawah S pada Gambar 5 di atas merupakan rentang nilai laju infiltrasi pada masing-masing tutupan lahan. Pola ini merupakan penggabungan dari hasil pengukuran tiga titik sampel. Pola nilai yang paling tinggi dengan box tebal yaitu pada lahan hutan 28,5 cmjam sampai 66 cmjam. Sedangkan nilai yang paling rendah dengan box tipis adalah pada lahan sawah 0,2 cmjam sampai 5,4 cmjam. Tinggi-rendahnya nilai dan tebal-tipisnya box mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan nilai laju untuk mencapai konstan. Nilai tinggi dan box tebal berarti nilai konstan yang dicapai ketika pengukuran adalah tinggi pada setiap titiknya. Demikian sebaliknya, nilai rendah dan box tipis berarti nilai konstan yang dicapai ketika pengukuran adalah rendah pada setiap titiknya. Hasil ini menggambarkan bahwa semakin banyaklebat vegetasi maka semakin cepat laju infiltrasi. Semakin jarang vegetasi dan tegakan suatu lahan maka laju infiltrasi semakin lambat. Lahan yang jarang dengan penutupan lahannya menjadikan air permukaan lebih berpotensi untuk terjadi daripada air infiltrasi. Menurut Soetoto dan Aryono 1980 laju infiltrasi pada tanah dengan tumbuh-tumbuhan hutan lebih tinggi daripada tanah telanjang bare soils. Akar tanaman melonggarkan dan menciptakan pembuluh dimana air dapat masuk ke dalam tanah dengan lebih mudah. Daun dan sampah di atas permukaan mengurangi percikan hujan yang jatuh sehingga aliran permukaan dapat berkurang. 4.2 Keterkaitan Antar Peubah 4.2.1 Analisis Korelasi