Analisis antioksidan dengan Metode DPPH 1 Ekstraksi bahan aktif Quinn 1988

lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan W 3 . Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong: Kadar lemak = W 3 - W 2 x 100 W 3 Keterangan : W 1 = Berat sampel gram W 2 = Berat labu lemak kosong gram W 3 = Berat labu lemak dengan lemak gram 5 Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000 BSN 2000 Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan 25 ml HCl 10. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan kertas saring dalam pengering listrik oven, setelah dikeringkan kertas saring dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600 ⁰C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus: Kadar abu tidak larut asam = Berat abu g x 100 Berat sampel awal g

3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH 1 Ekstraksi bahan aktif Quinn 1988

Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka a w akan turun hingga 0,80 batas maksimal sehingga pertumbuhan mikroba dapat dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia Winarno 2008. Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah, air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan pelarut dalam jumlah yang cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu rendah sesuai dengan titik didih pelarut. Apabila pemanansan dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 ºC pada tekanan udara 1 atm, maka komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah yang kecil pada larutan ekstrak. Isi cangkang keong ipong-ipong daging dan jeroan yang telah kering tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil bubuktepung diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat Quinn 1988. Metode ini digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform p.a. non polar, etil asetat p.a. semi polar dan metanol p.a polar. Ketiga pelarut ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air, sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi 500 mmHg, 50 ºC. pada tekanan udara 1 atm 760 mmHg, kloroform memiliki titik didih sebesar 61 ºC , metanol sebesar 65 ºC dan etil asetat 77 ºC. palarut etanol tidak dipilih untuk menggantikan pelarut metanol polar karena titik didihnya jauh lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 ºC Lehninger 1988. Prabowo 2009 menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol. Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan ekstraksi menggunakan pelarut non polar kloroform p.a terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pelarut semipolar etil asetat p.a. dan terakhir menggunakan pelarut polar metanol p.a.. Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm, sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC. Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak 100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC. Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong Fasciolaria salmo Sumber: Quinn 1988 2 Uji aktivitas antioksidan DPPH Blois 1958 Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. non polar, pelarut etil asetat p.a. semi polar, dan pelarut metanol p.a. polar, dilarutkan dalam metanol p.a. dengan konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam 25 gr Sampel Maserasi dengan kloroform selama 48 jam Penyaringan Residu Maserasi dengan etil asetat selama 48 jam Penyaringan Evaporasi Ekstrak kloroform Maserasi dengan metanol selama 48 jam Residu Penyaringan Residu Filtrat Filtrat Evaporasi Ekstrak etil asetat Filtrat Evaporasi Ekstrak metanol pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari. Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 µ l larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 µ l larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu, aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai berikut: inhibisi = A blanko – A sampel x 100 A blanko Nilai konsentrasi sampel ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC 50 inhibitor concentration 50 dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC 50 . Nilai IC 50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50.

3.3.4. Uji fitokimia Harborne 1984