3 METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010. Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses
preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu
dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat
Antar Universitas PAU, Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipong- ipong Fasciolaria salmo. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis
proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H
2
SO
4
p.a. pekat, asam borat H
3
BO
3
2 yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl red 1:2 berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak n-heksana p.a,
larutan HCl 10, larutan AgNO
3
0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong,
kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil DPPH, metanol, antioksidan sintetik BHT Butylated Hydroxytoluena sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff uji alkaloid, kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat
uji steroid, serbuk magnesium, amil alkohol uji flavonoid, air panas, larutan HCl 2 N uji saponin, etanol 70, larutan FeCl
3
5 uji fenol hidrokuinon, peraksi Molisch, asam sulfat pekat uji Molisch, pereaksi Benedict uji Benedict,
pereaksi Biuret uji Biuret, dan larutan Ninhidrin 0.1 uji Ninhidrin. Alat-alat
yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur
pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu
Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder, homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas
piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes, tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong
berupa analisis proksimat kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut asam, tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas
antioksidan dan uji fitokimia
3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku
Pengambilan sampel keong ipong-ipong Fasciolaria salmo dilakukan di pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan
mengambil keong ipong-ipong Fasciolaria salmo pada subtrat lumpur yang ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong Fasciolaria salmo tersebut
kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama
proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata
dari 30 ekor keong ipong-ipong Fasciolaria salmo secara acak. Kemudian sampel dihitung rendemennya cangkang dan daging dengan rumus:
Daging-daging keong
ipong-ipong yang
telah dipisahkan
dari cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging
dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong Fasciolaria salmo
Rendemen = Bobot contoh gBobot total g x 100
dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji aktivitas antioksidannya dan fitokimia.
3.3.2. Analisis proksimat AOAC 2005
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.
1 Analisis kadar air AOAC 2005
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105
o
C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator kurang lebih 15 menit dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105
o
C selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut
dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air : Kadar air = B - C x 100
B - A Keterangan : A = Berat cawan kosong gram
B = Berat cawan yang diisi dengan sampel gram C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan gram
2 Analisis kadar abu AOAC 2005
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105
o
C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600
o
C selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus:
Kadar abu = C - A x 100 B - A
Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong gram B = Berat cawan dengan sampel gram
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan gram
3 Analisis kadar protein AOAC 1980
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium
dan 3 ml H
2
SO
4
pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410
o
C selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu
Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100
o
C. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat H
3
BO
3
2 dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda.
Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : N = ml HCl
– ml blanko x N HCl x 14,007 x 100 Mg contoh x faktor koreksi alat
Faktor koreksi alat = 2,5 Kadar protein = N x faktor konversi
Faktor Konversi = 6,25
4 Analisis kadar lemak AOAC 2005
Contoh seberat 5 gram W
1
dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya W
2
dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak benzena. Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu
lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak
kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan W
3
. Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong:
Kadar lemak = W
3
- W
2
x 100 W
3
Keterangan : W
1
= Berat sampel gram W
2
= Berat labu lemak kosong gram W
3
= Berat labu lemak dengan lemak gram
5 Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000 BSN 2000
Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan 25 ml HCl 10. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring
bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan kertas saring dalam pengering listrik oven, setelah dikeringkan kertas saring
dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600
⁰C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang
beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus: Kadar abu tidak larut asam = Berat abu g x 100
Berat sampel awal g
3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH 1 Ekstraksi bahan aktif Quinn 1988
Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan
yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk
mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses
pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka a
w
akan turun hingga 0,80 batas maksimal sehingga pertumbuhan mikroba dapat dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau
oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia
Winarno 2008. Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat
dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah, air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan pelarut dalam jumlah yang
cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu
rendah sesuai dengan titik didih pelarut. Apabila pemanansan dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 ºC pada tekanan udara 1 atm, maka
komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah
yang kecil pada larutan ekstrak. Isi cangkang keong ipong-ipong daging dan jeroan yang telah kering
tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil bubuktepung diharapkan dapat
memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat Quinn 1988. Metode ini
digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform p.a. non polar, etil asetat p.a. semi polar dan metanol p.a polar. Ketiga pelarut
ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air, sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi 500 mmHg,
50 ºC. pada tekanan udara 1 atm 760 mmHg, kloroform memiliki titik didih sebesar 61 ºC , metanol sebesar 65 ºC dan etil asetat 77 ºC. palarut etanol tidak
dipilih untuk menggantikan pelarut metanol polar karena titik didihnya jauh lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 ºC Lehninger 1988.
Prabowo 2009 menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses
ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang
terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel
yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini
diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol. Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non
polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan
ekstraksi menggunakan pelarut non polar kloroform p.a terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pelarut semipolar etil asetat p.a. dan terakhir menggunakan
pelarut polar metanol p.a.. Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut
kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian
disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml
selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm, sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut
memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC.
Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak
100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi
sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC.
Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua
pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu 50 ºC, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan
ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong
Fasciolaria salmo
Sumber: Quinn 1988
2 Uji aktivitas antioksidan DPPH Blois 1958
Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. non polar, pelarut etil asetat p.a. semi
polar, dan pelarut metanol p.a. polar, dilarutkan dalam metanol p.a. dengan konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan
sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam 25 gr Sampel
Maserasi dengan kloroform selama 48 jam
Penyaringan
Residu
Maserasi dengan etil asetat selama 48 jam
Penyaringan Evaporasi
Ekstrak kloroform
Maserasi dengan metanol selama 48 jam
Residu
Penyaringan
Residu Filtrat
Filtrat Evaporasi
Ekstrak etil asetat
Filtrat Evaporasi
Ekstrak metanol
pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol
dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.
Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 µ l larutan
DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800
pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan
mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 µ l larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu,
aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai
berikut: inhibisi = A blanko
– A sampel x 100 A blanko
Nilai konsentrasi sampel ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan
regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC
50
inhibitor concentration 50 dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang
akan diperoleh sebagai IC
50
. Nilai IC
50
menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT yang dibutuhkan untuk
mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50.
3.3.4. Uji fitokimia Harborne 1984
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen- komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong ipong-ipong yang
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji
steroidtriterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne 1984.
a. Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan
pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl
2
dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml
dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram
kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat
dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium
iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi
ini berwarna jingga. b. Steroid triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes
asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
c. Flavonoid Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol campuran asam klorida 37 dan etanol 95 dengan volume yang sama dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
d. Saponin uji busa Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.
e. Fenol Hidrokuinon pereaksi FeCl
3
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl
3
5. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.
f. Uji Molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan
cairan. g. Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya
warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.
h. Uji Biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.
i. Uji Ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin
0,1 . Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Keong Ipong-ipong Fasciolaria salmo
Bentuk morfologi keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon Sampel keong ipong-ipong yang didapat, dilakukan preparasi untuk
mengeluarkan isi cangkang daging dan jeroan, serta memisahkan dari operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang daging dan
jeroan kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, operkulum dan isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada
Tabel 1. Bentuk cangkang dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong ipong-ipong
Karakteristik Fisik Cangkang
Isi Cangkang Operkulum
Warna Coklat
kekuningan, berbulu halus
Daging: krem Jeroan :
hijau, hitam, putih Saluran
dan kelenjar pencernaan.
Putih krem gonad
Coklat cerah
Tekstur Keras
Daging: kenyal Jeroan: lunak
dan mudah hancur bila
ditekan. Tipis, lembut dan
mudah dipatahkan.
Keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna cangkang coklat kekuningan dan terdapat bulu-bulu halus. Komponen penyusun
cangkang keong ipong-ipong adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong ipong- ipong dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging dan jeroan. Bagian dari
daging bewarna krem dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroannya yaitu ada yang bewarna hijau, hitam, putih yang merupakan bagian saluran dan kelenjar
pencernaan, sedangkan yang bewarna putih krem merupakan bagian gonad. Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum
keong-ipong bewarna coklat cerah, tipis, lembut dan mudah dipatahkan. Proses karakteristik ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku
yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku
yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan
dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi keong ipong-ipong dengan uji proksimat.
4.1.1 Rendemen
Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk
mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga
pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif. Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang daging dan jeroan dapat
dilihat di lampiran 2. Nilai rendemen cangkang dan isi cangkang daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang daging dan jeroan keong ipong-ipong
Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh, yaitu sebesar 69,69. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong
berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium. Suwignyo et al. 2005 menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium
karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari 3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre.
Rendemen isi cangkang daging dan jeroan sebesar 30 yang terdiri dari 22,08 dari daging dan 8,22 dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong
ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar 30 tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber
protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme
tubuh manusia Winarno 2008. Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi
cangkang daging dan jeroan memiliki rendemen masing-masing sebesar 69,69, 22,08 dan 8,22. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan,
maka jumlahnya tidak mencapai 100. Hal ini diduga sisa berat yang hilang selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan
tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini
sekitar 0,01. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup rapat lubang aperture.
4.1.2 Komposisi kimia
Kandungan gizi pada isi cangkang keong ipong-ipong dapat diketahui dengan melakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk
memperoleh data tentang komposisi kimia dalam suatu bahan. Komposisi kimia tersebut diantaranya kandungan air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam dan
karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong ipong-ipong diperoleh melalui perhitungan by difference. Selain analisis proksimat kadar air, lemak, protein, abu
dan karbohidrat, pengujian abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian abu tidak larut asam pada keong ipong-ipong dilandasi karena keong ipong-ipong
merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan laut berlumpur dan
menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam
saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat
pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong n=2
1 Kadar air
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan
pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan yang dapat mempercepat pembusukan Winarno 2008. Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 73,07.
Prinsip análisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan
dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III Winarno 2008. Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang
hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba
dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi Winarno 2008. Tingginya air tipe III ini pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali
mengalami kerusakan highly perishable apabila tidak ditangani dengan benar. Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya enzim protease seperti katepsin.
2 Kadar lemak
Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen
yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut Poedjiadi 1994, lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang,
sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan
karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin A, D, E dan K
Winarno 2008; Belitz et al. 2009. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung
lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57. kadar lemak yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat
tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air
umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak Yunizal et al. 1998. Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar
air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.
Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar
2,55 Prabowo 2009. Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.
3 Protein
Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan
makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat
pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun
karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga Winarno 2008.
Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar jaringan tubuh Winarno 2008. Hal ini terbukti dari hasi análisis proksimat keong
ipong-ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipong- ipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu
tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan protein.
Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28. jumlah ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85 Prabowo 2009. Variasi ini
dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.
4 Kadar abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96 bahan
organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-
bahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu Winarno 2008.
Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong mengandung kadar abu sebesar 2,77, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang
terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73 Prabowo 2009. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan
hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya.
Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan
memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.
5 Kadar abu tidak larut asam
Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak
larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam
juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan suatu produk Basmal et al. 2003.
Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15. Nilai kadar
abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1, seperti yang disyaratkan oleh Food Chemical Codex 1991 untuk produk kappa-karaginan
food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material abu tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong ipong-ipong hidup,
seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Mineral tidak larut asam ini ikut masuk ke dalam saluran pencernaan keong ipong-ipong ketika keong ipong-ipong sedang
melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat dieksresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Adriyanti 2009 dan Nurjanah 2009 pada lintah laut Discodoris ap. yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup
menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang
lebih rendah dari pada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh
Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah 2009 menambahkan bahwa komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika
dikonsumsi dalam jumlah yang besar.
6 Kadar karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan
tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari
karbohidrat sebesar 4 kkal Belitz et al. 2009. Karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa,
warna, tekstur dan lain-lain Winarno 2008. Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference
menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung karbohidrat sebesar 5,2. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode
penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat Winarno 2008. Kadar karbohidrat yang
terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen
Winarno 2008.
4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan
baku. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang
diinginkan dapat larut Ansel 1989. Winarno et al. 1973, menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi
komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung
komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi proses pengeringan sampel, penghancuran sampel sampai menjadi bubuk, maserasi
dengan pelarut, penyaringan dan evavorasi menggunakan vacuum rotary evaporator. Sampel yang digunakan merupakan daging dan jeroan keong ipong-
ipong. Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut kloroform p.a. non polar, etil asetat p.a. semi polar dan
metanol p.a. polar.
4.2.1 Ekstrak kasar
Proses evaporasi filtrat dari masing-masing hasil maserasi pelarut akan menghasilkan ekstrak kasar keong ipong-ipong yang kental dan berbeda tingkat
kepolarannya. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta kental dan memiliki bau yang khas. Hasil ekstraksi menggunakan tiga jenis
pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda, akan menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan
perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang diekstrak. Rendemen ekstrak dinyatakan dalam persen, sama halnya dengan nilai
rendemen bahan. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada diagram batang pada Gambar 11. Proses perhitungan rendemen ekstrak dari
masing-masing pelarut dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong Diagram batang di atas menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak kasar
dari ketiga pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya dari daging dan jeroan keong
ipong-ipong. Berdasarkan diagram di atas untuk daging dan jeroan, ekstrak kloroform memiliki rendemen terkecil, yaitu secara berurutan 0,24 dan 1,98.
sedangkan ekstrak metanol merupakan ekstrak yang memiliki rendemen yang terbesar antara daging dan jeroan, yaitu secara berurutan 10,77 dan 13,66.
akan tetapi secara umum antara daging dan jeroan, dari ketiga pelarut tersebut, ekstrak kasar dari jeroan memiliki nilai rendemen yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan ekstrak kasr dari daging keong ipong-ipong. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam
jeroan maupun daging keong ipong-ipong merupakan komponen bioaktif yang memiliki sifat polar karena dapat larut dalam pelarut polar, yaitu metanol.
Komponen bioaktif keong ipong-ipong yang bersifat non polar dan semi polar terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit.
Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel Harborne 1984.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Salamah et al. 2008 menunjukkan bahwa maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan rendemen
ekstrak yang berbeda pula. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini, dimana kadar komponen komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar dan
non polar terdapat dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pelarut yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang berbeda-beda bergantung
tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediannya dalam bahan yang diekstrak. Menurut Susanto 2010, kandungan komponen bioaktif yang bersifat
polar pada filum molusca umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan komponen-komponen bioaktif lain yang bersifat non polar dan semi
polar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian ini, dimana kadar ekstrak metanol polar keong ipong-ipong terdapat dalam jumlah yang paling banyak. Pernyataan
diatas juga didukung oleh hasil penelitian Salamah et al. 2008 pada kijing taiwan Anandonta woodiana Lea. dan Nurjanah 2009 pada lintah laut
Discodoris sp., Prabowo 2009 pada keong mata merah Cerithedia obtusa dan Susanto 2010 pada keong mas Pomachea cunaliculata Lamarck, yang mana
ekstrak polar dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan ekstrak semi polar dan non polar.
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar
Ekstrak kasar keong ipong-ipong yang diperoleh dari ekstraksi serbuk keong ipong-ipong menggunakan pelarut kloroform p.a. non polar,
etil asetat p.a. semi polar, dan metanol p.a. polar diuji komponen bioaktifnya menggunakan metode fitokimia. Pengujian ini akan menghasilkan komponen
bioaktif apa saja yang terlarut pada tiap-tiap pelarut tersebut. Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak
terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida
Kannan et al. 2009. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi pengujian pada kompenen karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino sebagai metabolit
primer, sedangkan untuk metabolit sekunder dilakukan uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hirdokuinon Harborne 1984. Uji fitokimia yang
dilakukan pada penelitian ini, meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Adapun
hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong
Uji EKSTRAK
Kloroform Etil Asetat
Metanol Daging
Jeroan Daging
Jeroan Daging
Jeroan Alkaloid:
a. Dragendorf -
- +
- +
+ b. Meyer
- +
- -
- -
c. Wegner -
- +
+ +
+ Steroid
++ ++
+ +
+ +
Flavonoid -
- -
- -
- Saponin
- -
- -
- -
Fenol Hidroquinon
- -
- -
- -
Molisch +
+ +
+ +
+ Benedict
- -
- -
+ -
Biuret -
- -
- ++
++ Ninhidrin
- -
- -
++ ++
Keterangan: + : Lemah
++: Kuat
Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut metanol keong ipong-ipong
mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan dua ekstrak dengan pelarut lainnya. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak daging dan
jeroan dengan pelarut metanol antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, protein, gula pereduksi dan asam amino. Komponen bioaktif yang yang terdeteksi pada
ektrak daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut etil asetat antara lain, alkaloid, steroid dan karbohidrat. Komponen biaoktif yang terdeteksi pada ektrak
jeroan dengan pelarut kloroform antara lain alkaloid, steroid dan karbohidrat, sedangkan untuk ektrak dagingnya hanya terdeteksi steroid dan karbohidrat.
Berdasarkan Gambar 11 untuk ekstrak jeroan dengan pelarut etil asetat memiliki rendemen yang lebih besar jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut
kloroform, sehingga dapat ditarik kesimpulan awal bahwa ekstrak jeroan dengan pelarut etil asetat mengandung komponen lain selain ketiga komponen bioaktif
yang dikandungnya danatau ekstrak etil asetat mengandung komponen alkaloid, steroid dan karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ekstrak
jeroan dengan pelarut kloroform. Hal ini disebabkan ekstrak yang diperoleh dari hasil proses ekstraksi pada penelitian ini masih berupa ekstrak kasar, sehingga
perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan kromatografi , hal ini bertujuan untuk mengetahui komponen lain apa saja yang terkandung dalam
ekstrak tersebut beserta jumlahnya. Berdasarkan hasil dari uji fitokimia ini menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung 6 dari 9 komponen yang
diuji dengan metode fitokimia Harborne 1984.
1 Alkaloid
Komponen alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis,
yaitu cincin heterosiklik Harborne 1984. Komponen alkaloid ini ditemukan pada ekstrak jeroan dan ditiap-tiap pelarut, sedangkan untuk ekstrak daging, alkaloid
hanya ditemukan pada pelarut etil asetat dan metanol, akan tetapi tidak ditemukan
pada pelarut kloroform. Bioaktif jenis dari alkaloid ini umunya larut pada pelarut organik non polar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan
protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air Lenny 2006. Pelarut organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a.,
tetapi pada ekstrak daging keong ipong-ipong tidak menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid. Ekstrak daging yang menunjukkan hasil yang positif justru
dengan pelarut etil asetat p.a. semi polar dan metanol p.a. polar. Hal ini menunjukkan bahwa bagian daging keong ipong tidak mengandung alkaloid
sesungguhnya yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Akan tetapi pada ekstrak jeroannnya mengandung alkaloid
sesungguhnya yang bersifat racun. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin
heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan komponen alkaloid yang tidak diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa Lenny 2006.
Bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat pada ekstrak daging dan ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol di jeroan pada
keong ipong-ipong ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari keong ipong-ipong sendiri. Kutchan 1995 menyatakan bahwa, alkaloid
digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya,
tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada keong ipong- ipong ini juga berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh keong ipong-ipong
sendiri Alkaloid berasal dari sejumlah kecil asam amino antara lain ornitin dan
lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid jenis indol.
Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu
amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa
suatu enol atau fenol Lenny 2006. Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam jaringan tubuh keong ipong-ipong yang turut menghasilkan alkaloid.
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan Harborne 1984. Komponen alkaloid pada ekstrak keong ipong-ipong ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis
alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. 2009 pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga
berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV UV-B dan UV-C. Alkaloid jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin,
dan diduga pula memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinine Putra 2007. Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut
tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra UV, IR, MS
dan NMR Harborne 1984. Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat.
2 Steroid
Adapun pengujian yang telah dilakukan dan digunakan secara luas untuk mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang
memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid merupakan komponen dengan kerangka karbon yang terdiri dari 6 unit isoprene
dan dibuat secara biosintesis dari skualen C
30
hidrokarbon asiklik. Triterpenoid memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol,
aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi
Harborne 1984. Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja sebagai hormon seks,
hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya, akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan Harborne 1984.
Adapun komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks
progesterone, 17- -estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol
seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan Gastropoda Bose et al. 1997. Steroid ini juga diduga memiliki efek peningkat
stamina tubuh aprodisiaka dan anti-inflamasi. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setzer 2008, triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor
karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA
dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.
Berdasarkan hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen triterpenoidsteroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari pembentukan triterpenoidsteroid adalah kolesterol yang bersifat non polar
Harborne 1984, sehingga diduga triterpenoidsteroid dapat larut pada pelarut organik non polar. Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila
triterpenoidsteroid terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut kloroform non polar ataupun ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut etil
asetat semipolar keong ipong-ipong. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa triterpenoidsteroid juga terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan
dengan pelarut metanol polar. Hal ini dapat terjadi mengingat metanol merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang
bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart 2001 menyatakan bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
3 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi pati, transportasi energi sukrosa, serta pembangun dinding sel selulosa
Harborne 1984. Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul yang
berbeda-beda. Karbohidrat
umumnya aman
untuk dikonsumsi
tidak beracun. Rumus kimia karbohidrat umumnya C
x
H
2
O
y
Fennema 1996.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong positif mengandung unsur karbohidrat. Hasil
pengujian ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat keong ipong-ipong, yaitu sebesar 5.2. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga
pelarut yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi, sehingga karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak
kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong bukanlah komponen serat kasar, tetapi komponen glikogen yang terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda. Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa Winarno 2008.
Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan,
perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing Harborne 1984. Karbohidrat di dalam tubuh manusia berguna untuk mencegah
ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein Winarno 2008.
Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan pereaksi Molisch ini diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula
pereduksi pada ektrak metanol dari daging, akan tetapi tidak diikuti reaksi positif pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat, serta ekstrak jeroan
pada ketiga pelarut tersebut untuk ekstrak kasar keong ipong-ipong dengan menggunakan pereaksi Benedict. Ekstrak daging keong ipong-ipong dengan
metanol terdapat gula jenis aldosa, sedangkan untuk ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat dan ekstrak jeroan dari ketiga pelarut tersebut
diduga gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong ipong-ipong tersebut didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada
pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja,
seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga II menjadi
tembaga I yang akan mengendap sebagai Cu
2
O yang berwarna merah bata Fennema 1996.
4 Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil OH bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa aldosa biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya Winarno 2008.
Hasil pengujian fitokimia untuk gula pereduksi, terdeteki pada ekstrak kasar daging dengan pelarut metanol, sedangkan untuk kedua pelarut lainnya pada
ekstrak daging tidak terdeteksi, begitu juga pada ekstrak jeroan untuk ketiga pelarut yang digunakan. Terdeteksinya gula pereduksi pada ekstrak metanol
daging keong ipong-ipong ini menandakan bahwa, pada ekstrak daging tersebut terdapat gula jenis aldosa. Terdeteksinya gula pereduksi ini disebabkan karena
gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling reduksi Cu
2+
menjadi Cu
+
dan peraksi Tollens reduksi Ag
+
menjadi Ag. Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
Pine et al. 1988 .
5 Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H
2
O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Transisi dari polipeptida
menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian protein umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat molekul sekitar
10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino Lehninger 1988; Belitz et al. 2009.
Berdasarkan hasil pengujian fitokimia, komponen peptida ini terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan ekstrak metanol. Sedangkan pada
kedua pelarut lainnya tidak telihat reaksinya begitu pula pada kedua pelarut lainnya pada ekstrak jeroan. Pada ekstrak daging, peptide yang terdeteksi diduga
jenis protein yang berasal yang merupakan komponen metabolit primer,
sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak jeroan diduga jenis hormon tertentu. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata.
Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh
yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan
morfin, heroin dan jenis candu lainnya Lehninger 1988. Hasil penelitian Kannan et al. 2009 menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul 5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida tersebut memiliki nilai IC
50
sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker kolon HCT-116 dan sel kanker payudara HTB-26.
6 Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-carbon yang berikatan secara kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfiguras i α dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein Fennema 1996; Winarno 2008.
Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin terdeteksi asam amino pada ekstrak kasar daging dan jeroan pada pelarut
metanol, akan tetapi tidak terdeteksi pada kedua pelarut lainnya untuk kedua ekstrak tersebut. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino
yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non protein bukan penyusun protein. Kamil et al. 1998 menyatakan bahwa, asam
amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino yang memiliki sifat polar hidrofilik, baik yang bermuatan ataupun yang tidak
bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin asam amino polar bermuatan, treonin asam amino polar tak bermuata. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak
kloroform non polar ataupun ekstrak etil asetat semipolar tidak mengandung asam amino. Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non polar ini
terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong ipong-ipong yang
digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin 0,10 pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.
Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini didahului dengan hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ekstrak
daging dan jeroan dari metanol. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini
dibentuk dengan menarik unsur H
2
O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat
Lehninger 1988; Belitz et al. 2009. Tidak terdeteksinya komponen-komponen yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah
terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol. Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi, sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah
hidrolisis daripada sintesis Winarno 2008.
4.3 Aktivitas Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen
reaktif Kuncahyo dan Sunardi 2007. Keberadaan senyawa antioksidan ini dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji
aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong- ipong yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan
menggunakan metode uji DPPH. Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan Molyneux 2004. Metode pengujian ini berdasarkan pada
kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl DPPH
Vattem dan Shetty 2006. Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol
Molyneux 2004. Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak
reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan
etanol ataupun metanol Molyneux 2004. Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas
DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan
dalam pengujian ini cukup banyak. Pelarut yang digunakan adalah metanol. metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH
Molyneux 2004; Suratmo 2009 dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non polar di dalamnya, hal ini mengingat ketiga ekstrak yang diuji
memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda. Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah
antioksidan sintetik BHT butylated hydroxytoluene. Larutan BHT pada penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses
pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar
200, 400, 600 dan 800 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses pengenceran dari masing-masing larutan stok ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong 1000 ppm. Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses
pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,
yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat Molyneux 20004. Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang
diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37
o
C, sedangkan pada larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang
telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang signifikan. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50 IC
50
. Perubahan warna yang mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa
antioksidan pada larutan BHT dan larutan ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong, dapat dilihat pada Lampiran 6.
Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan ekstrak kasar keong ipong-ipong ini dapat diukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu, perhitungan persen inhibisi dan IC
50
dari antioksidan BHT dan masing-masing ekstrak kasar keong ipong-ipong dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah
kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Nilai IC
50
sendiri merupakan salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari
pengujian DPPH. Nilai IC
50
ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50 aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai
IC
50
berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi Molyneux 2004. Perhitungan persen inhibisi dan IC
50
dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil uji antioksidan
masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT Sampel
Inhibisi IC
50
ppm BHT
2 ppm 4 ppm
6 ppm 8 ppm
4,91 12,55
23,67 79,37
89,45
Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipong- ipong Fasciolaria salmo
Sampel Daging Inhibisi
IC
50
ppm 200 ppm
400 ppm 600 ppm
800 ppm Ekstrak Kloroform
22,90 24,14
24,61 25,19
9210 Ekstrak Etil Asetat
23,85 24,23
24,42 26,52
6825 Ekstrak Metanol
33,93 34,60
38,02 41,82
1513,8
Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipong- ipong Fasciolaria salmo
Sampel Jeroan Inhibisi
IC
50
ppm 200 ppm
400 ppm 600 ppm
800 ppm Ekstrak Kloroform
13,49 15,30
21,19 21,38
2825 Ekstrak Etil Asetat
15,39 15,87
17,96 20,24
4600 Ekstrak Metanol
19,96 28,13
33,84 43,63
994,47
Empat konsentrasi larutan BHT 2, 4, 6 dan 8 ppm yang digunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. 2005, dimana
dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC
50
BHT sebesar 3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC
50
BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai IC
50
BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. 2005 dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan
antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat 50 ppm menurut klasifikasi Blois 1958 dalam Molyneux 2004. Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini
menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya Berdasarkan hasil pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar
daging dan jeroan keong ipong-ipong juga memiliki aktivitas antioksidan seperti BHT, walaupun aktivitasnya tergolong lemah. Ketiga ekstrak kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong ini memiliki kekuatan penghambatan yang berbeda- beda antara yang satu dengan lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari
masing-masaing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dengan persen
inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya.
Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya.
Grafik pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa persen inhibisi tertinggi selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi ektrak kasar
daging dan jeroan yang terbanyak, yaitu larutan dengan konsentrasi 800 ppm pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong.
Sedangkan, persen inhibisi terendah selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi atau ekstrak kasar daging dan jeroan paling sedikit, yaitu
larutan dengan konsentrasi 200 ppm pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar
daging dan jeroan keong ipong-ipong yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula persen inhibisi yang akan dihasilkan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. 2005, yang menyatakan bahwa persentase penghambatan persen inhibisi terhadap aktivitas radikal bebas akan
ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Semakin kecil nilai IC
50
berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi Molyneux 2004. Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan bahwa ekstrak metanol
daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC
50
-nya yang terkecil, yaitu 1513,8 dan 994,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform dari daging keong
ipong-ipong merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC
50
-nya yang terbesar, yaitu 9210 ppm. Akan tetapi pada ekstrak kasar jeroan, ekstrak jeroan dengan etil asetat memiliki
aktivitas antioksidan yang paling lemah yaitu sebesar 4600 ppm. Walaupun rendemen ekstrak kloroform lebih sedikit dari rendemen ektrak
kasar jeroan dengan kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini diduga karena pada ekstrak kasar jeroan dengan kloroform terdapat komponen
bioaktif tertentu seperti alkaloid. Alkaloid telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. 2009, yang
menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari
radiasi sinar UV UV-B dan UV-C. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai
IC
50
kurang dari 0,05 mgml, kuat apabila nilai IC
50
antara 0,05-0,10 mgml,
sedang apabila nilai IC
50
berkisar antara 0,10-0,15 mgml, dan lemah apabila nilai IC
50
berkisar antara 0,15-0,20 mgml Blois 1958 dalam Molyneux 2004. Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong
tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC
50
-nya lebih besar dari 0,20 mgml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas
antioksidan dari BHT. Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki
aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari
nilai IC
50
BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC
50
dari masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC
50
antioksidan BHT jauh lebih kecil dari nilai IC
50
ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong- ipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong
yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar crude. Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan
merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi.
Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni
dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan
pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki
aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong tersebut. Setelah ekstrak yang telah dimurnikan tersebut diperoleh,maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.
Ekstrak kasar daging dengan kloroform dari keong ipong-ipong yang bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas
antioksidan yang paling lemah, walaupun berdasarkan hasil uji DPPH menunjukkan bahwa nilai IC
50
-nya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak memiliki sifat kepolaran yang
berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat
diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut
pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai IC
50
yang dihasilkan. Nilai IC
50
akan semakin besar jika ekstrak yang terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu
dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi
polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat
polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh
Vattem dan Shetty 2006 ; Amrun dan Umiyah 2005; serta Molyneux 2004.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan