PENDAHULUAN Penentuan waktu retensi sistem akuaponik untuk mereduksi limbah budidaya ikan nila Oreochromis sp.

I. PENDAHULUAN

Akuakultur merupakan kegiatan pemeliharaan ikan dalam wadah dan sistem terkontrol dengan tujuan peningkatan produksi perikanan yang berkelanjutan, sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akuakultur telah tumbuh paling pesat dengan rata-rata 8,9 per tahun sejak 1970, dibandingkan dengan perikanan tangkap dan peternakan yang hanya mengalami peningkatan sebesar 1,2 dan 2,8 per tahun dalam periode waktu yang sama FAO, 2004 dalam Crab et al., 2007. Akuakultur dituntut menjadi kontributor utama peningkatan produksi perikanan nasional. Menurut Kementrian Kelautan Perikanan 2010, produksi perikanan Indonesia tahun 2010 sebesar 10,83 juta ton atau melebihi sasaran produksi yang ditargetkan sebesar 10,76 juta ton. Sebanyak 5,478 juta ton atau 50,55 disumbangkan dari sektor akuakultur. Selama kurun waktu 2006-2010 akuakultur mengalami pertumbuhan sebesar 19,56. Ketersediaan lahan dan air untuk proses akuakultur semakin terbatas seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meningkatnya kegiatan industri, pertanian, dan pemukiman telah menggusur lahan budidaya, sehingga dari tahun ke tahun luasnya semakin berkurang. Disamping itu, aktifitas penduduk akan mengakibatkan pencemaran baik berupa limbah organik maupun anorganik. Pencemaran perairan juga dapat ditimbulkan oleh limbah dari aktifitas budidaya itu sendiri. Output dari proses budidaya ikan selain produksi ikan juga limbah kimia seperti unsur nitrogen dan fosfat yang dapat menjadi penyebab proses pengkayaan perairan eutrofikasi. Pada tingkat yang berlebihan, eutrofikasi mampu mengakibatkan kegagalan budidaya ikan akibat mortalitas massal yang berkaitan dengan konsentrasi oksigen terlarut dan senyawa beracun seperti NH 3 dan H 2 S Boyd Linchtkoppler, 1982. Aktivitas budidaya ikan tidak terlepas dari limbah yang dihasilkan, terutama dari sisa pakan, feses, dan hasil aktivitas metabolisme ikan. Pada sistem budidaya tanpa pergantian air zero water exchange seperti pada kolam air tenang, konsentrasi limbah budidaya seperti amonia NH 3 , nitrit NO 2 , dan CO 2 akan meningkat sangat cepat dan bersifat toksik bagi organisme budidaya 2 Surawidjaja, 2006. Limbah budidaya ikan yang merupakan hasil aktivitas metabolisme banyak mengandung amonia Effendi, 2003. Ikan mengeluarkan 80- 90 amonia N-anorganik melalui proses osmoregulasi, sedangkan dari feses dan urine sekitar 10-20 dari total nitrogen Rakocy et al., 1992 dalam Sumoharjo, 2010. Akumulasi amonia pada media budidaya merupakan salah satu penyebab penurunan kualitas perairan yang dapat berakibat pada kegagalan produksi budidaya ikan. Inovasi teknologi diperlukan untuk mengantisipasi penurunan produksi akuakultur akibat penyusutan lahan budidaya dan penurunan kualitas perairan. Inovasi teknologi tersebut diharapkan mampu mengurangi limbah dan meningkatkan produktifitas persatuan luas lahan budidaya. Salah satu inovasi teknologi yang dapat diterapkan yaitu budidaya ikan yang terintegrasi dengan tanaman melalui sistem akuaponik. Akuaponik merupakan bio-integrasi yang menghubungkan akuakultur berprinsip resirkulasi dengan produksi tanamansayuran hidroponik Diver, 2006. Teknologi akuaponik terbukti mampu berhasil memproduksi ikan secara optimal pada lahan sempit dan sumber air terbatas, termasuk di daerah perkotaan Ahmad et al. 2007. Teknologi ini pada prinsipnya disamping menghemat penggunaan lahan dan air juga meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan metabolisme ikan, serta merupakan salah satu sistem budidaya ikan yang ramah lingkungan. Pemilihan komoditas memegang peranan penting dalam merencanakan dan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diinginkan. Menurut Pramono 2009 jenis ikan air tawar yang dapat dibudidayakan pada sistem akuaponik antara lain nilatilapia, mas, koi, lele, dan udang galah. Namun, ikan nila merupakan jenis ikan yang tumbuh dengan baik dan paling umum digunakan dalam sistem akuaponik Rakocy et al., 1992 dalam Sumoharjo, 2010; Rakocy et al., 2006. Salah satu strain ikan nila yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ikan nila BEST Bogor Enhanced Strain Tilapia. Ikan nila BEST memiliki tingkat pertumbuhan dan daya tahan terhadap lingkungan yang lebih baik daripada jenis ikan nila lainnya Arifin et al, 2009. Sedangkan untuk tanaman yang bisa dimanfaatkan sebaiknya mempunyai nilai ekonomis, misalnya bayam hijau, bayam merah, kangkung, dan selada. Tanaman yang umumnya digunakan 3 yaitu kangkung, karena harga jual dan permintaan yang cukup tinggi. Kangkung merupakan tanaman dengan akar yang tidak terlalu kuat dan dalam pemeliharaanya memerlukan air secara terus menerus Nugroho dan Sutrisno, 2008. Selain itu, kangkung juga mudah dibudidayakan dengan waktu panen yang cukup singkat. Kangkung yang ditanam di daerah tercemar akan menyerap zat-zat beracun yang terdapat di lingkungan sekitarnya Nazaruddin, 1999. Penggunaan kangkung dalam sistem akuaponik mampu mereduksi limbah nitrogen budidaya ikan hingga 58 Setijaningsih, 2009. Selama ini berbagai penelitian tentang akuaponik hanya terfokus pada penentuan jenis komoditas ikan ataupun tanaman, padat penebaran dan penanaman, konstruksi wadah, dan jenis substrat tanaman yang digunakan. Perlu dilakukan kajian tentang lamanya air limbah budidaya ikan tertahantinggal dalam wadah pemeliharaan tanaman waktu retensi, sehingga tanaman yang diintegrasikan dalam sistem akuaponik mampu menyerap limbah budidaya ikan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu retensi sistem akuaponik yang optimal sehingga mampu mereduksi limbah dan mendukung produktivitas budidaya ikan nila Oreochromis sp.

II. METODE PENELITIAN