6
Jalan cabang adalah jalan hutan yang bermuara pada jalan induk yang dipergunakan untuk kegiatan pengusahaan hutan selama jangka waktu
pengusahaan hutan. Jalan sarad adalah jalan hutan yang bermuara pada jalan cabang yang dapat dipergunakan untuk kegiatan penyaradan kayu bulat. Jembatan
adalah bangunan penyambung jalan hutan yang terputus oleh sungai, saluran besar, atau jurang. Spesifikasi jalan adalah kondisi jalan hutan dengan unsur-unsur
: kekuatan menahan lalu lintas yang berjalan dengan frekuensi tertentu, dan kecepatan lalu lintas baik dalam keadaan isi maupun kosong. Pemeliharaan jalan
adalah usaha yang digunakan untuk mempertahankan kondisi jalan pada tingkat spesifikasinya, dan dilakukan sebelum atau selama kegiatan produksi dan
pembinaan hutan dilakukan Dephut 1993. Bangunan jalan hutan dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu badan
jalan dan lapisan pengeras. Masing-masing bagian mempunyai persyaratan tertentu agar dapat berfungsi dengan baik dalam segala keadaan cuaca dan lalu
lintas di atas jalan tersebut. Badan jalan adalah bagian fundamen suatu bangunan gedung. Jika fundamen ini tidak kuat, gedung itu dapat turun dan retak-retak,
bahkan dapat runtuh. Lapisan pengeras jalan yang baik harus memenuhi dua syarat, yaitu : secara keseluruhan pengeras jalan harus cukup kuat untuk memikul
beban kendaraan yang melintasinya, dan permukaan jalan harus tahan terhadap gaya gesek roda kendaraan dan pengaruh air Tinambunan Suparto 1999.
2.2 PWH Konvensional vs PWH Reduce Impact Logging RIL
Tujuan PWH yang hanya mengeksploitasi hutan semurah dan secepat mungkin, pada saat ini sudah tidak bisa ditolelir lagi karena sangat merusak
lingkungan dan tidak dapat menjamin pengelolaan hutan secara lestari. Ciri-ciri tujuan PWH yang hanya mengeksploitasi hutan adalah sebagai berikut :
1. Tujuan utamanya mengeluarkan kayu dan hasil hutan lainnya dari hutan semurah mungkin.
2. PWH hanya dirancang untuk tindakan jangka pendek, yaitu pada waktu akan diadakan pemanenan kayu dan hasil hutan lainnya, dan prasarana
yang dibangun pada umumnya kualitasnya rendah.
7
3. Setelah eksploitasi hutan selesai, prasarana PWH yang sudah dibangun tidak dipelihara.
Pada pemanenan kayu dengan cara konvensional aspek perencanaan pemanenan kayu kurang mendapat perhatian sehingga kerapatan jalan saradnya
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kerapatan jalan pada pemanenan menggunakan sistem RIL Elias 2008.
Menurut Elias 2008, pengelolaan hutan alam tropika di Indonesia, Malaysia, dan Brasilia mempunyai kerapatan jalan sarad pada pemanenan kayu
konvensional berkisar antara 125-225 mha, dengan luas tanah yang terbuka antara 9-28 . Kerapatan jalan sarad yang terjadi pada pemanenan kayu dengan
teknik RIL hanya berkisar antara 60-125 mha, dengan luas keterbukaan tanah berkisar 5-14. Berdasarkan informasi tersebut disarankan menggunakan teknik
RIL dalam pemanenan kayu karena dapat menurunkan keterbukaan tanah akibat penyaradan sampai 50 dari luas keterbukaan tanah yang disebabkan penyaradan
dengan cara pemanenan kayu konvensional. Tabel 1 menyajikan data kerapatan jalan sarad akibat pembuatan jalan sarad di hutan Kalimantan dan Malaysia.
Tabel 1 Kerapatan jalan sarad dan keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan sarad
No Peneliti
Tempat penelitian Pemanenan kayu
Cara konvensional Cara
RIL Kerapatan
jalan sarad mha
Keterbu- kaan
tanah Kerapatan
jalan sarad mha
Keterbu- kaan
tanah 1
Elias 1998 PT. Sumalindo
Lestari Jaya IV, Kab Bakau, Kalimantan
Timur -
8,73 -
5,21
2 March
et al 1993
Sabah, Malaysia 199
17,00 67
7,00 3
Bertault and
Sist 1995 STREK PROJECT
PT. Inhutani II, Kab Berau, Kalimantan
Timur -
27,80 -
13,90
4 Muhdi 2001
PT. Suka Jaya Makmur, kab
Ketapang, Kalimantan Barat
197 18,25
110 8,50
5 Project
ITTO PD 1495
Rev.2 F Serawak, Malaysia
212 10,50
92 4,50
Sumber : Elias 2008
8
Tabel 2 menyajikan beberapa penelitian tentang keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan sarad pada pemanenan kayu di hutan alam tropika tanah kering
Indonesia di berbagai perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan. Tabel 2 Persen keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan sarad pada pemanenan
kayu di hutan alam tropika tanah kering Indonesia No Peneliti
Lokasi Penelitian Keterbukaan
tanah 1 Abdulhadi et. al
1981 Lempaka, Kalimantan Timur
17,00 2 Butar-Butar 1991
PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah
20,79 3 Yanuar 1992
PT. Kayu Pesaguan, Kalimantan Barat
14,23 4 Elias et al 1993
PT. Narkata Rimba, Kalimantan Timur
PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur
16,42 17,34
Sumber : Elias 2008
Tabel 3 menyajikan luas, volume pemanenan, kerapatan jalan hutan, keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan hutan, tanjakan dan turunan
maksimum, dan struktur permukaan jalan induk pada PT. Hatma Sari dan PT. Heecing Timber
.
Tabel 3 Luas, volume pemanenan, jalan hutan, kerapatan jalan, dan keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan
No Uraian Perusahaan
PT. Hatma Sari PT. Heecing Timber
1 Luas bekas tebangan ha 19940
35021 2 Total volume kayu dipanen m
3
385794 934040
3 Kerapatan jalan utama mha 3,21
4,65 4 Keterbukaan jalan utama
0,39 0.56
5 Permukaan jalan induk Tidak diperkeras dan dipadatkan
6 Tanjakan maksimum angkutan 15-18
7 Kerapatan jalan cabang mha 1,92
6,54 8 Keterbukaan jalan cabang
0,17 0,59
9 Tanjakan dan turunan maksimum 20
Sumber : Tinambunan 1991
9
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dulsalam 1998 di PT Oceanias Timber Products A dan PT Segara Inochem B di Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa pada perusahaan A dengan rata-rata produksi adalah sebesar 3146,64 m
3
, dan kerapatan jalan hutan 9 mha, menghasilkan rata-rata keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan hutan adalah sebesar 425 m
2
ha 4, sedangkan di perusahaan B dengan produksi 3562,86 m
3
, dan kerapatan jalannya adalah sebesar 12 mha, diperoleh rata-rata keterbukaan tegakan akibat
pembuatan jalan hutan adalah sebesar 594 m
2
ha atau 6.
2.3 Penilaian PWH