ABSTRACT
M. RAHMAN ALAN SORY Study of Seroprevalence Mycoplasma
gallisepticum in Duck in Cipunegara Sub-district Subang District. Under guided of SRI MURTINI and RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.
This study were aimed to identify the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in duck in Cipunegara sub-district, Subang. Hundred fourty five
were samples sera from duck were use as a samples. Antibody against Mycoplasma gallisepticum was determined with Enzyme-linked immunosorbent
assay ELISA methods. The result showed that the seroprevalence of Mycoplasma gallisepticum in duck in Cipunegara sub-district as low as much as
1.4.
Keywords: Mycoplasma gallisepticum, duck, ELISA.
RINGKASAN
M.RAHMAN ALAN SORY Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum
pada Bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SRI MURTINI
dan RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.
Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang.
Penelitian ini menggunakan sampel 145 serum darah bebek. Pengujian Mycoplasma gallisepticum menggunakan metode pengujian Enzyme-linked
immunosorbent assay ELISA. Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang sebanyak 1.4.
Kata kunci: Mycoplasma gallisepticum, bebek, ELISA.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bebek merupakan salah satu sumber protein hewani yang telah dikenal dan disukai masyarakat karena harganya relatif terjangkau, memiliki rasa yang enak,
mudah dalam pengolahan serta tinggi nilai gizinya Grimes Jackson 2001. Populasi bebek mengalami peningkatan setiap tahunnya di Indonesia. Namun
jumlah total populasi bebek masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan ayam. Pada tahun 2009, populasi ayam kampung di Indonesia mencapai 249.9
juta ekor, sedangkan populasi bebek hanya sekitar 40.68 juta ekor Deptan 2010. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Subang pada tahun 2006
populasi ternak bebek sebesar 520 260 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2007 mencapai populasi 547 906 ekor. Namun peningkatan populasi
tersebut belum signifikan bila dilihat dari segi produksi telurnya pada tahun 2007 yang mencapai 3 582 358 kg Pemerintah Kabupaten Subang 2010.
Penyakit yang sering menyerang ternak unggas di Subang, antara lain yaitu tetelo ND, flu burung, dan Chronic Respiratory Disease CRD Eko 2003.
Ketiga jenis penyakit ini sama-sama menyerang saluran pernafasan dan menyebabkan penurunan produksi unggas, sehingga dapat menyebabkan kerugian
yang besar bagi para peternak. Bebek dapat terserang berbagai penyakit-penyakit yang menghambat produksi telur maupun pertumbuhan bobot badan. Salah satu
penyakit yang dapat menyerang bebek adalah Chronic Respiratory Disease atau CRD. Penyebab utama penyakit CRD adalah Mycoplasma gallisepticum.
Menurut Hirano 1978 Mycoplasma gallisepticum menyebabkan gangguan terhadap sistem pernafasan yang lebih parah pada unggas dibandingkan
Mycoplasma synoviae. Selain Mycoplasma gallisepticum dan Mycoplasma synoviae, bakteri Mycoplasma lainnya yang dapat menyebabkan penyakit serupa
yaitu Mycoplasma iowae dan Mycoplasma meleagridis. Penyakit CRD pada bebek mengakibatkan penurunan produktifitas,
kenaikan konversi pakan, menurunnya berat karkas, mengurangi daya tetas dan pertumbuhan yang terhambat Tully Whitcomb 1979. Mycoplasma
gallisepticum sering menyebabkan infeksi dengan gejala klinis yang sangat parah.
Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan angka pertumbuhan ternak unggas. Mycoplasma dapat menimbulkan masalah ekonomi jika terjadi lesio pada traktus
respiratorius yang menyebabkan tingginya angka morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas karkas sehingga karkas tidak layak dikonsumsi. Mycoplasma
gallisepticum tetap tinggal di dalam tubuh ayam pedaging dan tidak menyebabkan penyakit sampai ayam mengalami stres. Mycoplasma gallisepticum tidak bersifat
membunuh, bahkan pada kenyataannya angka morbiditasnya rendah, tetapi jika infeksi Mycoplasma ini merupakan infeksi sekunder dari penyakit lain ataupun
infeksi Mycoplasma ini disertai infeksi sekunder oleh bakteri lainnya secara berlebihan maka dapat menyebabkan tingginya morbiditas. Infeksi pada ayam
menimbulkan gejala respirasi termasuk batuk, bersin, adanya discharge dari nasal, berbusa di sekitar mata, atau kesulitan bernafas Tully Whitcomb 1979.
Kerugian yang diakibatkan penyakit Mycoplasma mencapai jutaan dollar Carpenter et al. 1979. Penelitian terhadap kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh CRD pada ayam pedaging di Pakistan menunjukkan bahwa infeksi CRD pada ayam pedaging menyebabkan penurunan berat badan sebesar 0.6 kg per 25
ekor ayam Smith 1988. Di Indonesia pada tahun 1989, Soeripto melaporkan bahwa CRD dapat menurunkan berat badan sebesar 62.1 gr per ekor ayam
pedaging. Eksistensi penyakit ini pada ayam ras telah dilaporkan di Indonesia dengan diagnosa menggunakan uji aglutinasi Soeripto 1989. Pada ayam buras
dilaporkan bahwa kejadian mikoplasmosis diperkirakan mencapai 70-80 Smith 1988.
Mycoplasma merupakan bakteri bersifat parasit obligat pada ayam dan kalkun Gillespie Timoney 1981, inang alami penyakit ini adalah ayam dan
kalkun Kleven et al. 1991. Secara genetik ayam lebih rentan daripada kalkun tetapi dilaporkan bahwa angsa dapat terinfeksi secara alami Bencina et al. 1988.
Angsa merupakan hewan yang peka terhadap infeksi Mycoplasma synoviae buatan Kleven et al. 1991. Angsa juga dapat terinfeksi jika dipelihara bersama-
sama dengan ayam-ayam penderita Bencina et al. 1988. Bebek juga dapat terserang mikoplasmosis, penelitian Barnes 2003 menyatakan bahwa
mikoplasmosis dapat diisolasi dari bebek.
Daerah Subang sebagai sentra peternakan ayam sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas pedaging skala
komersial atau sektor 3 dan unggas back yard sektor 4. Sektor 1 merupakan peternakan yang memiliki sistem industri yang terintegrasi, biosecurity yang
tinggi, dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 2 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity sedang sampai tinggi,
dan pemasaran produk untuk tujuan komersial. Sektor 3 merupakan peternakan yang memiliki sistem komersial, biosecurity yang rendah, dan pemasaran produk
berupa ayam hidup yang dijual ke pasar ayam. Sektor 4 merupakan peternakan yang memiliki sistem pemeliharaan tradisional, biosecurity sangat rendah, dan
biasanya hanya untuk konsumsi keluarga maupun dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga Naipospos 2010.
Peternakan bebek di daerah Subang merupakan bebek gembalaan yang digembalakan secara berpindah-pindah Naipospos 2010. Sistem penggembalaan
ini sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit. Pola beternak dengan sistem gembalaan berpindah memiliki sistem
biosecurity tidak layak yang
memungkinkan berbagai penyakit muncul. Penelitian di Thailand menunjukan bahwa tentang penggembalaan bebek berpindah yang terinfeksi virus Avian
Influenza H5N1 dalam waktu dua minggu dapat menyebarkan virus ke manusia dan unggas lainnya hingga menyebabkan kematian Songserm et al. 2006.
Salah satu penyakit yang ada pada bebek adalah mikoplasmosis. Pengetahuan tentang prevalensi penyakit Mycoplasma dapat dijadikan salah satu
dasar pertimbangan untuk melakukan kontrol yang efektif dalam usaha pencegahan infeksi selanjutnya Hossain et al. 2007. Selama ini penelitian
tentang mikoplasmosis pada bebek masih sangat jarang dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
prevalensi penyakit akibat infeksi Mycoplasma pada bebek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seroprevalensi mikoplasmosis pada bebek di
Kecamatan Cipunegara Subang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di kecamatan Cipunegara Kabupaten
Subang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prevalensi serologis tentang gambaran penyakit Mycoplasma pada bebek di Kecamatan Cipunegara
Kabupaten Subang.
TINJAUAN PUSTAKA
Chronic Respiratory Disease
Chronic Respiratory Disease CRD adalah penyakit pernafasan pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum. Infeksi
Mycoplasma gallisepticum ini sesungguhnya merupakan salah satu penyakit bakterial yang sering dijumpai di peternakan-peternakan, namun karena
serangannya yang berjalan lama atau kronis serta angka kematian yang ditimbulkan amat rendah, maka penyakit ini sering di anggap remeh saja oleh
peternak Smith 1988. Menurut Suprijatna 2008 mortalitas penyakit ini akan meningkat bila infeksi bakteri ini disertai penyakit ND Newcastle Disease dan
IB Infectious Bronchitis. Penyakit ini cukup populer, terutama pada pergantian musim, pada saat banyak hujan dan suasana dalam kandang lembab serta
didukung dengan cara pemeliharaan yang tidak intensif Rasyaf 1983. Infeksi Mycoplasma gallisepticum sering timbul sebagai infeksi saluran pernafasan
bagian atas dalam bentuk subklinis, namun dapat menyebabkan airsacculitis bila terjadi gabungan dengan Newcastle disease ND atau Infectious bronchitis IB
atau keduanya Kleven et al. 1991.
Karakteristik Mycoplasma Agent
Mycoplasma termasuk kedalam kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales dan famili Mycoplasmataceae. Bakteri ini memiliki ukuran 300-800 nm.
Mycoplasma tidak memiliki dinding sel namun ribosom dan DNA-nya terikat pada membran sitoplasma yang mengandung sterol, pospholipid dan protein.
Ketiadaan dinding
sel menyebabkan
strukturnya begitu
lentur dan
memudahkannya untuk melewati filter pada pori yang berukuran 450 nm Walker 2004. Mycoplasma memilki ciliostatic yang merupakan faktor virulensi yang
menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Salah satu dari strain Mycoplasma yaitu strain S66 mampu memproduksi neurotoksik yang menyebabkan meningitis pada
otak unggas meskipun gejalanya jarang terlihat pada infeksi alam Jordan 2006. Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan waktu satu generasi berkisar
antara satu sampai enam jam Songer 2005. Terdapat 17 spesies dari genus
Mycoplasma yang dapat diisolasi dari unggas, tetapi hanya empat spesies yang bersifat patogen terhadap unggas domestik. Keempat spesies tersebut adalah
Mycoplasma gallisepticum MG, Mycoplasma synoviae MS pada ayam dan kalkun Mycoplasma meleagridis MM, dan Mycoplasma iowae MI pada
kalkun. Patogenesitas untuk spesies lainnya belum diketahui, pada kondisi eksperimental, infeksi Mycoplasma gallinarum bersama infeksi virus bronchitis
dapat menyebabkan peradangan kantong hawa pada broiler.
Inang Host
Unggas yang didomestikasi seperti ayam, bebek, burung, kalkun, dan jenis unggas lainnya merupakan inang yang dapat terinfeksi Mycoplasma sp. Terutama
ayam dan kalkun yang dipelihara secara intensif. Bakteri ini juga menyerang pada semua tingkatan umur Suprijatna 2008. Organisme ini juga dapat diisolasi
dari bebek domestik dan sering dijumpai pula pada burung baik yang dikandangkan atau burung-burung yang terbang bebas. Mycoplasma juga dapat
diisolasi dari angsa Morris 2008. Ayam dan kalkun adalah spesies yang paling rentan terhadap infeksi saat inang tersebut menetas, namun inang akan
mengalami peningkatan resistensi terhadap penyakit ini seiring peningkatan umurnya. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai
tingkatan umur. Namun gejala klinis lebih jelas terlihat pada unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres Ensminger 1992.
Patogenesis
Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi ataupun konjungtiva. Penempelan pada glycoprotein permukaan pada sel
mukosa tubuh unggas merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh bakteri tersebut. Disamping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari
beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroxide, yang dapat menyebabkan tekanan oksidasi pada membran sel inang. Meskipun dipandang
sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum seperti Mycoplasma lainnya memiliki kemampuan untuk
menyerang sel dan mengganggu mekanisme transport sel. Hal ini menyebabkan
mereka mampu mengelabui antibodi dan bahan antimikroba. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus
respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau semen Jordan 2006.
Penyebaran Infeksi Mycoplasma gallisepticum MG
Penyebaran penyakit dapat terjadi melalui telur ayam dan kalkun yang terinfeksi Mycoplasma gallisepticum yang diisolasi dari oviduct unggas maupun
penyebaran dari unggas satu ke unggas yang lainnya melalui kotoran dan peralatan dalam kandang fomites. Penyebaran melalui fomites, terjadi pada
tingkatan yang terbatas disaat hewan sedang stres akibat kondisi sanitasi kandang yang buruk. Pada kelompok yang rentan akan penyakit ini bila dikandangkan
dalam satu ruangan akan menyebar dari satu unggas ke unggas yang lainnya, biasanya cukup cepat namun adanya dinding ruangan akan membentuk barier
yang efektif dan dapat mencegah penyebaran organisme ini. Kandang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri ini bila digunakan dalam produksi berkelanjutan
multiple-agesites akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga infeksi sulit dikontrol Ensminger 1992.
Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin.
Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit mikoplasmosis. Unggas dengan epitel saluran pernafasan yang rusak merupakan target yang baik untuk kolonisasi
mikroorganisme ini Adler 1970. Kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma merupakan faktor predisposisi
yang menentukan tingkat penyebaran. Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jordan
2006 Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan pada bulu unggas, rambut manusia, dan pakaian berbahan katun.
Gejala Klinis
Gejala klinis dalam bentuk akut berupa depresi yang berat, pertumbuhan terhambat, muka pucat, dada melepuh, kepincangan dan pembengkakan sendi,
tetapi pada kalkun gejala ini kurang tampak. Pada kalkun persendian kadang- kadang membengkak atau feces kehijauan Tully Whitcomb 1979.
Pembengkakan pada persendian dapat menyeluruh terutama pada kasus berat dan sebagian pada kasus yang ringan. Kepincangan dapat disebabkan oleh panas,
rasa sakit maupun bengkak pada hock joint. Bentuk yang akut ini dapat berlanjut menjadi bentuk kronis pada kondisi mengikuti vaksinasi ND dan IB Tully
Whitcomb 1979. Pada umumnya bentuk kronis tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata Razin Barile 1985. Penurunan produksi telur dapat terjadi pada
ayam petelur
dan kalkun.
Gejala klinis
lainnya berupa
ataxia, keratoconjunctivitis, arthritis, salpingitis, dan encephalopathy Songer 2005.
Infeksi Mycoplasma gallisepticum muncul dan menyebar pada saluran pernapasan yang mengakibatkan menurunnya karkas ayam broiler dan kalkun
serta produksi telur suboptimal pada ayam layer. Bakteri ini dapat menyebabkan menurunnya daya tetas telur pada bebek dan unggas lainnya dan sering
dihubungkan kondisi encephalopathy pada kalkun dan arthritis, tendosynovitis dan salpingitis pada ayam Ensminger 1992.
Diagnosis
Gejala klinis dan adanya lesio pada unggas yang terinfeksi merupakan ekspresi pada penyakit Mycoplasma. Dalam mendiagnosa penyakit ini tidak ada
tanda klinis atau lesio histologi yang patognomonis pada infeksi Mycoplasma galliseptium pada ayam atau kalkun Ensminger 1992. Diagnosa penyakit ini
wajib dilakukan uji di laboratorium agar tidak salah dalam mendiagnosa dan untuk menghindari diagnosa banding dari penyakit ini. Beberapa uji laboratorium
untuk mendiagnosa Mycoplasma adalah isolasi dan identifikasi organisme, uji serologis dan deteksi DNA. Probe DNA yang baru-baru ini dikembangkan untuk
identifikasi cara cepat Mycoplasma gallisepticum pada jaringan. Infeksi juga dapat dikenali dengan menunjukkan keberadaan antibodi spesifik melalui uji
serologis. Uji serologis tersebut berupa uji serum aglutinasi secara cepat RSA, uji aglutinasi tuba TA, uji inhibisi hemaglutinasi HI dan ELISA Enzyme-
Linked Immunosorbent assays Ensminger 1992.
Bebek
Sejarah pustaka menyatakan bahwa nenek moyang bebek berasal dari Amerika Utara. Nenek moyang bebek ini merupakan bebek liar Anas moscha
atau wild mallard. Bebek liar ini selanjutnya dijinakkan oleh manusia sehingga jadilah bebek yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus. Bebek
bersifat monogamus yaitu hidup berpasangan pada keadaan liar dan bersifat poligamus setelah didomestikasi sehingga bisa dipelihara bersama-sama dalam
satu kandang. Bebek menyebar ke kawasan yang luas karena bersifat aquatik. Selain itu, bebek bersifat omnivorus pemakan segala, mulai dari biji-bijian,
rumput-rumputan, umbi-umbian, dan makanan yang berasal dari hewan atau binatang-binatang kecil. Sifat spesifik lainnya dari bebek adalah kakinya yang
relatif pendek dibandingkan dengan tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh selaput renang, serta bulu-bulunya tebal dan berminyak
yang dapat menghalangi air masuk ke dalam tubuhnya ketika berada di dalam air Suharno 2002.
a b
c
d e
f Gambar 1. Beberapa jenis bebek yang ada di Indonesia a bebek Tegal b bebek
Mojosari c bebek Magelang d bebek Bali e bebek alabio f bebek Cirebon. Anonim 2011
Negara Amerika lebih menonjolkan ternak ayam dari pada ternak bebek Winter Funk 1956, sedangkan di Indonesia ternak bebek tidak kalah
pentingnya dengan ternak ayam Samosir 1973. American Standard of Perfection telah menetapkan sebanyak 11 breed bebek standar yang kebanyakan
diantaranya merupakan keturunan bebek liar Mallard. Ternak bebek tersebar dari Asia Timur sampai ke Amerika Utara Winter Funk 1956. Amerika lebih
mengutamakan produksi dalam bentuk daging dari pada telur Samosir 1973, Winter Funk 1956 akan tetapi di Indonesia justru sebaliknya Sudjai 1964
Samosir 1973. Kebanyakan ternak bebek yang dipelihara di Indonesia adalah bebek Jawa Pudjiarti 1972, Djanah 1973 Samosir 1973. Daerah-daerah
penyebaran ternak bebek antara lain: Karawang, Bekasi, Indramayu, Cirebon, Temanggung, Brebes, Tegal, Pekalongan, Comal, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan
Sudjai 1964 dan penyebaran bebek Alabio di Kalimantan Selatan Samosir 1973. Bebek mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan unggas lainnya
seperti mampu mempertahankan produksi telur lebih lama dibandingkan ayam, meskipun dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana, bebek masih
mampu berproduksi dengan baik, tingkat kematian mortalitas bebek umumnya kecil dan bebek lebih tahan terhadap penyakit. Bebek selalu bertelur di pagi hari,
dengan demikian kegiatan pengembilan telur hanya dilakukan sekali sehari sehingga peternak dapat melakukan kegiatan lainnya. Bebek masih bisa
berproduksi walaupun dengan pakan yang berkualitas rendah dan telurnya cocok dibuat telur asin Suharno 2002. Kelebihan pemeliharaan ternak bebek antara
lain terletak pada pertumbuhannya yang cepat, mudah dikembangkan, dan tahan terhadap penyakit Suharno 1999.
Mekanisme Kekebalan Bebek
Mekanisme kekebalan pada bebek terbentuk hampir sama seperti mekanisme kekebalan pada unggas secara umum. Peran utama dari sistem
kekebalan tubuh adalah untuk mengenali benda asing, organisme atau zat yang telah berhasil masuk ke dalam tubuh untuk memulai dan mengelola respon
fisiologis yang tepat untuk menghilangkannnya. Dalam keadaan optimal atau dalam keadaan sehat, sistem ini berfungsi secara efisien sehingga suatu individu
dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing. Ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan sistem imun
sebagai sistem pertahanan tubuh yaitu: 1 respon yang in-adekuat terhadap pathogenisitas immunodefisiensi yang berakibat kepekaan terhadap infeksi; 2
kegagalan dalam mengenal antigen secara selektif yang berakibat hilangnya self- tolerance sehingga muncul penyakit auto-imun; 3 respon berlebihan dan tidak
terkendali yang berakibat hipersensitifitas Kresno 2001. Sistem kekebalan unggas terbagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik
dan spesifik. Kedua sistem kekebalan tersebut saling bekerjasama menangkal benda asing dari luar tubuh yang dapat membahayakan tubuh. Individu yang
terpapar oleh benda asing maka yang pertama kali akan merespon adalah sistem pertahanan bawaannon-spesifik. Sistem kekebalan non-spesifik merupakan
sistem kekebalan yang diperoleh secara alami oleh tubuh namun proteksi yang diberikan tidak terlalu kuat dan tidak spesifik terhadap penyakit tertentu.
Kekebalan non-spesifik meliputi kekebalan fisik-mekanik, kekebalan kimikawi, dan kekebalan biologis. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan membran
mukosa serta hasil sekresi baik dari kulit maupun membran mukosa. Kulit dan membran mukosa merupakan sistem pertahanan utama tubuh karena bagian
permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Kekebalan kimiawi terdiri dari lisozim, asam lemak, asam lambung dan enzim proteolitik,
sedangkan kekebalan biologis dapat berupa flora normal yang ada di dalam tubuh Wibawan et al. 2003. Menurut Kresno 2001 komponen-komponen utama
dalam respon imun non-spesifik lainnya adalah berbagai jenis protein dalam darah termasuk komponen sistem komplemen, sel-sel fagosit yaitu sel-sel
polymorfonuklear dan makrofag serta sel Natural Killer NK. Mekanisme kekebalan spesifik diawali dari Antigen Presenting Cell APC
yang menghancurkan antigen melalui proses fagositosis dan menyajikan bagian dari antigen tersebut sehingga dapat dikenali oleh sistem imun spesifik Kuby
1997. Sel yang berperan penting dalam respon imun spesifik adalah limfosit dan Antigen Presenting Cell APC. Limfosit terdiri dari dua kelompok sel yaitu sel
limfosit B dan sel limfosit T. Sumsum tulang menghasilkan sel limfosit B dan sel limfosit T. Pendewasaan sel limfosit B terjadi di bursa fabricius pada unggas,
sedangkan pendewasaan sel limfosit T terjadi di organ timus Butcher 2003. Limfosit meninggalkan sumsum tulang bersirkulasi dalam darah dan sistem
limfatik untuk menempati beberapa organ limfoid. Antigen Presenting Cell APC yang memfragmentasi antigen akan
mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit melalui molekul Major Histocompability Complex MHC yang terletak di permukaan makrofag. Sel
limfosit T bisa berupa sel limfosit T-helpersel Th dan sel limfosit T-cytotoxicsel Tc. Sel T hanya akan bereaksi dengan antigen asing jika antigen tersebut
ditampilkan pada permukaan Antigen Presenting Cell APC bersama-sama dengan MHC, sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC
kelas II MHC II dan sel Tc mengenali antigen yang berikatan dengan MHC kelas I MHC I. Dengan demikian, maka molekul MHC berperan dalam
mengatur interaksi antara berbagai sel yang terlibat dalam respon imun. Interaksi sel Th dengan MHC II dilakukan melalui molekul permukaan sel Th yaitu CD4
Cluster of Differentiation 4 dan TCR T Cell Receptor yang dimiliki oleh sel Th. Interaksi sel Th dan Antigen Presenting Cell APC akan menginduksi
pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang
akan menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan dari proses ini hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel, sehingga disebut sebagai
kekebalan humoral atau kekebalan permukaan Humoral Mediated Immunity HMI Wibawan et al. 2003.
Kekebalan humoral ini tidak dapat berespon dengan antigen yang berada di dalam sel, oleh karena itu untuk menghilangkan antigen di dalam sel diperlukan
mekanisme pembentukan kekebalan seluler yaitu dengan menggunakan sel limfosit Tc Cytotoxic. Antigen akan di presentasikan oleh APC ke sel Tc
melalui MHC I. Interaksi antara sel Tc dan MHC I dilakukan melalui molekul CD8 dan TCR yang dimiliki oleh sel Tc. Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang
mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya walaupun host tidak menunjukan
gejala sakit. Tujuan dari penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler tersebut ke sel-sel sehat lain yang ada disekitarnya. Proses ini
dikenal sebagai proses kekebalan seluler Cellular Mediated Immunity CMI Wibawan et al. 2003.
Gambar 2. Bagan sistem kekebalan humoral dan selular Wibawan et al. 2003
Antigen yang masuk kedalam tubuh akan merangsang dan memunculkan respon awal yang disebut respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu
lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa sel-sel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Pada saat antigen yang
sama kembali menginfeksi tubuh maka respon yang muncul berupa respon imun sekunder. Respon sekunder muncul lebih cepat, lebih kuat, dan berlangsung lebih
lama dibandingkan respon imun primer Cann 1997.
Mycoplasma melakukan beberapa adaptasi agar dapat bertahan lebih lama pada inang. Mekanisme yang dilakukan Mycoplasma antara lain mimikri
molekuler, kelangsungan hidup dalam sel fagosit dan generasi plastisitas fenotipik. Mimikri molekuler merupakan penyerupaan yang dilakukan oleh
Mycoplasma untuk menghindari dari mekanisme pertahanan tubuh. Plastisitas fenotipik didefinisikan sebagai kemampuan suatu genotipe tunggal untuk
mengubah antigen memproduksi lebih dari satu bentuk morfologi, kondisi fisiologis dan perilaku dalam menanggapi kondisi lingkungan Rottem 2003.
Mekanisme kekebalan dalam merespon infeksi Mycoplasma melibatkan respon non-spesifik maupun spesifik. Mekanismenya melalui proses adhesi,
opsonisasi dan fagositosis. Adhesi merupakan proses memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh inang. Opsonisasi adalah pelapisan mikroba
oleh antibodi atau komplemen. Opsonisasi antigen oleh immunoglobulin meningkatkan fagositosis, mempermudah Antigen Presenting Cell APC
memproses dan menyajikan antigen ke sel T dan meningkatkan fungsi sel Natural Killer NK dalam mekanisme Antibody Dependent Cytotoxicity ADCC Kresno
2001.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan di daerah Subang pada bulan Desember 2009 dan pengujian
laboratorium di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada bulan Februari
sampai Juli 2010.
Bahan dan Alat Penelitian.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah bebek. Kit ELISA pemeriksaaan Mycoplasma gallisepticum MG produksi BioCheck® yang
terdiri dari microplate yang telah dilapisi dengan antigen MG, serum kontrol positif, kontrol negatif, larutan konjugat goat antiduck IgY peroxidase, larutan
buffer pengencer sampel, buffer substrat, stop solution, washing solution. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah micropipette, diluted chamber,
microtipe, ELISA reader, freezer.
Rancangan Percobaan
Sebanyak 145 bebek dari lima desa di kecamatan Cipunegara kabupaten Subang diambil darahnya untuk diperiksa serumnya terhadap keberadaan antibodi
anti MG. Kelima desa yang terpilih adalah desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari. Sampel diambil dengan metode purposive sampling, yaitu
dipilih bebek yang digembalakan berpindah dengan area pengembalaan di daerah kompartemen sekitar peternakan unggas sektor 1 dan 2.
Metode pemeriksaan antibodi anti MG dengan teknik ELISA tidak langsung
Dilakukan penyiapan sampel berupa pengenceran serum sampel dengan buffer pengencer sebesar 1:500.
Microplate yang telah dilapisi antigen MG dan masih tersegel dikeluarkan dari kertas pembungkus.
Sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam tiap-tiap sumur sebanyak 100 µl, sesuai pola yang telah dibuat. Empat sumur pada
kolom pertama microplate yaitu A1, B1, C1 dan D1 dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif dan negatif.
Sebanyak 100 µl kontrol negatif ditambahkan ke dalam sumur A1 dan B1. Dan sebanyak 100 µl kontrol positif ditambahkan ke dalam sumur C1 dan
D1. Inkubasi microplate selama 30 menit pada suhu ruang 22- 27
C. Microplate yang telah diinkubasi dicuci dengan menggunakan larutan
pencuci sebanyak 350 µl dan dilakukan aspirasi minimal 4 kali sampai menyentuh dinding sumur.
Plate dikeringkan dengan membalikkan plate pada kain yang berdaya serap tinggi sampai sumur benar- benar kosong.
Sebanyak 100 µl konjugat antiduck peroksidase ditambahkan ke dalam tiap sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 22- 27
C. Plate kemudian dicuci seperti langkah pencucian diatas.
Sebanyak 100 µl substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur. Saat
penambahan substrat sebaiknya dilakukan dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah atau matikan lampu ruangan. Hal ini dikarenakan substrat
sangat reaktif terhadap cahaya. Microplate ditutup dengan alumunium foil.
Microplate diinkubasi pada suhu ruangan 22- 27 C selama 15 menit,
kemudian ditambahkan 100 µl stop solution untuk menghentikan reaksi. Microplate dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang
405 nm.
Pembacaan Hasil
Hasil yang valid ditunjukkan dengan nilai absorban kontrol negatif harus terbaca di bawah 0.30 dan perbedaan nilai rata-rata negatif kontrol dengan positif
kontrol lebih besar daripada 0.15.
Interpretasi Hasil
Sampel dengan nilai ratio absorbansi sampel dibagi absorbansi kontrol positif ratio SP sebesar 0.5 atau lebih diartikan bahwa serum yang diperiksa
mengandung antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum positif.
Perhitungan rasio SP =
� � � ��
− � � �� �
� � � �� − � � ��
�
Nilai SP Status Antibodi
0.499 atau kurang Negatif
0.500 atau lebih Positif
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak
peternakan unggas sektor 1 dan 2 yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang memelihara unggas. Dikelima desa tersebut terdapat berbagai tipe
pemeliharaan unggas yaitu unggas backyard sektor 4, ayam ras pedaging komersial skala kecil sektor 3, tempat penampungan unggas tempat
pemotongan unggas serta penggembalaan bebek berpindah Eko 2003 Syafrison 2011.
Tingkat biosecurity pada peternakan sektor 3 dan sektor 4 masih sangat rendah. Sistem biosecurity yang rendah merupakan sistem yang tidak melakukan
kontrol terhadap lalu lintas orang, vaksinasi, pencatatan riwayat flock, pencucian kandang, pakan, air, limbah sisa-sisa produksi dan ayam mati. Semakin buruk
kondisi lingkungan dan manajemen kandang maka periode inkubasi Mycoplasma akan berlangsung lebih cepat Poultry Disease Network 2011. Menurut Bradbury
2006 Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut manusia dan pakaian berbahan katun. Dengan sistem biosecurity
yang sangat rendah pada sektor 3 dan 4 memungkinkan terjadinya interaksi penyakit antar kelompok unggas dengan sangat cepat. Selain itu, jika penyakit
benar-benar telah berada di lingkungan peternakan sektor 4, unggas yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi unggas lain di
peternakan sektor 4 maupun unggas di peternakan sektor lainnya. Hasil pengujian terhadap sampel serum yang diperoleh menunjukkan bahwa
prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kabupaten Subang cukup rendah, yaitu hanya 2 sampel yang menunjukkan positif mengandung
antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari 145 sampel yang diperoleh. Berdasarkan sebaran nilai prevalensinya hanya 2 desa yang menunjukan adanya
sampel positif yaitu desa Pada Mulya 1 sampel dan Parigi Mulya 1 sampel. Berdasarkan data tersebut maka prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada bebek
adalah 1.4. Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum
Nama Desa Jumlah
Sampel Positif
Negatif Persentase
Positif Persentase
Negatif
Tanjung 59
59 100
Jati 29
29 100
Pada Mulya 7
1 6
14.3 85.7
Parigi Mulya 28
1 27
3.6 96.4
Wanasari 22
22 100
Total 145
2 143
1.4 98.6
Jumlah sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda tergantung dari populasi bebek yang ada di masing-masing desa. Desa yang memiliki tingkat
prevalensi paling tinggi yaitu desa Parigi Mulya yaitu sebesar 14.3 dan diikuti oleh desa Pada Mulya yaitu sebesar 3.6. Desa Tanjung, Jati dan Wanasari
memiliki tingkat prevalensi yang sangat rendah karena tidak ditemukan adanya sampel positif di desa tersebut prevalensi 0. Prevalensi serologis Mycoplasma
gallisepticum pada bebek jauh lebih rendah dibandingkan ayam kampung. Hasil penelitian Juniwati 2011 tentang mikoplasmosis di Kecamatan Cipunegara pada
ayam kampung menunjukan nilai seroprevalensi sebesar 28.52 atau 83 sampel dari 291 sampel yang diperiksa yang didapat dari desa Tanjung, Jati, Pada Mulya,
Parigi Mulya dan Wanasari.
Gambar 3. Peta kecamatan Cipunegara Syafrison 2011
Rendahnya prevalensi mycoplasmosis pada bebek dibandingkan ayam kampung tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik, cara
pemeliharaan dan keberadaan agen dilingkungan. Secara genetik, inang alami Mycoplasma gallisepticum adalah ayam dan kalkun, meskipun Mycoplasma
gallisepticum pernah dilaporkan dapat juga diisolasi dari bebek, namun hal itu jarang terjadi.
Adanya perbedaan struktur silia mukosa ayam dengan bebek menyebabkan adanya perbedaan reseptor yang merupakan tempat penempelan
Mycoplasma pada saat menginfeksi inangnya. Bebek memiliki reseptor Mycoplasma pada mukosa dengan jumlah yang sedikit dibandingkan ayam
Rottem 2003. Hal ini menyebabkan bebek jarang terkena infeksi Mycoplasma, sehingga prevalensi yang di dapat dalam penelitian ini rendah.
Cara pemeliharaan bebek gembalaan berbeda dengan ayam kampung maupun ayam komersial. Pemeliharaan pada ayam komersial sangat berpotensi
sekali untuk mengalami stres. Kondisi ini rentan terhadap infeksi Mycoplasma, menurut Ensminger 1992 hewan yang mengalami stres akan memperlihatkan
gejala klinis yang lebih jelas pada penderita mikoplasmosis. Cara pemeliharaan ayam komersial dilakukan pemberian pakan secara intensif. Pemberian pakan
pada peternakan komersial yang telah bertransportasi memungkinkan pakan terkontaminasi Mycoplasma sehingga memungkinkan mengalami mikoplasmosis.
Bebek gembalaan dipelihara pada kondisi kandang yang tidak permanen sehingga dapat bebas mengekspresikan behavior selama proses angon maka tingkat stress
bebek lebih rendah. Rendahnya tingkat stres menyebabkan bebek tidak terlalu rentan terinfeksi Mycoplasma dibandingkan unggas komersial.
Pola beternak bebek dengan sistem penggembalaan berpindah-pindah, yang mengikuti musim panen padi memungkinkan terjadinya penularan antara
ayam kampung dengan bebek yang ada di Kecamatan Cipunegara. Pada saat musim hujan dan suhu yang lembab serta didukung dengan pemeliharaan yang
tidak intensif dapat mempercepat penularan dari Mycoplasma gallisepticum Rasyaf 1983.
Bebek di Kecamatan Cipunegara tidak pernah mendapatkan vaksinasi Mycoplasma gallisepticum artinya antibodi Mycoplasma gallisepticum yang
terdeteksi merupakan akibat paparan patogen yang ada di lingkungan. Adanya
antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara horizontal maupun vertikal. Penyebaran secara
horizontal dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok
melalui kontak langsung, hasil dari exhalasi, batuk, atau bersin. Tingkat penyebaran juga tergantung dari beberapa faktor seperti kepadatan kandang,
jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain Mycoplasma tersebut. Bakteri ini tidak selalu menyerang unggas yang berdekatan kandang, bahkan
dinding kandang kemungkinan dapat bertindak sebagai barier pertahanan terhadap transmisi Jordan 2006. Penyebaran tidak langsung dapat terjadi melalui pekerja
dan peralatan kandang yang terkontaminasi dan memungkinkan terjadinya penyebaran dari satu kelompok unggas ke kelompok unggas lainnya CFSPH
2007. Penggunaan vaksin aktif Mycoplasma gallisepticum di Belanda memiliki
pengaruh terhadap unggas-unggas lain disekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Feberwee 2006 penggunaan vaksin aktif Mycoplasma gallisepticum pada 20
ekor ayam petelur dapat berdampak pada 19 ekor ayam petelur yang tidak divaksin terinfeksi oleh Mycoplasma gallisepticum. Faktor lain yang
menyebabkan adanya antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara adalah lingkungan. Tingginya kadar ammonia,
banyaknya debu, rendahnya kadar nutrisi, immunosuppressive dan tingkat stres yang tinggi berperan penting dalam penyebaran penyakit mikoplasmosis
Bradbury 2006. Antibodi yang muncul akibat paparan Mycoplasma gallisepticum pada
bebek merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen Mycoplasma
gallisepticum. Konfigurasi yang terjadi antar molekul antigen-antibodi yang muncul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang cocok dengan
permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya. Penelitian ini menunjukan bahwa bebek di Kecamatan Cipunegara lebih resisten dibandingkan ayam
kampung hal ini ditunjukkan dengan prevalensi yang rendah. Kemungkinan lain adalah bahwa bebek telah membiasakan hidup di dalam kondisi sanitasi yang
buruk dalam jangka waktu yang lama sehingga membentuk sistem kekebalan alamiah dengan sendirinya. Sistem kekebalan alami sudah ada sejak hewan lahir
dan terdiri atas berbagai macam pertahanan non-spesifik. Sistem kekebalan alami pada bebek terbentuk setelah hewan terpapar oleh penyakit mikoplasmosis yang
merangsang sitem kerja dari sel limfosit B memori untuk mengingat agar pertahanan tubuh lebih kuat. Proses seperti ini biasa disebut dengan proses
adaptasi Ensminger et al. 2004. Bebek dapat hidup dengan berbagai macam kondisi alam yang ekstrim, sehingga bebek terbebas dari penyakit-penyakit
unggas seperti leukosis, Marek dan Infectious bronchitis Ensminger et al. 2004. Infeksi Mycoplasma gallisepticum pada bebek di daerah Subang memiliki
pathogenisitas yang rendah. Penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Soeripto 1988. Pada penelitian tersebut
telah diuji sebanyak 117 serum bebek Tegal dari 4 daerah di Jawa Barat dan 2 daerah di Jawa Tengah, hasil pengujian menunjukkan bahwa dideteksi keberadaan
antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum dari Indramayu sebanyak 17.4 sampel serum, Sumedang 7.7 sampel serum dan 4.1 sampel serum dari
Cirebon. Serum bebek dari Karawang, Tegal dan Semarang tidak memperlihatkan aglutinasi terhadap antigen Mycoplasma gallisepticum. Pada
penelitian tersebut Soeripto juga berhasil mengisolasi bakteri Mycoplasma tersebut adalah galur Mycoplasma gallisepticum dari sampel organ seekor bebek
Tegal yang mati akibat pasteurellosis. Menurut Soeripto 1988 isolasi galur Mycoplasma gallisepticum dan adanya antibodi terhadap Mycoplasma
gallisepticum pada bebek Tegal secara alami belum pernah dilaporkan di Indonesia.
Penelitian lain tentang mikoplasmosis di Indonesia yaitu survei infeksi bakteri Mycoplasma synoviae pada kalkun, angsa, entok dan bebek di kabupaten
Sleman dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Amanu Sunuwihadi 2005 menunjukan bahwa sebanyak 40 sampel sera bebek dari
kabupaten Sleman yang diambil pada periode tahun 2003, 13 sampel diantaranya memberikan reaksi positif terinfeksi Mycoplasma synoviae atau sebesar 32.50.
Sedangkan pada kalkun sebesar 56,52 atau 26 sampel positif terinfeksi Mycoplasma synoviae dari 72 sampel yang diperiksa. Hal ini menunjukan bahwa
unggas air relatif lebih resisten terhadap Mycoplasma dibandingkan dengan unggas lain Amanu Sunuwihadi 2005.
Sato 1996 menyatakan bahwa prevalensi mikoplasmosis pada ayam di Indonesia pada rentan 0 sampai 74, berdasarkan sampel yang berasal dari 7
breeding farm yang terindikasi positif terinfeksi mikoplasmosis. Infeksi Mycoplasma gallisepticum pada peternakan unggas komersial pernah dilaporkan
juga di Sao Paulo, Brazil. Sebanyak 1.046 sampel usapan trakhea dan embrio yang dikoleksi dari 33 farm ayam petelur dan pedaging ditemukan prevalensi
Mycoplasma gallisepticum sebesar 72.7 Buim 2009. Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum pernah dilaporkan pada ayam kampung di Belgia yaitu
sebesar 62 Chrysostome et al. 1995. Penelitian mengenai adanya Mycoplasma gallisepticum pada peternakan ayam komersial di Peninsula, Malaysia sebesar
18.68 Faisal et al. 2011. Di Turki diamati kebaradaan Mycoplasma gallisepticum pada burung puyuh, hasil pengamatan menunjukkan dari 20 sampel
serum yang diuji menggunakan ELISA diperoleh sebanyak 85 atau 17 sampel adalah positif terdapat antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum Turkyilmaz
et al. 2007.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil
penelitian prevalensi
serologis Mycoplasma
gallisepticum pada bebek di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang rendah adalah sebesar 1.4.
Saran
1. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam sumber
infeksi Mycoplasma gallisepticum pada bebek. 2.
Dibutuhkan penelitian lapang lanjutan untuk mengetahui sumber infeksi mikoplasmosis.
STUDI SEROPREVALENSI MYCOPLASMA GALLISEPTICUM PADA BEBEK DI KECAMATAN CIPUNEGARA KABUPATEN
SUBANG
M. RAHMAN ALAN SORY