39
7. Vegetasi
Keragaman penggunaan lahan dalam suatu lanskap juga berkaitan dengan jenis vegetasi yang ada di dalamnya. Sawah yang menjadi ciri penggunaan lahan
yang dominan pada lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh memiliki jenis vegetasi atau tanaman yang khas pula. Padi Payo adalah jenis padi lokal
yang berasal dari Kerinci. Padi ini banyak ditanam oleh masyarakat suku Kerinci sejak dahulu hingga sekarang. Padi jenis ini jika dimasak maka akan menjadi nasi
yang sangat pulen dan sangat digemari oleh masyarakat Kerinci. Namun, Padi Payo memiliki kelemahan yaitu umur tanam hingga panennya yang lama yaitu 7-8
bulan dan tanamannya mudah rebah karena bisa mencapai tinggi 1.5 m. Padi Payo saat ini sudah mulai mengalami penurunan dalam jumlah produksinya.
Hanya sedikit masyarakat yang masih melestarikan tanaman padi ini dengan cara menanamnya terus-menerus
meskipun pemerintah menganjurkan untuk
mengurangi jumlah padi lokal dan beralih menanam padi jenis unggulan seperti PB dan IR yang masa tanamnya lebih singkat. Selain Padi Payo yang masih
dipertahankan, jenis padi lainnya yang banyak ditanam oleh masyarakat Kerinci khususnya masyarakat adat Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru seperti
Padi Sarendah, Padi Silang, Padi Silangrami, dan Padi Pulut Sutro sekarang sudah tidak ditanami lagi. Secara umum, padi jenis PB dan IR saat ini sudah
mendominasi area sawah yang ada di dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh.
Jenis vegetasi lainnya yang menjadi ciri penggunaan lahan pada ladang atau Plak adalah pohon kelapa Cocos nucifera. Pohon kelapa sangat banyak tumbuh
di area plak baik yang berada di sekitar permukiman maupun yang berada di tengah sawah. Masyarakat memanfaatkan pohon kelapa untuk berbagai keperluan
seperti untuk bahan baku memasak dan bahan bangunan. Hingga saat ini, meskipun sudah jauh berkurang jumlahnya pohon kelapa masih dapat ditemui di
luar permukiman khususnya di area sawah Gambar 16. Saat ini masyarakat tidak lagi memanfaatkan pohon kelapa yang tumbuh di plak untuk dijadikan bahan baku
makanan maupun bangunan karena buah kelapa sudah banyak dijual di pasar dan bangunan rumah tidak lagi menggunakan kayu.
Lanskap Kota Sungai Penuh dahulu memiliki hutan dengan pepohonan besar dan rumpun bambu yang banyak terdapat di daerah perbukitan. Masyarakat
Sumber: Dok. Pribadi 2014
Gambar 16 Pohon kelapa pada plak di tengah sawah
40 biasanya mengambil kayu dan bambu dari hutan ini yang digunakan sebagai
bahan baku untuk membangun rumah. Jenis kayu yang banyak digunakan pada umumnya adalah kayu Medang Jangkat. Tidak diketahui pasti darimana asal dan
apa arti dari nama kayu ini. Kayu ini berasal dari pohon Medang Litsea sp. yang tergolong kedalam famili Lauraceae. Pohon ini dapat tumbuh hingga berumur
ratusan tahun dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis Sumatera. Pada tahun 2013, sebuah pohon Medang berusia sekitar 300 tahun ditemukan pada hutan adat
di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pohon ini memang memiliki sifat yang keras dan kuat sehingga cocok untuk dijadikan sebagai bahan bangunan untuk
Rumah Larik. Kayu medang ini biasanya digunakan pada bagian tiang-tiang utama rumah. Saat ini, seiring dengan semakin berkurangnya kawasan hutan di
Kota Sungai Penuh maka sangat sulit untuk menemukan pohon jenis ini lagi.
Masyarakat suku Kerinci dikenal memiliki banyak tradisi atau upacara adat yang beberapa diantaranya masih dilakukan hingga saat ini. Berbagai tradisi atau
upacara adat tersebut biasanya menggunakan tanaman atau tumbuhan tertentu sebagai pelengkap prosesi upacara. Masyarakat adat di Rumah Larik Enam
Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru juga masih melakukan upacara adat seperti upacara Kenduri Sko. Menurut Suswita et al. 2013, terdapat 37 jenis 22
famili tumbuhan yang dimanfaatkan dalam upacara adat kenduri sko. Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan dalam upacara adat ini dan hampir
ditemukan dalam setiap prosesi adalah buah pinang Areca catechu dan sirih Piper betle.
Pemanfaatan pinang dan sirih dalam setiap prosesi upacara adat tidak bisa digantikan dengan jenis tumbuhan lain karena tumbuhan tersebut memiliki makna
yang kompleks dan sangat penting. Pinang dan sirih pada umumnya ditanam oleh masyarakat di pekarangan rumah dan ladang. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik 2013, Kecamatan Sungai Penuh, Pondok Tinggi, dan Sungai Bungkal memiliki luas area tanam pinang seluas 18 ha namun baru 5 ha yang
menghasilkan. Jumlah ini sudah cukup memadai karena pinang hanya digunakan pada saat diadakannya upacara adat tertentu saja dan upacara ini tidak rutin
dilakukan oleh masyarakat. Gambar 17 menunjukkan aktivitas masyarakat yang sedang menjemur buah pinang di halaman rumah.
Sumber: Dok. Pribadi 2014
Gambar 17 Buah Pinang yang sedang dijemur
41
8. Bangunan dan Struktur
Bangunan dan struktur yang dapat ditemukan dan memiliki karakteristik yang khas pada lanskap budaya Rumah Larik terdiri atas Rumah Larik, masjid,
bilik padi, tabuh larangan, dan makam nenek moyang. Rumah Larik berfungsi sebagai tempat tinggal dan juga tempat kegiatan budaya masyarakat. Menurut
Lembaga Adat Propinsi Jambi 2003, rumah tradisional suku Kerinci memiliki dua tipe yaitu pertama, tipe rumah panjang larik dan kedua, tipe balairung atau
tipe mandiri. Perbedaannya terletak pada bentuk atap rumah. Tipe larik memiliki atap bubung garis lurus dan dari ujung ke ujung larik dibuat kayu ukiran yang
disebut gumbak atau puncok. Sedangkan tipe mandiri memiliki atap yang berpucuk dua dengan bubungan atapnya sedikit melengkung ke atas, kedua
ujungnya melengkung seperti perahu atau rumah adat minangkabau Gambar 18.
Rumah Larik secara umum memiliki bagian-bagian rumah yang terdiri atas tiang tuo yaitu tiang pondasi rumah, alang dan bandul yaitu penghubung antara
satu tiang dengan tiang lainnya, pintau atau pintu rumah, pintau suhai dan pintau singok yaitu jendela rumah, palasa yaitu teras atau beranda rumah, atak yaitu atap
rumah, tangga rumah, kandang yaitu bagian bawah rumah, pha tempat menyimpan barang dan berbagai peralatan rumah, serta ptaih tempat untuk
menyimpan benda-benda pusaka Zakaria 1984.
Selain itu, Rumah Larik juga dihiasi dengan ornamen-ornamen hias berupa ukiran berbagai motif pada bagian-bagian tertentu. Ornamen atau ragam hias ini
pada umumnya berupa motif tumbuhan. Tidak ditemukan motif binatang atau manusia karena pengaruh agama Islam yang kuat dalam masyarakat. Tidak hanya
pada Rumah Larik, ornamen hias berupa ukiran ini juga dibuat pada bangunan masjid, bilik padi, serta tabuh larangan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat
suku Kerinci pada masa itu sudah memiliki keterampilan dan jiwa seni yang tinggi. Namun, menurut Zakaria 1984 semua ukiran-ukiran pada bangunan
tersebut tidak ada yang diwarnai karena pada masa itu masyarakat belum mengenal bahan-bahan pewarna untuk kayu. Setiap motif ukiran yang dibuat pada
Gambar 18 Rumah Larik tipe balairung atau tipe mandiri
Sumber: hafifulhadi.blogspot.com 2014