Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi
PENILAIAN LANSKAP BUDAYA RUMAH LARIK
DI KOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Mohammad Sanjiva Refi Hasibuan
(4)
RINGKASAN
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN. Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN dan KASWANTO.
Lanskap budaya Rumah Larik merupakan lanskap permukiman tradisional suku Kerinci yang terbentuk dan berkembang secara organik sebagai hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Permasalahan yang terjadi pada lanskap budaya ini yaitu semakin hilangnya karakter lanskap akibat perkembangan dan pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lanskap budaya ini. Hal ini juga didukung oleh rendahnya kepedulian masyarakat, para pemangku adat, serta pemerintah terhadap elemen dan lanskap peninggalan yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai karakter lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh yang berada dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh, menilai tingkat signifikansi atau nilai penting lanskap, dan menentukan tindakan pelestarian yang tepat untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan Cultural Heritage Landscape
Assessment (CHLA).
Berdasarkan hasil penilaian dan analisis terhadap 11 karakteristik lanskap menurut Lennon dan Matthews (1996) maka disimpulkan bahwa karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh adalah lanskap permukiman tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam lokal. Indikatornya adalah penggunaan lahan yang didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah dan ladang serta aktivitas budaya masyarakat yang selalu terkait dengan pertanian dan pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Area karakter lanskap budaya Rumah Larik adalah area permukiman Rumah Larik yang mengelompok dan berpola sejajar memanjang serta dekat dengan sumber air. Adapun karakteristik kuncinya yaitu elemen-elemen lanskap seperti Rumah Larik, masjid, surau, bilik padi, tabuh larangan, makam nenek moyang, dan sungai. Sementara karakter estetika lanskap budaya ini berdasarkan persepsi responden adalah keaslian, tradisional, dan keindahan. Hasil penilaian signifikansi lanskap menunjukkan bahwa lanskap budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru secara berturut-turut memiliki nilai penting 24, 22, dan 19 yaitu termasuk kategori signifikansi sedang. Artinya nilai penting lanskap yang terdiri atas nilai penting estetika, sejarah, sosial/spiritual, dan ilmiah semakin hilang sehingga diperlukan upaya untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kembali nilai penting tersebut. Upaya atau tindakan yang diusulkan adalah melakukan registrasi, pemeliharaan, rekonstruksi, adaptasi, pemanfaatan, mempertahankan asosiasi dan makna, interpretasi, serta penelitian terhadap lanskap budaya Rumah Larik ini. Kata kunci: karakter, lanskap budaya, nilai penting, pelestarian, Rumah Larik
(5)
SUMMARY
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN. Cultural Landscape Assessment of Rumah Larik in Sungai Penuh City, Jambi Province. Supervised by NURHAYATI HS ARIFIN and KASWANTO.
Rumah Larik cultural landscape is the traditional settlement landscape of Kerincinese that shaped and developed organically as a result of interaction between people and their environment. The problem that occur on this cultural landscape is the character more and more decrease as consequence of development. This problem also caused by people and government were careless about their heritages. The objectives of this study are to assess characteristics of Rumah Larik cultural landscape in Sungai Penuh city, to assess the significant value of this landscape, and to determine the appropriate preservation efforts for this cultural landscape. The methods of this study are Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), and Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA).
Based on the results of the assessment and analysis of 11 landscape characteristics Lennon dan Matthews (1996), it can be concluded that character of Rumah Larik cultural landscape is a traditional settlement landscape based on agriculture and local natural resources. The indicator are the land use dominated by agricultural land in the form of ricefield and ladang as well as cultural activities which always associated with agriculture and utilization of local natural resources. Rumah Larik cultural landscape character area is Rumah Larik settlement area with long-parallel cluster pattern and close by water resource. The key characteristics are the elements of landscape such as Rumah Larik, mosque,
surau, bilik padi, tabuh larangan, ancestral burial grounds, and rivers. Autenticity, traditional, and beauty become aesthetic character of the cultural landscape based on respondent perception. The result of landscape significance assessment indicate that Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, and Dusun Baru cultural landscape chronologically has 24, 22, and 19 values which is moderate significance category. This means that aesthetic, historic, social/spiritual, and scientific significance of the landscape is getting lost so necessary effort to maintain or even improve the value is very important. Preservation efforts or proposed actions are registration, maintenance, reconstruction, adaptation, utilization, maintain associations and meanings, interpretations, and research to Rumah Larik cultural landscape.
Keywords: assessment, character, cultural landscape, Rumah Larik, significant value
(6)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(7)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
PENILAIAN LANSKAP BUDAYA RUMAH LARIK
DI KOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(8)
(9)
Judul Tesis : Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi
Nama : Mohammad Sanjiva Refi Hasibuan NIM : A451120041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc Ketua
Dr Kaswanto, SP MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
(10)
(11)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga penelitian dan penyusunan karya ilmiah tesis program Magister pada program studi Arsitektur Lanskap ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan kontribusi kepada tanah kelahiran yaitu Kota Sungai Penuh dan kepada masyarakat Kerinci pada umumnya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah sebagai evaluasi serta dasar untuk pengelolaan lanskap budaya Rumah Larik beserta nilai-nilai penting yang dimilikinya di masa yang akan datang.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc dan Dr Kaswanto, SP MSi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian serta penyusunan tesis ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Armen Sabri selaku Ketua Lembaga Adat Kota Sungai Penuh, Bapak Iskandar Zakaria selaku Budayawan Kerinci, Bapak Depati Alimin selaku tokoh adat Kota Sungai Penuh, serta dinas-dinas pemerintahan yang terkait, yang telah membantu selama pengumpulan data. Selanjutnya, kepada keluarga, rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012, dan seluruh pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil, penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Bogor, Desember 2014
(12)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
Kerangka Pikir 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Lanskap Budaya 5
Landscape Character Assessment (LCA) 5
Signifikansi Budaya 7
3 METODE 8
Lokasi dan Waktu Penelitian 8
Jenis dan Sumber Data 8
Prosedur Analisis Data 9
Landscape Character Assessment (LCA) 9
Metode Semantic Differential (SD) 10
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA) 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Kondisi Umum Kota Sungai Penuh 15
Kondisi Umum Masyarakat 17
Sistem Pemerintahan Adat 18
Rumah Larik Enam Luhah 21
Rumah Larik Pondok Tinggi 23
Rumah Larik Dusun Baru 24
Lanskap Budaya Rumah Larik 25
Karakter Lanskap Budaya Rumah Larik 27
Landuse dan Aktivitas 27
Pola Organisasi Ruang 30
Respon terhadap Lingkungan 34
Tradisi Budaya 35
Jaringan Sirkulasi 36
Batas Wilayah 37
(13)
Bangunan dan Struktur 41
Klaster 48
Situs Arkeologi 48
Elemen Skala Kecil 49
Karakter Estetika Lanskap Budaya Rumah Larik 51
Tipe dan Area Karakter Lanskap 61
Nilai Penting Lanskap Budaya Rumah Larik 62
Nilai Penting Estetika 63
Nilai Penting Sejarah 66
Nilai Penting Sosial dan Spiritual 67
Nilai Penting Ilmiah 68
Pembobotan Nilai Penting 69
Pelestarian Lanskap Budaya Rumah Larik 70
5 SIMPULAN DAN SARAN 76
Simpulan 76
Saran 77
DAFTAR PUSTAKA 77
GLOSARIUM 80
LAMPIRAN 82
RIWAYAT HIDUP 87
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data yang diperlukan 9
2 Kata-kata bipolar 11
3 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya 13 4 Luas kecamatan di Kota Sungai Penuh tahun 2013 15
5 Jenis ragam hias, makna, dan bentuk motifnya 42
6 Nilai rata-rata (mean value) variabel penilaian SD 54 7 Elemen lanskap bernilai tinggi dan variabelnya 56
8 Hasil pengujian KMO-MSA dan Bartlett 58
9 Matriks komponen rotasi 60
10 Faktor dan variabel yang terbentuk 60
11 Karakteristik yang digunakan dalam penilaian signifikansi lanskap 63
12 Hasil pembobotan nilai penting 69
13 Pedoman (guidelines) tindakan pelestarian 74
DAFTAR GAMBAR
1 Rumah Larik 1
(14)
3 Lokasi penelitian 8
4 Batas administrasi Kota Sungai Penuh 16
5 Batas wilayah adat Depati nan Bertujuh 19
6 Lokasi Rumah Larik Enam Luhah 22
7 Lokasi Rumah Larik Pondok Tinggi 23
8 Lokasi Rumah Larik Dusun Baru 25
9 Pola tata guna lahan lanskap budaya Rumah Larik 27 10 Rumah Larik Pondok Tinggi dan lanskap di sekitarnya tahun 1900-an 29
11 Landuse Kota Sungai Penuh tahun 1923 - 1924 30
12 Pembagian ruang rumah secara vertikal 31
13 Pembagian ruang rumah secara horisontal 32
14 Pola tata ruang sebuah luhah 33
15 Organisasi dan hubungan antar ruang lanskap budaya Rumah Larik 34
16 Pohon kelapa pada plak di tengah sawah 39
17 Buah pinang yang sedang dijemur 40
18 Rumah Larik tipe balairung atau tipe mandiri 41
19 Masjid Agung Pondok Tinggi 43
20 Masjid Raya Sungai Penuh 44
21 Bilik padi dengan hiasan ukiran dan bilik padi tanpa hiasan ukiran 45
22 Tabuh larangan Pondok Tinggi dan tabuh laranganSigantou Alang 46
23 Makam nenek moyang masyarakat adat Enam Luhah di Dusun Bernik 47 24 Makam Sutan Kamat Gelar Depati Payung Negeri Panjang
Panjang Rambut Terawang Lidah di Rumah Larik Pondok Tinggi 47
25 Batu Menhir pada makam nenek moyang 49
26 Batu lesung dan posisi batu lesung 50
27 Kincir air untuk mengairi sawah 51
28 Lokasi vantage points pada Rumah Larik Enam Luhah 52 29 Lokasi vantage points pada Rumah Larik Pondok Tinggi 52 30 Lokasi vantage points pada Rumah Larik Dusun Baru 52 31 Grafik hasil penilaian estetika lanskap budaya Rumah Larik 53 32 Nilai rata-rata lanskap (garis biru) dibandingkan dengan
nilai rata-rata umum (garis merah) 55
33 Korelasi antar variabel berdasarkan analisis biplot 59 34 Peta tipe karakter lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh 61 35 Proses terbentuknya lanskap budaya Rumah Larik 62 36 Rumah tradisional (kiri), rumah semi-modern (tengah),
dan rumah modern (kanan) 64
37 Tanah mendapo (kiri) dan halaman Masjid Raya Sungai Penuh (kanan) 67
38 Peta pelestarian lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh 74
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Semantic Differential (SD) 82
(15)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumah Larik adalah rumah tradisional masyarakat suku Kerinci yang terdapat di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi (Gambar 1). Menurut Hasibuan (2010), Rumah Larik memiliki pola berjejer memanjang (linear) dari arah Timur ke Barat yang saling terhubung antara satu rumah dengan rumah lainnya sehingga membentuk sebuah larik atau laheik. Oleh Masyarakat Kerinci, istilah Rumah Larik selain untuk menyebut rumah juga digunakan untuk menyebut permukiman tradisional tempat mereka tinggal. Masyarakat suku Kerinci umumnya hidup dan tinggal berkelompok dalam sebuah lurah. Setiap lurah (luhah) terdiri atas dua buah larik atau lebih. Satu larik didiami oleh beberapa keluarga (pintu) yang masih memiliki satu garis keturunan (Zakaria 1973). Permukiman ini merupakan cikal bakal dari perkembangan daerah Kerinci menjadi Kabupaten dan Kota.
Terdapat 3 permukiman Rumah Larik yang menjadi pusat perkembangan Kota Sungai Penuh yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru. Ketiga Rumah Larik ini memiliki sejarah dan karakteristiknya masing-masing. Jika dilihat dari luas kawasannya, maka Rumah Larik Enam Luhah merupakan permukiman yang memiliki area paling luas diikuti oleh Rumah Larik Pondok Tinggi dan Rumah Larik Dusun Baru. Pola spasial suatu permukiman tidak hanya ditentukan dan diatur oleh kebutuhan sehari-hari manusia, tetapi juga oleh norma sosial dan tatanan budaya (Nunta dan Sahachaisaeree 2012). Sebagai sebuah hasil kebudayaan yang tangible, Rumah Larik juga memiliki keterkaitan dengan lanskap di sekitarnya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat seperti sawah, ladang, sungai, mata air, pemakaman dan hutan. Lanskap budaya Rumah Larik terbentuk oleh pengaruh sosial budaya masyarakat, filosofi kehidupan yang berorientasi pada alam, adat istiadat dan kepercayaan (Hasibuan 2010).
Secara umum, lanskap budaya dibagi menjadi 3 kategori oleh UNESCO (2005), yaitu designed landscape, organically evolved landscape, dan associative
landscape. Lanskap budaya Rumah Larik dapat dikategorikan ke dalam
Sumber: Dok. Pribadi (2014)
(16)
2
organically evolved landscape dan associative landscape karena merupakan lanskap yang terbentuk dan berkembang secara organik serta memiliki asosiasi dengan budaya masyarakat dan elemen-elemen yang ada di alam. Menurut von Droste et al. (1995) dalam Mitchell dan Buggey (2000), lanskap budaya merupakan pertemuan antara alam dan budaya yang merepresentasikan interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang membentuk muka bumi ini. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang cepat, lanskap budaya menjadi situs yang paling rapuh dan terancam di bumi ini.
Dalam perkembangannya, lanskap budaya Rumah Larik ini telah mengalami degradasi baik secara biofisik maupun sosial budaya. Hal ini disebabkan oleh faktor internal seperti kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga warisan sejarah dan budaya serta semakin lemahnya peraturan atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Sementara dari faktor eksternal disebabkan oleh pengaruh urbanisasi dan globalisasi yang sangat kuat, kurangnya perhatian dan pengelolaan dari pemerintah, serta faktor alam seperti cuaca dan bencana alam. Degradasi lanskap yang terjadi pada Rumah Larik ini antara lain, semakin berkurangnya jumlah Rumah Larik yang memiliki arsitektur asli, bilik-bilik padi sudah hilang, sawah dan ladang banyak yang mulai beralih fungsi menjadi area terbangun, elemen-elemen bernilai sejarah dalam permukiman mengalami kerusakan karena tidak dirawat dengan baik, bangunan komersil mulai dibangun di area permukiman, berkurangnya integritas lanskap dari aspek estetika dan arsitektural, dan sebagainya. Menurut McClean (2007), masalah pengelolaan bisa bervariasi untuk setiap tempat atau area. Umumnya masalah yang terjadi pada tempat atau area yang bernilai sejarah: kerusakan terhadap benda, struktur, atau tempat bersejarah; hilangnya susunan atau tatanan struktur, tempat, dan tapak bersejarah; ketidaksuaian pengembangan di sekitar maupun di dalam permukiman tradisional; masalah akses terhadap tempat, tapak, dan struktur milik privat; kerusakan yang disebabkan oleh vandalisme; pemasangan iklan, reklame, dan
signage yang tidak tepat; serta hilangnya koridor visual dan viewing point.
Sebagai suatu lanskap budaya, Rumah Larik memiliki nilai penting atau signifikansi bagi masyarakat dan identitas budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Budaya dan identitas tidak hanya sebuah hubungan sosial tetapi juga hubungan spasial. Jika tidak dilakukan penilaian (assessment) terhadap lanskap budaya Rumah Larik, maka dikhawatirkan nilai-nilai penting serta karakter lanskap akan menghilang seiring berjalannya waktu dan ancaman (threat) yang terus datang. Signifikansi budaya adalah nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial, dan spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait (Australia ICOMOS 1999). Menurut Antrop (2005) dalam Stephenson (2008), pengembangan lanskap yang tidak sesuai akan dapat merubah atau menghilangkan karakteristik lokal yang khusus dan makna budaya, membuat pemisah antara masyarakat dan masa lalunya. Lanskap budaya Rumah Larik dengan segala elemen pembentuknya merupakan rekaman sejarah kehidupan masa lalu dan mencerminkan keragaman salah satu suku/masyarakat yang ada di Indonesia. Keberadaan lanskap budaya ini merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan harus dilestarikan.
(17)
3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan tiga permasa- lahan penelitian antara lain:
1. bagaimana karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh? 2. seberapa pentingkah lanskap budaya Rumah Larik ini?
3. apa tindakan pelestarian yang tepat untuk melestarikan karakter serta nilai-nilai penting yang dimilikinya?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. mengidentifikasi karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, 2. menganalisis nilai penting lanskap budaya Rumah Larik, dan
3. memberi rekomendasi tindakan pelestarian yang sesuai untuk keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai evaluasi dan dasar pengelolaan bagi masyarakat adat serta pemerintah Kota Sungai Penuh dalam upaya melestarikan unsur-unsur dan wujud kebudayaan yang dimilikinya dalam lanskap budaya Rumah Larik baik yang bersifat fisik (tangible) maupun non-fisik (intangible). Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan masyarakat khususnya bagi para generasi muda tentang nilai dan arti penting lanskap budaya Rumah Larik sebagai identitas kebudayaan suku Kerinci dan masyarakat Kota Sungai Penuh.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah lanskap budaya di Kota Sungai Penuh yang mencakup tiga kawasan permukiman yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru. Pengamatan dan analisis tidak hanya dilakukan terhadap permukiman Rumah Larik saja, tetapi juga dilakukan pada lanskap di sekitar yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan dan budaya masyarakat yang tinggal di Rumah Larik ini seperti sungai, lahan pertanian, hutan, dan sebagainya. Adapun batasan lanskap budaya Rumah Larik ini adalah mencakup wilayah adat Depati nan Bertujuh, Kota Sungai Penuh. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini tidak hanya bersumber dari hasil studi pustaka dan survei lapang saja, tetapi juga dikumpulkan melalui sumber-sumber lain yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti wawancara dan data dari dinas-dinas yang terkait. Narasumber untuk wawancara dilakukan terhadap ketua adat, Depati dan Ninik Mamak, ahli sejarah dan kebudayaan Kerinci, pejabat pemerintahan, serta masyarakat lokal.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada metode untuk penilaian karakter dan signifikansi lanskap. Metode diadopsi dari metode penilaian karakter lanskap menurut Swanwick (2002) dan penilaian karakter
(18)
4
estetika menggunakan metode Semantic Differential serta penilaian signifikansi lanskap budaya menurut Australia ICOMOS (1999). Metode ini lalu dimodifikasi serta disesuaikan untuk kasus lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh. Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah karakter lanskap, nilai signifikansi lanskap, dan rekomendasi pelestarian.
Kerangka Pikir
Pelestarian lanskap budaya Rumah Larik beserta nilai-nilai penting yang dimilikinya dapat dilakukan dengan mengetahui karakter dan nilai pentingnya melalui penilaian (assessment). Perubahan karakter akibat degradasi lanskap akan mempengaruhi nilai penting dan bentuk tindakan pelestarian yang akan dilakukan. Proses penilaian lanskap budaya ini mengacu pada UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Piagam Burra Australia (Gambar 2).
(19)
5
2
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya
Menurut UU No.11 tahun 2010, kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khusus. Smith (2004) menyatakan bahwa lanskap budaya adalah suatu susunan gagasan atau ide dan praktik yang tertanam di suatu tempat. Sedangkan menurut UNESCO (2005), lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia, ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya, baik eksternal maupun internal. Lanskap budaya adalah suatu area fisik yang memiliki fitur alami dan elemen-elemen buatan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan pola-pola dalam lanskap, yang memberikan karakter khusus, mencerminkan hubungan antara manusia terhadap lanskap (Lennon dan Mathews 1996).
Lanskap atau bentang alam memiliki sifat yang dinamis karena selalu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan lanskap ini bisa menuju ke arah yang lebih baik namun juga bisa menuju ke arah perubahan yang lebih buruk. Perubahan lanskap ke arah yang lebih buruk sering dikenal dengan istilah degradasi lanskap. Degradasi lanskap ini biasanya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Pada masa modern seperti saat ini, manusia menjadi pengaruh dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lanskap. Seperti pernyataan Golley (1990) dalam Naveh (1995), manusia merupakan organisme yang tidak hanya melihat dan merasakan lanskap tetapi juga berinteraksi dengannya dalam proses transaksional yang dinamis. Mengolah dan merawat alam hingga alam tersebut sesuai bagi tempat hidup manusia bukan berarti bahwa alam takluk oleh dominansi manusia (Ahrendt dalam Naveh 1995).
Landscape Character Assessment (LCA)
Karakter adalah suatu pola dari elemen-elemen lanskap yang berbeda, konsisten dan dapat dikenali yang membuat satu lanskap berbeda dengan yang lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen yang memberi kontribusi terhadap perbedaan karakter. Elemen adalah komponen-komponen individu yang menghiasi lanskap seperti pohon, bangunan, dan sebagainya. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area-area yang memiliki kesamaan karakter, mengklasifikasi dan memetakannya serta mendeskripsikan karakternya.
Karakter lanskap adalah keseluruhan visual dan impresi budaya dari atribut-atribut lanskap atau penampilan fisik dan konteks budaya dari sebuah lanskap yang memberikan suatu identitas dan sense of place. Karakter lanskap memberikan image budaya dan visual pada suatu area geografis dan terdiri atas kombinasi atribut fisik, biologi, dan budaya yang membuat setiap lanskap dapat dikenali dan unik (USDA 1995).
(20)
6
Landscape Character Assessment (LCA) adalah suatu alat yang dapat membuat kontribusi yang signifikan terhadap tujuan yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan dan penggunaan sumber daya secara bijaksana sebagai pilar pembangunan berkelanjutan (Swanwick 2002). Dalam penilaian karakter suatu lanskap, aspek estetika dan persepsi menjadi salah satu bagian yang penting untuk dinilai. Estetika merupakan hal yang berkaitan erat dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek. Estetika lingkungan atau lanskap sebenarnya bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal sejak abad ke-18. Namun, estetika terhadap lingkungan maupun lanskap ini masih kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah melalui peraturan daerahnya belum memasukkan aspek estetika lingkungan sebagai aspek yang harus diperhatikan dan dilindungi. Nilai-nilai yang terdapat dalam estetika lingkungan sangat mempengaruhi suatu bangsa, budaya, dan individu. Estetika terhadap lanskap budaya di Indonesia belum mendapatkan apresiasi baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah. Menurut Carlson (2009), nilai estetika suatu lanskap budaya tidak hanya dilihat dari fisik luarnya saja (estetika formal) tetapi juga memiliki nilai estetika yang tersirat di dalamnya (estetika ekspresif) seperti makna, simbol, mistik, dan sebagainya.
Sejak tahun 1960, kepedulian dan perhatian terhadap isu-isu lingkungan meningkat termasuk peraturan daerah di Amerika Serikat menyebabkan munculnya kebutuhan akan metode untuk mengevaluasi keindahan atau estetika lanskap. Para profesional arsitek lanskap berupaya menemukan berbagai macam model untuk melakukan penilaian terhadap lingkungan (Gorski 2007). Menurut Daniel (2001) dalam Kivanc (2013), kualitas visual lanskap adalah produk bersama dari proses psikologi para pengamat (persepsi, kognisi, emosi) dalam interaksinya dengan karakteristik visual lanskap yang terlihat jelas. Kivanc (2013) menyatakan ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai kualitas visual suatu lanskap. Pertama, pendekatan evaluasi yang berdasarkan pada opini ahli (expert) dalam hal ini yaitu para ahli yang memahami nilai-nilai estetika lingkungan. Pendekatan ini biasanya diaplikasikan pada pengelolaan lingkungan. Pengalaman mempengaruhi respon, apresiasi, dan penilaian seseorang terhadap estetika suatu lanskap (Brook 2013). Kedua, pendekatan evaluasi berdasarkan pada persepsi user. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam proyek penelitian, kegiatan akademik, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan evaluasi dengan mengkombinasikan atau mengintegrasikan preferensi user dan opini para ahli. Pendekatan ini bisa digunakan dalam proyek, studi, atau manajemen lingkungan.
Teknik Semantic Differential (SD) adalah metode yang sesuai digunakan untuk mengukur nilai emosional terhadap suatu produk. Metode ini sudah dikembangkan dalam variasi konsep yang luas. SD sudah digunakan sebagai instrumen dalam menilai desain furnitur jalan, kursi kantor, mobil, telepon genggam, maskot dalam olahraga, dan juga terhadap arsitektur, desain lingkungan, ergonomik dan desain produk untuk komersil. SD juga banyak digunakan untuk menilai persepsi seseorang maupun suatu populasi terhadap sebuah produk (Mondragon et al. 2005). Teknik SD ini pun juga dapat digunakan untuk menilai persepsi seseorang atau populasi terhadap suatu lanskap.
(21)
7 Signifikansi Budaya
Menurut Australia ICOMOS (1999) dalam piagam Burra, signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual yang penting untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi estetis tidak hanya dibatasi pada visual saja tetapi juga estetika yang bisa dirasakan oleh panca indera lainnya seperti suara dan aroma. Signifikansi historis berhubungan dengan nilai dari suatu tempat yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian penting di masa lalu. Signifikansi sosial yaitu terkait dengan nilai-nilai atau tempat-tempat yang memiliki nilai penting bagi suatu masyarakat. Selain itu juga berhubungan dengan aktivitas, budaya, serta norma yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan signifikansi ilmiah terkait dengan potensi yang dimiliki oleh lanskap atau tempat tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Signifikansi budaya itu tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan untuk generasi kini dan yang akan datang.
Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, nilai penting yang dimiliki oleh suatu cagar budaya yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Namun, belum ada penjelasan dan penjabaran secara rinci dalam peraturan pemerintah mengenai nilai-nilai penting tersebut. Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur, dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu.
Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan 5 nilai penting yang dimiliki oleh suatu sumberdaya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Nilai penting estetika didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan, membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi kelompok tertentu.
Berdasarkan berbagai definisi dan pengelompokan nilai penting di atas, maka dapat diketahui bahwa nilai penting menurut Piagam Burra sudah mencakup semua nilai penting yaitu terdiri atas nilai penting estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai signifikansi
(22)
8
suatu lanskap budaya adalah metode Cultural Heritage Landscape Assessment
yang mengacu pada metode penilaian Heritage Victoria Landscape Assessment.
Metode ini digunakan untuk menilai signifikansi lanskap budaya yang ada di Victoria, Australia. Metode ini juga mengacu pada piagam Burra yang ditetapkan pada tahun 1999 di Burra, Australia. Hasil dari penilaian signifikansi ini dapat bermanfaat untuk proses registrasi warisan budaya (cultural heritage), kegiatan perencanaan, rencana pengelolaan, dan penilaian warisan budaya lainnya.
3
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 3). Kegiatan penelitian dilakukan selama 9 bulan mulai dari bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014.
Jenis dan Sumber Data
Data-data yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini untuk menilai karakter lanskap, karakter estetika, dan nilai penting lanskap yaitu data kesejarahan, data biofisik, data sosial, budaya, ekonomi, dan data pengelolaan. Data-data tersebut diperoleh melalui studi pustaka, observasi lapang, dan wawancara terhadap beberapa narasumber yang terpercaya (Tabel 1).
(23)
9 Tabel 1 Jenis dan sumber data yang diperlukan
No. Jenis Data Sumber
1 Data Kesejarahan: - sejarah Kerinci - sejarah Rumah Larik
- sejarah lanskap/elemen lanskap - sejarah budaya dan masyarakat Kerinci
- Dinas Pariwisata - Studi pustaka - Ahli sejarah - Ketua/lembaga
adat
- Tokoh masyarakat 2 Data Bio-Fisik:
- peta administrasi Kota Sungai Penuh - peta landuse dan sejarah landuse - peta landform, geologi, landcover, dsb. - peta sejarah kota/kawasan
- citra satelit
- geologi, tanah, landform, hidrologi/drainase, vegetasi - sistem sirkulasi
- kondisi fisik lanskap budaya Rumah Larik - elemen-elemen lanskap budaya
- visual
- BAPPEDA - BPN
- Kantor Kelurahan - Pengamatan - Masyarakat lokal - Internet
- Studi pustaka
3 Data Sosial, Budaya, Ekonomi: - kependudukan
- suku bangsa
- aktivitas budaya/tradisi/seni - adat istiadat
- Kantor Kecamatan - Dinas
Kependudukan - Dinas Pariwisata - Masyarakat lokal - Pengamatan - Studi pustaka 4 Data Pengelolaan:
- status kepemilikan - pengelola
- sistem/teknis pengelolaan - kebijakan/peraturan pemerintah - rencana pemerintah, RTRW/RTRK
- Ketua/lembaga adat
- Dinas Pariwisata - Masyarakat lokal - Studi pustaka
Prosedur Analisis Data
Ada 3 jenis metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA). Prosedur analisis dari masing-masing metode ini dijelaskan sebagai berikut:
Landscape Character Assessment (LCA)
Penilaian karakter lanskap budaya Rumah Larik dilakukan dengan metode LCA (Swanwick 2002). Pada metode ini dilakukan beberapa modifikasi dalam tahapan prosesnya menyesuaikan dengan topik yang diteliti. Metode ini terdiri dari 4 tahap:
Tahap 1, meliputi kegiatan persiapan yaitu menentukan ruang lingkup seperti, menentukan objek dan tujuan analisis, menentukan skala objek yang di analisis, data-data yang diperlukan beserta sumbernya, dan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan penilaian ini.
(24)
10
Tahap 2, kegiatan pengumpulan data sekunder seperti data geologi, landform, hidrologi/drainase, tanah, landcover/vegetasi (Natural factors); serta data landuse, permukiman, batas-batas, dan sejarah (Cultural/social factors).
Tahap 3, melakukan kegiatan survei lapang untuk pengambilan data yang meliputi aspek estetika dan persepsi. Pada tahap ini dilakukan pengambilan data berupa sampel foto yang akan digunakan untuk penilaian estetika. Pengambilan sampel foto untuk penilaian estetika dilakukan dengan menentukan titik-titik terbaik atau
vantage points terlebih dahulu pada peta ketiga Rumah Larik. Selain itu, juga dilakukan pengamatan (groundcheck) kesesuaian data sekunder dengan kondisi aktual di lapangan. Kegiatan survei lapang ini membutuhkan beberapa peralatan seperti kamera digital untuk dokumentasi, alat tulis dan papan jalan, dan peta lokasi penelitian.
Tahap 4, meliputi kegiatan klasifikasi dan deskripsi karakter lanskap berdasarkan analisis terhadap semua data yang telah dikumpulkan. Output dari proses ini yaitu, peta tipe karakter lanskap, deskripsi tipe karakter lanskap, area karakter lasnkap, dan identifikasi karakteristik kunci lanskap (key characteristics). Peta tipe karakter lanskap diolah menggunakan laptop jenis Toshiba Satellite L505D dengan perangkat lunak Adobe Photoshop CS3, dan program pendukung grafis lainnya. Karakter setiap lanskap Rumah Larik ini masing-masing dijabarkan dalam bentuk poin-poin sehingga dapat dengan mudah diketahui persamaan maupun perbedaannya.
Semantic Differential (SD)
Metode Semantic Differential (SD) digunakan untuk mengukur atau menilai reaksi responden terhadap konsep atau kata-kata stimulus melalui rating pada skala bipolar yang dibatasi oleh kata sifat (adjectives) yang berlawanan. Konsep atau kata sifat yang digunakan dapat berupa situasi, kondisi, setting lingkungan atau lanskap, dan sejenisnya. Adapun prosedur penilaian estetika berdasarkan metode SD antara lain sebagai berikut:
1. Menentukan topik, tujuan, dan objek yang dinilai. Dalam kasus ini yang akan dinilai dengan menggunakan metode SD adalah karakter estetika lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh yang terdiri atas Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru.
2. Mempersiapkan kuesioner SD yang terdiri dari kata-kata bipolar. Kata-kata bipolar dipilih berdasarkan topik yang akan dinilai. Pada penelitian ini topik yang akan dinilai yaitu karakter estetika lanskap budaya Rumah Larik. Kata-kata bipolar yang sudah dipilih selanjutnya diseleksi kembali dengan cara eliminasi untuk menentukan kata-kata bipolar yang paling tepat dan sesuai dengan topik untuk digunakan dalam penilaian. Melalui seleksi ini maka terpilihlah 12 kata bipolar yang paling tepat untuk digunakan dalam penilaian (Tabel 2). Setiap kata bipolar dibatasi dengan 7 skala penilaian mulai dari (-3) yang paling rendah, 0 untuk nilai yang netral, dan (+3) untuk nilai tertinggi.
(25)
11 Tabel 2 Kata-kata bipolar untuk penilaian SD
No. Kata-kata Bipolar
Negatif Positif
K1 Buruk Indah
K2 Modern Tradisional
K3 Profan Sakral
K4 Semrawut Harmoni
K5 Biasa Unik
K6 Lemah Kuat
K7 Tidak penting Penting/bernilai
K8 Palsu Asli
K9 Baru Lama/Antik
K10 Pasif Aktif/Hidup
K11 Rusak Terpelihara
K12 Membosankan Menarik
3. Menentukan responden penilai. Responden yang digunakan dalam penilaian karakter estetika lanskap budaya ini bisa menggunakan pendekatan menurut Kivanc (2013) yaitu menurut persepsi para ahli, user, atau kombinasi antara persepsi ahli dan user. Pada penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah penilaian oleh responden ahli. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposif (purposial sampling), sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Faisal 2008). Responden ahli yang dipilih sebagai sampel adalah mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap program Sarjana dan Pascasarjana. Responden ini dipilih karena dianggap telah memiliki pemahaman terhadap nilai estetika lanskap. Responden ahli bisa lebih mendalam dalam menilai karena mereka memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, dan kepekaan yang kuat dalam menilai suatu lanskap (Porteous 1996). Jumlah responden yang digunakan dalam penilaian berjumlah 30 orang (n = 30).
4. Mempersiapkan sampel foto objek atau lanskap yang dinilai. Jumlah sampel foto yang diambil harus mewakili gambaran umum lanskap secara keseluruhan. Foto yang diambil adalah foto bagian lanskap Rumah Larik dari ketiga lokasi pengamatan. Foto yang dijadikan sampel berjumlah 30 foto, yang terbagi menjadi 14 foto dari Rumah Larik Enam Luhah, 12 foto dari Rumah Larik Pondok Tinggi, dan 4 foto dari Rumah Larik Dusun Baru (Lampiran 2). Perbandingan jumlah sampel foto 14 : 12 : 4 tersebut diperoleh berdasarkan pertimbangan dan perhitungan luas area permukiman. Rumah Larik Enam Luhah memiliki luas area permukiman sekitar 59 926.25 m2, Rumah Larik Pondok Tinggi sekitar 55 667.88 m2, dan Rumah Larik Dusun Baru seluas 10 306.58 m2. Teknik pengambilan foto untuk sampel yaitu dengan menentukan lokasi vantage points pada peta kawasan. Penentuan lokasi vantage points
dilakukan berdasarkan hasil LCA yang menghasilkan area karakter lanskap yaitu area yang memiliki karakter paling kuat dalam lanskap budaya Rumah Larik. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan foto di lapangan dengan menggunakan kamera DSLR Nikon tipe D3100 dengan lensa standar 18-55 mm. Foto yang digunakan dalam penilaian ini adalah foto berwarna. Kamera diatur dengan ukuran gambar 3456x2304 pixel (medium) dan pengaturan
(26)
12
lainnya agar setiap foto yang diambil memiliki kualitas gambar yang sama. Waktu pengambilan foto di lapangan dilakukan pada pukul 09.00 hingga 14.00 karena dianggap sebagai waktu dengan penyinaran matahari yang baik.
5. Penilaian oleh responden dilakukan secara bersama-sama. Responden dikumpulkan dalam sebuah ruangan dan diberikan kuesioner SD yang sudah disiapkan. Sebelum penilaian dimulai, dilakukan simulasi penilaian dengan menggunakan 2 sampel foto yang ditampilkan melalui LCD. Simulasi ini bertujuan agar responden menjadi lebih familiar dengan kata-kata bipolar yang digunakan. Setelah simulasi selesai dilakukan, maka langsung dilanjutkan dengan proses penilaian. Foto lanskap sebanyak 30 foto ditayangkan melalui LCD secara acak. Responden diminta untuk menilai dalam waktu 4 detik untuk setiap kata bipolar sehingga untuk menilai 1 buah foto membutuhkan waktu 48 detik.
6. Hasil dari penilaian setiap responden ini kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistik. Uji statistik yang digunakan adalah uji KMO-MSA dan Bartlett. Uji lanjutnya menggunakan analisis biplot untuk mengetahui korelasi atau hubungan antar variabel dan analisis faktor (factor analysis) untuk mereduksi sejumlah variabel menjadi variabel baru yang jumlahnya lebih sedikit yang dapat mewakili variabel asalnya. Proses analisis ini menggunakan laptop dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Minitab 16, SPSS 17 dan
Microsoft Word 2007. Dari metode ini dihasilkan kesimpulan mengenai karakter estetika untuk mendukung penilaian karakter lanskap budaya Rumah Larik.
Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA)
Metode Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA) digunakan untuk menilai signifikansi/nilai penting dari suatu lanskap budaya. Metode ini diadaptasi dari Heritage Victoria Landscape Assessment Guidelines dalam Heritage Council of Victoria (2009). Adapun proses penilaian berdasarkan metode ini yaitu dengan cara mengumpulkan informasi tentang lanskap melalui survei lapang, penelusuran sejarah, sumber primer, fotografi dan koleksi seni, direktori dan buku yang relevan, wawancara sejarah (oral history interviews), dan pengetahuan masyarakat lokal. Pengumpulan data-data ini akan memerlukan beberapa peralatan seperti alat tulis, kamera digital dan voice recorder.
Setelah data-data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi nilai dari lanskap budaya (cultural heritage values) dan melakukan pembobotan berdasarkan kriteria kelangkaan, keunikan, dan keaslian. Mengacu pada piagam Burra, maka ada 4 kriteria utama yang harus diidentifikasi dan dinilai untuk signifikansi lanskap budaya yaitu estetika, sejarah, sosial atau spiritual, dan ilmiah (Tabel 3). Skor hasil pembobotan lalu dijumlahkan dan dibuat interval kelas untuk mengetahui tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi akan dibagi menjadi 3 yaitu signifikansi rendah, sedang, dan tinggi. Langkah terakhir yaitu mendeskripsikan nilai penting (significant) lanskap budaya tersebut berdasarkan hasil pembobotan dari setiap kriteria. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan interval kelas menurut Selamet (1983) dalam Anggraeni (2011) adalah sebagai berikut:
(27)
13 Interval Kelas (IK) = Skor maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)
Jumlah Kategori
Signifikansi Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa Signifikansi Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Signifikansi Rendah = SMi sampai SMi + IK
Tabel 3 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya
No Kriteria Skor
Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)
1 Estetikab
a. Landusea
b. Arsitektur rumah
c. Elemen lanskap
d. Integritas/Unitya
Terjadi perubahan penggunaan lahan >50%
Didominasi >50% oleh rumah bergaya arsitektur modern Keaslian elemen baik bentuk, material, dan letaknya <50% Lanskap tidak memiliki
kesatuan/unity dan karakternya tidak harmonis dengan lingkungan sekitar Terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 25-50% Didominasi >50% oleh rumah semi modern tapi tetap memiliki corak/gaya tradisional Keaslian elemen baik bentuk, material, dan letaknya 50-75% Lanskap memiliki unity dan integritas karakter yang lemah dengan sekitarnya Terjadi perubahan penggunaan lahan <25% Didominasi >50% oleh rumah yang memiliki gaya arsitektur tradisional dan keaslian Keaslian elemen baik bentuk, material, dan letaknya >75% Lanskap memiliki unity yang kuat dan karakter yang harmonis dengan sekitarnya
2 Sejarahb
a. Elemen lanskapa Terdapat hanya satu elemen bersejarah dengan umur >50 tahun
Terdapat 2-5 elemen bersejarah dengan umur >50 tahun
Terdapat lebih dari 5 elemen bersejarah dengan umur >50 tahun b. Area/ruanga Tidak terdapat area
atau tempat yang memiliki nilai sejarah kejadian penting di masa lalu
Terdapat area atau tempat bersejarah di masa lalu namun saat ini sudah berubah fungsi
Area atau tempat bersejarah masih dipertahankan dan terdapat landmark /penanda
3 Sosial/Spiritualb
a. Area/ruang Area/ruang dan aktivitas sosial budaya masyarakat sudah tidak ada lagi
Aktivitas sosial budaya masyarakat masih berjalan namun area atau ruang untuk beraktivitas sudah tidak ada atau sebaliknya
Masih terdapat area atau tempat penting bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial budaya
(28)
14
b.Norma/aturan adat
c.Tradisi budaya
Setidaknya masih terdapat satu norma atau aturan adat yang masih dijalankan oleh masyarakat Masyarakat sudah sepenuhnya meninggalkan tradisi adat yang mengandung nilai spiritual
Beberapa norma atau aturan adat sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Nilai spiritual dalam tradisi masyarakat mulai menghilang/hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat Norma atau aturan adat masih sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat Masyarakat umumnya masih melakukan tradisi ritual adat pada acara tertentu
4 Ilmiahb
a. Aktivitas
b. Elemen lanskap
Aktivitas atau kearifan lokal yang bernilai pendidikan sudah hilang
Tidak ada elemen yang memiliki nilai pengetahuan/ilmiah
Masih terdapat aktivitas atau kearifan lokal yang bernilai pendidikan namun sudah mulai hilang
Hanya beberapa elemen saja yang memiliki nilai pengetahuan yang tinggi Terdapat kearifan lokal yang dipertahankan dan berpotensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan Setiap elemen memiliki nilai pengetahuan yang tinggi sehingga dapat bermanfaat bagi pendidikan [Dimodifikasi dari Harris dan Dines (1988)a dan Australia ICOMOS (1999)]b.
Hasil dari analisis terhadap karakter dan signifikansi lanskap budaya ini kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menghasilkan rekomendasi tindakan pelestarian untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini sesuai dengan tingkat signifikansinya. Tindakan pelestarian ini tetap memperhatikan tatanan, fungsi atau penggunaan, interpretasi, pengelolaan, dan pengembangan ke depannya. Tindakan pelestarian yang akan digunakan mengacu pada Piagam Burra yaitu, perubahan (change), pemeliharaan (maintenance), preservasi (preservation), restorasi (restoration), rekonstruksi (reconstruction), adaptasi (adaptation), penambahan (new work), melestarikan fungsi (conserving use), mempertahankan asosiasi dan makna (retaining association and meanings), dan interpretasi (interpretation). Piagam Burra digunakan karena piagam ini merupakan sebuah model adaptif yang dapat disesuaikan secara budaya pada pengelolaan tapak beberapa tempat di dunia (Mason 2008). Sementara berdasarkan UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bentuk tindakan pelestariannya yaitu perlindungan yang meliputi penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran; pengembangan meliputi penelitian, revitalisasi, dan adaptasi; serta pemanfaatan.
(29)
15
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kota Sungai Penuh
Kota Sungai Penuh terletak pada posisi geografis antara 101°14’32” sampai 101°27’31” Bujur Timur dan 02°01’40” sampai 02°14’54” Lintang Selatan. Kota Sungai Penuh memiliki luas keseluruhan 39 150 ha, yang terdiri atas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 23 178 ha (59.2%) dan permukiman serta lahan budidaya seluas 15 972 ha (40.8%). Kota Sungai Penuh merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kerinci pada tahun 2008 sesuai dengan ketentuan UU No. 25 Tahun 2008. Pada awal pemekaran, Kota Sungai Penuh terbagi menjadi 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan, Tanah Kampung, Kecamatan Kumun Debai, dan Kecamatan Pesisir Bukit. Pada tahun 2012, sesuai Peraturan Daerah Kota Sungai Penuh No. 13, 14, dan 15 maka Kota Sungai Penuh dibagi lagi menjadi 8 Kecamatan (Tabel 4). Terdapat 3 kecamatan baru yaitu Kecamatan Pondok Tinggi dan Kecamatan Sungai Bungkal yang merupakan pecahan dari Kecamatan Sungai Penuh, serta Kecamatan Koto Baru yang merupakan pecahan dari Kecamatan Pesisir Bukit. Tabel 4 Luas kecamatan di Kota Sungai Penuh tahun 2013
No Kecamatan Luas (ha)
Wilayah TNKS Hunian/budidaya
1 Tanah Kampung 1 100 - 1 100
2 Kumun Debai 14 200 10 834 3 366
3 Sungai Penuh 335 - 335
4 Pondok Tinggi 9 095 4 600 4 495
5 Sungai Bungkal 11 095 7 167 3 928
6 Hamparan Rawang 1 215 - 1 215
7 Pesisir Bukit 2 110 83 2 027
8 Koto Baru 164 - 164
Total 39 150 23 178 15 972
Secara administratif, Kota Sungai Penuh berbatasan langsung dengan Kabupaten Kerinci di sebelah Utara, Timur, dan Selatan. Sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Pembagian wilayah administratif Kota Sungai Penuh dapat dilihat pada Gambar 4 (BPS 2013).
(30)
16
Kota Sungai Penuh merupakan kota tertinggi di pulau Sumatera yaitu berada pada ketinggian antara 500 – 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sekitar 52.59 % wilayahnya berada pada ketinggian lebih dari 1000 mdpl. Kota ini berada pada dataran lembah yang dikelilingi oleh perbukitan di sebelah Barat, Utara dan Timur. Oleh karena itu, Kota Sungai Penuh memiliki udara yang sejuk dan suhu yang dingin berkisar antara 16.6° - 28.9° C (BPS 2013).
Berada di daerah perbukitan yang termasuk dalam gugusan bukit barisan selatan, Kota Sungai Penuh berada pada daerah dengan kemiringan lereng atau topografi yang bervariasi. Sekitar 12.3% wilayah kota berada pada lahan yang relatif datar, sementara 28.2% merupakan lahan berbukit dan 24.3% lahan dengan kemiringan yang terjal. Adapun jenis tanah yang terdapat di Kota Sungai Penuh terdiri dari 4 jenis yaitu Andosol, Latosol, Podsolik, dan Alluvial (BAPPEDA 2012). Tanah jenis Alluvial banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian seperti sawah dan ladang karena sifatnya yang subur. Kegiatan pertanian ini juga didukung oleh ketersediaan air yang berlimpah. Terdapat beberapa aliran sungai kecil dan besar serta mata air di kota ini. Salah satu sungai besar yang mengalir membelah Kota Sungai Penuh adalah Sungai Bungkal atau juga biasa disebut dengan Sungai Batang Bungkal. Sungai ini memiliki banyak aliran-aliran kecil yang menyebar ke permukiman masyarakat maupun ke lahan pertanian sebagai irigasi.
Sumber: Bappeda (2014)
(31)
17 Kondisi Umum Masyarakat
Masyarakat Kota Sungai Penuh terdiri dari berbagai suku, suku Kerinci merupakan masyarakat pribumi yang sudah mendiami dataran Kerinci sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut penelitian sejarah, suku Kerinci ini berasal dari Proto Melayu yang datang dari Asia Tenggara pada 3000 – 2000 SM. Banyak bukti-bukti peninggalan pada zaman Mesolitikum dan Neolitikum ditemukan di dataran Kerinci seperti alat-alat berupa kapak, beliung, cakram, belincung, lesung, gerabah, serpihan obsidian, serta batu-batu Megalitikum. Selain masyarakat asli suku Kerinci, Kota Sungai Penuh juga dihuni oleh masyarakat yang berasal dari suku Minang, Jawa, Batak, Palembang, Tionghoa, dan lainnya. Kehadiran suku-suku tersebut tidak terlepas dari kejadian sejarah di masa lalu. Berdasarkan beberapa prasasti peninggalan yang ditemukan di Kerinci diketahui bahwa beberapa kerajaan di nusantara pernah datang ke wilayah Kerinci. Suku Minangkabau dibawa oleh keluarga kerajaan Minangkabau pada abad ke-13. Selain itu, hal ini juga tidak terlepas dari sejarah wilayah Kerinci yang dahulu pernah menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Barat. Suku Jawa datang ke Kerinci pada masa pemerintahan Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan. Sementara suku Batak, Palembang, Tionghoa, dan lainnya masuk melalui kegiatan ekonomi yaitu perdagangan (Lembaga Adat Provinsi Jambi 2003).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Sungai Penuh berjumlah 82 293 jiwa. Hasil proyeksi penduduk pada tahun 2012 adalah sebesar 85 270 jiwa yang terdiri dari 49.46% laki-laki dan 50.54% perempuan. Penduduk Kota Sungai Penuh sebagian besar bekerja di bidang jasa sosial dan kemasyarakatan sebesar 37.33%, perdagangan sebesar 24.34%, dan pertanian sebesar 13.45% (BPS 2013).
Secara umum, masyarakat suku Kerinci baik yang tinggal di Kota Sungai Penuh maupun di Kabupaten Kerinci pada awalnya mendiami area atau lahan yang dekat dengan sumber air seperti sungai, danau, dan mata air. Mereka memilih area yang dekat dengan sumber air karena lahannya subur dan dapat digunakan untuk mengairi pertanian mereka. Masyarakat suku Kerinci hidup secara berkelompok yang membentuk sebuah kawasan permukiman yang disebut dusun. Dusun dibangun di atas tanah adat yang disebut parit bersudut empat (pait sudut mpak) yaitu tanah dataran yang digunakan untuk bangunan rumah tinggal (Alimin 14 Maret 2014, komunikasi pribadi). Tanah ini dibatasi oleh parit sebagai batas dengan lebar 2.5 m dan dalam 1-2 m. Tanah parit bersudut empat ini statusnya merupakan tanah kaum yang dikuasai bersama oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya serta tidak boleh diperjualbelikan.
Dusun pada awal mulanya berasal dari sebuah rumah yang dibangun oleh sebuah keluarga. Rumah ini merupakan rumah tradisional masyarakat suku Kerinci yang memiliki desain arsitektur unik berupa rumah panggung dan terbuat dari kayu. Suku Kerinci menganut sistem Matrilineal yaitu hubungan keturunan ditentukan menurut garis keturunan ibu. Jika keluarga tersebut memiliki anak perempuan (anok betino), maka orang tuanya harus membangun rumah baru untuk anak perempuannya tepat di sebelah rumah orang tuanya. Rumah ini saling terhubung dan memiliki sebuah pintu penghubung antar rumah di bagian dinding dalamnya. Mendirikan rumah ini tidak dilakukan sendiri oleh orang tuanya namun juga dibantu oleh Depati dan Ninik Mamak serta bersama-sama masyarakat secara
(32)
18
gotong royong disertai upacara adat dan ritual membangun rumah. Proses seperti ini terus terjadi dan dilakukan sehingga rumah suku Kerinci ini memanjang membentuk sebuah deretan rumah yang disebut dengan Rumah Larik (umoh laheik). Satu buah larik bisa terdiri dari beberapa buah rumah tergantung pada jumlah keturunan anok betino keluarganya. Jika lahan untuk membangun sambungan larik terbatas maka rumah baru dibangun kembali berhadapan tepat di depan rumah pertama. Antara dua larik rumah dipisahkan oleh sebuah jalan yang sekaligus menjadi halaman rumah. Larik-larik tersebut terus berkembang sehingga membentuk sebuah luhah. Luhah adalah wilayah permukiman yang terdiri dari beberapa larik dan dihuni oleh masyarakat yang masih berasal dari satu garis keturunan yang sama. Luhah ini letaknya ada yang berdampingan dengan luhah lainnya dan ada juga yang berdiri sendiri. Luhah yang berkembang dan menjadi sebuah komunitas masyarakat adat inilah yang disebut dengan dusun.
Sistem Pemerintahan Adat
Pada masa sekitar abad ke-9 hingga ke-13, masyarakat Kerinci dipimpin oleh persatuan Sugindo. Sugindo bukan seorang raja melainkan kepala suku atau kepala kaum yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Sugindo-sugindo ini memimpin masyarakat dari berbagai dusun yang ada di Kerinci. Persatuan para Sugindo ini sangat kuat dan bersedia saling membantu satu sama lain. Setiap tahun mereka sering mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan ataupun kehidupan masyarakatnya. Forum pertemuan ini dikenal dengan sebutan Sakti Alam Kerinci (Jauhari 2013).
Setelah masuknya agama Islam dalam masa kepemimpinan para Sugindo
dan kedatangan Pangeran Temenggung dari Jambi, maka kekuasaan para Sugindo
di Kerinci berganti menjadi Kedepatian. Depati ini berasal dari kata Dipatri yang artinya ditetapkan atau Adipati yang berarti gelar kepala atau pemimpin suatu wilayah. Kekuasaan di Kerinci pada masa itu dipimpin oleh Depati Empat Delapan Helai Kain. Ada 7 wilayah adat yang berada dibawah kekuasaan Depati Empat Delapan Helai Kain ini, salah satunya adalah wilayah adat Depati nan Bertujuh di Kota Sungai Penuh. Depati nan Bertujuh ini menjalankan tugasnya dalam pemerintahan adat bersama dengan Permanti nan Sepuluh, Mangku nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Adapun Depati nan Bertujuh tersebut antara lain Depati Santiudo, Depati Payung nan Sekaki, Depati Sungai Penuh, Depati Pahlawan Negara, Depati Simpan Negeri, Depati Alam Negeri, dan Depati Nyato Negaro.
Berdasarkan isi piagam Pangeran Temenggung berstempelkan cap kesultanan Jambi tahun 1192 yang disalin oleh HA Cadir Jamil [tahun tidak diketahui] yang menyatakan
“...Maka segala orang yang tersebut itulah yang mempunyai selingkung selurah sungai bungkal pandan, mudiknya hingga singkung-kung mati dan hilirnya hingga siyalang berlantak besi dan kebaruhnya hingga Kemantan mati lalu menuju palis serumpum lalu kelubuk tuba-tuba lalu menuju aur berlarik itulah adanya yang di dalam seluruh sungai bungkal pandan itu, kayu panjang dan pandak, buluh bilahnya, rotan rambainya, dan siyalang malangnya dan barang sebagainya tidaklah boleh orang lain mengambilnya.
(33)
19 Dan barang siapa cala calo mengambil kayu mayunya atau rotan rambainya atau buluh bilahnya atau barang sebagainya tiada memberi tahu orang yang mempunyai tanah, dirampas hukumnya; jikalau melawan dibunuh...”
Makna dari penggalan isi piagam di atas yaitu Pangeran Temenggung dari Jambi menjelaskan bahwa Depati nan Bertujuh memiliki wilayah adat yang meliputi sepanjang aliran Sungai Bungkal, mudiknya dari hulu sungai dan hilirnya sialang berlantak besi hingga ke daerah Kemantan. Semua sumberdaya alam seperti hasil kayu, bambu, rotan tidak boleh diambil tanpa ijin pemiliknya. Kalau dilakukan maka akan dihukum dan jika melawan akan dibunuh.
Kemudian berdasarkan isi piagam Depati Sungai Penuh yang dibuat pada tahun 1230 berstempelkan cap pangeran disalin oleh Armen Sabri [tahun tidak diketahui] menyebutkan
“... Adapun utang tenang oleh duli pangeran kabul di bukit kepada Dpt. yang berempat sialang belantak besi, mudiknya kemudik koto berkeras, ke ili muara air hitam, diujung tanah putih hitam...”
Pada masa kekuasaan Depati nan Bertujuh, Kerinci belum mengenal wilayah kekuasaan atau teritorial secara administratif seperti saat ini. Batas-batas ditandai dengan elemen fisik atau simbol-simbol alam seperti sungai, hutan, bukit, dan sebagainya. Berdasarkan dua isi piagam di atas dapat disimpulkan bahwa batas wilayah adat Depati nan Bertujuh meliputi aliran Sungai Bungkal dari hulu hingga ke hilir yaitu muara Air Hitam, di sebelah Utara hingga ke daerah Koto Keras, dan sebelah Selatan hingga ke daerah Kumun Debai (Sabri A 6 Maret 2014, komunikasi pribadi). Batas wilayah adat Depati nan Bertujuh tersebut menghasilkan 4 titik batas yang jika dihubungkan maka membentuk sebuah area (Gambar 5).
(34)
20
Area yang terbentuk dari 4 titik ini hanya merupakan gambaran atau prediksi hasil analisa berdasarkan isi piagam dan hasil wawancara. Tidak ada yang mengetahui secara pasti batas resmi dan luas wilayah adat Depati nan Bertujuh ini. Berdasarkan Tambo atau piagam disebutkan bahwa wilayah adat Depati nan Bertujuh meliputi 5 dusun di dalamnya yaitu Dusun Empih, Dusun Sungai Penuh, Dusun Pondok Tinggi, Dusun Bernik, dan Dusun Baru. Namun, para pemangku adat berpendapat bahwa Dusun Empih bukan termasuk ke dalam wilayah adat tersebut. Kemudian dalam perkembangannya saat ini, Dusun Bernik melebur menjadi satu dengan Dusun Sungai Penuh menjadi Dusun Enam Luhah. Sehingga terbentuklah 3 dusun yang diakui sampai sekarang sebagai bagian dari wilayah adat Depati nan Bertujuh.
Dusun yang menjadi permukiman tradisional masyarakat suku Kerinci dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh di Kota Sungai Penuh tersebut yaitu yaitu Dusun Enam Luhah, Dusun Pondok Tinggi, dan Dusun Baru. Dusun Empih yang berada dalam wilayah adat yang sama merupakan dusun tua yang masih ada hingga saat ini. Dusun Empih ini tidak termasuk dalam satu sistem adat Depati nan Bertujuh meskipun lokasinya berada dalam wilayah adat yang sama karena Dusun Empih tidak memiliki Depati yang mengatur kehidupan masyarakat adat seperti halnya dusun-dusun lainnya. Hal ini terjadi karena dusun ini berdiri sebelum Alam Kerinci mengenal sistem kedepatian.
Dusun Empih atau disebut juga dengan Rumah Larik Dusun Empih berlokasi di Desa Sumur Anyir, Kecamatan Sungai Bungkal. Rumah Larik ini berada sangat dekat dengan Sungai Bungkal di bagian sebelah Timur. Berdasarkan Tambo Kerinci yang terdapat di potongan bambu tertulis dalam tulisan Incung milik Dusun Bernik dikatakan bahwa Dusun Empih disebut di dalamnya dengan nama Dusun Tuo (tua) adalah Dusun pertama atau tempat pertama kalinya masyarakat suku Kerinci bermukim di daerah Kota Sungai Penuh. Permukiman ini sudah mulai dibangun oleh masyarakat dalam bentuk berlarik-larik (Alimin 14 Maret 2014, komunikasi pribadi).
Dusun Empih dinamakan demikian karena Empih yang berarti Hempas. Berdasarkan cerita sejarah yang mengalir dari mulut ke mulut, pada saat itu dusun ini berada tepat di atas daratan atau tebing sungai yang selalu terkena hempasan aliran sungai. Oleh karena itu dinamakan Dusun Hempas atau dalam bahasa Kerinci disebut dengan Dusun Empih. Kemudian berdasarkan isi piagam Sultan Muhammad Syah dari Kerajaan Inderapura yang disalin oleh guru Ahmad [tahun tidak diketahui] menyebutkan
“...Adapun Dusun Ampeh dan Dusun Sungai Penuh, ialah Dusun Ampeh yang tua. Karena masa dahulunya ujung sudut tanah Dusun Ampeh sepih-sepih ditumbuk air. Itulah asal mulanya mendapat nama Ampeh. Kemudian daripada itu air bersintak surut; kedapatanlah di hilir Dusun Ampeh sebuah anak air kecil mengalir selamanya; penuh tiada kurang-kurangnya lalu dinakaman sungai itu Sungai Penuh; sampai sekarang tempat itu orang buat tempat mandi dan tempat sembahyang...”
Dusun Empih merupakan dusun kecil yang hanya terdiri dari 4 buah larik serta saat ini dihuni sekitar 60 kepala keluarga. Dalam satu buah larik terdiri atas 10 hingga 15 rumah. Kesatuan dari larik-larik ini membentuk sebuah luhah yang dinamakan luhah Datuk Singarapi Dusun Empih. Di dalam luhah Datuk Singarapi
(35)
21 Dusun Empih ini terdapat beberapa elemen seperti surau, tabuh larangan, dan makam nenek moyang. Kondisi permukiman ini sekarang sudah mengalami banyak perubahan seperti tidak bisa ditemukan lagi Rumah Larik dengan arsitektur bangunan yang asli, setiap rumah tidak lagi saling sambung menyambung melainkan berdiri sendiri. Konstruksi bangunan rumah pun sudah berubah menjadi beton meskipun masih ada beberapa rumah yang masih menggunakan kayu. Pola atau tatanan rumah masih mengikuti pola asli yaitu berjajar atau berupa larik yang memanjang dari Timur ke Barat serta antara larik yang satu dan larik kedua saling berhadapan dan dipisahkan oleh jalan. Selain rumah, elemen lainnya seperti tabuh larangan dan makam nenek moyang masyarakat adat Dusun Empih ini kondisinya tidak terawat dengan baik. Meskipun letaknya berada di tengah-tengah larik dan permukiman, kedua elemen ini seakan tidak diperhatikan oleh masyarakat dan hanya dibersihkan jika ada acara tertentu. Pada zaman dahulu, masyarakat Dusun Empih memanfaatkan air dari sungai Bungkal untuk kehidupan sehari-hari seperti MCK dan irigasi, namun saat ini sudah tidak dilakukan lagi. Kegiatan masyarakat masih ada yang bertani sawah dan ladang, ada yang bekerja di pemerintahan, swasta, dan sebagainya.
Rumah Larik Enam Luhah
Rumah Larik Enam Luhah atau Dusun Enam Luhah merupakan permukiman tradisional masyarakat suku Kerinci yang memiliki luas parit bersudut empat atau wilayah permukiman paling besar dibandingkan dengan Rumah Larik lainnya di dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh. Rumah Larik Enam Luhah ini memiliki luas sekitar 59 926.25 m2.Di dalam Tambo Kerinci, Rumah Larik Enam Luhah disebut dengan istilah Dusun Gedang atau sering juga disebut Dusun Sungai Penuh. Rumah Larik ini berada di Kelurahan Sungai Penuh, Kecamatan Sungai Penuh. Pada awalnya, Rumah Larik ini bernama Limo Luhah karena terdiri dari lima buah luhah yaitu, luhah Rio Mendiho (Romen), luhah Rio Jayo (Rioja), luhah Rio Tamenggung (Rita), luhah Pamangkou Rajea (Praja), dan luhah Datuk Singarapi Puteah (Dasira). Namun, pada tahun 2010 luhah Rio Mangku Bumi yang terletak di Dusun Bernik dan merupakan bagian dari Rumah Larik Dusun Baru bergabung ke dalam wilayah Rumah Larik Limo Luhah.
Rumah Larik Enam Luhah berada berdekatan dengan Sungai Bungkal di sebelah Barat serta berseberangan dengan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 6). Garis berwarna kuning pada Gambar 6 menunjukkan batas parit sudut empat atau batas permukiman. Pada permukiman Rumah Larik Enam Luhah juga dapat ditemukan beberapa elemen penting sebuah dusun yaitu memiliki masjid atau surau tempat beribadah, tabuh larangan, makam tempat kuburan nenek moyang, dan sungai tempat pemandian. Selain elemen-elemen tersebut, di dalam permukiman ini juga terdapat tanah mendapo yaitu sebuah tanah lapang tempat diselenggarakannya upacara adat pengangkatan sumpah dan pemangku adat masyarakat Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru. Upacara adat ini dikenal dengan nama Kenduri Sko yang pelaksanaannya dilakukan 10 tahun sekali atau menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
(36)
22
Kondisi Rumah Larik Enam Luhah saat ini sangat memprihatinkan. Hanya tersisa satu buah Rumah Larik saja yang masih memiliki arsitektur tradisional asli dengan dinding yang berukiran motif khas Kerinci dan telah berusia ratusan tahun. Rumah ini berada di luhah Rio Jayo dan masih dihuni oleh keluarga asli Kerinci dari beberapa generasi. Meskipun bangunan rumah masih asli namun ada beberapa bagian yang yang sedikit dirubah seperti palasa atau teras dan tangga rumah yang sudah dihilangkan karena terkena dampak pelebaran jalan larik. Kemudian atap rumah sudah tidak lagi menggunakan bahan ijuk atau atap lapis tetapi sudah diganti dengan bahan seng. Elemen lainnya seperti tabuh larangan
dan makam nenek moyang sudah mulai tidak diperhatikan dan dirawat lagi dengan baik oleh masyarakat. Tabuh larangan hanya tersisa dua buah yakni
Tabuh Galang Bumoi yang berusia sekitar 300 tahun terdapat di luhah Rio Tamenggung dan Tabuh Sigantou Alang yang berusia sekitar 250 tahun di luhah
Datuk Singarapi Puteah. Tabuh-tabuh ini dahulunya digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat dalam memberikan suatu peringatan jika terjadi sebuah musibah atau bencana alam, peperangan, atau pada saat kenduri sko dan menyambut hari raya. Selain rusak karena termakan usia, tabuh-tabuh ini juga tidak dirawat oleh masyarakat setempat.
Masyarakat yang tinggal di Rumah Larik Enam Luhah dahulu juga memanfaatkan Sungai Bungkal untuk kehidupan sehari-hari seperti mandi, mencuci, sumber air bersih, dan sebagainya. Selain Sungai Bungkal juga terdapat beberapa sumur atau mata air yang banyak digunakan oleh masyarakat di sekitar permukiman dan sawah di antaranya sumur Pulai, sumur Pinang, sumur Tebat, sumur Kalidea, sumur Sareh, dan sumur Penuh. Sumur-sumur ini lokasinya berada menyebar di sebelah Timur permukiman dan hampir tidak pernah kering walaupun di musim kemarau. Namun, saat ini hanya tersisa sumur Pulai yang masih dapat ditemukan dan digunakan oleh masyarakat. Sementara sumur lainnya sudah berubah menjadi area terbangun berupa rumah-rumah penduduk.
(37)
23 Rumah Larik Pondok Tinggi
Masyarakat yang tinggal di Dusun Enam Luhah hidup bertani sawah dan ladang. Keluarga keturunan dari luhah Rio Temenggung Dusun Enam Luhah pada waktu itu membuka ladang di daerah perbukitan yang lebih tinggi. Di sana mereka awalnya mendirikan pondok-pondok tempat beristirahat saat berladang oleh karena itu daerah ini dinamakan Pondok Tinggi. Lama-kelamaan mereka mulai menetap dan membangun rumah di ladang tersebut. Keluarga ini keturunannya terus bertambah dari waktu ke waktu sehingga rumah tersebut menjadi larik-larik dan membentuk sebuah luhah Rio Temenggung. Setelah tumbuh permukiman kecil di daerah Pondok Tinggi ini mulai berdatangan masyarakat lainnya yang juga mendirikan Rumah Larik di daerah ini sehingga terbentuklah sebuah dusun yang terdiri dari 4 buah luhah yaitu, luhah Rio Pati, luhah Rio Mendaro, luhah Rio Temenggung, dan luhah Rio Singaro. Rumah Larik Pondok Tinggi saat ini termasuk ke dalam 2 desa yaitu Desa Permanti dan Desa Pondok Agung, Kecamatan Pondok Tinggi (Gambar 7). Adapun luas parit sudut empat yang menjadi tempat bermukimnya masyarakat Pondok Tinggi adalah sekitar 55 667.88 m2.
Berbeda halnya dengan Dusun Enam Luhah, Dusun Pondok Tinggi ini berada agak jauh dari sungai besar yaitu sungai Bungkal. Namun, di dusun ini mengalir sebuah anak sungai yang saat ini menjadi sebuah bendar kecil (selokan) selebar 2 m yang mengalir dari Selatan ke Utara. Melalui bendar kecil inilah masyarakat memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari pada masa itu. Selain bendar juga terdapat beberapa sumur bersama yang digunakan untuk mengairi ladang yang saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi. Pada Rumah Larik Pondok
(38)
24
Tinggi ini juga dapat ditemukan elemen-elemen penting diantaranya yaitu Masjid Agung Pondok Tinggi. Area di sekitar permukiman saat ini sudah jauh mengalami perubahan yang pada awalnya berupa hutan dan ladang berubah menjadi area terbangun. Area sawah masih dijumpai di bagian Tenggara Rumah Larik ini namun juga telah mengalami perubahan secara perlahan-lahan.
Elemen-elemen penting lainnya yang terdapat di dalam lanskap Rumah Larik Pondok Tinggi yaitu Rumah Larik itu sendiri. Dalam permukiman ini masih terdapat 2 buah rumah yang konstruksinya tergolong masih asli hanya terdapat sedikit perubahan. Selain rumah juga dapat ditemukan tabuh larangan yang saat ini hanya tersisa 3 buah yaitu tabuh larangan yang berada di halaman Masjid Agung Pondok Tinggi berukuran panjang 7.5 m dan diameter 1.15 m serta tabuh yang lebih kecil berukuran panjang 4.25 m dan diameter 0.75 m. Selain itu juga terdapat tabuh larangan di luhah Rio Tamenggung yang berukuran sekitar 7 m dan diameter 1 m namun kondisi saat ini sudah tidak dapat berfungsi lagi. Di dalam permukiman ini juga terdapat beberapa makam nenek moyang yang letaknya berada di antara rumah dan larik seperti makam Nenek Baju Besi, Nenek Panjang Rambut, Siak Dukun, dan Nunyan Bungkuk. Mereka adalah nenek moyang masyarakat Pondok Tinggi yang pertama kali bermukim atau merupakan pendiri dari daerah ini seperti halnya makam nenek moyang di Dusun Enam Luhah.
Rumah Larik Dusun Baru
Rumah Larik Dusun Baru berlokasi di Kelurahan Dusun Baru, Kecamatan Sungai Bungkal memiliki luas area permukiman 10 306.58 m2. Rumah Larik ini berdekatan dengan Rumah Larik Enam Luhah yang juga berada berdekatan dengan Sungai Bungkal (Gambar 8). Rumah Larik Dusun Baru memiliki 6 buah larik yang membentuk satu buah luhah yaitu luhah Datuk Singarapi Gagap. Di dalam larik ini tidak dijumpai lagi elemen seperti tabuh larangan namun masih bisa ditemukan 2 buah Rumah Larik yang masih memiliki desain arsitektur tradisional berupa rumah panggung dan berbahan kayu dengan berbagai motif ukiran. Selain rumah tersebut, rumah lainnya sudah berubah mengikuti gaya modern menggunakan konstruksi beton namun pola rumahnya masih berjejer mengikuti pola larik yaitu membujur dari Timur ke Barat.
Rumah Larik Dusun Baru juga memiliki makam nenek moyang. Namun berbeda dengan Dusun Enam Luhah dan Dusun Baru, makam nenek moyang masyarakat Dusun Baru berada di luar area tidak jauh dari permukiman. Sedangkan untuk tempat pemandian, pada masa lalu masyarakat juga memanfaatkan Sungai Bungkal sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari namun pada saat ini sudah tidak seperti demikian lagi. Dahulu, area di sekitar permukiman ini merupakan ladang dan persawahan. Namun, saat ini area ladang sudah berubah menjadi permukiman penduduk. Area sawah juga mengalami perubahan menjadi area terbangun namun perubahannya tidak terlalu signifikan karena masih dapat ditemui sawah yang luas berdekatan dengan Rumah Larik Dusun Baru.
(39)
25
Lanskap Budaya Rumah Larik
Rumah Larik dibangun di atas tanah ajun arah dengan batas parit bersudut empat. Tanah ajun arah adalah tanah adat atau tanah ulayat yang dikuasai secara bersama oleh kaum atau luhah serta diatur oleh Depati dan Ninik Mamak
(Lembaga Adat Propinsi Jambi 2003). Menurut Watson (1992), tanah ajun arah
adalah sistem pembagian sebidang tanah yang belum digarap atau yang tidak digarap dalam wilayah adat oleh para pemangku adat kepada orang yang meminta untuk di ajun arah. Tanah adat terbagi menjadi dua (Hasibuan 2010), yaitu: 1. Hakuladami, yaitu tanah ajun arah yang di dalamnya diperbolehkan adanya
campur tangan manusia atau boleh dimanfaatkan oleh manusia seperti hutan, parit bersudut empat, sawah, dan ladang.
2. Hakullah, yaitu wilayah imbo bano atau rimba belantara yang merupakan hutan larangan . Hutan ini adalah tanah hak raja dan tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan oleh manusia karena hutan ini merupakan penyangga hulu-hulu sungai.
Lanskap Budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru secara umum terdiri atas tanah parit bersudut empat, sawah, ladang, sungai, dan hutan. Tanah parit bersudut empat berstatus hak milik kaum, masyarakat hanya memiliki hak pakai terhadap tanah tersebut. Rumah Larik yang dibangun merupakan hak milik pribadi keluarga atau tumbi yang menghuninya. Rumah ini tergolong harta warisan pusaka tinggi karena diwariskan kepada anak betino atau anak perempuan. Meskipun rumah ini statusnya sebagai hak milik anak betino, tetapi pengawasan dan pengaturan terhadap rumah ini dilakukan oleh anak jantan
atau anak laki-laki. Ada ketentuan adat yang memperbolehkan harta pusaka tinggi ini menjadi hak milik anak laki-laki jika sedang dalam suatu kondisi yang sangat
(1)
83 Lampiran 2 Foto-foto Sampel Penilaian Semantic Differential
Larik Rio Mendiho (Rumah Larik Enam Luhah) Larik Dusun Baru (Rumah Larik Dusun Baru)
Rumah Larik yang masih asli di larik Rio Jayo
(Rumah Larik Enam Luhah)
Makam nenek moyang (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Rumah Larik yang masih asli (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Tabuh Sigantou Alang
(Rumah Larik Enam Luhah)
Sungai Bungkal (Rumah Larik Enam Luhah) Makam nenek moyang (Rumah Larik Enam Luhah)
(2)
84
Lampiran 2 (lanjutan)
Masjid Agung Pondok Tinggi
(Rumah Larik Pondok Tinggi)
Rumah Larik yang masih asli (Rumah Larik Dusun Baru)
Tanah Mendapo
(Rumah Larik Enam Luhah)
Pintu masuk Luhah Dasira
(Rumah Larik Enam Luhah)
Tabuh larangan Pondok Tinggi (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Makam nenek moyang Pondok Tinggi (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Larik Rio Jayo
(Rumah Larik Enam Luhah)
Tabuh laranganRio Tamenggung
(3)
85 Lampiran 2 (lanjutan)
Rumah Larik yang masih asli
(Rumah Larik Dusun Baru)
Makam nenek moyang Enam Luhah (Rumah Larik Enam Luhah)
Sawah (Rumah Larik Enam Luhah) Rumah Larik Pondok Tinggi
Rumah Larik semi-modern (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Surau/langgar luhah Pemangku Rajo
(Rumah Larik Enam Luhah)
Rumah Larik yang sudah tidak dihuni (Rumah Larik Dusun Baru)
Sungai kecil/selokan air (Rumah Larik Pondok Tinggi)
(4)
86
Lampiran 2 (lanjutan)
Sungai Bungkal
(Rumah Larik Enam Luhah)
Larik di Pondok Tinggi (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Larik di Pondok Tinggi (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Mata air Sumur Pulai
(Rumah Larik Enam Luhah)
Rumah Larik yang masih asli (Rumah Larik Pondok Tinggi)
Masjid Raya Sungai Penuh (Rumah Larik Enam Luhah)
(5)
RINGKASAN
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN. Penilaian Lanskap Budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN dan KASWANTO.
Lanskap budaya Rumah Larik merupakan lanskap permukiman tradisional suku Kerinci yang terbentuk dan berkembang secara organik sebagai hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Permasalahan yang terjadi pada lanskap budaya ini yaitu semakin hilangnya karakter lanskap akibat perkembangan dan pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lanskap budaya ini. Hal ini juga didukung oleh rendahnya kepedulian masyarakat, para pemangku adat, serta pemerintah terhadap elemen dan lanskap peninggalan yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai karakter lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh yang berada dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh, menilai tingkat signifikansi atau nilai penting lanskap, dan menentukan tindakan pelestarian yang tepat untuk diterapkan pada lanskap budaya Rumah Larik ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA).
Berdasarkan hasil penilaian dan analisis terhadap 11 karakteristik lanskap menurut Lennon dan Matthews (1996) maka disimpulkan bahwa karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh adalah lanskap permukiman tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam lokal. Indikatornya adalah penggunaan lahan yang didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah dan ladang serta aktivitas budaya masyarakat yang selalu terkait dengan pertanian dan pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Area karakter lanskap budaya Rumah Larik adalah area permukiman Rumah Larik yang mengelompok dan berpola sejajar memanjang serta dekat dengan sumber air. Adapun karakteristik kuncinya yaitu elemen-elemen lanskap seperti Rumah Larik, masjid, surau, bilik padi, tabuh larangan, makam nenek moyang, dan sungai. Sementara karakter estetika lanskap budaya ini berdasarkan persepsi responden adalah keaslian, tradisional, dan keindahan. Hasil penilaian signifikansi lanskap menunjukkan bahwa lanskap budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru secara berturut-turut memiliki nilai penting 24, 22, dan 19 yaitu termasuk kategori signifikansi sedang. Artinya nilai penting lanskap yang terdiri atas nilai penting estetika, sejarah, sosial/spiritual, dan ilmiah semakin hilang sehingga diperlukan upaya untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kembali nilai penting tersebut. Upaya atau tindakan yang diusulkan adalah melakukan registrasi, pemeliharaan, rekonstruksi, adaptasi, pemanfaatan, mempertahankan asosiasi dan makna, interpretasi, serta penelitian terhadap lanskap budaya Rumah Larik ini. Kata kunci: karakter, lanskap budaya, nilai penting, pelestarian, Rumah Larik
(6)
SUMMARY
MOHAMMAD SANJIVA REFI HASIBUAN. Cultural Landscape Assessment of Rumah Larik in Sungai Penuh City, Jambi Province. Supervised by NURHAYATI HS ARIFIN and KASWANTO.
Rumah Larik cultural landscape is the traditional settlement landscape of Kerincinese that shaped and developed organically as a result of interaction between people and their environment. The problem that occur on this cultural landscape is the character more and more decrease as consequence of development. This problem also caused by people and government were careless about their heritages. The objectives of this study are to assess characteristics of Rumah Larik cultural landscape in Sungai Penuh city, to assess the significant value of this landscape, and to determine the appropriate preservation efforts for this cultural landscape. The methods of this study are Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), and Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA).
Based on the results of the assessment and analysis of 11 landscape characteristics Lennon dan Matthews (1996), it can be concluded that character of Rumah Larik cultural landscape is a traditional settlement landscape based on agriculture and local natural resources. The indicator are the land use dominated by agricultural land in the form of ricefield and ladang as well as cultural activities which always associated with agriculture and utilization of local natural resources. Rumah Larik cultural landscape character area is Rumah Larik settlement area with long-parallel cluster pattern and close by water resource. The key characteristics are the elements of landscape such as Rumah Larik, mosque,
surau, bilik padi, tabuh larangan, ancestral burial grounds, and rivers. Autenticity, traditional, and beauty become aesthetic character of the cultural landscape based on respondent perception. The result of landscape significance assessment indicate that Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, and Dusun Baru cultural landscape chronologically has 24, 22, and 19 values which is moderate significance category. This means that aesthetic, historic, social/spiritual, and scientific significance of the landscape is getting lost so necessary effort to maintain or even improve the value is very important. Preservation efforts or proposed actions are registration, maintenance, reconstruction, adaptation, utilization, maintain associations and meanings, interpretations, and research to Rumah Larik cultural landscape.
Keywords: assessment, character, cultural landscape, Rumah Larik, significant value