36 Setiap tahap kegiatan mulai dari mencangkul lahan hingga menanam padi diiringi
dengan nyanyian atau Tale. Hal ini dilakukan sebagai bentuk doa dan harapan agar padi yang mereka tanam akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan padi
yang berlimpah. Pada saat panen pun juga dilantunkan Tale menuai padi sebagai wujud rasa syukur atas panen yang dihasilkan. Namun, kegiatan tale tersebut
sudah jarang dilakukan lagi oleh masyarakat Kerinci saat ini. Tale masih dilakukan oleh orang-orang tertentu saja baik dari masyarakat Rumah Larik Enam
Luhah, Pondok Tinggi, maupun Dusun Baru.
Selain sawah, Rumah Larik yang menjadi tempat tinggal juga menjadi ruang untuk kegiatan budaya masyarakat. Ruang di dalam rumah merupakan ruang yang
penting untuk kegiatan yang berhubungan dengan keluarga atau kaum. Rumah menjadi tempat diadakannya rapat adat atau pertemuan antara Depati dan Ninik
Mamak jika terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan kepentingan kaum. Selain itu, rumah juga menjadi tempat silaturahmi bagi seluruh keluarga yang
tinggal dalam satu larik pada saat hari raya Idul Fitri. Pintu penghubung antara rumah yang satu dengan rumah disampingnya dibuka sehingga satu keluarga
dapat bertamu ke rumah keluarga lainnya tanpa harus keluar rumah. Jalan larik yang juga menjadi halaman rumah juga merupakan ruang yang dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk berbagai kegiatan seperti menjemur hasil-hasil pertanian seperti padi, kopi, cengkeh, kulit manis, pinang, dan sebagainya. Selain itu, jalan larik
juga digunakan oleh masyarakat untuk aktivitas sehari-hari seperti bermain permainan tradisional yang saat ini sudah punah. Pada saat perayaan upacara adat
kenduri sko jalan larik ini juga menjadi tempat kaum wanita melakukan tarian untuk mengiringi pelaksanaan kenduri sko.
Kenduri sko merupakan tradisi besar masyarakat yang diadakan 10 tahun sekali ini pusat kegiatannya dilakukan di atas tanah mendapo. Tanah mendapo
masyarakat adat Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru berada di depan Masjid Raya Sungai Penuh. Menurut Jauhari dan Putra 2013, tanah mendapo
merupakan balai atau tempat pertemuan para Depati Ninik Mamak beserta anak kemenakannya untuk membicarakan sesuatu masalah yang prinsipil seperti
upacara penobatan para pemangku adat, Ninik Mamak, perang, dan sebagainya. oleh sebab itulah tanah mendapo ini merupakan ruang atau tempat yang memiliki
arti yang sangat penting dan sakral bagi masyarakat adat 3 dusun di Kota Sungai Penuh.
5. Jaringan Sirkulasi
Dahulu sungai merupakan elemen yang sangat penting karena menjadi jalur transportasi utama. Kedatangan bangsa Proto Melayu dari Tiongkok Selatan pada
4 000 tahun SM ke Kerinci melalui jalur sungai mulai dari Selat Berhala lalu masuk ke Sungai Batanghari hingga Batang Merangin dan sampai ke Danau
Kerinci Zakaria 1973. Demikian juga pada masa pemerintahan Sigindo dan Depati Empat Delapan Helai Kain transportasi yang digunakan adalah
menggunakan biduk atau sampan melalui sungai. Setelah kedatangan bangsa Belanda, mulai dibangun jalan-jalan aspal dari berbagai penjuru dengan pusat
sirkulasinya di Kota Sungai Penuh. Jalan yang dibangun oleh bangsa Belanda ini selain sebagai jalur pergerakan manusia juga digunakan untuk pergerakan artileri
atau kendaraan militer Belanda. Keberadaan akses jalan ini membuat permukiman
37 semakin berkembang dan sungai sebagai jalur transportasi mulai ditinggalkan dan
sudah tidak manfaatkan lagi hingga saat ini. Demikian halnya dengan Sungai Bungkal yang berada di antara Rumah
Larik Enam Luhah dan Rumah Larik Dusun Baru. Sungai ini memiliki lebar sekitar 10
– 15 m dan dahulu kondisinya masih sangat alami dan aliran airnya juga baik digunakan untuk transportasi. Namun, kondisinya saat ini sudah jauh
berubah disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Pada saat musim hujan, aliran sungai ini menjadi sangat deras dan sering membawa batu-batu besar dari
hulu. Sedangkan pada saat musim kemarau, aliran airnya menjadi sangat kecil dan dangkal. Sungai ini juga menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat
yang tinggal di Rumah Larik Enam Luhah dan Rumah Larik Dusun Baru. Di sempadan sungai sudah dibangun jalan dengan lebar sekitar 4 m pada kedua
sisinya yang menjadi akses sehari-hari bagi masyarakat.
Akses masyarakat yang tinggal di Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru untuk menuju ke plak, ladang, dan sawah dahulu
dilakukan dengan berjalan kaki karena pada saat itu belum ada kendaraan bermotor. Untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dari ladang maupun sawah
pada umumnya masyarakat suku Kerinci menggunakan alat-alat pengangkut berupa gerobak, usoh, pedati, dan bendi. Gerobak ada yang beroda 1 biasanya
digunakan untuk mengangkut hasil ladang berupa kayu bakar dan beroda 3 yang digunakan untuk membawa beban yang lebih berat seperti potongan batang
pohon. Gerobak ini menggunakan tenaga manusia untuk mendorongnya. Usoh adalah angkutan yang ditarik oleh seekor sapi dan tidak menggunakan roda. Dua
buah kayu dikaitkan pada sapi pada kedua sisinya dan pada bagian belakang dipasang alas yang juga terbuat dari kayu sebagai tempat meletakkan barang
bawaan seperti hasil kebun serta kayu dan bambu dari hutan. Usoh merupakan alat pengangkut tertua di Kerinci yang pertama kali digunakan oleh masyarakat
Zakaria 1984. Usoh kemudian berkembang menjadi pedati yang sudah memakai roda. Pedati ini biasanya ditarik oleh sapi atau kerbau. Sementara bendi adalah
alat angkut yang ditarik oleh kuda atau juga dikenal dengan delman. Bendi mulai digunakan setelah masa kemerdekaan yang digunakan untuk mengangkut barang
dan manusia. Sampai saat ini bendi masih digunakan sebagai alat transportasi oleh masyarakat di Kota Sungai Penuh namun jumlahnya sudah mulai berkurang.
6. Batas Wilayah
Secara mikro, permukiman Rumah Larik di Kota Sungai Penuh maupun di Kerinci pada umumnya dibatasi oleh parit bersudut empat. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, parit bersudut empat ini fungsinya adalah sebagai tanda bahwa lahan yang ada di dalam batas tersebut merupakan tanah milik kaum yang
hanya digunakan untuk membangun tempat tinggal. Ada 2 bentuk batas parit bersudut empat ini yaitu pertama, batas berupa parit sedalam 2.5 m dan lebar 3 m
serta dipagar dengan tumbuhan Sekuang Pandan duri atau Aur duri Lembaga Adat Propinsi Jambi 2003. Kedua, batas berupa susunan batu yang ditumpuk
menjadi dinding pembatas atau pagar dengan tinggi sekitar 30
– 50 cm dari permukaan tanah Sabri A 6 Maret 2014, komunikasi pribadi. Selain sebagai
tanda pembatas antara area permukiman dengan area di sekitarnya, parit ini juga berfungsi sebagai pelindung dari serangan binatang buas yang hendak masuk ke
permukiman. Saat ini, batas berupa parit bersudut empat ini tidak dapat ditemukan
38 lagi baik di Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, maupun Dusun Baru. Hal
ini disebabkan oleh faktor semakin berkembangnya permukiman yang menghapus batas parit sudut empat ini dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat
sehingga keberadaan parit dianggap dapat mengganggu kebebasan ruang untuk beraktivitas. Selain itu, area di sekitar permukiman Rumah Larik yang sudah
berubah dari ladang atau hutan menjadi area terbangun menyebabkan tidak adanya kekhawatiran lagi terhadap serangan binatang buas.
Selain batas fisik, pada lanskap budaya Rumah Larik juga terdapat batas alam yaitu sungai. Sungai menjadi batas wilayah dalam skala meso yaitu menjadi
batas antara luhah maupun dusun. Sungai Bungkal yang mengalir di tengah- tengah Kota Sungai Penuh ini dahulunya menjadi batas pemisah antara Dusun
Sungai Penuh yang berada di bagian Timur sungai dengan Dusun Empih, Dusun Bernik, dan Dusun Baru yang berada di bagian Barat sungai. Saat ini, Sungai
Bungkal menjadi batas pemisah antara Dusun Enam Luhah dengan Dusun Baru. Sungai ini dimanfaatkan secara bersama oleh masyarakat yang tinggal di dusun-
dusun tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, Sungai ini juga menjadi tanda atau pedoman untuk mengetahui daerah kekuasaan pemerintahan adat
Depati nan Bertujuh yaitu dari hulu hingga ke hilir Sungai Bungkal. Saat ini, kondisi sungai tidak seperti dahulu lagi yang masih sangat alami dan jauh dari
polusi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, daerah sempadan Sungai Bungkal sudah terokupasi oleh jalan dan permukiman penduduk serta alirannya menjadi
tempat pembuangan sampah oleh masyarakat sekitar. Namun, fungsi sungai sebagai sumber pengairan untuk lahan-lahan pertanian masyarakat masih berjalan
hingga saat ini. Sawah-sawah milik masyarakat adat yang berada di bagian hilir atau sebelah Utara dari Rumah Larik Enam Luhah dan Dusun Baru masih
memanfaatkan sungai ini untuk irigasi.
Batas wilayah secara makro didefinisikan sebagai batas yang membedakan atau memisahkan lanskap budaya Rumah Larik yang satu dengan yang lainnya.
Dalam kasus ini, lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh yang terdiri atas Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru tidak memiliki
batas yang jelas untuk digambarkan. Sama halnya dengan batas wilayah adat Depati nan Bertujuh, batas wilayah masing-masing lanskap budaya Rumah Larik
ini tidak memiliki batas secara adat yang jelas. Tidak ditemukan juga bukti-bukti melalui piagam maupun sejarah yang menjelaskan mengenai batas lanskap budaya
ini. Hal ini disebabkan karena masyarakat suku Kerinci terutama yang tinggal di dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh menerapkan sistem genealogis teritorial
yaitu kekerabatan yang lebih erat daripada batas wilayah Alimin 14 Maret 2014, komunikasi pribadi. Masyarakat suku Kerinci merasa terikat satu sama lain
karena merasa masih dalam satu keturunan yang sama. Jika di suatu tempat atau area masih terdapat anggota masyarakatnya yang bermukim dan masih berasal
dari satu keturunan yang sama maka daerah tempat tinggalnya tersebut masih dianggap masuk ke dalam teritori atau wilayah adat mereka. Jika dilihat kondisi
saat ini, maka batas wilayah antara lanskap budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru akan saling overlap karena masyarakat dari
masing-masing dusun ini sudah menyebar dan menetap di berbagai penjuru. Namun, jika dilihat dari karakteristik awal dimana hanya terdapat permukiman
Rumah Larik yang menjadi tempat bermukim masyarakat maka yang menjadi batas wilayah dapat berupa ladang, sawah, sungai, dan hutan.