xxvii Sedangkan untuk pembatasan lokasi, penulis hanya memfokuskan pada
daerah Semarang, karena banyak catatan-catatan ataupun cerita-cerita tentang Laksamana Cheng Ho di daerah tersebut. Dan Semarang menjadi salah satu
daerah yang disinggahi Cheng Ho cukup lama, serta banyak awak-awak kapal Cheng Ho yang memutuskan untuk tetap tinggal di Semarang, sehingga
memungkinkan terjadinya akomodasi dan interaksi budaya.
C. Perumusan Masalah
Setelah ada penjelasan dan uraian tentang latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai
berikut : 1. Bagaimana latar belakang sejarah Cheng Ho dan peninggalan budayanya
di Semarang? 2. Apa saja peninggalan-peninggalan budaya Cheng Ho yang ada di
Semarang dan bagaimana proses pelestarian peninggalan budaya tersebut oleh etnis Tionghoa di Semarang?
3. Bagaimana dinamika serta hasil budaya dan tradisi peninggalan Cheng Ho di Semarang sejak 1970 – 2005?
D. Tujuan Penelitian
xxviii 1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah Cheng Ho dan peninggalan
budayanya di Semarang.
2. Untuk mengetahui apa saja budaya dan tradisi peninggalan Cheng Ho yang tetap ada dan dilestarikan sampai saat ini serta bagaimana proses
pelestarian peninggalan Cheng Ho tersebut.
3. Untuk mengetahui dinamika serta hasil budaya dan tradisi peninggalan
Cheng Ho di Semarang sejak 1970 – 2005.
E. Manfaat Hasil Penelitian
1. Sebagai bahan informasi tentang kebudayaan dan tradisi etnis Tionghoa terutama yang berasal dari peninggalan-peninggalan Cheng Ho.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para peneliti selanjutnya untuk mengadakan serta menggali penelitian terhadap
permasalahan-permasalahan serupa secara lebih mendalam 3. Sebagai sumbangan bagi penulisan sejarah yang berhubungan dengan
studi etnik dan sejarah budaya.
F. Tinjauan Pustaka
Menurut Max Weber, dalam memahami sosiobudaya maka diperlukan cara dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan
manusia. Hal ini tentunya sama dengan pendekatan historis yang menitik beratkan pada tindakan manusia dalam masa waktu tertentu. Dengan
pengertian semacam ini, maka sejarah sosial budaya merupakan suatu ilmu yang melibatkan dirinya dengan suatu penafsiran dan pemahaman tindakan
xxix manusia secara sensitif, yang dalam penulisan ini penulis menempatkan kajian
budaya dan kesenian etnis Cina ke dalam studi sejarah sosial budaya. Weber menyatakan, bahwa hubungan-hubungan antara manusia
memiliki konsekuensi yang obyektif bagi mereka karena hubungan tersebut akan selalu mempengaruhi keberadaan kualitas bagi mereka. Dunia sosial
budaya mengasumsikan bahwa dalam suasana sejarah, terdapat suatu kualitas yang berjalan lepas dari kemauan manusia. Untuk memahami fenomena ini
orang harus mempelajari sejarah. Dalam penelitian ini melibatkan dua kelompok yang berbeda latar belakang kebudayaan. WNI keturunan
Tionghoa dan etnik Jawa, dengan etnis Tionghoa sebagai subyek utama, yang dalam interaksi sosial melakukan dinamika untuk menciptakan stabilitas
dalam beberapa bidang dalam membentuk masyarakat. Hal ini seperti penulisan dari Amien Budiman, dimana dalam
penulisannya dia menjelaskan bahwa telah terjadi suatu proses akomodasi budaya setelah kedatangan Cheng Ho di Semarang. Hal ini dikarenakan dari
lamanya Cheng Ho menetap di kawasan Gedung Batu Semarang, yang kemudian banyak dari awak kapal Cheng Ho menikahi penduduk pribumi dan
mulai mengajarkan agama Islam. Dari sini jelas terjadi adanya suatu penggabungan kultural antara orang-orang Tionghoa dengan orang pribumi.
Pendapat ini diperjelas dari catatan VOC yang menerangkan adanya hubungan harmonis orang-orang Tionghoa dengan orang-orang pribumi.
9
Masyarakat Cina sudah lama tinggal dan berbaur dengan masyarakat indonesia. Karena sudah membaur dengan bangsa Indonesia itulah maka di
9
Amien Budiman. Semarang Riwayatmu Dulu, Jilid Pertama. Semarang: Tanjung Sari, 1978
xxx Indonesia bukan hanya bangsa asli Cina yang tinggal tapi juga golongan
peranakan. Dalam buku Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia 1981, Mely G Tan berlaku sebagai editor, GW. Skinner menuliskan dalam artikelnya
berjudul “Golongan Minoritas Tionghoa” tentang asal-usul orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau keturunan imigran
menurut garis laki-laki. Tapi akibat perkawinan campuran antara golongan Cina dengan wanita pribumi mengakibatkan sulit diidentifikasikannya orang
Tionghoa berdasar kriteria ras yang paling sederhana. Oleh karena itu batasan yang paling yang paling memadai, tindakan hanya pada kriteria ras, hukum,
ataupun budaya, tatapi juga pada identifikasi orang Tionghoa adalah penggunaan nama keluarga Tionghoa, yang menggunakan nama asli Tionghoa
sudah pasti orang Tionghoa.
10
Dalam bukunya Dilema Minoritas Tionghoa 1984, Leo Suryadinata menjelaskan tentang kehidupan orang Tionghoa di Indonesia di bidang
bahasa, pendidikan politik dan kepercayaan agama. Disini juga dimuat tentang penjelasan adanya proses penyatuan budaya orang-orang Tionghoa
dengan orang-orang pribumi sejak dulu dari zaman Majapahit dan Sriwijaya.
11
P. Haryono dalam Kultur Cina dan Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural 1993, mengemukakan bahwa kesenian sebagai bagian dari
kebudayaan merupakan salah satu sarana yang baik. Karena pembaruan lewat kesenian biasanya lebih mengena. Kesenian sebagai pengejawantahan nilai
budaya dapat menjadi sarana komunikasi bagi ide-ide tentang pembaruan. Seni sebagai suatu seni mensyaratkan bagi penciptanya untuk benar-benar
10
Mely G Tan. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Leknas LIPI. 1981
11
Leo Suryadinata. Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: 1984.
xxxi menghayati nilai cultural dari budaya yang berbeda. Apabila seni sudah dapat
memudahkannya, maka hasilnya berupa sajian yang dapat diterima kedua belah pihak. Lebih jauh lagi sajian ini akan membuat manusia lebih
menghargai budaya lain yang berbeda. Dalam sebuah asimilasi, inti yang terpenting adalah penggabungan golongan yang berbeda latar kebudayaannya
menjadi satu kebulatan sosiologis dan budaya. Untuk itu yang dibutuhkan dalam asimilasi adalah proses, prasyarat dari proses itu adalah terjadi saling
penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadinya kontrak dan komunikasi sebagai landasan untuk dapat berinteraksi dan memahami diantara kedua etnis
antara golongan mayoritas dan minoritas, sehingga akan memudahkan dan memperlancar suatu interaksi di segala bidang kehidupan.
12
Selain sebagai bahariawan, Cheng Ho juga dikenal sebagai penyebar agama, inilah yang menyebabkan Cheng Ho dikenal dalam beberapa tradisi.
Seperti dalam penulisan Usman Effendy dalam Laksamana Haji Cheng Ho Berlayar ke Indonesia sebagai Negarawan dan Mubaligh, dalam pelayaran
Cheng Ho yang beragama Islam menyertakan beberapa pendeta dari ajaran Tao dan Konfusionisme, dimana ajaran-ajaran tersebut sangat populer di
dataran Tiongkok. Sehingga dapat digambarkan bahwa terjadi beberapa pengaruh yang berasal dari kedatangan Cheng Ho di beberapa tempat di
Indonesia.
13
Dalam sebuah kebudayaan, inti yang terpenting adalah warisan leluhur dari golongan yang berbeda latar kebudayaannya menjadi satu kebulatan
12
P. Haryono. Kultur Cina dan Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
13
Usman Effendy. Laksamana Haji Cheng Ho Berlayar ke Indonesia sebagai Negarawan dan Mubaligh, Jakarta: Angkatan Bersenjata, 1987.
xxxii sosiologis dan budaya. Untuk itu yang dibutuhkan dalam penyatuan budaya
adalah proses, prasyarat dari proses itu adalah terjadi saling penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadinya kontrak dan komunikasi sebagai landasan
untuk dapat berinteraksi dan memahami diantara kedua etnis antara golongan mayoritas dan minoritas, sehingga akan memudahkan dan memperlancar
suatu interaksi di segala bidang kehidupan.
G. Metode Penelitian