BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kenakalan remaja merupakan suatu isu yang sering ditampilkan dalam berbagai media. Media sering memuat berita tentang remaja seperti perkelahian remaja, tawuran,
penyalahgunaan Narkoba, pergaulan bebas, seks bebas, balapan liar dan lainnya. Selain itu, tayangan kriminal di televisi juga memperlihatkan bahwa remaja juga termasuk
sebagai pelaku tindakan kriminal seperti merampok, mencuri, mengedarkan Narkoba, memperkosa dan lain sebagainya.
Bimnas Polda Metro Jaya mengatakan bahwa di kota – kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Jakarta misalnya, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194
kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya
korban meningkat 37 tewas Tambunan, 2000. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa dalam setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah perkelahian pelajar.
Remaja juga senang mencoba-coba hal yang baru, mengikuti gaya atau trend, dan gaya hidup bersenang-senang sehingga remaja mudah terpengaruh untuk
menyalahgunakan Narkoba. Menurut Dadang Hawari Sinar Harapan, 2003, Sebanyak 70 persen pasiennya yang menggunakan Narkotika adalah remaja usia sekolah, baik
yang duduk dibangku SMP, SMU, maupun perguruan tinggi. Jumlah pengguna Narkoba
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 3 dari jumlah seluruh penduduk Indonesia dan 85 penggunanya adalah remaja.
Pergaulan remaja yang tidak sehat juga berdampak pada meningkatnya jumlah remaja yang menderita HIV. Salah satu penyebab tingginya kasus HIV di Indonesia adalah
akibat pergaulan bebas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan BKKBN BKKBN, 2004, menunjukkan bahwa remaja Indonesia telah melakukan hubungan seks pada usia
13-15 tahun. Hasil riset Synote tahun 2004 Gatra, 2006 yang dilakukan di empat kota yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan juga membuktikannya bahwa dari 450
responden, 44 mengaku berhubungan seks pertama kali pada usia 16-18 tahun. Bahkan ada 16 responden yang mengenal seks sejak usia 13-15 tahun. Sebanyak 40 responden
melakukan hubungan seks di rumah. Sedangkan 26 melakukannya di tempat kos, dan 20 lainnya di hotel.
Pada dasarnya, remaja tidak ingin dianggap sebagai anak kecil lagi. Oleh karena itu, mereka mulai meniru perilaku yang mereka hubungkan dengan status dewasa. Menurut
Hurlock 1999, mengatakan bahwa remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan
obat-obatan terlarang, dan terlibat perbuatan seks dan sebagainya. Dalam proses menuju kedewasaan, remaja membutuhkan penyesuaian sosial.
Menurut hurlock 1999, yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial,
penggelompokkan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai- nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi
pemimpin.
Universitas Sumatera Utara
Penyesuaian diri remaja kepada teman sebayanya merupakan usaha remaja untuk berada dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Pergerakan remaja menuju teman
sebayanya adalah salah satu tugas perkembangan remaja. Seperti yang dikemukakan Monks, Knoers Handitoko 2002, bahwa perkembangan sosial remaja dapat dilihat
dengan adanya dua macam gerak yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman-teman sebaya. Rozak 2006 juga mengatakan bahwa remaja dalam
kehidupan sosialnya lebih tertarik dengan kelompok manusia yang sebaya dengannya, sehingga apa yang dilakukan kelompok sebaya kemungkinan akan ditiru oleh remaja.
Teman sebaya memberikan pengaruh yang besar sehingga remaja berusaha untuk meniru dan konform dengan teman sebayanya. Menurut Santrock 1997, hal ini dapat
terjadi karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya daripada masa pertengahan atau kanak-kanak akhir. Karena remaja lebih banyak berada
di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat,
penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga Hurlock, 1999. Pengaruh teman sebaya kepada remaja dapat berdampak positif atau negatif
Santrock, 1997. Pengaruh teman sebaya yang positif akan menguntungkan bagi remaja karena remaja dapat belajar mengembangkan dirinya selama bersama teman sebayanya.
Seperti yang dikemukakan oleh Owen 2002, teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif pada perilaku remaja antara lain, meningkatkan kebiasaan belajar dan mendapat
nilai baik, terlibat dalam pelayanan komunitas atau terbebas dari minuman beralkohol. Pengaruh teman sebaya juga dapat berdampak negatif bagi remaja. Masalah akan
timbul jika remaja berada dalam kelompok sebaya yang memiliki aturan, norma atau
Universitas Sumatera Utara
kebiasaan yang negatif seperti mabuk, merokok, narkoba, seks bebas dan sebagainya. Apabila mereka mengikuti aturan yang ada dalam kelompok sebayanya tersebut maka
remaja akan terlibat dalam masalah-masalah perilaku yang menentang norma yang ada di masyarakat agar dapat diterima oleh teman sebayanya. Seperti yang dikemukakan oleh
Rozak 2006, apabila remaja tidak mengikuti teman sebayanya maka remaja akan merasa diasingkan dari kelompoknya.
Remaja dapat terhindar dari pengaruh buruk teman sebayanya apabila remaja mampu membina hubungan yang konstruktif. Selain itu, masalah-masalah yang dihadapi remaja
dapat diatasi apabila remaja mampu membina hubungan dengan teman sebayanya tanpa mengabaikan aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Wildan
2002, menanggulangi masalah remaja juga dapat dilakukan dengan menuntut remaja agar dapat menyelesaikan masalah dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan
yang berlaku dalam membina hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja perlu memahami dan mengembangkan keterampilan sosialnya. Keterampilan sosial adalah
faktor yang mendasar dalam pembentukan hubungan, kualitas interaksi sosial dan bahkan kesehatan mental individu Teodore Kappler, 2005.
Menurut Hergie, Saunders Dickson 1987, keterampilan sosial adalah keahlian yang digunakan ketika berinteraksi dalam suatu hubungan interpersonal, sesuai dengan
situasi, kesatuan perilaku yang dapat diidentifikasi dan dapat dipelajari Gimpell, Merrel Erlbaum, 1998. Perilaku ini dipelajari melalui pengalaman langsung atau observasi
dan disimpan dalam ingatan dan didapatkan kembali untuk digunakan dalam situasi yang sesuai Matlack, McGreevy, Rouse, Flatter Marcus, 1994. Dengan demikian,
keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang untuk menunjukkan perilaku yang
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan situasi yang dihadapi dalam hubungan interpersonal dan interaksi sosial, memperkuat perilaku yang dapat diterima secara sosial dan sesuai dengan aturan yang
berlaku serta perilaku yang dapat dipelajari. Keterampilan sosial sangat penting dimiliki oleh anak ketika anak akan memasuki
masa remaja karena keterampilan sosial akan sangat membantu remaja dalam memasuki lingkungan sosialnya. Menurut Mu’tadin 2002, keterampilan tersebut harus mulai
dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan
tugas dan tanggung jawab sesuai perkembangan anak. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-
tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat. Perkembangan anak juga dapat mengalami suatu masalah ketika anak tidak mampu
mengembangkan keterampilan sosialnya. Kegagalan dalam mengembangkan keterampilan sosial dapat menyebabkan anak pada masa remaja terlibat dalam pergaulan
yang tidak sehat, kegagalan dalam bidang akademis, agresif dan sebagainya. Demikian juga yang dikemukakan oleh Wildan 2002 bahwa kegagalan remaja dalam menguasai
keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung
berperilaku normatif misalnya, asosiasil ataupun anti sosial dan bahkan lebih ekstrem menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan
kekerasan, dan sebagainya. Pernyataan ini juga didukung oleh Roff, Sells dan Golden Matlack, MCGreevy, Rouse, Flatter Marcus, 1994 bahwa kekurangan keterampilan
sosial berhubungan secara langsung kepada kenakalan remaja.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial adalah keluarga. Menurut Berns 2004, keluarga adalah tempat pengenalan anak-anak pada masyarakat dan
memegang tanggungjawab yang utama terhadap sosialisasi anak. Melalui sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional, dan kognitif sehingga mereka
dapat berfungsi dalam masyarakat. Sebaliknya, anak-anak yang tidak disosialisasikan untuk mengembangkan hati nurani dapat terlibat dalam perilaku kenakalan remaja.
Dalam suatu keluarga, keberadaan orang tua tentu sangat penting bagi anak. Menurut Alvy Lefrencois, 1993, orang tua memiliki tanggung jawab penting dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan perawatan, perlindungan, membimbing dan mendukung perkembangan remaja. Rudyanto Gunadarma, 2004 juga mengatakan bahwa orang tua
yang paling bertanggung jawab dalam perkembangan keseluruhan eksistensi anak termasuk fisik dan psikis, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang kearah
kepribadian yang harmonis dan matang. Dengan demikian, peranan orang tua sangat besar dalam proses perkembangan anak karena orang tua merupkan figur utama yang
mempengaruhi anak dalam pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan anak akan berlangsung dengan baik apabila mereka memiliki
hubungan yang baik dengan orang tuanya. Menurut Owen 2002, kualitas hubungan antara remaja dan orang tua mereka adalah variabel yang menentukan pengaruh orang tua
terhadap anak. Berns 2004 juga mengatakan bahwa kualitas hubungan orang tua dan anak adalah faktor paling penting yang berdampak pada pengaruh kelompok teman
sebaya. Menurut Hair, Jager Garet 1998, hubungan remaja dengan orang tuanya berkaitan sangat erat dengan kesehatan perkembangan sosial. Hubungan orang tua dan
anak juga dihubungkan dengan perkembangan keterampilan sosial seperti penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
masalah dan intimasi. Hubungan orang tua dan anak yang baik mempengaruhi perkembangan hubungan sosial dengan orang lain seperti hubungan dengan teman dan
pacar serta mempengaruhi perkembangan psikologis dan psikososial remaja. Hubungan yang baik antara orang tua dan anak dapat terjadi apabila hubungan
perkawinan antara orang tua juga berlangsung dengan baik dan harmonis. Menurut Rudyanto Gunadarma, 2001, hubungan pernikahan dimana suami isteri merupakan
suatu kesatuan, yang satu menjadi bagian dari yang lain dan yang lain selalu menjadi perlindungan bagi yang lainnya akan menimbulkan suasana keluarga penuh keakraban
saling pengertian, persahabatan, toleransi, dan saling menghargai sehingga menciptakan suatu hubungan kelurga yang harmonis.
Pada dasarnya, tidak semua keluarga mampu menciptakan dan mempertahankan hubungan yang baik antara suami isteri. Perselisihan yang terjadi dalam hubungan
tersebut dapat berakhir pada sebuah perceraian. Perceraian akan memisahkan salah satu orang tua dari anaknya. Perceraian ini juga akan berdampak pada perkembangan anak
selanjutnya. Seperti yang dikemukakan oleh Rudyanato Gunadarma, 2004, ketegangan- ketegangan antara ayah dan ibu ini akan menghasilkan anak-anaknya tidak merasa
mendapatkan perlindungan dan kasih sayang. Padahal faktor-faktor ini sangat penting bagi perkembangan anak secara normal. Rumah tangga yang tidak stabil ini serta
perselisihan-perselisihan yang mendahului perceraian, menyebabkan anak bingung dan tidak tahu harus memihak kepada siapa.
Perpisahan dalam keluarga akan mengurangi fungsi, menciptakan harapan-harapan yang tidak realistis, perubahan peran, keadaan ekonomi, perubahan dalan hukum,
masalah finansial, dan emosional yang baik bagi orang tua dan anak. Perceraian juga
Universitas Sumatera Utara
memiliki konsekuensi terhadap fungsi keluarga dan sosialisasi terhadap anak-anak. Padahal, peran kedua orang tua sangat penting dalam sosialisasi anak karena masing-
masing orang tua menterjemahkan masyarakat pada mereka seiring dengan pertumbuhan anak mereka Berns, 2004.
Kehilangan salah satu orang tua akan sangat berpengaruh terhadap keadaan keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Berns 2004 bahwa orang tua tunggal bertanggung
jawab pada dukungan finansial, perawatan anak dan pemeliharaan rumah. Orang tua yang berada di bawah kondisi ini akan mengalami stress sehingga menyebabkan pola asuh
semakin berkurang. Selain itu, anak-anak harus menerima tanggung jawab yang meningkat untuk diri mereka sendiri, seperti memiliki waktu yang lebih sedikit untuk
digunakan bersama orang tua dan menerima kasih sayang dan perasaan aman yang lebih kecil.
Kondisi orang tua yang berada dalam keadaan stress akan mempengaruhi pengawasan orang tua terhadap anak termasuk penanaman kedisiplinan pada remaja. Menurut
patterson, disiplin orang tua yang tidak konsisten dan pengawasan yang ttidak efektif memperkuat perilaku pelanggaran remaja. Pola interaksi seperti interaksi seperti ini akan
menghasilkan anak yang dikarakteristikan dengan adanya simptom-simptom antisosial dan kekurangan keterampilan sosial Matlack, McGreevy, Rouse, Flatter Marcus,
1994. Dengan melihat dampak negatif dari perceraian orang tua terhadap perkembangan
anak maka akan lebih baik jika anak dapat tumbuh dalam suatu keluarga yangh utuh. Berdasarkan penelitian Winnicott, Lidz dan Amato Keith Numerals, 2000 bahwa
kedua orang tua dalam suatu keluarga utuh dianggap menawarkan suatu lingkungan yang
Universitas Sumatera Utara
lebih baik untuk perkembangan anak daripada dalam keluarga orang tua tunggal. Lidz juga mengatakan bahwa anak menggambarkan dirinya sendiri setelah mengidentifikasi
dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama tetapi menganggap orang tua dari jenis kelamin yang berlawanan sebagai objek yang dicintai, dimana kasih sayang dan
dukungan dicari dengan identifikasi orang tua dari jenis kelamin yang sama. Berdasarkan uraian diatas, peneliti melihat bahwa keterampilan sosial sangat penting
bagi remaja dan pembentukan keterampilan sosial tersebut dipengaruhi oleh keluarga. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat apakah terdapat perbedaan keterampilan sosial
pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.
B. Tujuan Penelitian