Isolation and Characterization of Protein from Frigate Mackerel Fish (Auxis thazard), Green Mussel (Perna viridis) and White Shrimp (Penaeus merguensis) for Production of Isolate Allergen

(1)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN IKAN

TONGKOL (Auxis thazard), KERANG HIJAU (Perna viridis)

DAN UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis) UNTUK

PEMBUATAN ISOLAT ALERGEN

DIAN PURBASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol (Auxis thazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor Maret 2012

Dian Purbasari F 251090051


(4)

(5)

ABSTRACT

DIAN PURBASARI. Isolation and Characterization of Protein from Frigate Mackerel Fish (Auxis thazard), Green Mussel (Perna viridis) and White Shrimp (Penaeus merguensis) for Production of Isolate Allergen. Under direction of FRANSISKA RUNGKAT- ZAKARIA and DAHRUL SYAH.

Seafoods including fish, crustaceans and shellfish play an important role in human nutrition. However, it is also recognised as an important cause of food allergies, especially in coastal countries, including Indonesia. Treatments of these diseases still rely on avoiding the sources of the alergens, however it can also cause malnutrition which is also dangerous to health. To determine the specific food protein causing allergic reactions, cutie test was performed using isolate food protein. Until the present time, Indonesia still imports kits containing isolate proteins for food allergy diagnosis, therefore effort to locally produce the kit will reduce health cost for patients with allergic diseases. The objective of this study was to produce seafoods protein extract that is potential to be used as isolate of allergens for food allergy diagnosis. Two extract sarcoplasmic and myofibril protein were obtained from fish, shrimp and mussel by extraction in phosphate buffer with diference ionic strength Protein profile were then detected by means of sodium dodecyl polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). IgE binding pattern was analyzed by using ELISA and immunoblotting using sera from 20 respondents with histories of food allergy. The result of the study showed that samples of seafood extract protein consist of several protein with various molecular weight in the range about 14 to 143 kDa. The component were identified as tropomyosin (34-38 kDa), parvalbumin (~12 kDa), myosin light chain (~17.5 kDa) and arginin kinase (40 kDa) which are major allergens in seafoods. Further analysis with ELISA showed that the seafood protein extracts contained several IgE-binding proteins. Immunoblot of three extract samples from seafoods showed that components identified as allergens to each allergic subject have different molecular weight. The results demonstrated that crude extract could be directly used as isolate allergen for diagnostic test allergy (skin prick test) without isolating the major allergen components.


(6)

(7)

RINGKASAN

DIAN PURBASARI. Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol (Auxis thazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen. Dibimbing oleh FRANSISKA RUNGKAT- ZAKARIA dan DAHRUL SYAH.

Alergi pangan merupakan reaksi antibodi imunoglobulin E (IgE) terhadap protein dalam bahan pangan yang disebut alergen. Diantara pangan penyebab alergi, makanan laut dikenal sebagai penyebab penting alergi pangan. Sampai saat ini cara terbaik untuk mengatasi alergi pangan adalah dengan menghindari makanan yang dicurigai menimbulkan alergi yang dapat merugikan kesehatan dan mengurangi cita rasa suatu jenis pangan. Oleh karena itu diperlukan suatu diagnosis alergi untuk memastikan jenis pangan penyebab alergi, salah satunya yaitu dengan uji tusuk kulit (skin prick test). Uji ini menggunakan isolat alergen yang saat ini masih berasal dari impor. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan ekstrak protein dari ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung yang berpotensi sebagai isolat alergen untuk uji diagnosis alergi.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, pertama yaitu isolasi protein sampel, dalam bentuk ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril. Tahap selanjutnya yaitu karakterisasi ekstrak protein dengan SDS-PAGE dan penentuan alergenisitas masing-masing ekstrak dengan metode ELISA dan immunoblotting menggunakan 20 serum subyek penderita alergi.

Hasil analisis kadar protein dengan metode Bradford menunjukkan bahwa kadar protein sarkoplasma sampel udang, ikan tongkol dan kerang hijau berturut-turut adalah 1.154 mg/ml, 1.269 mg/ml dan 0.691 mg/ml. Sedangkan kadar protein adalah 0.627 mg/ml, 0.878 mg/ml dan 0.176 mg/ml. Berdasarkan hasil elektroforesis SDS-PAGE tiga ekstrak protein sampel diketahui bahwa komponen penyusunnya memiliki berat molekul berkisar dari 14 – 143 kDa, yang diidentifikasi beberapa komponen seperti tropomiosin (34-38 kDa), parvalbumin (~12 kDa), myosin light chain (~17.5 kDa) dan arginin kinase (40 kDa) yang merupakan alergen utama pada ikan, kerang dan udang.

Uji alergenisitas dengan metode ELISA ekstrak protein dari ketiga sampel terhadap 20 serum subyek menunjukkan hasil yang sesuai dengan sejarah medis alergi tiap-tiap subyek. Kemampuan ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan miofibril dari ketiga sampel untuk mendeteksi IgE spesifik pada serum penderita alergi makanan laut menunjukkan bahwa ekstrak ini berpotensi untuk digunakan sebagai isolat alergen dalam diagnosis alergi, seperti uji tusuk atau SPT (skin prick test).

Berdasarkan immunoblotting ekstrak protein ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung memperlihatkan adanya fraksi protein yang bersifat alergenik terhadap 5 serum subyek alergi (A, B, H, L dan P). Fraksi protein yang menyebabkan alergi pada tiap-tiap individu berbeda-beda. Sehingga untuk tujuan diagnosis ekstrak dapat digunakan langsung tanpa harus mengisolasi komponen alergennya.


(8)

(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN IKAN

TONGKOL (Auxis thazard), KERANG HIJAU (Perna viridis)

DAN UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis) UNTUK

PEMBUATAN ISOLAT ALERGEN

DIAN PURBASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Mayor Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dra. Suliantari, M.Sc


(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol (Auxisthazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen.

Nama : Dian Purbasari

NRP : F251090051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, M.Sc Ketua

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr.Ir.Ratih Dewanti, M.Sc

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kerunia yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini ialah tentang protein alergen dengan judul Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol (Auxis thazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen.

Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Prof.Dr.Ir. Fransiska R Zakaria, M.Sc dan Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr sebagai dosen pembimbing atas bimbingan dan bantuan dana selama pelaksanaan penelitian.

2. Dra. Suliantari, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan arahan untuk perbaikan tulisan ini.

3. Drh. Didik Tulus Subekti, M.Kes yang telah banyak memberikan banyak masukan, arahan dan bimbingan selama pengerjaan uji ELISA di BALITVET Bogor.

4. Orangtuaku tercinta Bapak Agus Irianto, SH.MPd dan Ibu Nanik Sugiyarti, SPd, kedua adikku (Galuh dan Pupi) serta keluarga besar Banyuwangi (Pakdhe Nyoto, Budhe Ria, Mba Eka) atas kasih sayang, dukungan yang tak terhingga.

5. Teman-teman seperjuangan IPN 2009 (Rizki, Ria, Hermawan, Nandi, Dede, Fenny, Ilul, Riyanti, Bu Wida, Rangga, Tina, Wanny, Bu Indah), teman-teman IPN 2010 (Pak.Hendra, Zahra, Meli, Gadis, Yati, Nita, Sadex dan Pak Salim), anggota wisma queen castle (Dwi Andini, Ratna, Thea, Ilah, Nurisma, Rina, Yeni, Nana), serta staf LPP Mangrove (mba Yanti, Ayu, Mas Ali, a’Udi, Bu Eni, Pak Khumaedi, Gilang dan Roni) atas kebersamaan selama ini.

6. Keluarga besar : Program Mayor Ilmu Pangan Fateta IPB, SEAFAST Centre IPB, Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta IPB, Laboratorium Parasitologi BALITVET Bogor.

Bogor, Maret 2012


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi tanggal 15 Agustus 1985 dari ayah Agus Irianto, SH.MPd dan ibu Nanik Sugiyarti, SPd. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar sampai sekolah menengah atas dijalani di kota kelahiran penulis. Tahun 2003 penulis menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB melalui jalur USMI, lulus pada tahun 2008. Tahun 2008-2009 penulis bekerja sebagai staf di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan kembali pendidikan strata 2 (S2) pada sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Pangan.


(18)

(19)

xvii  

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xix DAFTAR GAMBAR ... xxi DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii 1. PENDAHULUAN ...

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ... 1.5. Hipotesis ...

1 1 3 3 4 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1. Alergi ... 2.1.1. Alergi Pangan... 2.1.2. Alergen dalam makanan ... 2.1.3. Deteksi Alergi ... 2.2. Makanan Laut Penyebab Alergi ... 2.2.1. Ikan Tongkol ... 2.2.2. Kerang Hijau ... 2.2.3. Udang Jerbung ... 2.3. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrilamide Gel

Electrophoresis)... 2.4. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ... 2.5. Imunoblotting ...

5 5 6 8 9 10 11 12 14 15 16 17 3. METODOLOGI ...

3.1. Waktu dan Tempat ... 3.2. Bahan dan Alat ... 3.3. Metode Penelitian ... 3.3.1. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995)... 3.3.2. Isolasi Protein Sampel (Hashimoto et al. 1979) ... 3.3.3. Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford 1976) 3.3.4. Penentuan Karakteristik Ekstrak Protein dengan

Elektroforesis SDS-PAGE (Laemmli 1970) ... 3.3.5. Serum Subyek Alergi ... 3.3.6. ELISA (Ishikawa et al. 1997) ...

19 19 19 20 22 22 24 24 27 27


(20)

xviii  

Protein... 3.3.7. Immunoblotting (Towbin et al. 1979)...

28 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

4.1. Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril ... 4.2. Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS-PAGE ..

4.2.1. Ikan Tongkol ... 4.2.2. Kerang Hijau ... 4.2.3. Udang Jerbung ... 4.3. Alergenisitas Ekstrak Protein dengan Metode ELISA ...

4.3.1. IgE Total Serum Subyek Alergi ... 4.3.2. Alergenisitas Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril ....

4.3.2.1. Ikan Tongkol ... 4.3.2.2. Kerang Hijau ... 4.3.2.3. Udang Jerbung ... 4.4. Profil Protein Alergenik Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril dengan Metode Imunoblotting ………...

31 31 34 37 39 40 42 43 45 48 50 52 54 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...

5.1. Kesimpulan ... 5.2. Saran ...

59 59 60 DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN ... 69


(21)

xix  

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Klasifikasi makanan laut penyebab alergi ... 10 Tabel 2. Jumlah total protein sampel awal dan protein terekstrak ... 32 Tabel 3. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM)

dan berat molekul protein standar ... 35 Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan sejarah medis alergi


(22)

(23)

xxi  

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Empat tipe reaksi alergi (Kuby 2007) ... 5 Gambar 2. Mekanisme umum reaksi hipersensitif tipe I (Kuby 2007)... 7 Gambar 3. Diagram alir penelitian ... 21 Gambar 4. Ekstraksi Protein Sarkoplasma dan Miofibril (Hashimoto et al. 1979) ………. 23 Gambar 5. Pola elektroforesis fraksi protein. M: low-molecular-weight

protein marker, 1: sarkoplasma tongkol, 2: miofibril tongkol, 3: sarkoplasma kerang hijau, 4: miofibril kerang hijau; 5: sarkoplasma udang jerbung, 6: miofibril udang jerbung ... 35 Gambar 6. Hasil pembacaan densitas pita marker standar dengan

program Image J ... 37 Gambar 7. Hasil pembacaan densitas pita protein ikan tongkol dengan

program Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.. 38 Gambar 8. Hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan

program Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.. 39 Gambar 9. Hasil pembacaan densitas pita protein udang jerbung dengan

program Image J:(a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril... 41 Gambar 10. Hasil uji ELISA terhadap serum pengenceran 1:5 dan 1:10

dibandingkan dengan kontrol negatifnya (rata + 2SD) : (A) Subyek A-J, (B) Subyek K-T...

44

Gambar 11. Hasil uji ELISA protein ikan tongkol terhadap 20 serum subyek(A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril ... 49 Gambar 12. Hasil uji ELISA protein kerang hijau terhadap 20 serum

subyek (A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril…….. 51 Gambar 13. Hasil uji ELISA protein udang jerbung terhadap 20 serum

subyek (A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril…….. 52 Gambar 14. Imunoblotting protein udang jerbung, ikan tongkol dan kerang


(24)

(25)

xxiii  

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Larutan-larutan untuk ekstraksi protein sarkoplasma dan

miofibril ... 69 Lampiran 2. Larutan-larutan untuk SDS PAGE ... 70 Lampiran 3. Rumus/Formula pembuatan larutan-larutan untuk ELISA 71 Lampiran 4. Rumus/Formula pembuatan larutan-larutan untuk

imunoblotting ... 72 Lampiran 5. Kurva protein standar (BSA) pada penetapan kadar

protein ekstrak sampel (udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau) ... 73 Lampiran 6. Hasil perhitungan rendemen ekstrak dan analisis total

protein dalam daging udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau ... 74 Lampiran 7. Protein alergen dari produk laut (seafood) yang terdaftar

dalam IUIS (International Union of Immunological Societies) ... 75 Lampiran 8. Data Rf sub unit protein ... 76 Lampiran 9. Data hasil uji ELISA penentuan total IgE serum ... 81 Lampiran 10. Hasil uji ELISA penentuan alergenisitas ekstrak sampel .. 82 Lampiran 11. Hasil uji imunoblotting ... 88


(26)

(27)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alergi pangan merupakan reaksi yang merugikan dari makanan yang didasarkan pada mekanisme imonologi (Houben dan Penninks 1996). Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian alergi pangan terus meningkat tajam baik di dalam negeri maupun luar negeri. World Allergy Organization (WAO) menyebutkan 22% penduduk dunia menderita alergi dan terus meningkat setiap tahun (Candra et al. 2011). Jumlah kasus alergi pangan paling banyak pada bayi dan anak-anak yaitu berkisar antara 6-8% dan pada orang dewasa sekitar 1-2% (Sampson 2005). Kasus alergi pangan di Indonesia menunjukkan jumlah yang belum pasti namun selalu meningkat tiap tahunnya (Noverina 2008).

Timbulnya alergi pangan disebabkan adanya senyawa penyebab alergi atau lebih dikenal dengan alergen. Alergen pangan berupa protein yang tidak rusak pada saat proses pemasakan dan saat berada di keasaman lambung. Secara struktural protein makanan (alergen) tidak sama dengan struktur protein tubuh manusia sehingga dideteksi oleh sistem imun tubuh sebagai protein asing. Akibatnya alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui peredaran darah mencapai organ yang menjadi tergetnya sehingga menginduksi respon imun dan menimbulkan reaksi alergi. Gejala reaksi alergi dapat terlihat sebagai timbulnya gangguan kulit berupa bercak-bercak merah yang gatal pada permukaan kulit, gangguan saluran pencernaan berupa diare dan muntah, sesak nafas sampai syok anafilaksi yang fatal dan gangguan rongga mulut (Hamada et al. 2003).

Pada dasarnya semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, yang membedakan hanya kadar protein di dalamnya dan kondisi tubuh seseorang dalam menerima pasokan protein tersebut. Umumnya makanan yang sering menimbulkan reaksi alergi adalah makanan yang mengandung protein tinggi yang sayangnya merupakan makanan sumber protein yang penting bagi kesehatan. Sekitar 90% reaksi alergi pangan disebabkan oleh kacang tanah, susu, telur ayam, kedelai, ikan, kerang dan gandum (FAAN 2010).

Ikan dan makanan laut memiliki peranan penting dalam gizi manusia. Makanan laut merupakan sumber protein yang sangat berharga dan mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) dan vitamin larut lemak.


(28)

Namun, makanan laut juga merupakan salah satu jenis pangan penyebab terpenting timbulnya alergi, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya bergantung pada sektor perikanan dan dimana ikan menjadi konsumsi andalannya (Samartin et al. 2001). Makanan laut ditemukan sebagai alergen pangan terpenting kedua setelah telur pada pasien penderita alergi (Lopata dan Potter 2000). Tiga jenis makanan laut yang dapat memicu alergi yaitu ikan, crustacea (kepiting, lobster, udang) dan moluska seperti kerang, tiram, remis dan cumi (FAAN 2010).

Hasil survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1,9% dari total penduduk memiliki alergi terhadap kelompok udang dan kerang-kerangan, dan sebanyak 0,4% dari total penduduk memiliki alergi terhadap ikan (Sicherer et al. 2004). Di Malaysia, ikan dan udang-udangan merupakan penyebab alergi pangan yang paling umum pada penderita alergi asma dan rhinitis (Shanaz et al. 2001).

Sampai saat ini upaya mengatasi alergi yang selama ini telah terbukti dan banyak dilakukan adalah dengan menghindari makanan yang diduga menimbulkan alergi (Sicherer dan Sampson 2009). Namun ternyata tindakan ini dapat merugikan kesehatan karena beresiko kekurangan gizi dan kurang variasi dalam menu makanan, selain itu juga dapat mengurangi kenikmatan cita rasa suatu jenis pangan. Oleh karena itu untuk memastikan jenis bahan pangan penyebab alergi diperlukan suatu diagnosis alergi. Diagnosis yang sering dilakukan adalah dengan uji kulit menggunakan isolat protein alergen pangan. Di Indonesia saat ini tempat untuk melakukan uji ini masih belum banyak ditemukan. Hal ini disebabkan karena isolat protein alergen yang saat ini digunakan oleh para dokter ahli alergologi di Indonesia masih berasal dari hasil impor sehingga biaya uji ini masih mahal (Candra et al. 2011).

Pemikiran tersebut mendasari penelitian untuk mengetahui potensi protein makanan laut asal Indonesia sebagai isolat alergen, utamanya jenis ikan tongkol (Auxis thazard), kerang hijau (Perna viridis) dan udang jerbung (Penaeus merguiensis). Isolat alergen yang dapat diproduksi di dalam negeri menyebabkan biaya uji alergi dapat lebih murah dan dapat mudah dilakukan. Ketiga jenis produk laut tersebut dipilih karena selain dihasilkan melimpah, juga sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.


(29)

3  

1.2. Perumusan Masalah

Alergi yang timbul karena adanya reaksi penyimpangan (adverse reaction) yang melibatkan sistem imun dan komponen pangan berupa protein, disebut dengan alergi pangan. Terdapat lebih dari 160 jenis pangan yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Salah satu penyebab utama alergi pangan adalah pangan yang berasal dari hasil laut yaitu ikan, kepiting, kerang, udang dan lobster.

Sampai saat ini belum ada obat khusus untuk mengatasi alergi pangan. Tindakan pencegahan terbaik yaitu dengan menghindari sumber pangan penyebabnya, namun hal ini juga dapat bersifat merugikan karena pembatasan keragaman jenis pangan dapat berdampak pada kondisi kurang gizi protein dan berkurangnya kenikmatan cita rasa suatu jenis pangan. Diagnosis alergi pangan dibuat berdasarkan diagnosa klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan kejadian alergi yang terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan banyak dan beragam, baik dengan cara yang ilmiah hingga cara alternatif, mulai yang dari yang sederhana hingga yang canggih. Diantaranya adalah uji kulit alergi, yaitu suatu uji yang diterapkan secara subkutanus dengan menggunakan isolat protein alergen dari berbagai jenis pangan. Saat ini isolat protein alergen yang digunakan di Indonesia oleh para dokter ahli alergologi masih berasal dari hasil impor, sehingga diperlukan penyediaan protein isolat lokal.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan ekstrak protein dari makanan laut Indonesia yang berpotensi sebagai isolat alergen dan dapat digunakan untuk diagnosis alergi pangan.

Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Melakukan ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung

2. Mengkarakterisasi protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung dengan elektroforesis SDS PAGE

3. Mengetahui kandungan IgE serum subyek penderita alergi pangan dengan uji ELISA


(30)

4. Menguji coba alergenisitas ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung dengan menggunakan serum subyek penderita alergi pangan dengan teknik ELISA dan immunoblotting.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi tentang metode ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari makanan laut (ikan, udang dan kerang).

2. Memberikan informasi ilmiah tentang sifat alergenisitas 3 jenis bahan pangan yaitu ikan, udang dan kerang-kerangan.

3. Menghasilkan ekstrak protein produk laut yang berpotensi sebagai isolat alergen yang dapat diaplikasikan untuk diagnosis alergi terhadap makanan laut.

1.5. Hipotesis

1. Terdapat protein alergen dalam ekstrak protein fraksi sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung.

2. Komponen yang terdapat dalam kedua fraksi ekstrak protein ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung dapat berikatan spesifik dengan IgE dari 20 serum subyek alergi.

3. Jenis komponen yang ada dalam masing-masing ekstrak protein yang dapat menyebabkan alergi pada setiap orang berbeda-beda.

4. Ekstrak protein yang dihasilkan dapat digunakan sebagai isolat alergen dalam bentuk crude.


(31)

   

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alergi

Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906. Alergi dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas dan dapat diartikan sebagai reaksi imunologi terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah terpapar dengan antigen bersangkutan (Kresno 2001).

Secara garis besar, reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu reaksi tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan tipe lambat (delayed type hypersensitivity). Reaksi alergi tipe cepat dimediasi oleh sistem imun humoral (humoral-mediated) yang menunjukkan gejala secara cepat dalam hitungan menit atau jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi tipe lambat dimediasi oleh sel (cell-mediated) dan gejala yang ditimbulkan muncul setelah beberapa hari terpapar oleh antigen. Berdasarkan mekanisme terjadinya reaksi, alergi terdiri atas empat jenis yaitu tipe I (IgE-mediated hypersensitivity), tipe II ( Antibody-mediated cytotoxic hypersensitivity), tipe III (Immune complex-mediated hypersensitivity) dan tipe IV (Delayed-type hypersensitivity, DTH). Tipe I hingga III termasuk reaksi alergi tipe cepat, sedangkan tipe IV termasuk reaksi alergi tipe lambat (Kuby 2007). Mekanisme umum terjadinya beberapa tipe alergi dapat dilihat pada Gambar 1.


(32)

Reaksi alergi tipe I terjadi dengan cara alergen memicu sel limfosit B untuk berubah menjadi sel plasma dan mengeluarkan IgE. IgE ini kemudian terikat dengan reseptornya pada permukaan sel mastosit dan sel basofil darah. Hal ini menyebabkan sel mastosit dan basofil mengalami degranulasi dan mengeluarkan efektor. Reaksi alergi tipe II melibatkan antibodi untuk merusak sel asing. Mekanisme seperti ini dijalankan dengan mengaktifkan sistem komplemen dan membentuk lubang pada sel asing. Mekanisme ini juga dapat dijalankan dengan melibatkan sel sitotoksik dan antiobdi untuk menghancurkan sel asing tersebut. Pada reaksi alergi tipe III, kompleks imun yang dibentuk oleh antigen dengan antibodi menjadikan sel fagosit mengenali kompleks imun ini dan menghancurkan kompleks tersebut. Namun jika kompleks imun yang dibentuk sangat banyak, hal ini dapat membahayakan jaringan tubuh. Reaksi alergi tipe IV berlangsung dengan melibatkan pelepasan sitokin. Ketika sel T pembantu mengenali antigen, sel ini akan mengeluarkan sitokin yang dapat menginduksi terjadinya reaksi peradangan yang dikenal dengan reaksi alergi yang tertunda. Reaksi ini ditandai dengan adanya sel penyebab radang seperti sel makrofag dalam jumlah besar (Kuby 2007).

2.1.1. Alergi Pangan

Alergi yang sering timbul karena konsumsi bahan pangan disebut dengan alergi pangan. Alergi pangan merupakan reaksi yang merugikan dari makanan yang didasarkan pada mekanisme imonologi (Houben dan Penninks 1996). Timbulnya reaksi alergi pangan disebabkan di dalam bahan pangan tersebut terdapat senyawa penyebab alergi atau lebih dikenal dengan alergen. Alergen dalam makanan dapat berupa protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik (Hasyimi et al. 1992).

Reaksi alergi pangan merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) dan termasuk dalam reaksi alergi tipe I (Adelman et al. 2002). Reaksi alergi tipe I diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat protein alergenik kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya. Protein alergenik tersebut kemudian difagosit dan dihancurkan oleh makrofag menjadi fragmen-fragmen peptida. Fragmen-fragmen ini kemudian dipresentasikan oleh APC (


(33)

Antigen-7 

 

Presenting Cell) melalui MHC II (Major Histocompatibility Complex II). Kemudian sel T helper 1 (Th 1) akan menempel pada kompleks MHC II-fragmen peptida, sehingga sel Th 1 mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma inilah yang menghasilkan sel memori dan IgE. IgE merupakan salah satu anggota imunoglobulin darah yang berperan dalam reaksi alergi dan infeksi parasit. Molekul IgE yang dihasilkan ini akan terikat pada reseptor spesifik Fc pada sel mastosit dan basofil pada darah. Pada pemaparan yang kedua, alergen akan membentuk ikatan dengan IgE yang menancap pada permukaan sel mastosit dan basofil. Setiap alergen harus dapat mengikat dua atau lebih molekul IgE (cross linking). Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia, sehingga terjadi degranulasi dalam sel mastosit dan basofil. Hasil degranulasi adalah terlepasnya mediator alergi yang sebelumnya telah ada dalam sel seperti histamin, serotonin, kinin, prostaglandin dan leukotrien. Histamin yang dilepaskan dapat memperlebar pembuluh darah arteri dan pembuluh darah kapiler, meningkatkan permeabilitas pembuluh kapiler, dan mempersempit aliran darah pada saluran pernafasan. Mekanisme umum terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I dapat dilihat pada Gambar 2 (Kuby 2007).


(34)

Reaksi alergi terhadap susu, kacang-kacangan, ikan, kerang-kerangan, gandum dan kedelai merupakan alergi pangan yang signifikan terjadi di Amerika Serikat, namun sejumlah makanan lain juga dapat menyebabkan respon alergi (Sicherer dan Sampson 2009). Reaksi hipersensitivitas yang timbul karena konsumsi kerang-kerangan merupakan salah satu bentuk alergi pangan yang serius. Di Amerika Serikat, lebih dari enam juta orang beresiko memiliki respon hipersensitif setelah konsumsi kerang (Wild dan Lehrer 2005). Diantara kerang-kerangan, kepiting diasumsikan menjadi penyebab utama reaksi hipersensitif di China, terdapat lebih dari 600 jenis kepiting di China. Hasil survey terhadap status alergi pangan pelajar China mengindikasikan bahwa sekitar 6% subyek dalam kelompok usia 15-24 tahun menderita sedikitnya menderita alergi pangan, dan alergenik pangan utamanya adalah makanan laut, termasuk kepiting (Lu et al.

2005).

2.1.2. Alergen dalam makanan

Istilah alergen secara sepesifik mengacu pada antigen nonparasit yang mampu menstimulasi respon hipersensitivitas tipe I pada individu atopik. Beberapa individu yang cinderung lebih mudah mengalami reaksi hipersensitivitas tipe I jika terpapar oleh antigen atau alergen, disebut dengan atopik. Respon abnormal IgE pada individu atopik sebagian karena genetik, yang diturunkan dari keluarga (Kuby 2007).

Makanan tersusun dari karbohidrat, protein dan lemak. Alergen yang utama dalam makanan merupakan protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul yang berkisar dari 10.000 dan 60.000 D, larut air, tahan panas dan tahan enzim proteolitik (Adelman et al. 2002). Alergen pangan biasanya hanya sebagian kecil dari keseluruhan protein yang terdapat dalam makanan. Protein dari jenis makanan seperti telur, susu sapi, kacang-kacangan, gandum, makanan laut (ikan, kerang-kerangan, lobster dan udang) dan jenis makanan lain seperti kentang, apel, kacang polong dapat menjadi penyebab terjadinya alergi atau reaksi hipersensitif tipe I ( Kuby 2007).

Protein alergen pada tiap individu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena reaksi alergi merupakan interaksi antara protein dan sistem imun yang sulit untuk diprediksi. Alergenisitas suatu protein ditentukan oleh epitop yang


(35)

 

dimilikinya (Huby et al. 2000). Epitop merupakan bagian molekul alergen yang berikatan dengan antibodi IgE dan menentukan spesifitas reaksi protein alergen dan antibodi IgE. Jumlah epitop pada satu molekul alergen berbeda dengan jumlah epitop pada alergen yang lain (Kresno 2001).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa suatu alergen sedikitnya harus memiliki 2 epitop, yang masing-masing memiliki sekitar 15 residu asam amino. Hal ini menunjukkan bahwa protein alergen minimal mengandung sekitar 30 residu asam amino (BM sekitar 3 kDa). Sebagai contoh, alergen kacang Ara h 1 dan Ara h 3 memiliki sedikitnya 23 dan 4 epitop, sedangkan alergen kedelai Gly m Bd memiliki 16 epitop (Huby et al. 2000).

Suatu alergen yang mampu bereaksi dengan 50% IgE serum individu penderita alergi disebut dengan alergen mayor. Alergen minor hanya dapat bereaksi dengan 10% IgE serum atau bahkan tidak begitu kuat untuk menyebabkan alergi. Contoh alergen mayor antara lain β-laktalbumin, kasein, α -laktalbumin susu dan antigen I, antigen II pada udang. Laktoferin, laktoperoksidase, alkalifosfatase dan katalase susu merupakan jenis protein yang tergolong sebagai alergen minor (Bush dan Hefle 1996).

Protein alergen pertama masuk ke dalam tubuh melalui intestinal. Dalam hal ini, protein alergen memiliki ketahanan terhadap kondisi asam dalam lambung serta enzim protease dalam saluran pencernaan seperti tripsin, kimotripsin dan pepsin. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar alergen mempunyai epitop kontinyu yang dapat tahan terhadap panas dan sistem pencernaan seperti garam empedu, asam dan enzim proteolitik. Namun demikian, jika saluran pencernaan sesorang dalam kondisi sehat dan dapat mencerna makanan dengan sempurna, alergen yang merupakan peptida ini tidak akan terserap oleh usus halus sehingga tidak akan menyebabkan alergi walaupun secara genentik orang tersebut memiliki riwayat alergi. Alergen dapat terserap jika pada dinding usus halus seseorang terdapat lubang yang memungkinkan alergen masuk. Pembentukan lubang ini dapat disebabkan oleh cacing, bakteri atau bahan kimia. Oleh karena itu, kelainan genetik saja tidak cukup untuk menjelaskan terjadinya reaksi alergi. ada kecinderungan bahwa faktor lingkungan juga mempunyai pengaruh penting dalam reaksi hipersensitivitas terhadap protein alergen (Garn dan Renz 2007).


(36)

2.1.3. Deteksi Alergi

Alergi tipe I umumnya dapat dideteksi dengan melalui uji tusuk kulit. Uji ini dilakukan dengan menggunakan ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut (Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004).

Uji lain yang dapat digunakan untuk diagnosa alergi adalah uji oral double blind challange. Uji ini dilakukan untuk memastikan makanan penyebab alergi pada pasien dalam keadaan puasa. Metode dilakukan dengan cara pemberian makanan yang mengandung alergen dalam bentuk kapsul dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15-30 menit. Pengujian biasanya membutuhkan waktu 4-8 jam. Uji ini membutuhkan tenaga ahli yang terampil dan berpengalaman (Groce 2007). Selain itu, juga masih banyak uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab alergi diantaranya yaitu analisa total IgE, analisis IgE spesifik, uji degranulasi basofil dan mastosit, uji pelepasan histamin dan uji permeabilitas intestinal.

2.2. Makanan Laut Penyebab Alergi

Di seluruh dunia, makanan laut berupa ikan, udang dan kerang-kerangan memiliki peranan penting dalam zat gizi manusia. Namun, makanan laut juga merupakan alergen yang kuat pada individu yang sensitif dan menyebabkan reaksi alergi. Alergi pangan karena makanan laut paling mudah terdeteksi karena gejala yang ditimbulkan relatif cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah bisa dikenali. Jenis makanan laut yang sering mengakibatkan gangguan adalah jenis yang berukuran kecil seperti udang, cumi, kerang, kepiting dan sebagainya.


(37)

11 

 

Ikan laut yang agak besar seperti salmon, tuna dan sebagainya relatif lebih ringan. Klasifikasi makanan laut utama yang dapat menyebabkan reaksi alergi dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah (ALLSA 2008).

Tabel 1. Klasifikasi makanan laut penyebab alergi (ALLSA 2008)

Grup Kelas Spesies

Mollusca Gastropoda Bivalvia Cephalopoda Abalone, Siput Tiram, Remis Cumi-cumi, Gurita

Arthropoda Crustacea Lobster, Udang, Lobster air tawar

(crayfish) Chordata Osteichthyes

Condrichthyes

Ikan Cod, Tuna, Salmon, Makerel Ikan hiu,cucut

Kelompok crustacea dan moluska merupakan janis pangan yang paling sering menyebabkan reaksi hipersensitif yang diperantarai oleh antibodi IgE, yang menimbulkan gejala alergi berupa urtikaria (gatal di kulit), angiodema, asma atau kombinasi dari beberapa gejala tersebut (Motoyama et al. 2006).

Penelitian Clark et al. (2004) menunjukkan bahwa alergen ikan laut dapat mengakibatkan terjadinya 10% reaksi anafilaksis. Sifat alergi dari protein ikan dipengaruhi oleh kondisi fisiologis lambung, terutama pada individu yang sensitif terhadap jenis pangan ini (Untersmayr et al. 2005).

Protein ikan berdasarkan kelarutannya dibagi menjadi 3 jenis yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Protein sarkoplasma berisi beberapa jenis protein yang larut air dan dapat diekstrak dengan larutan garam berkekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang dapat diekstrak dengan larutan garam dengan kekuatan ion tinggi. Protein stroma merupakan jenis protein yang tidak larut baik dalam larutan garam, asam maupun basa. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dari protein ikan yaitu sekitar 66-77% dari total protein ikan. Protein sarkoplasma terdapat dalam jumlah sekitar 10% dari total protein ikan, sedangkan protein stroma berkisar antara 3-5%. Kandungan protein sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi tergantung jenis ikan. Pada umumnya ikan pelagik mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981).


(38)

2.2.1. Ikan Tongkol

Ikan merupakan salah satu diantara delapan jenis pangan penyebab alergi dan menempati urutan kedua terpenting setelah telur (Lopata dan Potter 2000). Beberapa jenis ikan terutama ikan laut yang paling umum menyebabkan alergi pangan diantaranya berasal dari famili Scombridae yaitu ikan tuna, tongkol, cakalang, tenggiri, kembung. Selain itu juga ikan teri, ikan cod, kerapu, marlin, salmon, sarden, hiu dan kakap (CFIA 2010).

Ikan tongkol merupakan salah satu famili Scombridae, bagian dari ikan konsumsi penting di Indonesia. Dapat tumbuh sampai 1 meter dengan berat maksimal 14 kg. merupakan ikan pelagis yang hidup di pantai sampai laut lepas dengan kedalaman 200 meter (Kuncoro dan Wiharto 2009). Klasifikasi ikan tongkol (Auxis thazard) adalah sebagai berikut (Saanin 1984) :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Teleostei

Subkelas : Actinopterygi

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombroidea

Famili : Scombridae Genus : Auxis

Spesies : Auxis thazard

Komposisi protein daging putih ikan mackerel yang juga merupakan famili Scombridae terdiri dari 33-37% protein sarkoplasma, 59-61% protein miofibril dan 1-2% protein stroma (Hashimoto et al. 1979). Hasil penelitian Benjakul et al. (2001) terhadap komposisi protein miofibril dari dua jenis ikan bigeye snapper (Priacanthus tayenus dan Priacanthus macracanthus) memberikan hasil yang mirip, yaitu berkisar antara 44-45% dari total protein. Hasil elektroforesis fraksi protein miofibril dari kedua jenis spesies memperlihatkan band protein yang merupakan miosin rantai panjang, aktin, troponin, tropomiosin dan juga miosin rantai panjang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis alergen mayor pada ikan cod


(39)

13 

 

protein sarkoplasma yang berikatan dengan kalsium dengan berat molekul sekitar 12 kDa (Elsayed dan Aas 1971 dalam Hamada et al. 2003). Selain itu juga diketahui adanya alergen minor pada beberapa jenis ikan lain melalui teknik

immunoblotting dan salah satunya telah dimurnikan dan diidentifikasi sebagai kolagen (Hamada et al. 2001).

2.2.2. Kerang Hijau

Kerang hijau merupakan salah satu jenis sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca. Daging segar kerang hijau umumnya sangat lunak, berwarna putih atau oranye mengkilap dan berair. Presentase daging kerang hijau lebih besar dibandingkan dengan jenis kerang-kerangan lainnya, seperti kerang darah dan kerang bulu. Berikut ini adalah klasifikasi kerang hijau (Perna viridis) berdasarkan NIMPIS (2002) :

Filum : Mollusca

Kelas : Bivalvia Sub kelas : Pteriomorphia

Ordo : Mytiloida

Famili : Mytilidae Genus : Perna

Spesies : Perna viridis

Beberapa alergen dari moluska adalah Tod p 1 dalam cumi-cumi, Hal m1

dalam abalone, Cra g 1 dalam tiram telah dikarakterisasi dengan menggunakan teknik biokimia. Leung et al. (1996) menyatakan bahwa suatu protein 38 kDa diidentifikasi sebagai tropomiosin yang juga ditemukan sebagai alergen pada berbagai spesies moluska.

Tropomiosin ditetapkan sebagai penyebab alergi utama dan merupakan alergen yang umum ditemukan pada penelitian alergen kerang. Tropomiosin dari beberapa spesies telah diklon dan disekuen dan epitop mayor yang berikatan dengan IgE telah diidentifikasi. Tropomiosin dikenal sebagai alergen yang menyebabkan reaksi silang yang terdapat pada otot dan sel-sel lain dari kerang tersebut (Leung et al. 1996).

Beberapa bivalvia terbukti memiliki minimal 2 bentuk tropomiosin, namun hanya salah satu bentuk yang ditemukan dalam spesies kerang


(40)

M.galloprovincialis (Fujinoki 2006) yang memiliki identitas 100% asam amino daripada kerang biru (M.edulis) (Taylor 2008). Beberapa alergen selain tropomiosin telah ditemukan dalam spesies moluska lain namun belum teridentifikasi secara rinci. Alergen ini diusulkan sebagai hemosianin, miosin rantai panjang dan amilase (Taylor 2008). Adanya alergen selain tropomiosin pada spesies moluska menunjukkan bahwa alergen lain juga mungkin ada dalam kerang juga. Serum pasien yang mempunyai alergi terhadap udang bereaksi juga dengan band kedua dari kerang hijau Asia (P.viridis) (Leung et al. 1996).

2.2.3. Udang Jerbung

Salah satu spesies dari famili Penaeidae yang bernilai ekonomis tinggi dan tersebar luas hampir di seluruh Indonesia adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis). Seperti hewan laut lainnya, dua komponen yang dominan pada udang adalah air dan protein. Protein udang juga terdiri dari protein sarkoplasma, miofibril dan stroma (Suzuki 1981). Penelitian Sriket et al. (2007) terhadap dua jenis udang Penaeus monodon dan Penaeus vannamei menunjukkan bahwa komponen protein utama adalah miofibril yang terdiri dari aktindan myosin heavy chain (MHC). Perbedaan kandungan protein miofbril, sarkoplasma dan stroma dari jenis udang putih (P.vannamei) dan udang P.monodon disebabkan karena perbedaan sifat dan karakteristik dari kedua jenis spesies udang tersebut.

Udang jerbung memiliki klasifikasi sebagai berikut (Racek dan Dall 1965

dalam Naamin et al. 1992) : Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus merguiensis

Dari sejumlah pangan penyebab alergi, kelompok udang-udangan ditetapkan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya alergi pangan yang dikarenakan semakin meningkatnya konsumsinya, terutama di negara-negara pesisir (Lehrer et al. 2003). Udang merupakan satu diantara delapan sumber utama alergen pangan


(41)

15 

 

yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia dan merupakan jenis pangan yang banyak disukai karena rasa dan nilai gizinya yang tinggi (Yu et al. 2011).

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis alergen utama dari udang-udangan, seperti yang dikemukakan dalam penelitian Motoyama et al. (2007), alergen utama pada kelompok udang adalah tropomiosin, yaitu suatu protein miofibril 35-38 kDa yang terdapat di dalam kontraksi otot. Pengujian alergenisitas terhadap ekstrak protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan bahwa ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan miofibril mampu menimbulkan terjadinya reaksi alergi pada subyek penderita alergi (Ispurwanto 1998).

2.3. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis)

Elektroforesis merupakan metode yang sering digunakan untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu zat berdasarkan muatannya dengan memanfaatkan medan listrik. Migrasi fraksi-fraksi tersebut dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, serta muatan fraksi (Walsh 2001)

Proses pemisahan fraksi-fraksi protein umumnya menggunakan gel poliakrilamida sebagai media elektroforesis atau sering disebut sebagai PAGE (Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Keunggulan penggunaan gel poliakrilamida pada proses elektroforesis adalah karena bersifat inert, tidak bereaksi dengan sampel, tidak bermuatan, stabil pada kisaran pH yang luas, dan transparan sehingga pengamatan terhadap pita-pita protein mudah dilakukan.

Selain itu, ukuran pori-pori gel poliakrilamida juga dapat diatur sesuai dengan molekul yang akan dipisahkan. Semakin kecil ukuran molekul yang akan dipisahkan, maka semakin tinggi konsentrasi poliakrilamida yang digunakan dan sebaliknya. Umumnya protein dengan kisaran BM 24-205, 14-205 dan 14-66 kDa berturut-turut baik dipisahkan oleh gel poliakrilamida 8%, 10% dan 12% (Bollag dan Edelstein 1991).

SDS-PAGE merupakan modifikasi PAGE, yaitu proses elektroforesis yang menggunakan sampel terdenaturasi serta mempunyai muatan negatif. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan pemberian β-merkaptoetanol sebagai denaturan yang memecah ikatan disulfida. Denaturasi protein juga dapat dilakukan melalui pemanasan pada suhu kurang lebih 80°C selama 2 menit. Pemberian SDS


(42)

menyebabkan polipeptida bermuatan negatif sehingga sampel akan tertarik menuju elektroda positif. Polipeptida berukuran lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat dibandingkan polipeptida yang berukuran lebih besar (Walsh 2001).

Penggunaan teknik SDS-PAGE untuk identifikasi jenis protein alergen telah banyak dilakukan. Sahabudin et al. (2011) melaporkan bahwa analisis ekstrak protein udang Penaeus monodon menghasilkan 23 band protein dengan berat molekul berkisar 15-200 kDa. Misnan et al. (2005) mengkarakterisasi ekstrak protein ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) dengan elektroforesis SDS-PAGE dan menghasilkan 26 band protein dengan berat molekul 11-175 kDa. Karakterisasi ekstrak protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan bahwa protein sarkoplasma terdiri dari 11 jenis protein (17-75 kDa) dan protein miofibril terdiri dari 11 jenis protein dengan berat molekul berkisar 16-81 kDa.

2.4. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

ELISA atau enzyme linked immunosorbent assay merupakan teknik

immunoassay yang digunakan untuk mendeteksi atau mengkuantifikasi suatu senyawa dasar dalam reaksi imunologi (Kemeny 1991). Pada awalnya, ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG dan IgA pada saat terjadi infeksi pada tubuh manusia khususnya. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga digunakan untuk bidang-bidang lainnya (Fossceco et al. 2007).

Penerapan teknik ELISA meliputi lima komponen dasar yaitu lempeng padat, adsorbsi ke lempeng padat, penyangga dan larutan pencuci, konjugat enzim dan substrat serta pembacaan hasil dari lempeng mikrotiter. Komponen yang paling umum digunakan dalam ELISA adalah lempeng padat. Bahan yang diperlukan untuk membuat lempeng padat berasal dari gelas atau plastik. Diantara kedua bahan tersebut plastik lebih umum digunakan dibanding bahan yang terbuat dari gelas. Pemakaian lempeng padat bertujuan untuk meletakkan antigen maupun antibodi. Malcolm (1995) menerangkan bahwa antigen atau antibodi secara pasif dapat menempel pada permukaan lempeng padat. Sementara komponen penyangga (buffer) dan larutan pencuci merupakan komponen yang berpengaruh terhadap hasil pengujian terutama pengaruh dari pH dan kekuatan ion.


(43)

17 

 

Larutan pencuci biasanya mengandung deterjen yang ditujukan untuk mengurangi reaksi-reaksi pengikatan non spesifik. Adapun konjugat enzim merupakan komponen yang akan diikatkan pada antibodi indikator. Konjugat enzim ini akan memecah substrat sehingga reaksi dapat dideteksi dengan melihat perubahan warna yang terjadi. Komponen dasar yang terakhir adalah pembacaan hasil ELISA, yang utamanya berkaitan dengan pemilihan panjang gelombang yang sesuai. Panjang gelombang primer harus bertepatan dengan absorbansi puncak (Burgess 1995).

Beberapa keunggulan teknik ELISA dibandingkan uji-uji imunologi yang lain antara lain, ELISA mengukur lebih cepat, tidak menghasilkan limbah radioaktif sehingga tidak membahayakan kesehatan, mudah diotomatisasi, ekonomis dan cukup sensitif dengan reagen yang memiliki umur simpan panjang serta dapat dibaca dengan spektrofotometer biasa (Kresno 2001).

Hamada et al. (2003) melakukan pengujian reaktivitas IgE serum subyek penderita alergi ikan dengan protein ikan Evynnis japonica menggunakan ELISA. Hasilnya menunjukkan bahwa protein parvalbumin (12 kDa) memiliki reaktivitas paling kuat dengan IgE serum dibandingkan dengan protein lain. Menggunakan teknik ELISA, Shriver et al. (2011) melaporkan bahwa perlakuan Pulsed Ultraviolet Light (PUV) menurunkan reaktivitas alergen mayor tropomiosin yang terdapat dalam ekstrak udang putih (Litopenaeus setiferus) dan dapat menurunkan kapasitas pengikatan terhadap IgE serum.

2.5. Immunoblotting

Suatu modifikasi dari prinsip imunoelektroforesis adalah teknik yang disebut immunoblotting. Salah satu metode yang populer dari immunoblotting

adalah western blotting. Western blotting biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Metode ini menggabungkan selektivitas elektroforesis gel dengan spesifitas immunoassay, sehingga setiap jenis protein dapat dideteksi dan dianalisis dengan menggunakan probe antibodi yang sesuai (Kresno 2001). Proses pemindahan protein dari matriks gel ke suatu membran nitroselulosa dan proses deteksinya secara imunologi inilah yang sering disebut dengan western blotting (Rybicki et al. 1996).


(44)

Dalam uji ini, protein-protein dalam campuran akan dipisahkan satu dengan yang lain dengan cara elektroforesis gel, khususnya cara sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Posisi akhir setiap jenis protein dalam gel poliakrilamida setelah elektroforesis dihentikan sesuai dengan berat molekul masing-masing. Protein-protein yang telah dipisahkan satu dengan yang lain itu kemudian dipindahkan dari gel ke suatu membran pendukung melalui proses kapiler (blotting) sedimikian rupa sehingga membran tersebut mendapatkan replika dari susunan makromolekul seperti yang terdapat pada gel. Posisi antigen yang dicari dapat diidentifikasi pada membran dengan mereaksikannya dengan antibodi spesifik yang bertanda atau dilabel dengan radioisotop atau enzim (Abbas et al. 2000).

Pita protein (misalnya, protein alergen) yang tercetak dalam membran nitroselulosa dapat diidentifikasi dengan menginkubasi membran dalam serum darah pasien yang positif alergi, sehingga protein tersebut akan berikatan spesifik dengan IgE. Interaksi tersebut dapat terlihat setelah membran direaksikan dengan substrat yang dapat berpendar, sedangkan bobot molekulnya diketahui dari migrasinya pada gel SDS-PAGE (Rybicki et al. 1996).

Beberapa jenis alergen ikan berhasil diidentifikasi menggunakan teknik imunoblotting diantaranya Gad c 1, yaitu protein parvalbumin12 kDa dari ikan cod (Lopata dan Potter 2001), kolagen dengan berat molekul ~100 kDa (Hamada

et al. 2001) dan aldehid dehidrogenase (APDH) yang merupakan protein alergen ikan cod dengan berat molekul ~41 kDa (Das Dores et al. 2002).


(45)

3.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April – November 2011 di laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, laboratorium Bioteknologi SEAFAST IPB dan Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tongkol (Auxis thazard), kerang hijau (Perna viridis) dan udang jerbung (Penaeus merguiensis) yang diperoleh segar dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara. Selain itu juga digunakan serum darah manusia dari 20 subyek penderita alergi dan satu subyek normal yang tidak memiliki riwayat alergi.

Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bufer fosfat pH 7.5, KCl bufer fosfat pH 7.5, aprotinin/inhibitor proteinase (Sigma), tris buffer pH 8.8 dan pH 6.8, amonium persulfat (APS), β-merkaptoethanol, TEMED, akrilamida, N,N’ bis akrilamida, SDS (Sodium Dodesil Sulfat), commasie brilliant blue G-200,

commasie brilliant blue R-250, asam fosfat, glisin, etanol 95%, metanol, asam asetat glasial, bufer karbonat bikarbonat pH 9.6, Tween 20, BSA (Serum Albumin Sapi) fraksi V (Sigma), susu bubuk skim, standar low molecular weight protein (LMW) yang mengandung 7 jenis protein standar (Fermentas®), antibodi sekunder (ICL Lab) yaitu antibodi anti IgE manusia berlabel enzim HRP (Horse Radish Peroxidase), substrat DAB (3,3´-diaminobenzidine tetrahydrochloride), substrat TMB (3,3′,5,5′-Tetramethylbenzidine) dan bahan-bahan penunjang yang lain.

Alat-alat yang digunakan adalah waring blender, sentrifuse, seperangkat alat elektroforesis mini (Bio-Rad), lempeng mikrotiter untuk ELISA, ELISA reader

(MTX Lab Systems), spektrofotometer UV-VIS, pH meter, vortex, stirer, termometer, inkubator, timbangan analitik, water bath, mikropipet 5µl hingga 1000 µl, dan seperangkat perkakas blotting (Bio-Rad), membran nitroselulosa 0,45 μm (Sigma), kertas saring, lempeng immunoblotting dan peralatan gelas.


(46)

3.3. Metode Penelitian

Secara umum, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama yaitu isolasi protein sampel melalui ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari sampel ikan tongkol, udang jerbung dan kerang hijau. Tahap kedua adalah karakterisasi ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril dengan SDS-PAGE dan tahap ketiga dengan menguji alergenisitas protein sampel dengan menggunakan serum subyek penderita alergi dengan teknik immunoblotting dan ELISA. Ringkasan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Sampel hasil laut segar (ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung) terlebih dahulu diuji kadar protein awalnya dengan metode Kjedahl. Selanjutnya dilakukan tahapan isolasi protein sampel melalui ekstraksi daging ikan, udang dan kerang dengan penambahan bufer fosfat dan dihomogenisasi dengan blender. Ekstraksi dengan bufer fosfat dilakukan untuk pemisahan protein sarkoplasma dan miofibril. Fraksi protein sarkoplasma dihasilkan dari proses ekstraksi dengan kekuatan ion yang lebih rendah, yaitu bufer fosfat pada pH 7.5 dengan kekuatan ion 0.05. Fraksi protein miofibril diperoleh melalui ekstraksi dengan bufer fosfat pH 7.5 dan kekuatan ion 0.5. Kemudian dilakukan penentuan kadar protein ekstrak sampel dengan metode Bradford dan dikrakterisasi dengan teknik elektroforesis SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang diekstrak. Gel hasil elektroforesis ini kemudian akan digunakan untuk pengujian alergenisitas dengan teknik immunoblotting, dengan dipindahkan dalam suatu membran nitroselulosa.

Uji alergenisitas ekstrak protein (ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung) dilakukan dengan metode immunoblotting dan ELISA menggunakan serum subyek penderita alergi pangan. Penentuan subyek alergi melalui wawancara langsung seputar alergi yang diderita subyek. Dari 20 subyek penderita alergi pangan dan satu subyek normal, dilakukan pengambilan darah sebanyak 20 ml dan dilakukan melalui koordinasi dengan klinik terdekat di daerah Dramaga Bogor. Kemudian darah yang telah diperoleh dilakukan sentrifuse untuk memisahkan serum dari plasma darah. Serum yang terpisah dikumpulkan dan disimpan pada suhu beku -20°C. Serum ini digunakan sebagai sumber antibodi IgE untuk direaksikan dengan ekstrak protein yang diperoleh.


(47)

21

 

Keterangan :

Hasil yang diperoleh berupa informasi yang digunakan untuk proses selanjutnya

Gambar 3. Diagram alir penelitian

Sampel segar

(daging ikan,kerang dan udang)

Analisis protein Metode Kjeldahl

Ekstraksi dengan buffer fosfat (Hashimoto 1979)

ELISA

Immunoblotting

Positif ? Tidak

Potensial untuk Isolat alergen ya Ekstrak protein sarkoplasma Ekstrak protein miofibril Analisis protein Responden subyek alergi (20 org)

Darah subyek alergi IgE Sentrifuse Rekaman sejarah alergi Elektroforesis Sesuai? Tahap Isolasi protein Tahap Karakterisasi protein Tahap Penentuan alergenisitas


(48)

3.3.1. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995)

Kadar protein awal sampel sebelum dilakukan ekstraksi ditentukan dengan menggunakan metode Kjedahl. Sejumlah sampel (100-250 mg) ditimbang ke dalam labu Kjedahl. Kemudian ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO

dan 2±0.1 mL H2SO4. Sampel didihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu

secara bertahap sampai cairan menjadi jernih, lalu didinginkan. Sejumlah kecil akuades diteteskan perlahan lewat dinding labu kemudian labu digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 mL akuades. Lalu ditambahkan 8-10 mL larutan 60% NaOH- 5% Na2S2O3 ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer

berisi 5 mL H3BO3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue diletakkan di

bawah kondensor dengan kondisi ujung kondesor terendam di bawah larutan H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh destilat sebanyak ± 15 mL. Destilat

yang diperoleh selanjutnya diencerkan hingga ± 50 mL dan dititrasi dengan HCl terstandar sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu keunguan. Perhitungan kadar protein sesuai dengan persamaan dibawah berikut.

 

3.3.2. Isolasi Protein Sampel (Hashimoto et al. 1979)

Tahapan iolasi protein sampel dilakukan dengan ekstraksi fraksi sarkoplasma dan miofibril dari ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung dilakukan berdasarkan metode Hashimoto et al. (1979).

Masing-masing sampel daging segar berupa ikan, kerang dan udang, sebanyak 20 gram dipersiapkan bersama dengan penambahan 200 ml bufer fosfat pH 7.5, I: 0.05 dan inhibitor protease, lalu dihomogenisasi dengan waring blender. Selanjutnya dilakukan sentrifuse pada suhu 4°C kecepatan 4000 rpm selama 25 menit. Supernatan yang diperoleh dikumpulkan, sementara endapan


(49)

23

 

diekstraksi lagi dengan 200 ml bufer fosfat pH 7.5, I:0.05. Campuran supernatan pertama dan kedua ini merupakan ekstrak untuk fraksi protein sarkoplasma.

Kemudian dari endapan pada ekstraksi kedua, dengan perlakuan dan penambahan bahan yang sama diperoleh ekstrak protein miofibril, yaitu melalui penggabungan antara supernatan ketiga dan keempat. pada ekstraksi protein miofibrilar terdapat perkecualian pada kekuatan ion bufer yang digunakan yaitu bufer fosfat dengan pH 7.5 kekuatan ion 0.5 melalui penambahan KCl. Diagram alir prosedur ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. Ekstraksi Protein Sarkoplasma dan Miofibril (Hashimoto et al. 1979)

Irisan daging ikan 20 gr

Sentrifuse 4ºC, 4000 rpm, 25 menit

Homogenisasi dengan 200 ml Bufer posfat pH 7.5, I= 0.05 dan Inhibitor

Protease

Pelet Supernatan

Diulang 2x

Homogenisasi dengan 200 ml Bufer KCl-posfat pH 7.5, I= 0.5 dan Inhibitor

Protease

Sentrifuse 4ºC, 4000 rpm, 25 menit

Supernatan Pelet

Penyaringan

Protein Sarkoplasma

Penyaringan

Protein Miofibril


(50)

3.3.3. Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford 1976)

Penentuan kadar protein ekstrak sarkoplasma dan miofibril dilakukan dengan metode Bradford menggunakan serum albumin sapi (BSA) sebagai standar. Sampel (filtrat ekstrak protein) direaksikan dengan pewarna coomasie briliant blue sebagai komponen utama pereaksi bradford.

Pereaksi Bradford dibuat dengan melarutkan 100 mg coomasie briliant blue

G-200 ke dalam 50 ml etanol 95%. Kemudian ditambahkan 100 ml asam fosfat 85% (w/v) dan volume akhir larutan dibuat menjadi 1 liter, lalu disaring.

Standar dibuat dengan melarutkan 100 mg serum albumin sapi (BSA) ke dalam 50 ml air destilata, kemudian diencerkan sampai volumenya mencapai 100 ml (konsentrasi 1 mg/ml). Dari konsentrasi 1 mg/ml, dibuat satu seri pengenceran larutan standar.

Untuk penetapan protein diperlukan sebanyak 0,1 ml larutan standar dari masing-masing seri konsentrasi, 0,1 ml sampel dan 0,1 ml air destilata sebagai blanko. Ke dalam masing-masing larutan, ditambahkan 5 ml pereaksi bradford. Setelah didiamkan selama 5 menit, larutan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Konsentrasi protein ditentukan berdasarkan kurva standar serum albumin sapi (BSA).

3.3.4. Penentuan Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS-PAGE (Laemmli 1970)

Elektroforesis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dilakukan dengan metode Laemmli (1970), untuk menentukan berat molekul protein ekstrak protein sampel. Analisis SDS-PAGE dilakukan menggunakan gel akrilamid dengan konsentrasi separating gel 12% dan stacking gel 5%. Sampel yang dielektroforesis adalah ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril hasil ekstraksi dari sampel ikan tongkol, udang jerbung dan kerang hijau. Beberapa tahapan utama yang harus dilakukan dalam melakukan elektroforesis SDS-PAGE adalah 1) pembuatan separating gel, 2) pembuatan stacking gel, 3) persiapan sampel, 4) running gel, 5) pewarnaan gel, 6) destaining gel, dan 7) penentuan berat molekul protein-protein yang terpisahkan. Pembuatan larutan stok dan larutan kerja untuk analisis SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 2.


(51)

25

 

a. Pembuatan separating gel

Dua lempengan kaca (mini slab) yang akan digunakan sebagai cetakan gel dirangkai sesuai dengan petunjuk pemakaian. Sebanyak 4 ml larutan A dipipet ke dalam gelas piala, kemuadian ditambakan 2.5 ml larutan B dan 3.5 ml akua-biodestilat. Campuran kemuadian diaduk perlahan dengan menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 50 µl APS 10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam lempengan kaca (mini slab) tanpa menimbulkan gelembung udara dengan menggunakan mikro pipet sampai sekitar 1 cm dari atas lempengan. Bagian yang tidak diisi gel diberi akuades untuk meratakan gel yang terbentuk. Gel kemudian dibiarkan mengalami polimerisasi selama 30-60 menit.

b. Pembuatan stacking gel

Air dibuang dari atas separating gel dan dikeringkan dengan menggunakan tissue. Akua-biodestilat, larutan A dan larutan C masing-masing sebanyak 0.67 ml dan 1.0 ml dicampurkan ke dalam gelas piala dan diaduk perlahan dengan cara menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 30 µl APS 10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam mini slab, kemudian sisir dimasukkan dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Stacking gel

dibiarkan mengalami polimerisasi selama 30-60 menit. Setelah gel berpolimerisasi, sisir diangkat dari atas gel dengan perlahan dan slab ditempatkan ke dalam wadah elektroforesis. Bufer elektroforesis dimasukkan ke dalam wadah elektroforesis di bagian dalam dan luar agar gel terendam. c. Preparasi dan injeksi sampel

Sebanyak 40 µl sampel dimasukkan tabung Eppendorf dan ditambahkan 10 µl bufer sampel. Tabung kemudian dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih 100°C. Sampel kemudian siap diinjeksikan ke dalam sumur menggunakan mikropipet sebanyak 10 µl. Salah satu sumur diinjeksikan protein marker sebanyak 7.5 µl protein marker.


(52)

d. Running SDS-PAGE

Katup elektroda dipasang dengan arus mengalir ke anoda. Sumber listrik dinyalakan dan dijaga konstan pada 70 V. Running dilakukan selama 180 menit sampai migrasi dye tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Setelah selesai, aliran listrik dimatikan dan katup elektroda dilepaskan, lalu plat gel dipindahkan dari elektroda.

e. Pewarnaan gel

Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang telah berisi pewarna coomasie briliant blue (kurang lebih 20 ml). kemudian didiamkan selama 20 menit.

f. Destaining gel

Gel diangkat dan dicuci menggunakan akuades beberapa kali. Larutan penghilang warna ditambahkan (destaining solution) dan digoyangkan sekali hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis.

g. Penentuan berat molekul protein yang terpisahkan

Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi antara mobilitas relatif protein marker (penanda protein) dengan logaritma dari berat molekul marker yang diketahui. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking dye. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai persamaan berikut :

Rf = jarak migrasi protein jarak migrasi tracking dye

h. Analisis gel elektroforesis

Gel hasil elektroforesis SDS-PAGE tersebut di dokumentasikan dalam bentuk gambar. Hasil dalam bentuk gambar ini kemudian dianalisis densitas pita proteinnya dengan menggunakan perangkat lunak Image J. Program membaca tebal pita per kolom yang dipilih sebagai kurva berfluktuasi.


(53)

27

 

3.3.5. Serum Subyek Alergi

Serum dari 20 orang penderita alergi diperoleh melalui wawancara langsung seputar alergi yang diderita subyek meliputi jenis, penyebab, gejala apabila sedang terkena alergi. Subyek sasaran adalah penderita alergi makanan. Serum satu orang subyek yang normal (tidak menderita alergi) digunakan sebagai kontrol negatif. Pengambilan darah dilakukan melalui kooordinasi dengan klinik dengan menggunakan jarum suntik steril (syringe/spuilt) 10 cc (ml).

Dari ke-21 subyek, 20 ml darah diambil untuk dipisahkan serum dari plasmanya. Darah yang telah diperoleh segera diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit, lalu disentrifuse selama 20 menit pada kecepatan 2500 rpm. Supernatan yang didapat merupakan serum yang diduga banyak mengandung IgE.

3.3.6. ELISA (Ishikawa et al. 1997)

Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dilakukan dengan menggunakan lempeng polistiren dengan 96 sumur. Teknik ini dilakukan berdasarkan metode yang pernah dilakukan Ishikawa et al. (1997) dengan beberapa modifikasi pada jenis substrat, larutan pemblok dan panjang gelombang pembacaan sesuai dengan jenis subtrat yang digunakan. Konfigurasi ELISA yang dipilih adalah ELISA tidak langsung yang melibatkan interaksi protein alergen (antigen), antibodi primer (IgE serum subyek alergi), antibodi sekunder yaitu anti IgE anti manusia berlabel enzim HRP (Horseradish Peroksidase) dan substrat TMB (3,3´-tetramethylbenzidine). Formula beberapa larutan untuk uji ELISA diantaranya seperti coating buffer, blocking buffer dan washing buffer

(Lampiran 3).

3.3.6.1. Penentuan IgE Total Serum Subyek Alergi (kualitatif)

Sebanyak 100 µl serum subyek pada pengenceran 1:5 dan 1:10, dilapiskan ke dalam lempeng mikrotiter. Inkubasi dilakukan selama semalam pada suhu 4°C, lalu sisa serum dalam lempeng dibuang dan dilakukan pencucian dengan PBS Tween-20 0.05% 5 kali sebanyak 200 µl/well. Kemudian, sebanyak 200 µl BSA 3% dalam PBS ditambahkan ke dalam lempeng mikrotiter dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C. Setelah dicuci sebanyak 5 kali dengan PBS Tween-20 0.05%, dilakukan penambahan dengan antibodi anti IgE manusia berlabel


(54)

enzim HRP. Sebelumnya antibodi anti IgE manusia berlabel enzim HRP diencerkan 1:6000 dalam PBS Tween-20 0.05% . Inkubasi dilakukan pada suhu 37°C selama 1 jam.

Setelah dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% ditambahkan sebanyak 100 µl substrat TMB dan dibiarkan 5 menit. Kemudian dihentikan reaksinya dengan penambahan 25 µl H2SO4 2N. Hasil reaksi dapat dibaca dengan ELISA reader

pada panjang gelombang 450 nm.

3.3.6.2. Penentuan Sifat Alergenisitas Ekstrak Protein

Sebanyak 100 µl ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril sampel (ikan, udang dan kerang) dilarutkan dalam coating buffer (konsentrasi 10 µg/100µl) dilapiskan pada dasar lempeng mikrotiter. Kemudian diinkubasi pada suhu 4°C selama semalam, lalu dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% (200 µl/well) sebanyak 5 kali. Selanjutnya dilakukan pemblokan dengan larutan BSA 3% dalam PBS sebanyak 200 µl/sumur dan diinkubasi selama 1 jam suhu 37°C. Setelah itu dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% sebanyak 5 kali. Serum subyek yang telah diencerkan (perbandingan 1:5 atau 1:10) dalam PBS Tween-20, dilapiskan pada lempeng mikrotiter sebanyak 100 µl/sumur. Selanjutnya serum subyek diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C, lalu dicuci sebanyak 5 kali dengan PBS Tween-20 0.05%.

Penambahan antibodi anti IgE dilakukan setelah mengencerkan 1:6000 dalam PBS Tween-20 0.05%. Kemudian sebanyak 100 µl/sumur anti IgE manusia berlabel enzim HRP ditambahkan dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C. Setelah inkubasi, dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% sebanyak 5 kali, lalu ditambahkan sebanyak 100 µl substrat TMB dan dibiarkan 5 menit. Kemudian dihentikan reaksinya dengan penambahan 25 µl H2SO4 2N. Hasil reaksi dapat

dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.

3.3.7. Immunoblotting (Towbin et al. 1979)

Gel hasil elektroforesis yang tidak diwarnai, ditransfer ke membran nitroselulosa (0,45µm) dalam buffer transfer yang disusun dalam alat


(55)

29

 

Membran selulosa dipotong sesuai gel dan membran yang berisi marker direndam dalam pewarna amido black (untuk mengetahui apakah gel sudah tertransfer ke membran). Selanjutnya, membran yang berisi sampel protein diblok dengan susu skim 5%, diinkubasi selama 1 jam sambil digoyang, kemudian membran dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% selama 5 menit sebanyak 3 kali.

Selanjutnya dilakukan penambahan serum subyek alergi yang diencerkan 1:10 dalam PBS Tween-20 0.05% dan diinkubasi selama satu jam pada suhu kamar sambil digoyang. Pencucian dilakukan lagi dengan PBS Tween-20 0.05% selama 5 menit sebanyak 3 kali, lalu diberi antibodi IgE anti manusia yang berlabel enzim HRP pengenceran 1:3000 dalam PBS Tween-20 0.05%. kemudian diinkubasi selama 1 jam dengan shaker atau digoyang-goyang. Membran kemudian dicuci kembali 3 kali menggunakan PBS Tween-20 0.05% selama 5 menit. Hasil deteksi kompleks protein alergen (ikan, udang dan kerang) dengan IgE serum subyek terlihat, setelah diberikan substrat DAB (3,3´-diaminobenzidine tetrahydrochloride). Deteksi positif ditandai dengan terjadinya kompleks warna (coklat) yang diinginkan pada kertas nitroselulosa.


(56)

(57)

31

 

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ekstrak Protein Sarkoplasama dan Miofibril

Sampel ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung sebelum diekstraksi dianalisis kadar total proteinnya dengan metode Kjeldahl. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan protein ikan tongkol yaitu 16.44%, kerang hijau 14.03% dan udang jerbung sebesar 13.96%. Menurut Chaijan et al. (2004), sebagai unsur utama dalam otot ikan, protein terdapat sekitar 13.74 – 17.54%. Kandungan protein awal biasanya berkisar 11-24%, tergantung dari jenis spesies, nutrisi, dan siklus reproduksi hewan tersebut.

Selanjutnya ekstraksi protein sampel dilakukan menggunakan larutan bufer dengan kekuatan ion yang berbeda. Proses ekstraksi ini bertujuan untuk memperoleh fraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari ketiga sampel tersebut. Fraksi protein sarkoplasma dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan larutan bufer dengan kekuatan ion yang lebih rendah yaitu bufer fosfat pH 7.5 dengan kekuatan ion 0.05. Fraksi protein miofibril diperoleh melalui ekstraksi dengan bufer pH 7.5 dan kekuatan ion 0.5. Peningkatan kekuatan ion dalam larutan bufer fosfat dilakukan dengan penambahan senyawa KCl (Suzuki 1981).

Protein sarkoplasma dan miofibril merupakan protein utama di dalam serabut otot ikan. Kedua jenis protein ini berbeda dalam hal kelarutannya. Protein sarkoplasma dapat larut dalam air, sehingga untuk melakukan ekstraksi cukup dengan kekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam larutan garam. Kontribusi muatan-muatan ion dalam senyawa garam menyebabkan protein ini harus diekstraksi dengan kekuatan ion yang lebih tinggi (Hashimoto et al. 1979).

Menurut Ahmed (2005) selain pH dan kekuatan ion bufer, adanya inhibitor protease juga mempengaruhi proses ekstraksi protein. Inhibitor protease digunakan untuk menjaga kestabilan ekstrak dengan menghambat kerja enzim protease, karena itu dalam penelitian ini ditambahkan inhibitor protease berupa aprotinin. Proteolisis merupakan masalah utama yang sering terjadi setelah proses ekstraksi. Proteolisis menyebabkan protein terdegradasi menjadi protein-protein dengan berat molekul rendah. Beberapa jenis protease terdapat pada sel daging ikan, dimana inhibitor protease komersial dapat digunakan untuk menghambat


(58)

32 

 

masing-masing protease tersebut. Salah satu jenis inhibitor protease yang sering digunakan adalah aprotinin. Aprotinin memiliki kelarutan yang tinggi dan spesifitas penghambatan yang luas, meliputi tripsin, kimotripsin, plasmin, urokinase dan berbagai protease intraseluler (Fritz dan Wunderer 1983).

Hasil ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung kemudian diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford. Hasil pengukuran ini selanjutnya digunakan sebagai data untuk karakterisasi berat molekul protein dengan SDS PAGE dan juga untuk pengujian alergenisitas ketiga sampel tersebut dengan metode ELISA maupun

immunoblotting.

Dari hasil pengukuran kadar protein ekstrak, diperoleh kadar protein sarkoplasma sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau berturut-turut adalah 1.154 mg/ml, 1.269 mg/ml dan 0.691 mg/ml. Hal ini berarti dari 390 ml ekstrak protein terdapat protein sarkoplasma udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau masing-masing sebanyak 0.45 gram, 0.495 gram dan 0.269 gram. Kemudian untuk kadar protein miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yaitu 0.627 mg/ml, 0.878 mg/ml dan 0.176 mg/ml. Sehingga dari 390 ml ekstrak yang diperoleh, terdapat protein miofibril berturut-turut 0.244 gram, 0.342 gram dan 0.068 gram. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar protein sarkoplasma yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan protein miofibril. Hasil penelitian Yuliarni (1998) yang melakukan ekstraksi protein udang windu (Penaeus monodon fabr.) juga menunjukkan bahwa kadar protein sarkoplasma udang yaitu 2.29 mg/ml lebih tinggi dibandingkan protein miofibril (0.58 mg/ml). Protein sarkoplasma merupakan protein yang mudah larut dalam air atau larutan garam encer, sehingga proses ekstraksinya lebih mudah dibandingkan dengan protein miofibril yang dapat larut pada konsentrasi garam > 0.3 M (Hultin et al. 1995).

Menurut Suzuki (1981), kandungan sarkoplasma krill adalah 5.70% - 6.50% (dalam 20 gram krill terdapat sebesar 1.14 -1.30 gram) dan protein miofibril adalah 3.30 % - 4.10% (dalam 20 gram krill terdapat 0.66 – 0.82 gram). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kandungan protein sarkoplasma dan miofibril yang diperoleh masih lebih rendah. Perbedaan jenis spesies udang yang digunakan akan


(59)

33

 

memberikan kandungan protein yang berbeda pula (Zakaria et al. 1998). Selain itu, Subagio et al. (2004) menyatakan bahwa jenis ikan pelagis seperti ikan tongkol, memiliki protein larut air (fraksi protein sarkoplasma) yang lebih besar dibandingkan dengan protein miofibril.

Berdasarkan hasil pengukuran kadar total protein dengan metode Kjeldahl dan pengukuran kadar protein ekstrak dengan metode Bradford, dapat diketahui rendemen ekstrak dan neraca massa protein selama proses ekstraksi berlangsung. Tabel 2 dibawah menunjukkan perbandingan jumlah protein terekstrak dengan total protein dalam sampel.

Tabel 2. Jumlah total protein sampel awal dan protein terekstrak

Dari Tabel 2 diketahui dari masing-masing berat awal sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yang diekstraksi, jumlah protein sarkoplasma dan miofbril yang terekstrak yaitu kurang dari 50% dari total protein awal. Seperti terlihat pada sampel udang jerbung, jumlah protein sarkoplasma yang terekstrak yaitu 0.45 gram (15% dari total protein) dan protein miofibril yaitu 0.244 gram (8% dari total protein). Hashimoto et al. (1979) melaporkan bahwa komposisi protein otot ikan terdiri dari 23-29% protein sarkoplasma, 62-66% protein miofibril, 6-9% fraksi larut alkali dan 2-3% fraksi stroma. Perbedaan hasil ini diduga masih banyak terdapat protein yang masih belum terlarut dalam bufer dan masih terdapat pada sisa pelet akhir proses ekstraksi. Binsi et al. (2006) menyatakan bahwa kelarutan protein dalam larutan bufer berkekuatan ion berbeda dari ikan yang berbeda bervariasi 85% dan 95%, tergantung dari jenis spesies, metode penanganan dan kondisi selama penyimpanan. Jumlah ekstrak protein dapat lebih ditingkatkan dengan melakukan modifikasi dan optimasi teknik ekstraksi lebih lanjut. Modifikasi proses ekstraksi protein dapat dilakukan dengan

Jenis Protein Berat sampel (gram)

Total protein Kjeldahl

(gram)

Total protein terekstrak (gram)

sarkoplasma Miofibril

Udang jerbung 20.9 2.92 0.45 0.244

Ikan Tongkol 19.72 3.24 0.495 0.342


(60)

34 

 

perlakuan konsentrasi garam KCl dan pH larutan bufer yang digunakan (Birkeland dan Bjerkeng 2004).

4.2. Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS PAGE

Karakterisasi ekstrak protein dengan elektroforesis SDS PAGE bertujuan untuk mengetahui protein-protein penyusun daging sampel yaitu udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau. Ekstrak protein baik sarkoplasma dan miofibril yang akan dianalisis dengan elektroforesis terlebih dahulu dihitung kadar proteinnya dengan metode Bradford. Hal ini bertujuan agar konsentrasi sampel tidak kurang dari batas deteksi pewarna yang digunakan (batas deteksi coomassie briliant blue = 0.1µg) (Bollag dan Edelstain 1991). Dengan diketahui kadar protein masing-masing sampel, maka jumlah protein yang akan diinjeksikan ke dalam mini slab elektroforesis dapat dibuat sama.

Elektroforesis memiliki peranan penting dalam pemisahan molekul-molekul biologi, khususnya protein. Elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang cukup kecil (Bachrudin 1999). Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan dua jenis gel, yaitu gel penahan (stacking gel) dan gel pemisah (separating gel). Gel penahan dibuat dengan konsentrasi gel 4% yang memiliki ukuran pori lebih besar dan pH lebih kecil (6.8). Sementara gel pemisah dibuat dengan konsentrasi gel 12% yang mempunyai ukuran pori lebih kecil dan pH lebih besar (8.8). Pemilihan konsentrasi gel ini tergantung pada kisaran berat molekul protein yang akan dipisahkan. Semakin besar ukuran pori-pori gel (konsentrasi gel yang rendah) maka semakin besar molekul protein yang dapat bermigrasi. Gel penahan dibuat dengan ukuran pori lebih besar dengan kekuatan ion yang lebih kecil, sehingga mempercepat pergerakan molekul karena tahanan friksi yang rendah.

Protein yang akan dipisahkan dilarutkan dalam bufer yang mengandung SDS (Sodium Dodesil Sulfat) dan 2-merkaptoetanol. Penggunaan SDS dan merkaptoetanol disertai dengan pemanasan akan memecah struktur tiga dimensi protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-subunit polipeptida secara individual. SDS akan membungkus rantai protein yang tidak terikat membentuk kompleks SDS-protein yang bermuatan negatif. Kemudian kompleks SDS-protein ini dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa


(61)

35

 

protein yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan molekul protein. Kompleks SDS-protein yang lebih besar mempunyai mobilitas yang lebih rendah dengan kompleks yang lebih lebih kecil. Hal tersebut disebabkan oleh kerapatan partikel gel yang menghambat mobilitas protein. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan berbeda (Wijaya dan Rohman 2001). Berikut adalah berturut-turut dari atas ke bawah subunit protein dari berbobot molekul terbesar sampai terkecil, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pola elektroforesis fraksi protein. M: low-molecular-weight protein marker, 1: sarkoplasma tongkol, 2: miofibril tongkol, 3: sarkoplasma kerang hijau, 4: miofibril kerang hijau, 5: sarkoplasma udang jerbung, 6: miofibril udang jerbung

Pita-pita yang terbentuk pada gel pemisah diidentifikasi dengan pewarnaan gel menggunakan larutan coomasie blue dalam asam asetat glasial dan metanol. Asam asetat glasial digunakan untuk fiksasi protein yang berguna untuk mengendapkan dan mengimobilisasi protein sehingga warna yang terbentuk permanen. Selanjutnya penentuan berat molekul masing-masing pita protein dihitung berdasarkan kurva standar marker (Lampiran 8a), yang diperoleh melalui hubungan antara mobilitas relatif (Rf) dengan nilai logaritma berat molekul (Log BM) protein marker. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM) dan berat molekul protein standar dapat dilihat pada Tabel 3.


(1)

Lampiran 11. Hasil uji imunoblotting

Lampiran 11a. Uji imunoblotting serum A dan B

Marker standar

Pita

ke- Jenis protein

Jarak pergerakan

(cm)

BM

(kDa) RF Log BM

1 Phosporilase-β 3.78 97 0.25 1.99

2 albumin 5.59 66 0.37 1.82

3 ovalbumin 8.22 45 0.55 1.65

4 carbonic anhidrase 11.91 30 0.79 1.48

5 Tripsin Inhibitor 13.94 20 0.93 1.30

Range 15.01


(2)

Lampiran 11a. (Lanjutan)

Serum A

Jenis protein Pita ke-

Jarak pergerakan

(cm)

RF Log

BM

BM (kDa)

Kerang miofibril 1 3.60 0.2395 1.9713 93.61

Tongkol sarkoplasma 1 7.30 0.4863 1.7358 54.43

Udang sarkoplasma 1 7.00 0.4663 1.7549 56.87

Udang miofibril 1 9.60 0.6396 1.5896 38.86

Range 15.01

Serum B

Jenis protein Pita ke-

Jarak pergerakan

(cm)

RF Log

BM

BM (kDa)

Udang sarkoplasma 1 7.31 0.4870 1.7351 54.34

Udang miofibril 1 7.6 0.5063 1.7167 52.08

2 9.69 0.6456 1.5838 38.36


(3)

Lampiran 11b. Uji imunoblotting serum H, M dan Q

Marker standar

Pita

ke- Jenis protein

BM

(kDa) Log BM

Jarak pergerakan

(cm)

Rf

1 β-galactosidase 116 2.064458 2.78 0.174404

2 BSA 66.2 1.820858 5.11 0.320577

3 Ovalbumin 45 1.653213 7.67 0.481179

4 Lactate dehydrogenase 35 1.544068 9.93 0.622961

5 Rease Bsp981 25 1.39794 12.41 0.778545

6 β-lactoglobulin 18.4 1.264818 13.99 0.877666

Range 15.94

Mk Sk Mu Su Mt St Mk Sk Mu Su Mt St Mk Sk Mu Su Mt St

L P


(4)

Lampiran 11b. (Lanjutan)

Serum H

Jenis protein Pita ke-

Jarak pergerakan

(cm)

RF Log

BM

BM (kDa)

Udang sarkoplasma 1 4.39 0.277 1.909 81.16

2 5.43 0.341 1.840 69.17

Udang miofibril 1 9.12 0.570 1.593 39.17

Range 15.94

Serum P

Jenis protein Pita ke-

Jarak pergerakan

(cm)

RF Log

BM

BM (kDa)

Udang sarkoplasma 1 10.09 0.633 1.525 33.50

2 10.68 0.670 1.485 30.56

Udang miofibril 1 4.15 0.261 1.927 84.46

2 4.61 0.289 1.896 78.70

3 9.08 0.570 1.593 39.19

4 10.19 0.639 1.518 32.96

5 10.82 0.679 1.475 29.88

Tongkol miofibril 1 9.17 0.575 1.587 38.64

Kerang sarkoplasma 1 10.015 0.628 1.530 33.87

2 10.19 0.639 1.518 32.96

3 10.83 0.679 1.475 29.83

4 11.101 0.696 1.456 28.60

Kerang miofibril 1 3.5 0.220 1.971 93.53

2 10.19 0.639 1.518 32.96


(5)

Lampiran 11b. (Lanjutan)

Serum L

Jenis protein Pita ke-

Jarak pergerakan

(cm)

RF Log

BM

BM (kDa)

Udang sarkoplasma 1 4.15 0.260 1.927 84.51

2 4.6 0.289 1.896 78.79

3 5.14 0.322 1.860 72.43

4 5.98 0.375 1.803 63.53

5 7.01 0.440 1.734 54.15

6 8.93 0.560 1.604 40.14

7 10.67 0.670 1.485 30.57

8 11.30 0.709 1.443 27.73

Udang miofibril 1 2.61 0.164 2.031 107.45

2 4.15 0.260 1.927 84.51

3 4.60 0.289 1.896 78.79

4 7.22 0.453 1.719 52.37

5 8.65 0.542 1.623 41.93

6 9.08 0.570 1.593 39.19

7 10.19 0.639 1.518 32.95

8 10.82 0.679 1.475 29.88

9 11.20 0.703 1.450 28.16

10 13.59 0.853 1.288 19.40

11 14.05 0.881 1.257 18.06

12 15.17 0.951 1.181 15.18

Tongkol sarkoplasma 1 3.62 0.227 1.963 91.82

2 9.51 0.597 1.564 36.65

3 11.04 0.693 1.460 28.86

4 12.11 0.760 1.388 24.43

5 13.53 0.849 1.292 19.57

Tongkol miofibril 1 10.82 0.679 1.475 29.88

2 11.2 0.703 1.450 28.16

3 11.3 0.709 1.443 27.72


(6)

Serum L (Lanjutan)

Jenis protein Pita ke-

Jarak pergerakan

(cm)

RF Log

BM

BM (kDa)

Kerang sarkoplasma 1 4.661 0.292 1.892 78.04

2 5.14 0.322 1.860 72.43

3 6.405 0.402 1.774 59.46

4 10.021 0.629 1.529 33.84

5 10.82 0.679 1.475 29.88

6 11.098 0.696 1.457 28.61

Kerang miofibril 1 3.502 0.220 1.971 93.50

2 10.82 0.679 1.475 29.88

3 11.098 0.696 1.457 28.61