Serum Subyek Alergi Immunoblotting Towbin et al. 1979

a b molekul, komposisi protein penyusun fraksi miofibril dapat diidentifikasi. Komponen myosin heavy chain MHC, ~200 kDa dalam elektroforesis fraksi miofibril ini tidak terdeteksi. Komponen dengan berat molekul 40.94 kDa diidentifikasi sebagai aktin. Miosin dan aktin merupakan protein utama yang mendominasi fraksi miofibril Hashimoto et al. 1979. Pita protein dengan berat molekul 14.62 kDa diidentifikasi sebagai myosin light chain, sedangkan pita dengan berat molekul 38.63 kDa diperkirakan sebagai tropomiosin Ladrat et al. 2003.

4.2.2. Kerang Hijau

Berdasarkan hasil pemisahan protein, diketahui bahwa fraksi sarkoplasma kerang hijau terdiri dari 11 komponen penyusun, yaitu dengan berat molekul berkisar 14.5 kDa – 92.5 kDa. Fraksi protein miofibril terdiri dari 5 komponen yang memiliki berat molekul berkisar dari 15.18 kDa – 136.21 kDa. Gambar 9 memperlihatkan hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan program Image J, sedangkan perhitungan konsentrasi masing-masing subunit protein dapat dilihat pada Lampiran 8c. Gambar 8. Hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan program Image J: a.fraksi sarkoplasma; b. fraksi miofibril. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat empat subunit protein yang dominan penyusun fraksi sarkoplasma kerang hijau adalah protein dengan berat molekul 33.85 kDa, 39.56 kDa, 50.87 kDa dan 59.45 kDa. Lima komponen penyusun fraksi miofibril terdapat 2 subunit protein yang dominan yaitu dengan berat molekul 136.21 kDa dan 93.51 kDa yang diidentifikasi sebagai MHC dan 40 paramiosin. Pita paramiosin menyusun sekitar 14 fraksi miofibril dari protein otot kerang-kerangan Thanonkaew et al. 2006. Penelitian elektroforesis SDS- PAGE terhadap protein kerang Crasosstrea gigas memperlihatkan band protein yang memiliki berat molekul berkisar dari 19 kDa – 233 kDa Romero et al. 2004. Pita protein yang muncul lebih banyak dan lebih tebal pada fraksi sarkoplasma dibandingkan dengan pita protein yang muncul pada fraksi miofibril kerang hijau. Pita dominan yang muncul tersebut menunjukkan protein penyusun fraksi sarkoplasma memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein penyusun fraksi miofibril. Perbedaan komposisi protein disebabkan karena perbedaan sifat dan karakteristik dari masing-masing fraksi tersebut. Paredi et al. 1998 melakukan karakterisasi protein SDS-PAGE dari kerang jenis Aulacomya ater ater Molina yang menunjukkan bahwa protein miofbril terdiri dari MHC, paramiosin, aktin, troponin dan myosin light chain dengan berat molekul masing- masing adalah 200, 110, 42, 37 dan 17 kDa.

4.2.3. Udang Jerbung

Hasil elektroforesis protein sarkoplasma dan protein miofibril udang jerbung yang terlihat pada Gambar 6 memperlihatkan adanya pita-pita yang merupakan protein-protein penyusun masing-masing fraksi tersebut. Dari hasil pemisahan protein sarkoplasma udang jerbung terdiri dari 22 komponen penyusun, yaitu dengan berat molekul berkisar 14.87 kDa – 143.77 kDa. Fraksi protein miofibril udang jerbung terdiri dari 17 komponen, dengan berat molekul berkisar dari 15.18 kDa – 107.48 kDa. Fraksi protein sarkoplasma udang jerbung memiliki jumlah komponen yang lebih banyak dibandingkan dengan fraksi miofibril. Dari 22 komponen penyusun fraksi protein sarkoplasma udang jerbung, diketahui terdapat 4 komponen protein yang dominan. Fraksi protein miofibril udang jerbung memiliki 3 protein yang dominan. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis gel dengan program Image J, ditunjukkan pada Gambar 9. a b Gambar 9. Hasil pembacaan densitas pita protein udang jerbung dengan program Image J:a.fraksi sarkoplasma; b. fraksi miofibril. Gambar 9 menunjukkan persentase pita protein penyusun fraksi sarkoplasma dan miofibril udang jerbung. Empat protein dominan yang menyusun fraksi sarkoplasma udang jerbung terlihat dengan persentase yang lebih besar yaitu pita protein ke-19, 12, 10 dan ke-4 dengan berat molekul berturut-turut 19.2 kDa, 45.47 kDa, 56.91 kDa dan 91.4 kDa. Persentase masing-masing subunit penyusun fraksi protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8d. Pita protein dengan berat molekul 91.4 dan 45.47 kDa diidentifikasi sebagai phosporilase dan kreatinin kinase. Ayuso et al. 2009 melakukan karakterisasi protein udang dengan SDS-PAGE dan uji alergenisitas dengan ELISA. Hasil menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul ~20 kDa ditemukan sebagai alergen baru dari udang, yang diidentifikasi sebagai SCP sarcoplasmic calcium- binding protein . Pola elektroforesis dari fraksi miofibril udang jerbung menunjukkan 3 subunit protein yang dominan yaitu pita ke-2, ke-8 dan ke-17 dengan berat molekul masing-masing adalah 100.77 kDa, 38.19 kDa dan 15.18 kDa. Komponen dengan berat molekul berkisar 100.77 kDa diperkirakan sebagai paramiosin. Pita protein dengan berat molekul 38.19 kDa dianggap sebagai tropomiosin. Sahabudin et al. 2011 melakukan uji ELISA dan imunoblotting protein udang menggunakan serum subyek penderita alergi. Hasil uji menunjukkan bahwa tropomiosin merupakan suatu komponen protein miofibril 42 yang terdiri dari 2 subunit dengan berat molekul 34-38 kDa yang dilaporkan sebagai alergen utama dalam spesies udang. Komponen myosin light chain diidentifikasi pada pita protein ke-17 dengan berat molekul 15.18 kDa. Pita dengan ketebalan densitas dominan menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul tersebut memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding protein lainnya. Protein dengan berat molekul tertentu yang memiliki konsentrasi tinggi akan lebih banyak mengikat pewarna bromfenol biru. Kompleks yang terbentuk ini akan bergerak melalui pori-pori gel dan ketika ukuran molekul lebih besar dari ukuran pori, protein akan terperangkap dalam pori gel. Konsentrasi protein yang tinggi akan membentuk pita protein yang lebih tebal dan lebih dominan dibanding pita protein yang lain.

4.3. Alergenisitas Ekstrak Protein dengan Metode ELISA

ELISA merupakan deteksi cepat tentang adanya interaksi antara antigen- antibodi yang mempunyai sensitivitas tinggi. Antigen dalam penelitian ini adalah fraksi protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yang diduga sebagai alergen. Antibodi yang digunakan adalah IgE dari 20 serum manusia yang mempunyai riwayat alergi pangan yang berbeda-beda. Teknik ELISA yang digunakan yaitu ELISA tidak langsung, yaitu antigen terikat pada lempeng mikrotiter. Konsentrasi antigen yang dipilih adalah 10 µgwell. Konsentrasi ini diduga sebagai konsentrasi optimal sehingga semua tempat pengikatan ditempel oleh antigen, sehingga semua tempat pengikatan ditempeli dan tersedia sebanyak mungkin tempat reseptor antibodi. Malcolm 1995 menyatakan konsentrasi optimum antigen untuk pelapisan adalah 1 – 10 µgwell. Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan meningkatnya laju antigen yang terlepas sehingga mengurangi sensitivitas. Selain terjadi pelepasan, kerapatan pengikatan akan dapat merubah konfirmasi antigen sehingga interaksi yang terjadi tidak stabil dan dapat terlepas selama pengujian. Protein sampel yang bertindak sebagai antigen akan terikat dalam lempeng mikrotiter, namun masi menyisakan ruang-ruang kosong. Adanya ruang kosong ini dapat membuat reaksi non spesifik yang dapat mengganggu pengukuran. Untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu dilakukan pemblokan ruang-ruang kosong dengan BSA albumin serum sapi dalam PBS. BSA merupakan protein yang tidak bersifat antigenik, sehingga tidak akan bereaksi dengan antibodi IgE. Selain itu untuk menghindari terjadinya reaksi non spesifik lainnya dapat dilakukan dengan mencuci setiap kali satu tahapan ELISA selesai dilakukan Ashorn dan Krohn 1986. Sumber antibodi primer yang digunakan adalah IgE dalam serum subyek alergi. Dimana sebelumnya perlu dilakukan tahapan penentuan total IgE dari masing-masing subyek alergi, untuk mengetahui kandungan IgE yang dapat menunjukkan status alergi subyek yang bersangkutan Hamada et al. 2003. Selanjutnya untuk mengetahui adanya ikatan antara protein sampel dengan IgE serum ditambahkan suatu antibodi pendeteksi yaitu anti IgE manusia konjugat HRP. Reaksi pengikatan ditunjukkan dengan adanya perubahan warna melalui penambahan subtrat TMB 3,3´-diaminobenzidine tetrahydrochloride Afolabi dan Thottappilly 2008.

4.3.1. IgE Total Serum Subyek Alergi

Penentuan IgE total dalam serum subyek dilakukan untuk mengetahui status alergi dari masing-masing subyek tersebut. Pada metode ini serum subyek yang mengandung IgE dilapiskan pada lempeng mikrotiter. Adanya IgE dalam serum dideteksi dengan anti-IgE manusia berkonjugasi enzim. Serum yang diuji berasal dari darah subyek yang mempunyai riwayat menderita alergi. Darah penderita alergi diinkubasi selama 30 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit. Inkubasi bertujuan untuk memisahkan serum secara maksimal dari plasma darah. Kemudian serum yang diperoleh dilakukan pengenceran 1:5 dan 1:10. Pengenceran yang dilakukan ini merupakan pengenceran terendah, karena kandungan IgE dalam serum sangat rendah. Menurut Roitt dan Delves 2001, kandungan IgE normal dalam serum manusia berkisar antara 17-450 ngml. Penelitian sebelumnya Yuliarni 1998 juga menggunakan serum pengenceran 1:5 dan 1:10 untuk menentukan kandungan IgE total dalam serum subyek alergi dan melaporkan bahwa serum pengenceran 1:5 memberikan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Walaupun serum pengenceran 1:5 cinderung memiliki kandungan yang lebih tinggi. Serum yang sudah diencerkan dilapiskan pada lempeng mikrotiter dan selanjutnya ditambahkan anti IgE manusia berlabel enzim HRP untuk mendeteksi