Lingkungan hidup berkualitas dan optimalisasi pengelolaan persampahan

7. Lingkungan hidup berkualitas dan optimalisasi pengelolaan persampahan

Permasalahan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bandung terdiri dari beberapa aspek,yaitu ketersediaan air tanah yang semakin berkurang, kualitas air permukaan yang semakin menurun, pelayanan air bersih yang belum mencukupi, polusi udara yang semakin bertambah serta pengelolaan sampah yang berpotensi menimbulkan masalah besar. Permasalahan air, baik air tanah maupun air permukaan, serta udara, diantaranya disebabkan oleh luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang belum memenuhi mandat undang-undang yaitu sebesar 30%. Kurangnya luasan serta kualitas RTH berakibat pada minimnya resapan air dan kurangnya jumlah pepohonan penyerap CO2. Minimnya resapan air berakibat pada berkurangnya cadangan air tanah dan meningkatnyarun offair hujan di permukaan tanah sehingga mengakibatkan terjadinya banjir di beberapa tempat. Selama 3 tahun terakhir, jumlah kejadian bencana di Kota Bandung mencapai 2.671 kejadian, dengan 256 orang meninggal dunia.Salah satunya adalah kejadianbanjir bandang di Jatihandap yang terjadi beberapa waktu lalu. Bencana ini terjadi bukan hanya akibat faktor hujan deras, tetapi faktor lain yang juga sangat penting adalah akibat terjadinya alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang merupakan kawasan resapan air.

Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) atas eksploitasi lahan diantaranya menjadi akar penyebab terjadinya banjir bandang di Kota Bandung. Berkurangnya luas kawasan berakibat pula pada ketersediaan air tanah yang semakin kritis. Hal ini terlihat dari peta konturmuka air tanah yang merupakan hasil Kajian Pengukuran Tinggi Muka Air Tanah Kota Bandung pada Tahun 2017.Pada peta kontur tersebut dapat dilihat terbentuknya kerucut-kerucut permukaan air tanah yang menunjukkan terjadinya eksploitasi air tanah dalam jumlah besar di beberapa tempat sehingga mengakibatkan kekritisan air tanah di tempat-tempat tersebut. Menurunnya resapan air, berpengaruh pula pada cakupan pelayanan air bersih. Cakupan pelayanan air bersih di Kota Bandung baru mencapai 72,15% dengan sumber air baku untuk pengolahan air bersih berasal dari air permukaan (sungai dan danau) di luar wilayah Kota Bandung. Indikator lain yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan hidup adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang terdiri dari indeks pencemaran air, udara dan tutupan hutan. Semakin besar nilai IKLH menunjukkan kualitas lingkungan hidup yang semakin baik. Tingkatan tertinggi dari status IKLH adalah kategori ―unggul‖ dengan nilai indeks lebih besar dari 90, sedangkan tingkat terendahnya adalah kategori ―waspada‖ dengan nilai indeks kurang dari 50. Nilai IKLH Kota Bandung saat ini berada pada tingkat ―waspada‖ yang menunjukkan buruknya kualitas lingkungan Kota Bandung. Penyumbang terbesar buruknya nilai IKLH berasal dari indeks kualitas air yang sangat rendah. Pengujian kualitas air di 88 titik pengujian pada 46 sungai yang ada di Kota Bandung menunjukkan bahwa kadar BOD5 pada seluruh sampel air sungai berada jauh di atas baku mutu yang dipersyaratkan. Hal ini dapat dilihat pula dari kondisi fisik air sungai yang terlihat keruh bahkan cenderung menghitam, serta berbau busuk. Beberapa literatur yang ditemukan menyatakan bahwa tingginya kadar BOD5 di dalam air sungai menunjukkan kontribusi pencemaran air limbah domestik yang cukup dominan. Masalah lain terkait lingkungan hidup adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat. Produktivitas sampah di kota metropolitan seperti Bandung yang merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Barat pastilah tinggi. Berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa —sampah yang dihasilkan bisa mencapai

1.500 – 1.600 ton setiap harinya.Walaupunpenghargaan Adipura sering didapat ―kota kembang‖ beserta sederet penghargaan bergengsi lainnya,namun tetap saja sampah masih menjadi persoalan yang belum sepenuhnya dapat teratasi. Secara umum, sumber sampah masih didominasi oleh sampah rumah tangga

sebesar 70%, sedangkan sampah dari kegiatan non rumah tangga seperti komersial mencapai 30%. Dari sisi komposisi sampah, sampah kota Bandung masih didominasi sampah organik (sampah mudah membusuk) sebesar 45% dan sampah anorganik sebesar 24% (sampah potensi daur ulang), sisanya sebesar 31% merupakan sampah residu. Pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini masih bertumpu pada pola Kumpul – Angkut – Buang, dimana 73,74% sampah dibuang ke TPPAS Sarimukti sedangkan pengurangan sampah secara 3R mencapai 14.32% sehingga sampah yang dapat tertangani pada Tahun 2017 mencapai 87,79% dan sisanya sebesar 12,21% adalah sampah yang belum tertangani, berserakan di TPS – TPS Liar, selokan dan sungai. Upaya pelibatan masyarakat dalam meningkatkan kebersihan lingkungan dan pengurangan sampah di sumber telah dan sedang dilakukan secara intensif. Upaya tersebut meliputi aksi pembersihan gorong-gorong, selokan dan sungai, gerakan sejuta biopori, gerakan pungut sampah dan saat ini gerakan KangPisMan. Kolaborasi antara masyarakat peduli sampah – pemerintah – institusi pendidikan – swasta – LSM dan bahkan institusi Luar negeri intensif dilakukan untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengurangi sampah, sehingga kinerja pengurangan sampah secara 3R di sumber dapat meningkat. Sejak ditutupnya TPA Leuwigajah tahun 2005, Kota Bandung tidak memiliki TPA, sehingga pembuangan akhir sampah dilakukan ke TPPAS Sarimukti, di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan dibawah pengelolaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. TPPAS Sarimukti sesungguhnya akan habis usia pakainya Tahun 2019, namun akan diperpanjang sampai dengan TPPAS Legok Nangka siap digunakan. Pembayaran dana kompensasi ke TPPAS Sarimukti saat ini sebesar Rp. 61.250,00/ton sampah, dengan jarak rata-rata ke Kota Bandung

42 km. TPPAS Legok Nangka diperkirakan akan beroperasi pada Tahun 2022, dengan jarak yang kurang lebih smapah dengan jarak Kota Bandung ke TPPAS Sarimukti, namun dengan besaran jasa Tipping Fee yang mencapai 6-7 kali lipat biaya kompensasi saat ini, karena TPPAS Legok Nangka menggunakan 42 km. TPPAS Legok Nangka diperkirakan akan beroperasi pada Tahun 2022, dengan jarak yang kurang lebih smapah dengan jarak Kota Bandung ke TPPAS Sarimukti, namun dengan besaran jasa Tipping Fee yang mencapai 6-7 kali lipat biaya kompensasi saat ini, karena TPPAS Legok Nangka menggunakan

hidup, meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Adapun Pasal 7 pada Perda tersebut menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung paling sedikit memuat:

a. pengelolaan sampah berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang dilakukan melalui:

1) efisiensi penggunaan material dalam sistem produksi dan konsumsi di wilayah Daerah Kota;

2) penanganan sampah secara terdesentralisasi;

3) penanganan sampah secara terpilah;

4) pengutamaan pengolahan sampah untuk daur ulang material; dan

5) meminimalkan penggunaan material toksik pada proses produksi dan konsumsi material.

b. penguatan kelembagaan guna terselenggaranya pengelolaan sampah secara menyeluruh dari hulu ke hilir sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan; dan

c. pelibatan masyarakat secara terintegrasi dalam setiap aspek pengelolaan sampah.