ASPEK HISTORIS PLURALISME
BAB II ASPEK HISTORIS PLURALISME
Agama adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Agama yang membimbing miliaran orang di dunia ini untuk menjalani hidupnya sesuai dengan jalan kebenaran. Segala aspek lain dari kehidupan seorang yang beragama pasti tidak akan terlepas dari hakikatnya sebagai insan yang religius. Dalam bidang politik, kehadiran partai-partai politik Islam maupun Kristen, demikian pula dengan organisasi-organisasi masyarakat agama lainnya yang semuanya memberikan pengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Dalam bidang ekonomi, pesatnya perkembangan lembaga-lembaga amil zakat dan kegiatan-kegiatan amal dari berbagai komunitas agama.
Aspek kebudayaan manusia juga tak lepas dari peran dan kehadiran agama. Kebudayaan masyarakat Indonesia pada mulanya amat rekat dengan tradisi animisme, yakni kepercayaan yang meyakini kekuatan- kekuatan adialami di luar pengalaman manusia (Tylor dalam Koentjaraningrat, 2002:198). Tradisi-tradisi seperti pemberian sesajen atau sedekah bumi adalah contoh nyata dari pengaruh animisme yang bertahan hingga kini. Dalam perkembangannya, setelah masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia sekitar abad 5 masehi, pengaruh-pengaruh animisme mulai diperkaya dengan tradisi dan kepercayaan Hindu
dan Buddha. Tradisi keagamaan Hindu-Buddha tidaklah merusak tatanan budaya yang sudah ada namun melengkapi dan menyempurkan local genius yang sudah ada di bumi Indonesia. Justru kehadiran agama-agama itulah yang menyesuaikan diri dengan kondisi kebudayaan masyarakat yang telah ada. Sebagai contoh, kita bisa melihat perbedaan-perbedaan antara agama Hindu (Hindu Siwa) yang dianut di Jawa dengan agama Hindu di Bali (Hindu Wisnu).
Islam dan Kristianitas yang masuk ke Indonesia juga memberikan tambahan kekayaan bagi bangsa Indonesia. Sama seperti agama-agama pendahulunya, baik Islam dan Kristianitas tidak mentah-mentah membuang semua warisan kebudayaan yang telah ada. Di setiap daerah di Indonesia, wajah Islam tidaklah sama. Jika dibandingkan umat Islam di Jawa dengan Sumatera,
ditemui perbedaan-perbedaan dari kehidupan beragamanya. Islam
Kejawen yang meneruskan warisan tradisi Hindu dan bahkan animisme. Agama Kristiani juga demikian. Di daerah Batak dan Minahasa ditemukan tradisi Kristiani yang berbeda pula. Sekalipun agama itu merupakan sesuatu yang mendasar bagi kehidupan manusia, dan semua hal di luar agama selayaknya selaras dengan agama, tapi pada praktiknya justru agama itu sendirilah yang seolah-olah menyesuaikan diri dengan kebudyaan setempat. Kehadiran agama-agama pada akhirnya menuntun kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin agama yang masuk. Jadi, ada interaksi timbal-balik dan saling menguntungkan di antara agama dan budaya. Agama-
agama dan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia dapat hidup berdampingan tanpa ada saling menggusur satu sama lain.
Namun, hubungan antara agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan
Indonesia masih menyisakan persoalan. Dalam sejarah Indonesia, terjadi konflik di antara kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama yang telah ada. Salah satu contoh klasiknya adalah Perang Paderi, pertempuran antara umat Islam yang puritan dengan masyarakat adat di Minangkabau. Sejarah masuknya Islam ke Indonesia juga menyisakan konflik dengan penganut-penganut agama Hindu, terutama di Kerajaan Majapahit. Konflik- konflik berlatarkan perbedaan-perbedaan agama ini terus terjadi sepanjang sejarah Indonesia.
di
Latar belakang keagamaan dan kebudayaan yang berbeda-beda menyebabkan sulitnya merajut integrasi nasional.
pada umumnya dipersatukan atas dasar nasib: 350 tahun dijajah oleh Belanda. Kesadaran ini pun baru muncul pada tahun 1928, saat Sumpah Pemuda dideklarasikan dan menjadi tonggak persatuan bangsa Indonesia hingga saat ini. Di tahun 1945, Indonesia menentukan ideologi negara yaitu Pancasila yang juga dipenuhi dengan dialog-dialog agama. Pancasila sebagai dasar negara dibangun di atas dialog-dialog keagamaan dan melibatkan unsur-unsur kebudayaan di Indonesia. Implementasinya hingga saat ini juga tidak lepas dari interaksi antaragama dan antarkebudayaan beserta segenap permasalahannya. Dalam menyikapi masalah- masalah ini hendaknya masyarakat, dengan latar
Bangsa
Indonesia
keagamaan dan kebudayaannya yang berbeda-beda, dapat mengedepankan prinsip pluralisme. Pluralisme tidaklah harus dicapai dengan memperjualkan akidah dan corak kebudayaan yang telah melekat pada setiap etnis dan umat beragama. Yang terpenting adalah kesadaran hidup bersama dan mengedepankan diskusi bukan kekerasan.
Menilik sejarah tentang berdirinya Pancasila yang mulai disidangkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei 1945. Ada tiga rancangan yang didiskusikan pada sidang itu, yaitu rancangan Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno sebagai tokoh nasional. Pada tanggal 1 Juni, Soekarno mempresentasikan lima asas yang diberi nama Pancasila. Pancasila inilah yang lebih bisa diterima oleh BPUPKI. Dalam rumusan Soekarno terdapat penekanan pada harmoni umat beragama, seperti tercantum pada penggalan pidato Lahirnya Pancasila yang dimuat dalam
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi
orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber- Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
Muhammad
s.a.w.,
yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang
bertuhan!
Namun, rupanya tidak semua anggota BPUPKI menyepakati usulan ini. Golongan Islam, yang antara lain dipimpin oleh M. Natsir, tidak menyetujui rumusan Pancasila karena dipandang tidak Islami. Komposisi BPUPKI tidak banyak melibatkan golongan Islam di dalamnya dan didominasi oleh kaum nasionalis yang antara lain juga merepresentasikan kepentingan non- muslim di Indonesia. Kaum Islam yang minoritas merasa tidak difasilitasi dalam mewujudkan cita-cita politiknya, yaitu dijadikannya syariat Islam sebagai pedoman bernegara.
Soekarno menolak keberatan dari golongan Islam. Ia berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila bersumber dari kebijaksanaan budaya dan keagamaan seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Dengan sendirinya, Pancasila kompatibel dengan keislaman sebagaimana ia kompatibel dengan kekristenan, Hindu, Buddha, maupun Konghuchu. Demikian pula dengan kebudayaan yang berbeda-beda, Pancasila dirancang untuk mengakomodasi semua itu.
Umat-umat Hindu dan Buddha pada masa-masa kerajaan Hindu-Buddha telah memperlihatkan pola hidup pluralistik. Demikian pula Islam yang menunjukkan toleransi dan keluwesannya ketika dihadapkan dengan kepercayaan asli dan agama Hindu yang telah kukuh di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika diambil dari ujaran sansekerta “Mangka Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.(Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam
kebenaran.) Ini menunjukkan adanya toleransi antara penganut agama Buddha dengan Hindu Siwa yang ada dalam kerajaan Majapahit. Tiada kerancuan dalam kebenaran, maka selayaknyalah tidak usah saling menyalahkan dalam mencari kebenaran.
Secara bahasa pluralisme berasal dari kata plural yang berarti majemuk/jamak dan multikultural dari kata
berarti multi kebudayaan/peradaban. Pluralisme merupakan paham tentang pluralitas, yakni kesadaran akan realitas keragaman kehidupan masyarakat dalam aspek budaya, sosial, politik, ekonomi, ideologi, agama, dan lainnya. Pluralisme, saat ini, lebih bermakna kesadaran terhadap kenyataan adanya keragaman agama yang dianut oleh manusia di dunia dan oleh karenanya tidak perlu terjadi adanya sikap menyalahkan terhadap orang lain yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (Syamsul Ma‟arif, 2005: 11).
menghendaki terjadinya dialog antaragama, dan dengan dialog agama memungkinkan antara satu agama terhadap agama lain untuk mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan. Menurut Wilfred C. Smith (1981: 187) disebut dengan istilah world theology (teologi dunia) dan oleh John Hick (1980: 8) disebutnya global theology (teologi global). Kemudian teologi tersebut belakangan ini terkenal dengan sebutan teologi
pluralisme (Ma‟arif, 2006).
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjanjikan dikedepankanya prinsip inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spritual dan moral. Gagasan bahwa manusia adalah satu umat, seperti ini menurut Sachedina “merupakan dasar
pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan bagi semua. Manusia tetap
merupakan “satu bangsa” berdasarkan kemanusiaan yang sama-sama mereka miliki. Karena itulah