Pandangan Agama Buddha
D. Pandangan Agama Buddha
Menurut pandangan agama Buddha, menyatakan bahwa
Buddha mengajarkan dharma
(dhammacakkapavattava sutta) yang pertama kali untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Buddha mengajarkan ajarannya dengan pendekatan adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.
Sesungguhnya Buddha bercita-cita mewujudkan suatu masyarakat Buddhis di tengah- tengah berbagai sistem agama yang ada pada waktu itu. Beliau amat memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan di dunia ini. Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi. Namun
sekaligus menekankan pentingnya perkembangan spiritual manusia. Visi Buddhis di dalam tindakan berhubungan dengan kisah bahwa di India pada jaman Buddha, terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah secara demokratis atau Republik-Republik Desa seperti Licchavi dan Vajji. Buddha menyebutkan komunitas- komunitas ini layak diteladani yang lain-lainnya. Beliau menunjukkan
komunitas-komunitas ini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang mampu memberdayakan mereka untuk berdiri menentang campur tangan pihak luar. Menurut Buddha, ciri-ciri khas yang menonjol dari komunitas- komunitas ini adalah: pertemuan komunitas yang sering diadakan;
bahwa
partisipasi komunitas dalam mengambil keputusan; berkumpul dengan damai, berdiskusi dengan damai, dan bubar dengan damai; menaati hukum yang berlaku; tidak memaksakan
hukum yang tak dapat dipatuhi; perlindungan dan kesejahteraan bagi anak-anak, wanita, orang sakit, orang cacat, dan manula; melanjutkan acara-acara kebudayaan
putus, serta mengundang, menunjang, dan belajar dari para arif- bijaksana seperti para biku dan petapa yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga guna mencari pencerahan spiritual.
tradisional
tanpa
Buddha menekankan pada aturan disiplin, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual, untuk dapat dipraktekkan. Keadaan demikian sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Buddha dalam kitab Digha
Nikaya (D.iii.127) yaitu „demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang
terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Kehidupan umat Buddha ditengah- tengah masyarakat, erat sekali berhubungan dengan segala macam gerakan sosial. Buddha mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak melarikan diri dari kenyataan-kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan memecahkannya dengan usaha sendiri. Seorang Buddhis yang baik tidak akan berpaling dari setiap masalah kemasyarakatan, juga tidak menolak untuk bekerja demi kebaikan umum.
Dua prinsip pandangan Buddhis yang mendasari pentingnya pluralisme yaitu: a) Kehidupan tidak dapat lepas dari saling berhubungan, saling bergantungan dan kerja sama. Bagi orang yang baik, kepentingan orang lain sama pentingnya dengan kepentingannya
sendiri. Buddha
bersabda:
orang yang
memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik” (A.ii.95;
D.iii.223). b) Namun seseorang tak akan dapat menolong orang lain sebelum ia menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mengembangkan
sifat-sifat yang memungkinkannya menjadi sumber kebaikan dan pertolongan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
diri
dengan
Seperti yang disabdakan oleh Buddha: “tidak mungkin orang yang terperosok ke dalam lumpur dapat menarik orang lain dari lumpur. Hanya orang yang telah bebas
dari lumpur dapat menol ong orang lain....” (M.i.45). Setiap
konteks kehidupan bermasyarakat secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu sama lain. Pada persoalan
orang
pada
kehidupan beragama sebenarnya keanekaragaman merupakan nilai-nilai hakiki dari kehidupan.
dalam upaya membangun sosial kemasyarakatan akan sangat tergantung pada sikap individu yang terbuka terhadap perbedaan dimana hal ini tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu kerelaan dan keterbukaan individu dalam menerima perbedaan merupakan aktualisasi kehidupan sosial.
Eksistensi
manusia
Buddhisme menganggap bahwa satu adalah semua dan semua adalah satu. Apa pun yang dilakukan,
mempengaruhi masyarakat dan alam di sekitar sebagai satu keseluruhan. Maka dari itu, apabila ingin berbahagia, bukanlah demi untuk diri sendiri, melainkan bersama- sama seluruh masyarakat; bersama-sama berbahagia,
baik
atau
buruk,
atau menderita, oleh karena alam semesta terikat pada hukum ketergantungan.
Pandangan demikian menghasilkan suatu prinsip moral sosial, yang melihat kepentingan orang lain dalam kepentingan diri sendiri. Orang yang menjalankan prinsip-prinsip moral-sosial ini disebut orang yang baik dan berharga (M.I.341). Orang yang demikian tidak pernah berpikir akan mencelakakan orang lain maupun diri sendiri; sebaliknya, ia selalu memikirkan kebaikan dirinya dan umat manusia seutuhnya, dan ia juga membantu orang lain untuk berbuat kebaikan. Ia tidak menonjolkan diri sendiri dan meremehkan orang lain; ia menghormati dan menyokong mereka yang menjalankan kebenaran (Nyanakaruno Thera, 2013)
Kehidupan beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Munculnya persoalan-persolan antar agama lebih bersumber pada kondisi-kondisi sosial politik yang kurang stabil dan fenomena pemahaman agama yang sempit.
Kemudian persoalan-persoalan tersebut diakomodir oleh kepentingan pribadi dan golongan, sehingga menjadikan persoalan yang kompleks.
Kesadaran umat beragama akan pluralitas keberagamaan merupakan kebutuhan bagi upaya untuk membangun sosial kemasyarakatan antar agama. Seperti kajian tersebut di atas agama Buddha menekankan dan menjunjung tinggi upaya kehidupan sosial kemasyarakatan antar agama yang harmonis. Keharmonisan ini telah dibuktikan sendiri oleh Buddha atas permintaan calon siswaNya yang bernama Upali
yang ingin menjadi pengikut Buddha. Meskipun Upali menjadi pengikut Buddha tetapi tetap harus menghargai dan menghormati serta membantu mantan gurunya. Demikian besar toleransi Buddha terhadap agama lainnya.
Kehidupan sosial antar agama yang harmonis telah dilaksanakan oleh raja Asoka. Asoka adalah seorang raja Buddhis yang sangat terkenal, karena benar-benar mengamalkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang. Asoka membangun sosial kemasyarakat antar agama seperti yang tertulis dalam dekrit Asoka
yang berbunyi: “siapapun yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lain, hanya akan
merendahkan dan mengubur agamanya sendiri”. Menurut Nyanakaruno Thera (2013), dalam kitab Digha Nikaya, Sutta Pitaka ada enam macam cara kehidupan yang membawa pada keharmonisan
(saraniyadhamma) yang dapat dijadikan sebagai upaya membangun sosial kemasyarakatan antar agama dengan semangat pluralisme adalah:
1. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk perbuatan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettakaya kamma),
2 Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk ucapan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettavaci kamma).
3 Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk pikiran kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettamano kamma).
4 Memberikan kesempatan kepada para tokoh agama untuk ikut menikmati keuntungan-keuntungan
yang telah diperoleh dengan cara yang benar dan tidak mempergunakan sendiri apa yang telah diperolehnya.
5 Selalu menjaga kesucian moralitas sewaktu berkomunikasi dengan pemukanya dan tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan mereka.
6 Hidup harmonis bersama-sama dan tidak bertengkar karena perbedaan pendapat dan pandangan
Seseorang yang berkelakuan sesuai dengan hal- hal tersebut akan dicintai dan dihormati oleh orang lain. Cita-cita sosial agama Buddha adalah mencapai tujuan tertinggi yaitu pembebasan akhir spiritual (Nibbana/Nirvana). Sedangkan kesejahteraan duniawi dianggap sebagai sesuatu yang baik. Segala cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik dinamakan tindakan yang baik (dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan), yaitu segala tindakan yang bermanfaat untuk kesejahteraan orang lain maupun diri sendiri.
Tolok ukur kualitas kehidupan manusia di masyarakat adalah watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Perilaku bermoral yang disebut perilaku susila menempati kedudukan penting. Buah dari kehidupan susila dalam sosial kemasyakatan adalah memperoleh kebebasan dari sesal, disamping yang bersangkutan akan menikmati hal-hal sebagai berikut:
kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup melalui hasil karyanya sendiri. (2) menikmati nama harum dalam masyarakat, (3) menghadapi masyarakat dengan ketetapan hati, tanpa rasa gelisah, (4) kelak meninggal dengan penuh
memperoleh
kesadaran, (5) akan terlahir kembali di salah satu alam dewa yang menyenangkan (D.ii.86).
Esensi membangun sosial kemasyarakatan antar agama dalam perspektif agama Buddha adalah menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kedudukan sosial yang ditentukan oleh hubungan dengan warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Hanya dengan demikian orang akan mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya, orang yang tidak menjalankan kewajiban kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat tidak patut diakui atau dihargai kedudukan sosialnya.
Melihat pandangan dari berbagai agama yang pada hakekatnya adanya kesamaan pandangan tentang perlunya sikap dan perilaku menghormati perbedaan agama, maka dipandang perlu pendidikan pluralisme, apalagi dari berbagai kasus di Indonesia yang mengarah pada disintgrasi bangsa karena masalah SARA. Sekolah Menengah Atas sebagai pendidikan formal
tepat untuk mengembangkan pendidikan pluralisme. Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi, pendidikan perlu mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Menurut Wagner (2008: 25) kebutuhan
menjadi
wadah
yang
kemampuan siswa di abad 21 adalah: 1) Menggunakan 21st century skills (seperti kemampuan berfikir kritis dan pemecahan masalah) untuk memahami isu-isu global. 2) Belajar dari dan bekerja secara kolaboratif dengan individu berbeda budaya, agama, dan lifestyles dalam spirit kebutuhan bersama dan dialog terbuka dalam konteks bekerja dan berkomunikasi. 3) Memahami
budaya negara-negara, termasuk penggunaan bahasa inggris. Untuk bisa survive, diperlukan kemampuan yang fleksibel dan dapat beradaptasi sebagai lifelong learner. 4) Memahami kompetensi kunci yaitu kemampuan melakukan penangan secara ambigu, kemampuan mempelajari bagian-bagian inti dan mendasar, kecerdasan strategis.
Melihat kebutuhan peserta didik pada point 2 adalah peserta didik hendaknya belajar dari dan bekerja secara kolaboratif dengan individu berbeda budaya, agama, dan lifestyles dalam spirit kebutuhan bersama dan dialog terbuka dalam konteks bekerja dan berkomunikasi,
implikasi bahwa kemampuan bekerjasama merupakan kompetensi yang perlu dikuasai peserta didik. Dengan demikian, sekolah sebagai agen perubahan menjadi tempat yang penting untuk mendidik peserta didik agar berkembang kemampuan bekerjasama dengan individu yang beragam. Dengan kata lain, pendidikan pluralisme perlu diajarkan, dipraktikkan pada peserta didik.
memberikan