(a) Dirinya dan Dunia

(a) Dirinya dan Dunia

Seorang umat Buddha mencoba untuk melihat hal-hal sebagaimana hal-hal itu sebenarnya. Dia ingat ketidakstabilan dari segala sesuatu dan memahami bahaya yang terkandung di dalam pengharapan untuk menemukan kekekalan di dalam eksistensi. Dengan cara ini, dia berjuang untuk menyekat dirinya dari kekecewaan-kekecewaan yang mungkin terjadi. Karenanya, seorang umat Buddha yang bijak tidaklah terlalu gembira atau kesal dengan delapan kondisi duniawi yakni perolehan dan kehilangan, kehormatan dan penghinaan, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan. Dia tidak berharap terlalu banyak dari orang-orang lain, maupun dari hidup, dan mengenali bahwa memanglah manusiawi untuk dirinya mengalami pasang dan surut kehidupan.

Dia melihat peristiwa-peristiwa kehidupan dari segi sebab dan akibat, betapapun tidak menyenangkan maupun menyakitkannya peristiwa- peristiwa tersebut. Seorang umat perumah tangga yang paham, akan menerima dukkha sebagai hasil-hasil dari kammanya sendiri — yang kemungkinan adalah sebuah perbuatan tidak terampil (akusala) di masa lampau yang berbuah di masa kini.

Dia melihat hubungan antara nafsu keinginan dan penderitaan, dan karenanya mencoba untuk mengurangi, baik dalam hal intensitas maupun ragamnya. Sebagaimana dinyatakan dalam Dhammapada:

Dari nafsu keinginan, muncullah kesedihan, dari nafsu keinginan, muncullah ketakutan,

Bagi dia yang sepenuhnya bebas dari nafsu keinginan, tidak ada kesedihan — dari manakah ketakutan?

— Dhp 215 Oleh karena itu, dia penuh perhatian terhadap skala nilai-nilai — mengetahui

secara jelas apa yang benar-benar penting untuknya sebagai seorang umat Buddha perumah tangga, apa yang diidamkan namun tidak begitu penting, dan apa yang sepele. Dia mencoba untuk mengeliminasi yang tidak esensial dan belajar untuk berpuas dengan yang esensial. Orang demikian dengan segera menemukan bahwa dengan memerlukan lebih sedikit, dia hidup lebih baik dan bahagia. Inilah tanda kedewasaan. Inilah kemajuan di dalam jalan menuju kebebasan batin.

Seseorang seharusnya dengan bijak mencari dan dengan hati-hati memilih dalam perbuatan-perbuatannya dan berjuang untuk mempertahankan suatu standar perilaku Buddhis, apapun kekecewaan yang mungkin dibawa oleh kehidupan. Dan pada saat kekecewaan-kekecewaan datang, dia mencoba untuk melihat kekecewaan-kekecewaan tersebut sebagaimana adanya dengan sejumlah taraf ketidakmelekatan dan berdiri terpisah dari kekecewaan-kekecewaan tersebut. Dengan cara ini, seseorang mendapatkan keamanan batin dan membebaskan dirinya sendiri dari ketakutan-ketakutan, kecemasan-kecemasan, dan banyak beban berat lainnya. Sikap seperti ini terhadap kehidupan dan dunia membawa keberanian dan kepercayaan diri.

Bagaimanakah seorang umat Buddha perumah tangga memandang dirinya sendiri? Dalam Buddha Dhamma, manusia merupakan sebuah kombinasi yang impersonal dari pikiran dan materi yang senantiasa berubah. Di dalam aliran ini, tidak ditemukan jiwa yang tidak berubah atau prinsip keabadian.

Oleh karenanya, diri atau jiwa merupakan sepotong cerita fiksi yang diciptakan oleh pikiran manusia. Mempercayai hal yang demikian tidak masuk akal adalah sama dengan menciptakan sumber ketidakbahagiaan lainnya.

Oleh karena itu, seseorang harus melihat dirinya sendiri sebagaimana dia sesungguhnya — suatu kumpulan pikiran dan materi yang diberi energi oleh tanha atau nafsu keinginan, yang mengandung kemungkinan-kemungkinan yang besar baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan, tanpa meninggi- ninggikan atau meremehkan kapasitas dan kapabilitasnya. Dia juga harus berhati-hati untuk mengenali batasan-batasannya dan tidak berpura-pura bahwa batasan-batasan tersebut tidak ada. Ini berarti sekadar menerima dirinya sendiri apa adanya, dan memutuskan untuk memaksimalkan dirinya sendiri. Dengan tekad ini, posisi seseorang dalam dunia akan ditentukan oleh usaha-usahanya. Dan setiap orang memiliki sebuah tempat, serendah apapun, dan juga sebuah kontribusi untuk diberikan.

Melihat bahwa tidak ada dua hal yang sama, secara fisik atau psikologi, karenanya, dengan mempertimbangkan kamma, seorang yang bijaksana harus menghindari membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Pembandingan yang tidak menguntungkan tersebut hanya akan mengarah ke kesedihan dan penderitaan yang tidak perlu. Apabila dia berpikir bahwa dia lebih baik dari orang lain, dia akan menjadi sombong dan congkak serta mengembangkan sebuah perasaan unggul — dari “Aku” yang menggembung. Apabila dia berpikir bahwa dia lebih buruk dari yang lainnya, besar kemungkinannya dia akan mengembangkan sebuah perasaan rendah diri — “Aku” yang mengempis, dan menarik diri dari realitas-realitas dan tanggung jawab-tanggung jawab kehidupan. Apabila dia memandang dirinya sama dengan yang lain, terdapat kemungkinan terjadi stagnasi dan keengganan untuk usaha dan kemajuan yang lebih lanjut.

Karenanya, daripada menyamakan langkah dengan, atau mengalahkan, orang lain, secara sosial, finansial, dan dengan cara-cara lainnya, pengikut

awam yang paham akan berlanjut untuk melakukan sesuatu yang lebih awam yang paham akan berlanjut untuk melakukan sesuatu yang lebih

Rencana seperti ini membawa keteraturan ke dalam kehidupan, yang jika tidak, akan tanpa tujuan dan tanpa makna, mencegah kehanyutan serta menunjukkan arah dan dorongan yang benar. Seorang umat Buddha perumah tangga yang bijaksana tidak akan sekadar melakukan apa yang dilakukan orang lain. Dia dapat menahan tarikan orang banyak bila diperlukan. Dia selalu penuh perhatian, baik pada tujuan-tujuan yang dikejar maupun cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dia tidak sekadar menjalani hidup tanpa tujuan; dia pergi, mengetahui dengan jelas ke mana dia ingin pergi, dengan sebuah tujuan dan sebuah rencana yang didasarkan pada kenyataan.

Adalah sulit untuk terlahir sebagai seorang manusia, namun hal ini dipermudah dalam sebuah Era Buddha — yaitu, masa di mana ajaran- ajarannya masih diingat dan dipraktikkan. Oleh karenanya, inilah alasan lain mengapa seorang umat Buddha perumah tangga harus secara sadar mengarahkan kehidupannya untuk hidup yang memiliki tujuan dengan suatu akhir yang tepat, dengan usaha yang tepat, menuju sebuah rencana yang tepat. Inilah intisari dari ajaran-ajaran Buddha.