(c) Mengasuh Sebuah Keluarga
(c) Mengasuh Sebuah Keluarga
Dalam Maha Mangala Sutta, Buddha mengajarkan kita bahwa: Menyokong ibu dan ayah dengan baik,
Menyayangi istri dan anak-anak sebagaimana mestinya, Jenis-jenis pekerjaan tidak bertentangan, Ini, Berkah Tertinggi. — Sn 2.4
Oleh karena itu, esensi-esensi dari kehidupan berkeluarga yang bahagia adalah sebuah kerja sama antara kedua orangtua dengan tujuan-tujuan, sikap-sikap, dan cita-cita yang sama, yang mencintai, menghormati, dan mempercayai satu sama lain; yang mencintai dan memahami anak-anak mereka, dan pada gilirannya, mereka dapat menggantungkan diri pada anak-anak mereka untuk perlakuan yang sama dan bimbingan yang baik, yang didasarkan pada nilai-nilai yang sejati, hidup dengan Mata Pencaharian Benar, serta menyokong orangtuanya yang telah berusia lanjut. Akan tetapi, dalam Buddhisme, pernikahan bukanlah lembaga wajib bagi semua umat perumah tangga. Pernikahan adalah pilihan. Ini membawa kita ke pertanyaan yang penting mengenai seks.
Naluri seks adalah suatu dorongan atau kekuatan impersonal yang sangat kuat di dalam diri kita semua untuk memastikan pelestarian ras. Untuk memastikan tujuannya, alam membuat tindak reproduksi berupa hubungan seksual menjadi sangat menyenangkan sehingga pasti dicari oleh setiap individu demi dirinya sendiri. Tidak ada musim kawin yang khusus untuk manusia, para pria dan wanita dapat menemukan bahwa mereka tertarik secara fisik satu sama lain kapan saja.
Seks adalah sebuah bagian penting dalam hidup. Seks mempengaruhi kita setiap harinya dalam berbagai bentuk, yang sering kali berakhir dengan penentuan pasangan hidup. Seks bisa menciptakan atau merusakkan Seks adalah sebuah bagian penting dalam hidup. Seks mempengaruhi kita setiap harinya dalam berbagai bentuk, yang sering kali berakhir dengan penentuan pasangan hidup. Seks bisa menciptakan atau merusakkan
ada yang penuh dosa atau memalukan dalam seks, seks juga tidak membawa beban perasaan bersalah seumur hidup. Dilihat dari aspek pribadinya, hasrat- hasrat seksual hanyalah bentuk lain dari nafsu keinginan, dan, sebagai nafsu keinginan, menyebabkan penderitaan. Hasrat seksual pun harus dikontrol dan pada akhirnya dihancurkan secara total. Kebahagiaan ini [2] muncul hanya pada tahap kesucian ketiga, yaitu Anagami. Ketika seorang umat Buddha perumah tangga menjadi seorang Anagami, dia menempuh sebuah kehidupan selibat.
Akan tetapi, dalam konteks sosialnya, perilaku seksual menuntut perhatian pada fakta bahwa sedikitnya kebahagiaan satu orang lain sedang dipertaruhkan dan mungkin saja, kebahagiaan orang yang lainnya lagi yakni kebahagiaan seorang anak. Anak-anak yang terlahir dari hubungan pranikah, ketika diabaikan dan tidak diinginkan, sering berkembang menjadi remaja-remaja badung. Selain itu, hubungan seksual pranikah dapat membawa risiko-risiko infeksi kelamin. Seorang Buddhis yang welas asih, yang penuh perhatian terhadap kesejahteraan dirinya sendiri dan orang lain, bertindak dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam hal-hal seksual. Bagi seorang umat perumah tangga, perbuatan yang menyimpang berarti hubungan seksual dengan istri-istri orang lain atau mereka yang berada di dalam perlindungan ayah, ibu, saudara perempuan, saudara laki-laki, atau wali, termasuk karyawan-karyawan seseorang.
Masa remaja adalah masa stres dan tekanan. Pada saat inilah, naluri seks menjadi aktif, dan orangtua yang berpikiran sehat harus membimbing dan membantu anak-anak mereka menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan tersebut. Energi seksual ini dapat dialihkan tidak hanya dengan permainan-permainan dan olahraga-olahraga di luar ruang, tetapi juga dengan kegiatan-kegiatan kreatif seperti kerajinan tangan, berkebun, dan kegiatan-kegiatan yang membangun lainnya.
Tidaklah mudah bagi seorang dewasa yang belum menikah untuk mempraktikkan pengendalian diri secara seksual hingga waktunya dia dapat menikah. Tidak diragukan lagi bahwa dia hidup dalam sebuah peradaban komersial yang bermandikan seks, di mana seks dapat dilihat, didengar, dirasakan, dan dipikirkan pada sebagian besar waktu. Akan tetapi, ide tentang seks hanya dalam pernikahan adalah sesuatu yang pantas dijadikan tujuan. Lagipula, tujuan utama Buddhis adalah menjadi seorang Manusia Sempurna — bukan seekor binatang sempurna. Dan sebuah awal harus dibuat suatu hari, di suatu tempat — dan sekaranglah waktu yang terbaik untuk itu.
Pada setiap saat dalam kehidupan seorang manusia, pikiranlah yang mendominasi perbuatan-perbuatannya. Pikiranlah yang menjadikan seseorang menjadi dirinya. Tidak ada keraguan mengenai ini. Sesungguhnya, ini adalah sebuah fakta yang memberikan semangat — seseorang cenderung menjadi apa yang dia inginkan. Dan, jika seseorang ingin selibat, dia bisa. Kehidupannya kemudian akan bergerak tanpa tertahankan ke arah pemenuhan kehidupannya tersebut.
Banyak yang dapat dikerjakan dengan menghaluskan naluri tersebut dengan cara mengalihkan energi dari dorongan seks kepada kegiatan- kegiatan lainnya. Mengembangkan sebuah minat di dalam pekerjaan, hobi atau olahraga dapat mengalihkan pikiran serta menyediakan penyaluran- penyaluran energi yang sesuai. Kesahajaan dalam makan juga membantu. Akan tetapi, yang paling penting adalah menjaga pemikiran-pemikiran terkait semua hal seksual. Seseorang harus menghindari situasi-situasi dan rangsangan-rangsangan yang mungkin membangkitkan hasrat-hasrat seksual. [3] Ketika hasrat-hasrat indriawi muncul, metode-metode berikut dapat dicoba:
i. Dengan penuh perhatian, catat keberadaan dari pemikiran-pemikiran yang demikian tanpa menunda; ketika pemikiran-pemikiran tersebut cenderung untuk muncul, sadarilah tanpa membiarkan diri Anda sendiri terbawa oleh pemikiran-pemikiran ini.
ii. Cukup abaikan saja pemikiran-pemikiran yang demikian, alihkan pikiran Anda baik pada pemikiran-pemikiran yang bermanfaat atau pada sebuah kegiatan yang mengabsorpsi Anda.
iii. Refleksikanlah akibat-akibat akhir yang mungkin terjadi. Langkah-langkah juga seharusnya diambil untuk memelihara dan
mempertahankan semua yang bajik, sebagai contoh, pertemanan yang bijak, serta menjaga diri sibuk dan berguna setiap saat. Apabila seseorang telah berhasil dalam praktik meditasi, kebahagiaan yang berasal dari meditasi tersebut akan menjadi sebuah kekuatan perlawanan yang kuat terhadap hasrat-hasrat seksual.
Perhatian ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai penguasaan diri. Ini merupakan pertarungan keras yang memerlukan praktik yang sabar dan gigih; namun, ini adalah pertarungan yang pantas dilakukan dan sebuah tujuan yang pantas dimenangi.