Nafsu Indra dan Budaya

Nafsu Indra dan Budaya

Menurut Aggañña Sutta, yang memberikan penjelasan tentang evolusi dunia dan masyarakat, penghuni awal bumi adalah makhluk-makhluk yang terbuat dari pikiran dan bercahaya yang hidup dalam kegembiraan serta bergerak di angkasa. Setelah kurun waktu yang lama, mereka mengecap sesuatu yang sangat lezat dan sangat senang dengan pengalaman indra pengecap yang baru ini. Nafsu keinginan memasuki mereka dan mereka terus mencicipi makanan dengan cara ini. Akibatnya, tubuh mereka menjadi lebih kasar dan kasar lagi; mereka kehilangan cahayanya dan kemampuan untuk hidup dalam kegembiraan dan melintasi angkasa. (D. III, 84-86).

Sekarang, apa yang penting bagi kita di sini bukanlah autentisitas dari proses evolusi ini, tetapi poin bahwa keinginan indriawi telah menyebabkan hilangnya kapasitas-kapasitas yang lebih tinggi dari mental dan fisik yang seharusnya pernah sekali waktu dimiliki manusia.

Cakkavattsihanada Sutta (D. III, 69-74) adalah sutta yang berkaitan dengan masalah perubahan sosial. Sebagai hasil dari penyebaran kekayaan yang tidak merata, kemiskinan menyebar luas dan standar-standar moral memburuk dengan cepat. Dengan kemerosotan moral, terjadi penurunan yang sesuai dalam hal kecantikan fisik dan usia. Seiring berjalannya waktu dan ketidakmoralan menetap, masyarakat menjadi tercengkeram oleh tiga fenomena yang merugikan, yaitu nafsu yang menyimpang (adhammaraga), keserakahan yang tidak terkendali (visamalobha) dan memiliki nilai- nilai yang salah (micchadhamma). Tidak menghormati keluarga, tradisi keagamaan, dan budaya menjadi fenomena-fenomena sosial yang diterima. Ketika kemerosotan moral berlanjut, maka akan datanglah saat ketika panjang usia manusia berkurang hingga hanya sepuluh tahun dan usia pernikahan turun menjadi lima tahun. Pada saat itu, makanan akan mengalami begitu banyak perubahan sehingga makanan-makanan lezat seperti ghee, mentega, madu, dll. akan lenyap, dan apa yang dianggap kasar hari ini akan menjadi kelezatan di masa itu. Semua konsep moralitas akan hilang dan bahasa tidak memiliki kata-kata untuk menunjukkan moralitas. Ketidakmoralan akan berkuasa dengan sanksi sosial. Tidak akan ada hukum pernikahan atau kekerabatan, dan masyarakat akan jatuh ke dalam keadaan seks bebas, seperti di antara para hewan. Di antara manusia tersebut, perseteruan yang sengit antara satu sama lain akan menjadi aturan, dan mereka akan dikuasai oleh pemikiran yang penuh gairah untuk membunuh satu sama lain. Sebuah perang dunia akan meletus dan menghasilkan pembantaian yang besar-besaran. Setelah mandi darah massal ini, beberapa orang melarat yang tertinggal akan menemukan penghiburan di antara sesama mereka dan mereka akan mulai memandang satu sama lain dengan pemikiran-pemikiran yang baik. Dengan perubahan hati ini, akan terjadi evolusi kembali atas nilai-nilai moral secara bertahap. Langkah demi langkah, kehidupan yang baik akan kembali, kecantikan fisik akan muncul Cakkavattsihanada Sutta (D. III, 69-74) adalah sutta yang berkaitan dengan masalah perubahan sosial. Sebagai hasil dari penyebaran kekayaan yang tidak merata, kemiskinan menyebar luas dan standar-standar moral memburuk dengan cepat. Dengan kemerosotan moral, terjadi penurunan yang sesuai dalam hal kecantikan fisik dan usia. Seiring berjalannya waktu dan ketidakmoralan menetap, masyarakat menjadi tercengkeram oleh tiga fenomena yang merugikan, yaitu nafsu yang menyimpang (adhammaraga), keserakahan yang tidak terkendali (visamalobha) dan memiliki nilai- nilai yang salah (micchadhamma). Tidak menghormati keluarga, tradisi keagamaan, dan budaya menjadi fenomena-fenomena sosial yang diterima. Ketika kemerosotan moral berlanjut, maka akan datanglah saat ketika panjang usia manusia berkurang hingga hanya sepuluh tahun dan usia pernikahan turun menjadi lima tahun. Pada saat itu, makanan akan mengalami begitu banyak perubahan sehingga makanan-makanan lezat seperti ghee, mentega, madu, dll. akan lenyap, dan apa yang dianggap kasar hari ini akan menjadi kelezatan di masa itu. Semua konsep moralitas akan hilang dan bahasa tidak memiliki kata-kata untuk menunjukkan moralitas. Ketidakmoralan akan berkuasa dengan sanksi sosial. Tidak akan ada hukum pernikahan atau kekerabatan, dan masyarakat akan jatuh ke dalam keadaan seks bebas, seperti di antara para hewan. Di antara manusia tersebut, perseteruan yang sengit antara satu sama lain akan menjadi aturan, dan mereka akan dikuasai oleh pemikiran yang penuh gairah untuk membunuh satu sama lain. Sebuah perang dunia akan meletus dan menghasilkan pembantaian yang besar-besaran. Setelah mandi darah massal ini, beberapa orang melarat yang tertinggal akan menemukan penghiburan di antara sesama mereka dan mereka akan mulai memandang satu sama lain dengan pemikiran-pemikiran yang baik. Dengan perubahan hati ini, akan terjadi evolusi kembali atas nilai-nilai moral secara bertahap. Langkah demi langkah, kehidupan yang baik akan kembali, kecantikan fisik akan muncul

Demikianlah ide-ide Buddhis mengenai perubahan sosial. Masyarakat berdiri atau jatuh dengan kebangkitan atau penurunan nilai-nilai moral.

Perlu diperhatikan bahwa beberapa studi sosiologi saat ini juga telah mengungkapkan bahwa moralitas dan kebudayaan terhubung secara kausal. William Stephens mengamati bahwa suku-suku primitif memiliki kebebasan seksual yang besar, baik sebelum menikah maupun di luar nikah, dibandingkan dengan masyarakat beradab yang memiliki batasan- batasan seks yang ketat. [6] Dean Robert Fitch telah menghubungkan kemerosotan peradaban Romawi dengan kerusakan moralitas seksual mereka. [7] Kontribusi yang paling penting dalam hal ini dibuat oleh J.D. Unwin dalam sebuah studi yang disebut Sex and Culture (Seks dan Budaya). [8] Dia telah melakukan survei mengenai perilaku seksual dan tingkat kebudayaan dari delapan puluh suku yang belum beradab dan juga dari enam perabadan yang dikenal. Dia menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara permisif dan primitif, serta antara pembatasan seks dan peradaban. Kebebasan seksual menimbulkan apa yang disebutnya kebudayaan zoistic (level buntu dari pembuahan) dimana orang-orang dilahirkan, mereka memuaskan keinginan mereka, mereka meninggal dan dilupakan setelah jasadnya dibuang. Mereka tidak mampu secara rasional mengetahui hubungan kausal antara peristiwa-peristiwa. Ketika terserang penyakit, misalnya, mereka menggunakan ilmu sihir, tidak lebih. Ketika terdapat batasan tertentu dari seks, sesekali, prakawin, atau pascakawin, hasilnya adalah kebudayaan manistik dimana nenek moyang disembah pada masa-masa krisis, namun tanpa tempat ibadah yang pasti. Aturan- aturan seks yang ketat seperti pada monogami menghasilkan budaya deistik dengan tempat-tempat ibadah yang pasti. Kebudayaan, dalam arti ekspresi eksternal dari energi internal manusia yang dihasilkan dari penggunaan nalar manusia, penciptaan dan pengetahuan diri, hanya menjadi mungkin dengan adat istiadat seks monogami yang ditegakkan dengan ketat. Mekanisme dari proses ini tidak diketahui, sama seperti tidak diketahui Perlu diperhatikan bahwa beberapa studi sosiologi saat ini juga telah mengungkapkan bahwa moralitas dan kebudayaan terhubung secara kausal. William Stephens mengamati bahwa suku-suku primitif memiliki kebebasan seksual yang besar, baik sebelum menikah maupun di luar nikah, dibandingkan dengan masyarakat beradab yang memiliki batasan- batasan seks yang ketat. [6] Dean Robert Fitch telah menghubungkan kemerosotan peradaban Romawi dengan kerusakan moralitas seksual mereka. [7] Kontribusi yang paling penting dalam hal ini dibuat oleh J.D. Unwin dalam sebuah studi yang disebut Sex and Culture (Seks dan Budaya). [8] Dia telah melakukan survei mengenai perilaku seksual dan tingkat kebudayaan dari delapan puluh suku yang belum beradab dan juga dari enam perabadan yang dikenal. Dia menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara permisif dan primitif, serta antara pembatasan seks dan peradaban. Kebebasan seksual menimbulkan apa yang disebutnya kebudayaan zoistic (level buntu dari pembuahan) dimana orang-orang dilahirkan, mereka memuaskan keinginan mereka, mereka meninggal dan dilupakan setelah jasadnya dibuang. Mereka tidak mampu secara rasional mengetahui hubungan kausal antara peristiwa-peristiwa. Ketika terserang penyakit, misalnya, mereka menggunakan ilmu sihir, tidak lebih. Ketika terdapat batasan tertentu dari seks, sesekali, prakawin, atau pascakawin, hasilnya adalah kebudayaan manistik dimana nenek moyang disembah pada masa-masa krisis, namun tanpa tempat ibadah yang pasti. Aturan- aturan seks yang ketat seperti pada monogami menghasilkan budaya deistik dengan tempat-tempat ibadah yang pasti. Kebudayaan, dalam arti ekspresi eksternal dari energi internal manusia yang dihasilkan dari penggunaan nalar manusia, penciptaan dan pengetahuan diri, hanya menjadi mungkin dengan adat istiadat seks monogami yang ditegakkan dengan ketat. Mekanisme dari proses ini tidak diketahui, sama seperti tidak diketahui