(d) Hubungan-hubungan Sosial
(d) Hubungan-hubungan Sosial
Seorang umat Buddha perumah tangga tinggal di dalam masyarakat. Dia harus menyesuaikan dirinya sendiri dengan orang lain agar dapat lancar bergaul dengan mereka. Hubungan-hubungan manusia — pendidikan emosi-emosi — adalah agenda pokok dalam pendidikan dan memainkan sebuah bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, daripada menyamakan langkah dengan, atau mengalahkan yang lain secara sosial, finansial, dan dengan cara-cara lainnya, umat perumah tangga yang paham berlanjut untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna. Oleh karenanya, kebahagiaan dan keamanan terletak pada mencari tahu secara tepat apa yang dapat dilakukan seseorang, dan melakukannya dengan baik.
Seorang umat perumah tangga yang mempraktikkan moralitas (sila) dengan penalaran dari kebajikannya, memberikan kedamaian pikiran pada orang-orang di sekitarnya. Dia mengendalikan perbuatan-perbuatan dan Seorang umat perumah tangga yang mempraktikkan moralitas (sila) dengan penalaran dari kebajikannya, memberikan kedamaian pikiran pada orang-orang di sekitarnya. Dia mengendalikan perbuatan-perbuatan dan
Perilaku teratur yang demikian mengalir dari pemahaman yang benar akan doktrin Buddhis tentang kamma, bahwa seseorang adalah apa adanya dia dikarenakan perbuatan dan hasil dari perbuatannya. Apabila seseorang sungguh-sungguh mencoba untuk menapak di atas jalan tersebut, maka kehidupan sehari-harinya harus merefleksikan hal itu. Dia menghindari pembunuhan makhluk hidup, mencuri, perbuatan seksual yang menyimpang, obat-obatan terlarang, minuman-minuman keras, dan ucapan bohong yang berbahaya, fitnah, kata-kata kasar, dan omong kosong.
Sikap Buddha terhadap obat-obatan dan minuman-minuman keras yang memabukkan adalah jelas dan sederhana: pantang sepenuhnya dari keduanya. Dan mengapa? Tujuan terdekat dari seorang umat Buddha perumah tangga adalah kebahagiaan dan keamanan, di sini dan sekarang — di dalam eksistensi di masa kini, sementara tujuan jauhnya adalah kedamaian dan keamanan abadi Nibbana dan, bersamanya, kebebasan dari kelahiran-kelahiran dan kematian-kematian yang berulang-ulang, dengan frustasi-frustasi, kekecewaan-kekecewaan, dan rasa sakit dari kehidupan yang sifatnya sementara. Nah, satu-satunya alat yang dimilikinya untuk mencapai kedua tujuan ini adalah senjata pikiran, yang, dengan panduan yang bijaksana dari ajaran-ajaran Buddha, dia secara bertahap belajar untuk menggunakannya dengan keterampilan, tanpa menyakiti dirinya sendiri ataupun yang lain. Dan salah satu jalan terbaik untuk merusak efisiensi dari instrumen mental yang berharga ini — untuk membuatnya tumpul, adalah dengan mengambil bagian dalam minuman-minuman keras dan obat- obatan. Bahkan ketika dikonsumsi dalam jumlah yang wajar, minuman- minuman keras dan obat-obatan ini memiliki pengaruh yang merugikan terhadap pikiran dan tubuh, serta terhadap karakter dan kualitas-kualitas moral. Di bawah efek-efeknya yang merusak, pikiran menjadi bingung, dan si peminum mengalami kesulitan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang asli dan yang palsu. Setelah Sikap Buddha terhadap obat-obatan dan minuman-minuman keras yang memabukkan adalah jelas dan sederhana: pantang sepenuhnya dari keduanya. Dan mengapa? Tujuan terdekat dari seorang umat Buddha perumah tangga adalah kebahagiaan dan keamanan, di sini dan sekarang — di dalam eksistensi di masa kini, sementara tujuan jauhnya adalah kedamaian dan keamanan abadi Nibbana dan, bersamanya, kebebasan dari kelahiran-kelahiran dan kematian-kematian yang berulang-ulang, dengan frustasi-frustasi, kekecewaan-kekecewaan, dan rasa sakit dari kehidupan yang sifatnya sementara. Nah, satu-satunya alat yang dimilikinya untuk mencapai kedua tujuan ini adalah senjata pikiran, yang, dengan panduan yang bijaksana dari ajaran-ajaran Buddha, dia secara bertahap belajar untuk menggunakannya dengan keterampilan, tanpa menyakiti dirinya sendiri ataupun yang lain. Dan salah satu jalan terbaik untuk merusak efisiensi dari instrumen mental yang berharga ini — untuk membuatnya tumpul, adalah dengan mengambil bagian dalam minuman-minuman keras dan obat- obatan. Bahkan ketika dikonsumsi dalam jumlah yang wajar, minuman- minuman keras dan obat-obatan ini memiliki pengaruh yang merugikan terhadap pikiran dan tubuh, serta terhadap karakter dan kualitas-kualitas moral. Di bawah efek-efeknya yang merusak, pikiran menjadi bingung, dan si peminum mengalami kesulitan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang asli dan yang palsu. Setelah
Akan tetapi, bagaimana dengan seorang umat Buddha yang, sebagai sebuah peraturan, menahan diri dari minuman-minuman beralkohol dan obat- obatan, namun terkadang menemukan dirinya berada dalam situasi sulit seperti ketika ditawarkan minuman keras di sebuah pesta oleh atasannya atau di sebuah acara penting? Haruskah dia menerima atau menolaknya? Setidaknya ada dua jalan yang mungkin untuknya: dia dapat dengan sopan menolak atas dasar pertimbangan kesehatan (yang dapat dibenarkan), dan sebaliknya meminta minuman yang tidak beralkohol sambil dengan penuh perhatian mencatat apa yang sedang terjadi, dan mencamkan di dalam pikirannya bahwa satu saja penyimpangan dari penghindaran total adalah membuka jalan, walaupun hanya sementara, pada kelengahan, kecerobohan, dan kebingungan mental. Alkohol merusak kemampuan untuk berpikir secara jernih, mengambil keputusan secara bijaksana, dan melakukan pekerjaan yang menuntut ketepatan. Apabila seorang umat Buddha perumah tangga, sambil membidik kesempurnaan yang absolut, sesekali menyeleweng, dan puas dengan sekadar nyaris, dia bebas untuk bertindak seperti itu — tapi dengan risiko beratnya sendiri.
Secara positif, umat Buddha perumah tangga baik hati dan welas asih kepada semua, jujur dan lurus, murni dan suci, sadar dan cermat di dalam pikirannya. Dia hanya berbicara yang benar, sesuai dengan fakta-fakta, manis, damai, dan membantu. Moralitas adalah sebuah pagar yang melindungi kita dari racun-racun dunia luar. Oleh karena itu, moralitas merupakan sebuah prasyarat untuk aspirasi-aspirasi spiritual yang lebih tinggi dan melalui moralitas tersebut, karakter seseorang bersinar. Pengembangan kepribadian Secara positif, umat Buddha perumah tangga baik hati dan welas asih kepada semua, jujur dan lurus, murni dan suci, sadar dan cermat di dalam pikirannya. Dia hanya berbicara yang benar, sesuai dengan fakta-fakta, manis, damai, dan membantu. Moralitas adalah sebuah pagar yang melindungi kita dari racun-racun dunia luar. Oleh karena itu, moralitas merupakan sebuah prasyarat untuk aspirasi-aspirasi spiritual yang lebih tinggi dan melalui moralitas tersebut, karakter seseorang bersinar. Pengembangan kepribadian
Dalam Sigalovada Sutta, Buddha menjelaskan kepada Sigala muda tentang hubungan timbal balik yang harus ada di antara anggota-anggota masyarakat. Secara singkat: orangtua harus menjaga anak-anak mereka, membimbing dan mendidik mereka; anak-anak harus menghormati orangtua mereka, melakukan tugas-tugas mereka dan mempertahankan tradisi-tradisi keluarga; guru-guru harus melatih dan mengajar murid-murid dengan cara yang tepat; dan murid-murid, pada gilirannya, harus rajin dan patuh; seorang suami harus baik, setia, dan menghormati istrinya, memenuhi kebutuhan- kebutuhannya dan memberinya tempat yang sesuai di dalam rumah tangga, dan istri, pada gilirannya, harus setia, pengertian, efisien, rajin, dan ekonomis dalam melaksanakan tugas-tugasnya; teman-teman harus murah hati, tulus, baik hati, dan membantu satu sama lain, serta sebagai sebuah pohon pelindung pada saat dibutuhkan; pengusaha harus memperhatikan karyawan-karyawannya, memberikan gaji-gaji yang memadai, memastikan kondisi-kondisi kerja yang memuaskan, dan karyawannya, pada gilirannya, harus bekerja dengan jujur, efisien, dan setia kepada majikannya; para umat perumah tangga harus menyokong dan menopang para bhikkhu dan orang- orang suci lainnya, yang, pada gilirannya, para bhikkhu dan orang-orang suci tersebut harus mencegah mereka dari berbuat jahat, menyemangati mereka untuk berbuat baik, membabarkan ajaran dan menunjukkan jalan menuju kebahagiaan.
Moralitas Buddhis didasarkan pada pemikiran dan perasaan. Seorang bhikkhu Buddhis melaksanakan pelayanan sosial ketika dirinya sendiri, meskipun tidak terlibat dalam kehidupan duniawi, mengajarkan Dhamma sehingga umat-umat perumah tangga menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan dengan demikian, mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan sosial, yang merupakan bentuk praktik yang ideal dari Empat Keadaan Luhur, Cinta Kasih, Welas Asih, Kegembiraan Simpatik, dan Keseimbangan Batin, di samping mempraktikkan keempat keadaan luhur ini dalam level- Moralitas Buddhis didasarkan pada pemikiran dan perasaan. Seorang bhikkhu Buddhis melaksanakan pelayanan sosial ketika dirinya sendiri, meskipun tidak terlibat dalam kehidupan duniawi, mengajarkan Dhamma sehingga umat-umat perumah tangga menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan dengan demikian, mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan sosial, yang merupakan bentuk praktik yang ideal dari Empat Keadaan Luhur, Cinta Kasih, Welas Asih, Kegembiraan Simpatik, dan Keseimbangan Batin, di samping mempraktikkan keempat keadaan luhur ini dalam level-
Akan tetapi, kerja sosial yang sejati harus berasal dari cinta sejati, simpati, dan pengertian terhadap sesama manusia, yang dituntun oleh pengetahuan dan pelatihan. Hal ini merupakan ekspresi yang hidup dari persaudaraan Buddhis.
Memupuk pengabaian tugas-tugas ini adalah sebuah masalah bagi diri kita masing-masing, tetapi pengamalannya tidak diragukan lagi akan mendorong berkembangnya hubungan-hubungan antar-pribadi yang lebih sehat, mengurangi ketegangan sosial dan sifat cepat marah, dan cukup banyak meningkatkan kebaikan sosial, stabilitas, dan harmoni.