KAJIAN TEORI: SEMIOTIKA, PERKEMBANGAN DAN PENERAPANNYA

BAB III KAJIAN TEORI: SEMIOTIKA, PERKEMBANGAN DAN PENERAPANNYA

A. MAKNA SEMIOTIKA Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial yang telah terbangun sebelumnya. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. 1

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh

kebudayaan sebagai tanda. 2 Van Zoest mendefinisikan semiotik sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan dengannya meliputi cara berfungsinya,

hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan cara penerimaannya bagi pemakainya. 3

Batasan lain tentang semiotik diungkapkan oleh Dick Hartoko yang menyatakan bahwa semiotik adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat, pembaca, atau masyarakat melalui tanda-tanda atau lambang-lambang. Batasan lain sebagaimana dikutip oleh Alex Sobur adalah batasan yang dikemukakan oleh Preminger bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Fenomena sosial dan budaya merupakan sistem tanda yang memiliki aturan- aturan atau konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda itu mempunyai

arti. 4 Definisi semiotika menurut beberapa ahli memang memiliki pengertian

yang bermacam-macam. Asal kata semiotika adalah seme dari bahasa Yunani

1 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, Bloomington: Indiana University, 1976, h. 16 2 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 6 3 Aart van Zoest, “Interpretasi dan Semiotika” dalam Sudjiman P. dan Aart van Zoest, Serba-serbi

Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 5 4 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, h. 96 Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 5 4 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, h. 96

sebagai homo semiotikus. 5 Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam

memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut ”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili

sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial 6 . Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dalam kedua istilah ini tidak terdapat

perbedaan yang substantif, tergantung di mana istilah itu populer. Dapat disimpulkan bahwa semua definisi mengenai semiotika yang dikemukakan oleh para ahli bahasa ataupun ahli filsafat memiliki benang merah yang sama yaitu ”tanda”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda.

Dalam bahasa Arab, istilah semiotik atau semiologi diartikan sebagai

) . Ahmad Mukhtar Umar menyebutkan bahwa semiotik adalah suatu ilmu yang mengkaji tanda, baik tanda

yang bersifat kebahasaan maupun tanda di luar bahasa. 8 Dalam dunia semiotika (ilmu tanda), seperti ungkap Saussure 9 , bahasa

dianggap sebagai “tanda” (sign) yang memiliki komponen signifier dan signifie. Melakukan analisis tentang tanda orang harus tahu benar mana aspek material dan

5 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 97

6 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 16.

7 A Committee of Arab Linguists, Dictionary of Modern Linguistic Terms, Beirut, 1983 8 Ahmad Mukhtar Umar, ‘Ilm al-Dalâlah, Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arubah li al-Nasyri wa al-

Tauzî’, 1982, h. 14 9 Aart van Zoest, “Interpretasi dan Semiotika” dalam Sudjiman P. dan Aart van Zoest, Serba-

serbi Semiotika, h. 2 serbi Semiotika, h. 2

Selain tanda, terdapat istilah lain yang seringkali dipersamakan, yaitu simbol dan lambang. Van Zoest berpendapat bahwa simbol adalah sesuatu yang dapat menyimbolkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, konvensional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak ada hubungan alamiah antara yang menyimbolkan dan yang simbolkan. Implikasinya berarti, baik yang batiniah (perasaan, pikiran, atau ide) maupun yang lahiriah (benda dan tindakan) dapat diwakili dengan simbol.

Tanda sering disamakan dengan simbol yang secara umum diartikan segala sesuatu yang menyatakan tentang sesuatu yang lain di luar dirinya. Sebagai

contoh adalah lampu lalu lintas yang berwarna merah memiliki arti yang ditangkap oleh pengguna jalan adalah berhenti dan bukan warna merah itu sendiri. Gerak tubuh atau ekspresi seseorang dalam satu kondisi tertentu juga merupakan sebuah tanda yang memiliki arti tertentu.

Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Lambang sebenarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambang tidak memberi tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna merah pada bendera sang merah putih merupakan lambang “keberanian”, dan putih lambang “kesucian”. Lambang bersifat konvensional. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan obyek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara.

Fatimah Djayasudarma memberikan batasan yang berbeda antara tanda dan simbol. Tanda muncul dengan berbagai jenisnya. Setiap tanda yang muncul memiliki hubungan langsung dengan kenyataan. Misalnya tanda yang dihasilkan oleh kejadian alam, tanda yang dihasilkan oleh gerak tubuh atau dikenal dengan bahasa tubuh, ataupun tanda yang dilambangkan dengan bentuk huruf atau Fatimah Djayasudarma memberikan batasan yang berbeda antara tanda dan simbol. Tanda muncul dengan berbagai jenisnya. Setiap tanda yang muncul memiliki hubungan langsung dengan kenyataan. Misalnya tanda yang dihasilkan oleh kejadian alam, tanda yang dihasilkan oleh gerak tubuh atau dikenal dengan bahasa tubuh, ataupun tanda yang dilambangkan dengan bentuk huruf atau

sebagai penanda (signifier) dan petanda (signifie). 10 Tanda bersifat terbatas sedangkan lambang berkembang cepat sesuai dengan

perkembangan pemikiran penutur bahasa yang bersangkutan. Tanda, meskipun bersifat konvensional tidak dapat diorganisasikan, tidak dapat direkam, dan tidak dapat dikomunikasikan seperti lambang.

Simbol atau lambang memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara manusia kemudian dapat dinyatakan secara tertulis mengan

menggunakan grafem-grafem tertentu. Lambang juga dapat diartikan sebagai unsur linguistik berupa kata atau kalimat yang tidak memiliki hubungan langsung dengan objek atau acuan. Hubungan yang terjadi selamanya adalah melalui pikiran dalam wujud konsep-konsep yang bersemayam dalam otak. Hubungan antara lambang dengan objek bersifat arbriter dan tidak ada alasan yang kuat

mengapa suatu konsep harus dilambangkan dengan deretan huruf tertentu. 11

B. PERKEMBANGAN SEMIOTIKA DAN PENERAPANNYA Seluruh kehidupan manusia diliputi oleh tanda. Dari komunikasi yang paling alamiah dan sederhana sampai kepada sistem budaya yang kompleks. Sebagai teori, semiotik mengalami perkembangan menjadi dua jenis, yaitu: semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pada produk tanda sedangkan signifikasi menekankan pada pemahaman atau pemberian makna. Produksi tanda mengharuskan adanya unsur pengirim informasi, penerima informasi, sumber, dan juga kode. Sedangkan pada

10 Fatimah Djajasudarma, Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco, 1993, h. 23

11 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, h. 56 11 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, h. 56

Dalam penerapannya sebagai ilmu, semiotika adalah metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili suatu pemikiran, pengalaman, gagasan atau ide, perasaan, dan lain sebagainya.

Setidaknya terdapat sembilan macam semiotik 13 yaitu:

1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat diartikan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang melekat pada lambang dan mengacu pada objek tertentu.

2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan akan

turun hujan. Sejalan dengan perkembangan teknologi telah banyak tanda diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Semiotik faunal, yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh binatang. Hewan menghasilkan sistem tanda untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Namun, kadang-kadang hewan juga menghasilkan sistem tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia.

4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus meneliti sistem tanda yang berlaku dalam budaya suatu masyarakat. Budaya masyarakat merupakan sistem tanda yang secara turun temurun dipertahankan dan dihormati yang dapat membedakannya dengan masyarakat yang lain.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Mitos dan cerita lisan seringkali memiliki nilai kultural yang tinggi sehingga dalam pembahasan persoalan semiotik naratif dimulai dengan nilai-nilai kultural.

12 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarya: Gajah Mada University Press, 2002, h. 40

13 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 29

6. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Contohnya adalah kerusakan alam yang disebabkan oleh ulah manusia yang ditandai dengan terjadinya banjir dan tanah longsor.

7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma atau aturan-aturan tertentu. Sebagai contoh adalah rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia berupa lambang. Lambang tersebut dapat berupa kata atau sekumpulan kata yang membentuk suatu kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial membahas sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

9. Semiotik struktural, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan dalam struktur bahasa.

Di dalam semiotik juga terdapat tiga aliran yang lain yaitu:

1. Aliran semiotika konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes. Aliran ini menelaah suatu tanda tidak hanya perpegang pada makna primer tetapi diupayakan untuk mendapatkan makna melalui makna konotasi. Ia mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak . Sedangkan makna konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan).

2. Aliran semiotika ekspansionis yang dipelopori oleh Julia Kristeva. Telaah yang digunakan pada aliran ini adalah konsep yang terdapat dalam linguistik ditambah dengan konsep yang berlaku dalam psikoanalisis dan sosiologi.

3. Aliran semiotik behavioris yang dipelopori oleh Charles Morris membahas bahasa sebagai sistem stimuli, respons yang jika ditelaah dari segi semiotik adalah persoalan sistem tanda yang berproses pada pengirim dan penerima.

Penerapan teori semiotika yang bersifat multidisiplin tersebut dapat diterapkan dalam segala macam tanda. Dalam bidang seni, semiotika dapat diterapkan dalam upaya menangkap makna baik seni lukis, patung, musik, tari, seni arsitektur, film, dan juga seni sastra. Landasan seni sastra adalah bahasa maka penerapan teori semiotika dalam ranah linguistik ini akan menduduki posisi

yang penting karena bahasa sangat kaya dengan tanda. 14 Disebabkan begitu luasnya cakupan, bidang dan objek kajiannya, semiotika

dapat disetarakan dengan theory of everything di dalam sains, yaitu sebuah teori yang dapat menjelaskan segala hal. Semiotika pada kenyataannya adalah sebuah

ilmu yang dapat menjelaskan apa pun, selama apa pun itu adalah sesuatu yang bermakna.

Selain sembilan pengelompokan bidang semiotika tersebut, lingkup semiotika dapat pula diterapkan dalam bidang semiotika hukum (legal semiotics), semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film, semiotika televisi, dan sebagainya. Semiotika teks (text semiotics) adalah salah satu cabang dari semiotika, yang secara khusus mengkaji penggunaan tanda-tanda dan kombinasinya di dalam teks. Teks itu sendiri mempunyai pengertian yang luas, sehingga selama sesuatu dibentuk dari seperangkat tanda-tanda, yang dikombinasikan dengan cara tertentu, maka ia dapat dikatakan sebagai teks.

Dalam perkembangannya, semiotik yang bergerak di wilayah bahasa berangkat dari seorang ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure mengemukakan pandangan bahwa linguistik merupakan bagian dari ilmu pengetahuan umum mengenai tanda. Saussure menyebutnya dengan istilah semiologi. Pada masa yang sama di Amerika muncul seorang filsuf, Charles Sanders Peirce (1834-1914) yang mengemukakan bahwa semiotik dipahami

14 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 40 14 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 40

semua komponen ke dalam struktur tunggal. 15 Pemahaman yang dikemukakan oleh Peirce menunjukkan bahwa semiotik

ingin membongkar bahasa secara keseluruhan dan kemudian menatanya kembali menjadi sebuah struktur. Langkah kerja seperti ini akan memungkinkan munculnya berbagai pemahaman akan struktur baru yang bergantung pada siapa yang membongkar objek tersebut. Peluang akan munculnya makna baru adalah sangat mungkin. Pada bagian ini sisi pragmatis dari seorang pemakai bahasa,

pembaca, atau pengkaji objek akan menjadi sangat dominan. 16 Pemahaman akan struktur ini berkaitan erat dengan strukturalisme yang

awal munculnya adalah sebagai paham filsafat. Dunia merupakan realitas yang berstruktur. Dalam bidang linguistik umum, secara historis, strukturalisme dimunculkan oleh Ferdinand de Saussure. Strukturalisme linguis berkembang lebih lanjut menjadi strukturalisme genetik dan berkembang lagi menjadi strukturalisme dinamik. Dalam pendekatan semiotik, strukturalisme dinamik berkembang menjadi telaah heuristik dan telaah hermeneutik. Heuristik adalah disiplin yang mempelajari metode-metode untuk menemukan dan mengkomunikasikan kebenaran atau fakta-fakta. Yang dimaksud dengan hermeneutik adalah bidang kajian filsafat yang memusatkan idang kajiannya pada persoalan pemahaman atas pemahaman (understanding of understanding) terhadap teks. 17

Cabang semiotika yang secara khusus mengkaji teks-teks keagamaan disebut semiotika teologis (theological semiotics), yang menjadi bagian dari

15 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 97 16 Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa semiotik mempunyai tiga

komponen sistem, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara pemakai bahasa dengan lambang yang digunakan dalam bahasa. (Aminuddin, Semantik Pengantar Studi Tentang Makna , h. 37)

17 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 105 17 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 105

keagamaan (religious sign) di dalam kehidupan keberagamaan manusia. Tanda- tanda ketuhanan ini menuntut sebuah kajian teks yang khusus, disebabkan terdapat pertalian antara tanda-tanda yang membentuk teks dengan dimensi kesucian. 19 Problematika semiotika teologis, adalah kontradiksi yang terbuka di

dalamnya antara kesucian sebuah teks dan kebebasan interpretasi yang dimiliki manusia sebagai makhluk berpikir.

C. BEBERAPA KONSEP SEMIOTIKA Dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teori semiotik adalah

Saussure dan Peirce. Kedua tokoh yang berasal dari dua tempat yang berbeda mengemukakan sebuah teori yang secara prinsip memiliki beberapa kesamaan. Saussure mempergunaan istilah semiologi sedangkan Peirce mempergunakan istilah semiotik untuk sebuah kajian yang menyangkut tentang tanda. Jika dilihat, akan tampak bahwa semiotik Saussure bersifat semiotik struktural dan semiotik model Peirce bersifat semiotik analitis. Adanya ketidaksamaan antara keduanya tampaknya lebih disebabkan oleh latar belakang keilmuan mereka. Saussure adalah seorang ahi bahasa sedangkan Peirce adalah seorang filosof. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Ia menyatakan dalam teorinya bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda. Peirce lebih memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting tetapi bukan yang utama.

Perkembangan semiotika hingga dewasa ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotik komunikasi lebih menekankan pada teori tetang produksi tanda, sedangkan semiotik signifikasi

18 Umberto Eco, The Name of the Rose, London: Picador, 1984, h. 11. 19 Winfried Noth, Handbook of Semiotics, Bloomington:Indiana University Press, 1995, h. 381.

lebih menekankan pemahaman atau pemberian makna pada suatu tanda. Dikemukakan oleh Eco bahwa produksi tanda dalam semiotik komunikasi mensyaratkan adanya pengirim informasi, penerima informasi, sumber, tanda- tanda, saluran, proses pembacaan, dan kode. Semiotik signifikasi tidak mempersoalkan produksi dan tujuan komunikasi melainkan menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses kognitif atau interpretasinya.

Dalam kajian ini akan dilihat teori yang dikemukakan oleh tiga orang tokoh semiotik yang cukup ternama yaitu Saussure, Peirce, dan Eco.

1. Teori Semiotik Saussure

Teori semiotik Saussure sebetulnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum sehingga istiah-istilah yang digunakan banyak meminjam istilah dan model linguistik. Hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh seorang Saussure yang mengilhami aliran ini, melainkan juga pada waktu mereka mengembangkan teori semiotik, linguistik struktural telah bekembang pesat. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda,menurut Saussure memiliki unsur yang tidak terpisahkan yaitu signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud signifiant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan sedangkan signifie (petanda) adalah unsur konseptual,

gagasan, ide, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut. 20 Misalnya kata ‘buku’ yang jika dituliskan akan terdiri dari rangkaian huruf

(lambang fonem). Kata buku dalam bayangan atau gagasan pendengar atau pembacanya menunjuk pada benda tertentu yang ada secara nyata. Tulisan b-u- k-u disebut sebagai penanda sedangkan buku (yang ada secara nyata) disebut sebagai petanda. Dalam teori Saussure dikemukakan bahwa meskipun keduanya (antara b-u-k-u dengan buku) dapat disebut sebagai dwitunggal, akan tetapi

20 M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, New York: Holt Rinehart and Winston, 1981, h. 171 20 M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, New York: Holt Rinehart and Winston, 1981, h. 171

Kenyataan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, mengandung arti bahwa bahasa memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan secara teratur sehingga bahasa dapat digunakan sebagai sarana komunikasi. Hal tersebut melandasi adanya teori linguistik modern (baca: strukturalisme) yang selanjutnya teori ini dijadikan landasan dalam kajian sastra. Dalam studi linguistik dikenal adanya tataran fonetik, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dalam kajian sastra juga dikenal aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik atau ada pula yang menyebutnya sebagai aspek stilistika, komposisi, dan tematik. Oleh karena

itu penerapan teori semiotik dalam karya sastra dapat dimulai dengan menggunakan tataran-tataran sebagaimana terdapat dalam kajian linguistik.

Bahasa sebagai aspek material dalam sebuah karya sastra telah memiliki konsep makna yang bergantung pada kesepakatan masyarakat pemakainya. Hal ini menyebabkan unsur bahasa tidak bersifat netral sepenuhnya meskipun tidak menutup kemungkinan makna tersebut dikreasikan juga oleh masyarakat pemakainya. Di sisi lain, sastra mempunyai konsepsi yang sedikit berbeda dengan bahasa. Dalam menuturkan sesuatu, sastra tidak langsung mengacu pada suatu makna tertentu sebagaimana dalam tataran linguistik. Namun, sastra lebih menunjuk kepada sistem makna pada tingkat kedua. Misalnya, dalam sastra digunakan lambang-lambang atau perbandingan-perbandingan, personifikasi atau metafora. Sehingga sebuah signifiant tidak hanya mengacu pada satu signifie melainkan juga mengacu pada signifie-signifie lain dengan kata lain, sebuah signifie menghasilkan signifie baru yang mewakili sesuatu yang lain.

21 Dikatakan arbitrer karena hubungan antara wujud formal bahasa dengan konsep atau sesuatu yang menjadi acuannya bersifat “semaunya” atau berdasarkan kesepakatan sosial masyarakat pemakai

bahasa tersebut. Antara keduanya tidak bersifat identik. Suatu masyarakat mungkin menggunakan kata lain untuk menunjuk pada acuan yang sama yaitu buku.

Saussure menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip dasar dalam semiotika .

1. Prinsip struktural. Tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material dan konseptual. Yang menjadi fokus penelitian adalah relasi antara unsur-unsur tersebut, karena dari relasi tersebut akan menghasilkan makna.

2. Prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material dengan bidang petanda.

3. Prinsip konvensional. Realsi antara penanda dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa

(tanda dan makna) di antara komunitas bahasa .

4. Prinsip sinkronik. Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil dan tidak berubah.

5. Prinsip representasi. Tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau referensinya .

6. Prinsip kontinuitas. Relasi antara sistem tanda dan penggunanya secara sosial dipandang sebagai sebuah kontinuitas, mengacu pada struktur yang tidak pernah berubah.

Menurut Saussure tanda memiliki tiga wajah yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptual yang dibentuk oleh aspek materil (signified). Hal terpenting yang dilakukan dalam melakukan analisis tentang tanda adalah mengetahui mana aspek material dan aspek mental dari sebuah tanda; karena tanda itu sendiri merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Hubungan antara signifier dan signified disebut sebagai signification. Dalam analisis semiotika yang dicari adalah berbagai hubungan yang menyatukan antara beberapa signified dan beberapa signifier dari berbagai unsur obyek tersebut. Hubungan antara beberapa signified dan signifier kemudian akan menghasilkan Menurut Saussure tanda memiliki tiga wajah yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptual yang dibentuk oleh aspek materil (signified). Hal terpenting yang dilakukan dalam melakukan analisis tentang tanda adalah mengetahui mana aspek material dan aspek mental dari sebuah tanda; karena tanda itu sendiri merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Hubungan antara signifier dan signified disebut sebagai signification. Dalam analisis semiotika yang dicari adalah berbagai hubungan yang menyatukan antara beberapa signified dan beberapa signifier dari berbagai unsur obyek tersebut. Hubungan antara beberapa signified dan signifier kemudian akan menghasilkan

Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa terdapat tiga macam hubungan tanda yaitu: - Hubungan simbolik. Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan

dirinya sendiri (internal). - Hubungan paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu sistem atau kelas - Hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmatik adalah hubungan tanda dengan

tanda lain dari satu struktur. Kedua jenis hubungan -paradigmatik dan sintagmatik- kemudian disebut

sebagai hubungan eksternal. Ketiga jenis hubungan tanda ini kemudian dijelaskan oleh Roland Barthes 22 melalui gagasannya tentang dua tatanan pertandaan. Tataran pertandaan pertama digambarkan dalam relasi di dalam tanda; antara signifier dan signified, atau yang Saussure sebut sebagai hubungan simbolik, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal; Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Pada tataran pertandaan yang kedua, tanda kemudian berinteraksi dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai kultural dimana tanda dan penggunanya berada. Barthes menyebutnya sebagai konotasi. Karena dipengaruhi oleh nilai kultural maka konotasi sebuah tanda akan berbeda dalam berbagai masyarakat. Hal ini membuat tanda bersifat arbiter dan spesifik pada kultur tertentu. Konotasi bekerja dalam level subyektif dan oleh sebab itu seringkali nilai konotatif dibaca sebagai fakta denotatif. Tujuan analisis semiotika adalah memberi metode analisis dan kerangka pikir untuk

22 Roland Barthes (1915-1980) adalah seorang penganut Saussure. Barthes merupakan pelopor aliran semiotik konotasi. Dalam menelaah sistem tanda, aliran ini tidak berpegang pada makna primer

tetapi berusaha mendapatkan makna melalui makna konotasi. (Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 102) tetapi berusaha mendapatkan makna melalui makna konotasi. (Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 102)

Salah satu teori Saussure yang dipakai secara luas di bidang kajian sastra adalah hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Maksudnya adalah kata-kata yang menyusun sebuah wacana, saling berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat linear dari bahasa yang tidak memungkinkan seseorang melafalkan dua unsur sekaligus. Di sisi lain, di luar wacana, kata-kata yang sama berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan dari tiap individu dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linear tersebut dinamakan hubungan sintagmatik, sedangkan hubungan yang bersifat asosiatif disebut hubungan

paradigmatik. Kedua model hubungan ini sering diterapkan dalam kajian fiksi ataupun puisi.

Hubungan sintagmatik lebih menunjukkan pada pengaluran yang relatif kronologis. Sistem alur semacam ini sering disebut dengan alur lurus yaitu alur yang bertumpu pada satu tokoh dan tidak ada intervensi dari alur lain. Pengaluran yang seperti ini tidak rumit dan merupakan salah satu dari ciri aliran realisme.

Sedangkan kalau dilihat dalam hubungan paradigmatik maka akan tampak kontras antara tokoh utama dengan tokoh-tokoh pelengkapnya. Hubungan antara tokoh utama dengan tokoh pelengkap lainnya menunjukkan kebiasaan, tata cara, adat, perilaku, ataupun nilai-nilai. Analisis hubungan paadigmatik ini menelaah unsur-unsur yang tidak hadir dalam teks yaitu hubungan antara nalar (gagasan) dengan simbol. Dasar dari analisis paradigmatik adalah makna konotasi karena unsur-unsur cerita adalah berupa tanda-tanda yang berasosiasi dengan pikiran pendengar atau pembaca. Tanda-tanda ini berupa nilai-nilai yang mempunyai sifat implisit sebagai pesan dari sebuah budaya masyarakat yang

melatarbelakangi munculnya sebuah karya. 23 Ketika mengkaji sebuah fiksi ataupun sebuah cerita, maka akan dapat

ditemukan adanya hubungan antara penanda dengan petanda yang sangat banyak

23 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 47 23 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 47

Setiap konsep bahasa atau aspek formal, kata dan kalimat, dapat dipastikan didahului dengan kehadiran konsep makna. Hubungan antara aspek formal

dengan aspek makna ini merupakan hubungan yang asosiatif atau hubungan antara aspek yang hadir dengan aspek yang tidak hadir. Kata dan kalimat dapat

dilihat kehadirannya dalam sebuah teks, akan tetapi makna tidak dapat dilihat dan hanya dapat diasosiasikan dalam gagasan pembaca atau pendengar. Hubungan seperti ini disebut dengan istilah hubungan in absentia.

2. Teori Semiotik Peirce

Teori semiotik Peirce menyatakan bahwa sesuatu itu dapat dikatakan sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda haruslah mewakili suatu objek atau dikenal juga dengan istilah referent. Fungsi utama tanda adalah ketika tanda itu mewakili objek acuannya. Proses pewakilan tanda terhadap objek acuannya ini terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili. Hal ini disebut Peirce sebagai interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) melaui sebuah interpretasi.

Proses pewakilan ini disebut semiosis. Semiosis adalah sebuah proses yang menempatkan tanda sebagai tanda yaitu tanda mewakili sesuatu yang ditandainya. Proses dasar dari semiosis adalah kognisi. Proses semiosis menuntut hadirnya unsur tanda, objek, dan interpretan secara bersamaan. Apabila ketiga Proses pewakilan ini disebut semiosis. Semiosis adalah sebuah proses yang menempatkan tanda sebagai tanda yaitu tanda mewakili sesuatu yang ditandainya. Proses dasar dari semiosis adalah kognisi. Proses semiosis menuntut hadirnya unsur tanda, objek, dan interpretan secara bersamaan. Apabila ketiga

Peirce membedakan hubungan antara tanda dengan objek acuannya ke dalam tiga jenis hubungan yaitu: ikon (hubungan kemiripan atau tanda suatu

bentuk yang dimengerti oleh kebanyakan orang karena menyerupai sesuatu), indeks (hubungan kedekatan eksistensi), dan simbol (hubungan yang sudah terbentuk karena adanya konvensi atau konsensus budaya). Tanda yang berupa ikon, misalnya berupa foto,peta geografis, ataupun penyebutan di awal (sebagai tanda sesuatu yang dipentingkan). Tanda yang berupa indeks, misalnya asap menandakan adanya api, wajah yang murung menandakan hati yang sedang sedih. Sedangkan tanda yang berupa simbol mencakup berbagai hal yang ada berdasarkan konvensi sebuah masyarakat pemakainya. Antara tanda dengan objek acuannya tidak memiliki hubungan kemiripan maupun hubungan kedekatan eksistensi ataupun hubungan sebab akibat, tetapi semata-mata karena adanya konvensi atau kesepakatan. Misalnya warna putih menandakan sesuatu yang suci, lampu lalu lintas berwarna hijau menunjukkan tanda boleh berjalan bagi kendaraan. Bahasa merupakan simbol yang paling lengkap karena tanda berfungsi sebagai sarana untuk berpikir dan berasa.

Masih ungkap Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk tanda. Seperti dikutip Sobur, 24

24 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 109 24 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 109

Dalam sebuah karya sastra ketiga jenis tanda tersebut kerap hadir secara bersamaan yang sulit untuk dipisahkan. Dalam kajian semiotik kesastraan, pemahaman dan penerapan konsep ikonisitas memberikan sumbangan yang berarti. Peirce membedakannya dalam tiga macam ikon, yaitu ikon topologis,

diagramatik, dan metaforis. Ketiganya dapat muncul secara bersamaan dalam sebuah teks akan tetapi tidak dapat dipilahkan tentang berbagai hal yang

menunjukkan kemunculannya. 25

3. Teori Semiotik Eco

Definisi semiotik yang digunakan Eco 26 adalah definisi Saussure dan Peirce. Menurut Saussure, tanda memiliki dua dua entitas, yaitu signifier dan

signifie atau tanda dan makna, atau penanda dan petanda. Jika dua entitas tersebut yaitu penanda dan petanda dihubungkan atas dasar sistem yang dinamakan langue, maka semiotik Saussure akan mengarah sebagai semiotik signifikasi. Menurut pandangan Eco, Saussure belum memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian petanda karena Saussure baru sampai pada imaji

25 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h 14-15 26 Umberto Eco dilahirkan di Italia pada tahun 1932. Karya yang ditulis olehnya selain A Theory

of Semiotics diantaranya adalah dua buah novel yang cukup terkenal yaitu The Name of the Rose, dan Foucault Pendulum . Novel The Name of the Rose dapat dikategorikan sebagai novel semiotis khususnya semiotika teologis. Problem semiotis yang diangkat oleh Eco di dalam The Name of the Rose adalah konflik antara penanda transendental (transendental signified) dan interpretasi bebas (open interpretation), antara ayat tuhan dan tafsiran manusia, antara Kitab Suci (Divine Book) dan filsafat, antara strukturalisme-teologis dan postrukturalisme anti teologis, antara langue dan parole, antara logos (kebenaran akhir) dan gram (interpretasi tanpa akhir), antara Being dan Becoming, antara yang sakral dan yang profan. Pertentangan antara yang mempertahankan tradisi, dogma, dan orang- orang yang menginginkan perubahan, kekebasan dan interpretasi of Semiotics diantaranya adalah dua buah novel yang cukup terkenal yaitu The Name of the Rose, dan Foucault Pendulum . Novel The Name of the Rose dapat dikategorikan sebagai novel semiotis khususnya semiotika teologis. Problem semiotis yang diangkat oleh Eco di dalam The Name of the Rose adalah konflik antara penanda transendental (transendental signified) dan interpretasi bebas (open interpretation), antara ayat tuhan dan tafsiran manusia, antara Kitab Suci (Divine Book) dan filsafat, antara strukturalisme-teologis dan postrukturalisme anti teologis, antara langue dan parole, antara logos (kebenaran akhir) dan gram (interpretasi tanpa akhir), antara Being dan Becoming, antara yang sakral dan yang profan. Pertentangan antara yang mempertahankan tradisi, dogma, dan orang- orang yang menginginkan perubahan, kekebasan dan interpretasi

mental yang berhubungan dengan pikiran manusia. 27 Simpulan dari Saussure secara implisit tanda dianggap sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia

yang disengaja dan bertujuan untuk menyatakan suatu maksud tertentu. Dalam pandangan Eco, definisi yang dikemukakan oleh Peirce lebih luas dan secara semiotis lebih berhasil. Bagi Peirce, semiotik adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence), atau kerja sama tiga subjek yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Tiga entitas dalam lingkup

pengertian yang diberikan oleh Peirce bukanlah mengacu pada subjek manusia dan tidak dipengaruhi oleh kebiasaan berkomunikasi secara kongkrit. Menurut

Peirce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat memiliki arti bagi seseorang jika diperantarai oleh interpretan. 28

Eco sepakat dengan Peirce dalam mengartikan interpretan sebagai suatu peristiwa psikologis dalam pikiran interpreter dan harus dipahami secara non- antropomorfis. 29 Apabila semiotik dibatasi hanya pada tindak komunikasi saja

maka jelas bahwa gejala dan perilaku manusia, baik disadari atau tidak disadari, mustahil dapat dianggap sebagai tanda. Menurut Eco:

Since such authors maintain that they are solely concerned with communication, they have the right to exclude a lot of phenomena from the set sign. Instead of denying that right I would like to defend the right to establish a semiotic theory able to take into account a broader range of sign- phenomena. 30

27 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 15 28 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 15 29 Antropomorfis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengenaan ciri-ciri

manusia pada binatang atau benda mati. (Tim Penyusun:Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, Cet-2, 1989. Dalam kamus Linguistik disebutkan bahwa pengertian antropomorfisme adalah metafora berupa pemakaian kata atau bentuk lain yang bersangkutan dengan manusia untuk objek atau konsep yang bukan manusia, misal: mulut sungai. (Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Edisi Ketiga, Cet-1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h.15)

30 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 16

Karena beberapa penulis semata-mata fokus pada komunikasi, mereka seakan-akan berhak memisahkan begitu banyak gejala dari seperangkat tanda. Mengingat hal itu, saya berusaha menyusun teori semiotik dengan memperhitungkan sejumlah gejala tanda yang lebih luas .

Menurut Eco terdapat sembilan belas bidang yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan kajian semiotik, yaitu zoo-semotic (semiotik binatang/masyarakat nonhuman), alfactory sign (tanda-tanda penciuman), tactile communication (komunikasi rabaan), codes of taste (kode-kode cecapan), paralinguistics (paralinguistik), medical semiotics (semiotik medis), kinesics and proxemics (kinesik dan proksemik), musical codes (kode-kode musik), formalized languages (bahasa yang diformalkan), written languages, unknown alphabets,

secret codes (bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia), natural languages (bahasa alam), visual communication (komunikasi visual), systems of objects (sistem objek). 31

D. PENDEKATAN SEMIOTIKA DALAM KARYA SASTRA Pada awalnya, sastra dikenal melalui penuturan dari mulut ke mulut. Sastra pada tahap ini sering disebut sebagai sastra lisan. Namun kini jika kita berbicara mengenai sastra maka identik dengan teks. Maka kajian terhadap sastra tidak dapat dipisahkan dari kajian teks. Meskipun demikian antara teks sastra dan teks pada umumnya tetap memiliki perbedaan. Perbedaan antara teks secara umum dengan teks sastra memang tidak dapat dirumuskan secara jelas karena keduanya sama- sama memiliki unsur kata, kalimat, dan makna.

Tentang definisi sastra, para ahli banyak mengemukakan dengan bahasa yang berbeda. Namun, jika ditelaah lebih lanjut memiliki satu pemahaman yang tidak jauh berbeda. Dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Akar kata sastra adalah sas yang berarti mengarahkan atau mengajar, memberi petunjuk, akhiran tra berarti alat atau sarana. Maka sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku intruksi. Kata susastra baru muncul

31 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 9-14 31 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, h. 9-14

Dalam bahasa Arab, istilah sastra disepadankan dengan kata adab. Kata adab dalam arti sempit berarti susastra, dalam makna yang lebih luas adab dapat diartikan sebagai budaya. Selain kata adab, ada beberapa kata yang menunjuk pada sastra tertentu misalnya kata qasidah dan syi’r. 32

Sebuah karya sastra, dibangun oleh susunan kata atau bahasa yang sarat oleh simbol atau tanda. Pemilihan kata (diksi) menyimpan makna konotatif yang memungkinkan diinterpretasikan berdasarkan tanda-tanda yang ada di dalamnya. Tanda bahasa dalam karya sastra sangat banyak. Simbol dapat dianalisis melalui

suku kata, kata, kalimat, alinea, bab, dan seterusnya, bahkan dapat juga dianalisis melalui tanda baca dan huruf.

Dalam kaitannya dengan strukturalisme, karya sastra dinyatakan sebagai sebuah konstruksi dari unsur tanda-tanda. Makna yang tepat muncul dari keterkaitan antar struktur dalam karya sastra tersebut dan aspek struktur inilah yang menjadi ojek kajian dalam strukturalisme semiotik. 33

Dapat pula dikutip sini pendapat Komarudin Hidayat yang menyatakan bahwa bidang kajian semiotik atau semiologi 34 adalah mempelajari fungsi tanda

dalam teks, yaitu bagaimana sebuah tanda yang terdapat dalam teks akan membimbing pembacanya agar dapat menangkap pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain seorang pembaca dapat memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan dalam teks melalui interogasi (penelaahan) terhadap kode-kode atau tanda-tanda yang dipasang oleh pengarang atau penulis. 35

32 A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, Jakarta: Pustaka Jaya, 2003, h. 21 33 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 105 34 Tidak ada pembedaan atas istilah semiotik dan semiologi, yang membedakannya hanyalah

penggunaan terminologi tersebut. Semiotik digunakan pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanderss Peirce sedangkan semiologi digunakan pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure

35 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 163-164

Pendekatan semiotik dalam karya sastra berawal dari asumsi bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri dan dunia tersendiri yang sengaja dihadirkan oleh pengarang di hadapan pembaca. Di dalam karya sastra tersebut terkandung potensi komunikatif yang ditandai dengan adanya lambang-lambang kebahasaan yang khas yang mengandung nilai-nilai keindahan. Pendekatan semiotik secara lebih rinci digambarkan konsep dan kriterianya sebagai berikut:

1. Karya sastra menurut pandangan semiotik memiliki sistem sendiri yang berupa sistem tanda. Tanda dalam karya sastra memiliki potensi besar menimbulkan banyak interpretasi. Teks sastra bersifat otonom yang tidak terikat acuan atau fakta apapun di luar teks.

2. Pendekatan semiotik mempunyai pertalian dengan pendekatan struktur dan pendekatan stilistika. Dengan pendekatan struktural, pendekatan semiotik

merupakan lanjutan atau pengembangan pendekatan struktural yang menekankan analisis unsur formal yang membangun karya sastra. Pendekatan stilistika lebih menekankan kepada masalah kebahasaan sedangkan pendekatan semiotik lebih luas karena menyangkut semua sistem tanda yang terkait dengan sistem sastra.

3. Dalam melihat karya sastra, semiotik tidak hanya terbatas pada sosok karya sastra itu saja tetapi juga menghubungkannya dengan sistem yang berada di luarnya. Sistem yang berada di luara karya sastra adalah semua anasir, data,

fenomena yang mereaksi bagi kelahiran karya sastra tersebut. 36 Beragam cara ditawarkan dalam menganalisis sastra secara semiotis. Cara

yang paling umum adalah yang ditawarkan oleh Wellek dan Warren yaitu analisis melalui dua tahapan, intrinsik (mikrostruktur) dan ekstrinsik (makrostruktur). 37

Cara yang lain adalah yang ditawarkan oleh Abrams yang memberikan sebuah kerangka (framework) dengan menggabungkan empat pendekatan kritis terhadap karya sastra yaitu:

36 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1990, h. 87 37 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hal. 104

1. Pendekatan objektif atau pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sendiri.

2. Pendekatan ekspresif yang menitikeratkan kepada pengarang.

3. Pendekatan mimetik yang menitikberatkan pada kesemestaan atau menghubungkan suatu karya sastra dengan fakta atau realitas yang membentukya.

4. Pendekatan pragmatik yang menitikberatkan pada pembaca. Sebuah karya sastra yang baik dapat memberikan efek atau pengaruh kepada pembacanya. 38

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian menggunakan pendekatan semiotik adalah sebagai berikut

1. Tidak membawa suatu sistem karya sastra yang lain sebagai bahan acuan atau ukuran. Sebagai langkah awal, objek kajian harus dibaca dan dipahami untuk

menemukan sesuatu yang khas. Pengalaman yang telah tersimpan, sebaiknya tidak secara langsung digunakan sebagai tolak ukur. Dengan semiotik, yang akan dilihat adalah keunikan dan kekhasan dari karya tersebut.

2. Bila pemahaman terhadap teks yang dikaji telah menyeluruh maka selanjutnya diadakan analisis yang lebih terperinci menyangkut teknik, gaya, dan kekuatan-kekuatan atau keistimewaan-keistimewaan yang menjadikan objek kajian itu memiliki sistem sendiri.

3. Langkah berikutnya adalah mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh karya sastra tersebut dengan sistem dan dibandingkan dengan sistem yang

berada di luarnya. 39 Teks sastra secara keseluruhan memiliki ciri-ciri indeksikal 40 karena teks berhubungan dengan dunia yang disajikannya. Mengacu pada teori Peirce, sebuah teks paling tidak terdiri atas tiga sisi indeksikal yaitu pengarang sebagai ciri komunikasi, dunia nyata sebagai ciri nilai-nilai pengetahuan, dan pembacanya

38 A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, hal. 43 39 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, h. 88 – 89. 40 Indeks dalam istilah linguistik berarti perbandingan antara unsur-unsur tertentu dalam bahasa

yang dapat dipakai untuk membandingkan dan mengklasifikan bahasa. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Edisi III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 81 yang dapat dipakai untuk membandingkan dan mengklasifikan bahasa. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Edisi III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 81

disajikan oleh pengarang. 41 Jika dikaitkan dengan teks sebagai unsur karya sastra, sebagai indeksikal

mikro maka dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu: indeks dalam kaitannya dengan dunia luar teks, indeks dalam kaitannya dengan teks lain atau intertekstual, dan indeks dalam kaitannya dengan teks di dalam teks atau intratekstual.

Apabila dilihat dengan menggunakan konsepsi struktural, maka secara umum suatu karya sastra akan mengandung beberapa unsur, yaitu tema, tokoh,

alur atau plot, dan setting atau latar. 42 Nurgiyantoro membagi unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra menjadi enam unsur yaitu: plot atau alur, tokoh,

latar atau setting, sudut pandang, bahasa atau dialog, dan moral atau pesan. 43

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual. Analisis unsur-unsur mikroteks tersebut misalnya adalah berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Namun, analisis struktural dapat juga berupa analisis fungsi dan hubungan antara unsur latar waktu, tempat, dan sosial budaya dalam analisis latar. Meskipun karya sastra bersifat otonom, akan tetapi sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan

dari latar belakang sosial budaya atau latar belakang kesejarahannya. 44 Pengelompokan unsur-unsur karya sastra tersebut sejalan dengan unsur-

unsur kisah seperti yang dikemukakan oleh Khalafullah. Namun, unsur setting atau latar tempat dan waktu jarang sekali secara spesifik disebutkan dalam Alquran. Selain itu, yang membedakan antara unsur kisah pada karya sastra

41 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, h. 115 42 Zainuddin Fanani, Telaah Sastra, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000, h. 83 43 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 37 44 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 38-39 41 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, h. 115 42 Zainuddin Fanani, Telaah Sastra, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000, h. 83 43 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 37 44 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 38-39