ANALISIS SEMIOTIK PADA AYAT-AYAT YANG MENGKISAHKAN IBRAHIM A.S.

BAB IV ANALISIS SEMIOTIK PADA AYAT-AYAT YANG MENGKISAHKAN IBRAHIM A.S.

A. STRUKTUR YANG MEMBANGUN KISAH IBRAHIM DALAM ALQURAN Pengertian kisah sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya didefinisikan sebagai mengikuti jejak atau menelusuri bekas, atau cerita/kisah. 1

Kata al-Qashsh (kisah) adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja qashsha, yaqushshu.

Pengertian qashash al-Qur’ân menurut istilah adalah kisah-kisah dalam Alquran yang menceritakan ihwal umat-umat terdahulu, para nabi, dan peristiwa-

peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Sebetulnya kalau mau dirunut lagi lebih ke belakang secara literal, kata qashsha itu artinya adalah menggunting. Jadi kisah itu sebetulnya semacam konstruksi yang dibangun berdasarkan guntingan-guntingan. Alur atau plot cerita yang membentuk suatu bangunan. Jadi pada dasarnya kisah itu adalah memang konstruksi.

Di dalam kata kisah itu terdapat dimensi susunan. Susunan itu artinya adalah ada tindakan menyusun secara sengaja dan di dalam tindakan menyusun itu tersangkut di dalamnya secara sengaja orang membuat suatu cerita, memasukkan suatu unsur, dan sekaligus mengeluarkan unsur yang lain. Jadi, ada sesuatu yang dimasukkan dan dibuang. Sebuah kisah bukanlah suatu cerita yang menyeluruh tentang suatu fakta tetapi suatu fakta yang dibentuk kembali. Itulah yang ditunjuk oleh kata qishshah. Jadi, kisah itu adalah guntingan dan jika terdapat guntingan maka ada editing. Ada sesuatu yang dimasukkan untuk disusun dan ada yang dikeluarkan dari susunan karena dianggap tidak diperlukan.

1 Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tanpa penerbit, 1990 h. 305

Alquran di dalam menyusun suatu kisah, – atau hampir semua kisah-kisah dalam Alquran – merupakan konstruksi. Suatu susunan yang dibangun secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan tidak semata-mata dimaksudkan sebagai penceritaan ulang mengenai sesuatu yang berlangsung di masa lampau. Dengan kata lain kisah-kisah dalam Alquran memang dari awal tidak diniatkan sebagai rekaman historis. Dan penggunaan kata qashsha, yang artinya menggunting itu, secara semantik dipakai dengan kesadaran penuh bahwa sebetulnya kisah-kisah yang ditunjukkan dalam Alquran itu bukan semata-mata menceritakan secara historis kejadian masa lampau tetapi konstruksi yang memang disengaja dipakai untuk mencapai suatu message atau pesan tertentu.

Unsur-unsur kisah sebagai sebuah sastra yang akan dibahas pada bab ini adalah sebagai berikut:

1. Tema

Tema merupakan dasar kisah yang paling penting dari seluruh kisah. Tema adalah ide, gagasan, tujuan kisah, atau ide pokok yang merupakan

patokan untuk membangun suatu kisah yang melatarbelakanginya 2 . Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, cinta, serta tradisi yang

terkait dengan kehidupan masyarakat karena tema merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Tanpa tema, sebuah kisah tidak ada artinya sama sekali. Dengan kata lain, tema adalah suatu unsur yang memandu seorang pengarang ke mana sebuah cerita akan diarahkan. Dalam kasus kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran, yang dimaksud dengan pengarang adalah penyusun plot- plot atau unsur-unsur kisah. Penyusun di sini, mengangkat tema atau pesan- pesan moral yang terkandung dalam kisah tersebut. Robert Stanton menempatkan tema sebagai pusat dalam cerita, atau disebut juga sebagai ide

pusat . Tema juga berarti makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita 3 .

2 Zainuddin Fanani, Telaah Sastra, h. 84 3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarya: Gajah Mada University Press, 2002,

h. 67.

Oleh karena itu, tema menjadi salah satu unsur dan aspek cerita yang memberikan kekuatan dan sekaligus sebagai unsur pemersatu kepada sebuah fakta dan alat-alat penceritaan, yang mengungkapkan tentang kehidupan.

Tema dapat diolah berdasarkan suatu motif tertentu yang terdiri dari objek, peristiwa kejadian dan sebagainya. Tema juga dapat berupa gagasan, fikiran atau persoalan utama yang mendasari sesebuah karya sastra dan terungkap secara langsung (eksplisit) atau tidak langsung (implisit). Tema dalam sebuah cerita tidak dapat dilihat sepenuhnya sehingga cerita itu selesai dibaca.

Selain itu, tema dapat pula ditangkap melalui perwatakan tokoh dalam sebuah cerita, peristiwa, kisah, suasana, dan unsur lain seperti nilai-nilai

kemanusian dan kemasyarakatan yang terdapat dalam cerita atau melalui persoalan-persoalan yang disuguhkan dan kemudian mendapatkan pokok persoalannya secara keseluruhan.

Tema tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dalam masalah kehidupan. Akan tetapi tema tidak sama dengan masalah. Tema adalah suatu (hal) yang berkaitan dengan pandangan, pendapat, ataupun sikap pengarang (penyusun kisah) tentang suatu masalah, sedangkan masalah adalah sesuatu hal yang harus diselesaikan. Sebuah tema pada dasarnya merupakan abstraksi dari suatu masalah. Oleh karena itu, tema sebuah karya sastra haruslah diabstraksikan dari masalah utama yang diungkapkan pengarang (penyusun kisah) dalam karyanya.

Memahami tema sebuah cerita tidaklah mudah ditunjukkan, apalagi tema sebuah kisah yang bersumber dari kitab suci. Memahami sebuah tema kisah, apapun sumbernya haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui data-data atau unsur-unsur pembangun kisah yang lain seperti alur atau plot, penokohan, dan seting. Dalam kenyataannya ada banyak makna yang terkadung dalam sebuah cerita atau kisah. Dari sini harus ditentukan makna khusus mana yang dapat dijadikan sebuah tema, atau jika berbagai makna Memahami tema sebuah cerita tidaklah mudah ditunjukkan, apalagi tema sebuah kisah yang bersumber dari kitab suci. Memahami sebuah tema kisah, apapun sumbernya haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui data-data atau unsur-unsur pembangun kisah yang lain seperti alur atau plot, penokohan, dan seting. Dalam kenyataannya ada banyak makna yang terkadung dalam sebuah cerita atau kisah. Dari sini harus ditentukan makna khusus mana yang dapat dijadikan sebuah tema, atau jika berbagai makna

Dalam kasus kisah Ibrahim a.s terdapat beberapa makna atau pesan yang terkandung di dalamnya. Kesatu, keimanan akan keesaan mutlak Dzat Pencipta yaitu Allah swt. serta agama yang hanîf. Pada tema ini, Ibrahim a.s. mempertanyakan manfaat patung bagi kehidupan manusia kepada bapaknya dan pencarian Ibrahim a.s. akan hakikat Allah melalui penalaran premis dari pengamatannya terhadap fenomena alam semesta. Di samping itu juga peristiwa perdebatan antara Ibrahim a.s. dengan Namrud. Kedua, keteguhan

dan pengakuan Ibrahim a.s. akan keesaan Allah (tauhid) sebagai wujud keimanannya kepada Allah swt. Ketiga, pengorbanan melaksanakan perintah

Allah untuk menyembelih puteranya, yang telah dinanti-nantinya selama ± 80 tahun. Keempat, kesabaran dan ketabahan Ismail as. menerima perintah Allah swt. dalam melaksanakan penyembelihan atas dirinya serta kesabaran dan ketabahan Hajar ketika mengasuh Ismail as. ketika masih bayi dan ditinggal Ibrahim a.s. dan Kelima, perintah Allah swt. kepada Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. untuk membangun Kakbah sebagai rumah Allah swt., sekaligus sebagai pusat peribadatan seluruh umat manusia.

Menilik kriteria bahwa makna utama atau tema pokok (major) bersifat merasuki atau mempengaruhi keseluruhan cerita, maka harus ditentukan makna manakah dari kelima tema di atas yang mempengaruhi keseluruhan jalannya cerita. Perintah Allah swt. kepada Ibrahim a.s. untuk melaksanakan “ritual” kurban menyembelih puteranya dan kepasrahan Ismail as. menerima perintah tersebut, jelas bukan makna pokok, karena tidak mempengaruhi keseluruhan jalannya cerita. Begitupun dengan pengabdian ayah dan anak dalam membangun Kakbah. Sedangkan kesabaran serta ketabahan Hajar dan Ismail a.s. menurut hemat penulis juga bukan makna pokok karena tidak Menilik kriteria bahwa makna utama atau tema pokok (major) bersifat merasuki atau mempengaruhi keseluruhan cerita, maka harus ditentukan makna manakah dari kelima tema di atas yang mempengaruhi keseluruhan jalannya cerita. Perintah Allah swt. kepada Ibrahim a.s. untuk melaksanakan “ritual” kurban menyembelih puteranya dan kepasrahan Ismail as. menerima perintah tersebut, jelas bukan makna pokok, karena tidak mempengaruhi keseluruhan jalannya cerita. Begitupun dengan pengabdian ayah dan anak dalam membangun Kakbah. Sedangkan kesabaran serta ketabahan Hajar dan Ismail a.s. menurut hemat penulis juga bukan makna pokok karena tidak

Maka yang paling mungkin dijadikan tema/ makna pokok pada kasus kisah Ibrahim a.s. adalah konsep keimanan tentang keesaan Allah swt. (tauhid) berdasarkan ilmu dan bukan hanya berdasarkan taqlid. Karena hanya tema inilah yang mempengaruhi tema-tema lainnya. Ajaran tauhid membutuhkan keteguhan dan pengakuan yang tulus (hanîf) akan hakikat Allah swt., tidak penuh dengan kepura-puraan. Pengorbanan menjalankan perintah-perintahNya tidak cukup jika tidak didukung keluarganya yang sabar dan tabah sebagaimana ditunjukkan Hajar dan Ismail a.s. Konsekuensi atas

seluruh sikap tersebut di atas, maka diperlukan rumah Allah swt. sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya serta meninggalkan monument terpenting dan

terluhur bagi keturunan-keturunannya. Inilah inti dari agama yang hanîf . Dalam beberapa ayat disebutkan frase

$ ÿ Z ‹ ÏZ m y t Lì Ïdº t • ö / ) Î s ' # © ÏB….. frase tersebut berdampingan dengan

ûü Ï. Î Ž ³ ô R ç ù Q $ # z ` ÏB b t % . x $ B t r u

Dengan adanya dua frase yang disebut secara berulang dan secara berdampingan dan memiliki makna yang berlawanan maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tema pokok dalam kisah Ibrahim ini adalah keimanan yang sungguh-sungguh dan tidak mempersekutukan Allah swt. dengan siapapun dan dengan apapun.

Disamping itu dapat pula dijabarkan bahwa frase

Lì Ïdº • t ö / ) Î ' s # © ÏB….. dalam ayat ini dapat dikategorikan sebagai sebuah langue dalam tataran

semiotik yang dikemukakan oleh Saussure. Langue di sini merupakan kumpulan kata atau elemen bentuk yang memiliki makna berdasarkan semiotik yang dikemukakan oleh Saussure. Langue di sini merupakan kumpulan kata atau elemen bentuk yang memiliki makna berdasarkan

Hubungan semiotik yang terjadi dalam contoh ini adalah yang disebut dengan hubungan paradigmatik. Dikatakan demikian karena hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan unsur yang tidak

hadir. 4 Millah merupakan signifier yang mengacu pada signifie. Sifat implisit yang terkandung di dalamnya adalah penghambaan diri kepada Allah swt.

yang menciptakan seluruh alam. Kaitannya dengan budaya pada waktu itu adalah tradisi kaum Ibrahim a.s. yang secara turun temurun melakukan penyembahan terhadap berhala ataupun benda-benda langit. Millah merupakan simbol tauhid yang diperkuat oleh kata selanjutnya yaitu hanîf.

Kriteria lain yang dapat dijadikan acuan dalam membentuk atau mengambil tema pokok adalah melalui beberapa pertanyaan seperti: Apa permasalahan yang dihadapi? Bagaimanakah perwatakannya? Bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? Apa dan bagaimana cara yang dipikir, dirasa dan dilakukannya serta bagaimana keputusan yang

diambil? 5 Jika menilik kriteria ini, maka akan menghasilkan kesimpulan yang sama bahwa tema pokok dari kisah Ibrahim as. adalah kemurnian ajaran

Tauhid serta agama yang hanîf. Alquran memberikan gambaran perihal tema pokok kisah Ibrahim a.s. dengan istilah p Z ‹ u Ï % $ t / O p J y Î = x . (kalimat tauhid). [Q.S. 43:28].

Menurut Al-Zujaj, Z p ‹ u Ï % $ t / O p J y Î = x . disini adalah tauhid (lâ ilâha illa Allâh)

4 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 47 5 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 85.

yang abadi pada anak keturunan Ibrahim a.s. yang tetap mengesakan Allah swt. 6 Maksudnya Ibrahim a.s. menjadikan kalimat tauhid sebagai pegangan

bagi keturunannya yang abadi hingga akhir zaman, dan kalau terdapat di antara mereka yang mempersekutukan-Nya, mereka mau kembali kepada tauhid itu.

Untuk menyebut agama Ibrahim a.s. digunakan kata ' © # ÏB dan bukan menggunakan kata dîn. Kata ' © # ÏB , terambil dari kata yang berarti mengimla’-

kan , yakni membacakan kepada orang lain agar ditulis olehnya. Kata ini seringkali dipersamakan dengan kata dîn/ agama. Ini karena agama atau millah adalah tuntunan-tuntunan yang disampaikan Allah swt., bagaikan sesuatu yang di-imla’kan dan ditulis, sehingga sama sepenuhnya dengan apa yang disampaikan itu. Penggunaan kata millah selalu dikaitkan dengan nama penganjurnya, yang dalam ayat ini dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. Di sisi lain, biasanya kata millah tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan keseluruhan ajaran agama, tidak dalam rinciannya, sedang kata dîn digunakan, di samping untuk keseluruhan ajaran juga dapat untuk rinciannya.

Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. dipersamakan dengan millah Ibrahim, karena prinsip-prinsip ajaran Islam sama dengan prinsip-prinsip ajaran Nabi Ibrahim as., yaitu tauhid, kesesuaian dengan fitrah, moderasi, penegakkan hak dan keadilan, keramahtamahan atau perdamaian dan lain-lain. 7

Jika dilihat, proses dakwah yang dilakukan oleh Muhammad saw. tampak sebagai potret dari proses dakwah yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. Pada masanya, Ibrahim a.s. menghancurkan berhala, Muhammad juga menghancurkan berhala-berhala yang diletakkan di sekitar kakbah. Ibrahim a.s. membangun kakbah bersama putranya, Ismail a.s., pada masa Muhammad saw. dilakukan peletakan hajar aswad yang merupakan bagian dari kakbah.

6 Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Juz. 12, Beirut: Dâr Ihya’ Al-Turâts Al-‘Arabi, h. 148. 7 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol 4, Cet. III, Jakarta: Lentera Hati, 2005, h. 368

Ibrahim melakukan perenungan saat mencari hakikat Tuhan, demikian pula Muhammad saw.melakukan perenungan di gua Hira’ ketika hatinya mulai gundah, hingga akhirnya Allah swt.mengutus Jibril untuk menemuinya dan menurunkan firman Allah swt. yang pertama. Demikian pula Ibrahim a.s merupakan satu-satunya nabi yang mohon untuk diberikan bukti bahwa Allah swt . dapat menghidupkan sesuatu yang telah mati dan kemudian permohonan itu dikabulkan, maka Muhammad saw. juga mengalami fase yang hampir sama dengan peristiwa yang dialami oleh Ibrahim a.s. Nabi Muhammad saw. dapat melihat kehidupan setelah kematian ketika ia melakukan perjalanan Isra’ ketika akan menerima wahyu berupa perintah untuk mendirikan shalat.

Stanton mengemukakan sejumlah kriteria dalam penentuan atau penafsiran tema pokok sebuah cerita atau kisah. 8 Kesatu , pertimbangan setiap

detil cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal ini disebabkan pada detil-detil cerita yang menonjol yang dapat diidentifikasikan sebagai tokoh masalah atau pokok masalah. Kedua, dalam menafsirkan sebuah tema, tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Ketiga , penafsiran tema sebuah kisah, tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam cerita tersebut. Dan keempat, penafsiran sebuah tema dalam cerita haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan atau diungkapkan dalam cerita. Dalam hal ini, maka bukti-bukti tersebut harus mendasarkan diri pada Alquran sebagai sebuah sumber kisah Ibrahim a.s.

Sedangkan beberapa tema minor sebagaimana telah diurai di atas yang mengandung pesan-pesan moral adalah sebagai berikut.

a. Keteguhan (Istiqâmah) dan Pengakuan Dalam mengajarkan dan menjalankan ajaran tauhid tentulah membutuhkan keteguhan dan keyakinan, tidak mudah disogok atau

8 Robert Stanton, An Introduction to Fiction, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965, h. 22 8 Robert Stanton, An Introduction to Fiction, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965, h. 22

Keyakinan Ibrahim a.s. kepada Allah swt. bukanlah untuk mencari sensasi semata apalagi untuk mencari ketenaran supaya dikenal orang banyak. Di masa sekarang, sudah umum orang menjadi terkenal diawali dengan sensasi. Para politisi dan pemimpin negara sering melakukan tindakan sensasi untuk menaikkan popularitasnya agar dipilih kembali

pada pemilihan umum berikutnya. Dalam istilah ilmu marketing dikenal dengan model differensiasi sebagai suatu tindakan merancang

seperangkat perbedaan yang berarti dalam perusahaan, lebih jauh differensiasi diartikan sebagai suatu taktik perusahaan melakukan perbedaan yang khas untuk mendukung positioning-nya yang tidak dimiliki perusahaan lain. Tetapi Ibrahim a.s. bukan tipe demikian, mencari sensasi ataupun melakukan strategi differensiasi. Ibrahim a.s. tulus mengakui keesaan Allah swt. dengan sepenuh hati. Pengakuannya adalah monotheisme atau keesaan Allah swt., serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt. Pengakuan Ibrahim tersebut diungkapkan di dalam surah Al-An’âm [QS.

6: 79] Menurut James, orang yang melakukan pengakuan, usailah kepura-puraan dan datanglah kenyataan. Kebusukan pada dirinya sudah dibuang, kalaupun ia belum benar-benar menyingkirkannya, setidaknya ia tidak lagi melumuri diri dengannya, yaitu dengan memamerkan kebajikan 6: 79] Menurut James, orang yang melakukan pengakuan, usailah kepura-puraan dan datanglah kenyataan. Kebusukan pada dirinya sudah dibuang, kalaupun ia belum benar-benar menyingkirkannya, setidaknya ia tidak lagi melumuri diri dengannya, yaitu dengan memamerkan kebajikan

terdapat tiga hal menjadi unsur-unsur paling pokok. Ketiga hal ini adalah pengakuan, pengorbanan dan doa 10 . Ketiga unsur ini banyak mewarnai

peristiwa kisah Ibrahim as. Bahkan jika ditelaah lebih jauh, ayat-ayat yang terkait dengan Ibrahim as. banyak mengandung doa-doa beliau. Hakikat doa juga merupakan satu bentuk pengakuan lain akan kelemahan dan keterbatasan dirinya serta membutuhkan Satu Dzat yang dapat mengatasi keterbatasannya tersebut. Di antara doa-doa dan permohonan Ibrahim a.s. yang terdapat di dalam Alquran adalah sebagai berikut:

1. Permohonan agar keturunannya dijadikan imam bagi seluruh manusia. Al-Baqarah [QS.2: 124]

2. Doa agar menjadikan Mekah sebagai negeri yang aman sentosa. Al- Baqarah [QS.2: 126] dan Surah Ibrahim [QS. 14: 35] serta anak cucunya dijauhi dari perbuatan menyembah berhala, tetap mendirikan shalat dan dilimpahkan rezki yang cukup. Surah Ibrahim [QS.14: 35 – 38].

3. Doa mohon ampunan bagi kedua orang tua dan orang-orang mukmin. Surah Ibrahim [QS. 14: 41]

4. Doa agar pengabdiannya membangun Kakbah diterima sebagai amalannya. Al-Baqarah [QS.2: 127]

5. Doa agar keturunannya termasuk orang yang tunduk dan patuh kepada Allah swt. Al-Baqarah [QS.2: 128 – 129]

6. Permohonan agar diperlihatkan proses kehidupan dari kematian. Al- Baqarah [QS. 2: 260]

7. Permohonan Ibrahim atas keselamatan ayahnya. Surah Maryam [QS.

9 William James, Perjumpaan Dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, penerjemah: Gunawan Admiranto, Bandung: Mizan, 2004, h. 595.

10 William James, Perjumpaan Dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, h. 594.

8. Doa diberikan hikmah, dimasukkan ke dalam golongan orang yang shaleh dan orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, diberikan tutur kata yang baik dan tidak dihinakan pada hari kemudian serta diampuni ayahnya. Al-Syu’arâ’ [QS. 26: 83 – 89]

9. Permohonan agar dikaruniai anak yang termasuk orang-orang yang shaleh. Al-Shaffât [QS. 37: 100]

10.Doa mohon ampunan serta dijauhi dari sasaran fitnah bagi orang-orang kafir. Al-Mumtahanah[QS.60: 4 – 6] Dalam perkembangannya, bentuk pengakuan menjadi sebuah ”ritual” yang dijalankan para penganut atau pemeluk agama. Bagi

agama Kristen, dikenal dengan pengakuan dosa, sedangkan dalam agama Islam dikenal dengan ucapan pengakuan dua kalimah syahadat:

”aku bersaksi tiada Allah melainkan Allah swt., dan aku bersaksi bahwa Muhammad saw. itu utusan-Nya ” sebagai tanda bahwa seseorang telah menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam. Dan bagi agama Yahudi juga terdapat ungkapan pengakuan seperti halnya syahadat dalam agama Islam, yaitu: ”wahai bani Israel, Tuhan kita Satu ”.

b. Pengorbanan Kegiatan pengorbanan yang dipersembahkan kepada para dewa dan Allah selalu dijumpai dalam peribadahan primitif. Akan tetapi, ketika kultus-kultus ini semakin berkembang, persembahan-persembahan dengan membakar dan darah digantikan dengan pengorbanan yang bersifat lebih spiritual. Dalam Yahudi, Islam dan Budha, tidak terdapat pengorbanan yang bersifat ritual.

Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam mengajarkan ajaran tauhid tidak hanya membutuhkan keteguhan sikap tapi juga sikap pengorbanan sebagai bukti ketulusan sikap yang diambil. Sikap demikian dikisahkan dalam pengorbanan Ibrahim a.s. akan anaknya yang belum dewasa ketika Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam mengajarkan ajaran tauhid tidak hanya membutuhkan keteguhan sikap tapi juga sikap pengorbanan sebagai bukti ketulusan sikap yang diambil. Sikap demikian dikisahkan dalam pengorbanan Ibrahim a.s. akan anaknya yang belum dewasa ketika

Pengorbanan Ibrahim a.s. terjadi semata-mata karena kecintaannya yang tulus kepada Allah swt. melebihi kecintaannya kepada Ismail a.s., puteranya yang telah dinanti-nanti (dicita-citakan) sangat lama. Alquran menggambarkan bahwa Ibrahim a.s. menerima anugrah Allah berupa anak ketika beliau dalam kondisi sudah tua, sebagaimana firman-Nya:

’ 1 În u ‘ ¨bÎ ) 4 t ,» y s ™ ó ) Î u r Ÿ @‹ è Ï » J y ™ ó ) Î Î Ž y 9 Å 3 ø 9 $ # ’ n ? t ã ’ Í< | = d y u r “ % Ï ! © # $ ¬ ! ‰ ß ôJ y s ø 9 $ # Ïä $ ! ã t $ ‘ ! $ # ì ß ‹ ÏJ ¡ | s 9

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail a.s. dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa. [QS 14: 39]

Dirk menyatakan bahwa usia Nabi Ibrahim a.s. ketika memperoleh anak pertama (Ismail a.s.) berusia 86 tahun. 11 Apabila Ibrahim a.s. bukan

orang yang mencintai Allah swt. dengan tulus tentu ia tidak akan mau mengorbankan apa yang telah dicita-citakan sejak lama.

Peristiwa pengorbanan Ibrahim a.s. dan kepasrahan Ismail a.s. sebagai tonggak pengorbanan yang mengutamakan spiritual daripada ritual. Melalui Ibrahim a.s., secara amaliah dan tersirat pesan-pesan tersebut disampaikan, bukan karena manusia atau benda lainnya terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban, tapi karena sifat Allah swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puteranya Ismail diperintahkan Allah swt. untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun bila panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan karena Allah swt. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Allah swt. dengan kekuasaan-Nya

11 Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, penerjemah, Satrio Wahono Jakarta: Serambi, 2004, h. 122 11 Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, penerjemah, Satrio Wahono Jakarta: Serambi, 2004, h. 122

diperkenankan. 12 Islam melalui Ibrahim a.s. menggantikan semua pengorbanan

mubazir itu dengan pengorbanan hati dan penyangkalan batin terhadap nafsu diri. Setiap amal perbuatan yang dilakukan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah pengorbanan. Shalat adalah pengorbanan harian setiap muslim. Dalam Nahj al-Balâghah, Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib berkata: “Zakat dijadikan, seperti halnya

shalat, sebagai (bentuk) pengorbanan ”.

c. Kesabaran dan Ketabahan Hajar serta Ismail a.s. Satu aspek lain dari kisah Ibrahim a.s. yang ditonjolkan secara khusus oleh Allah swt. di dalam Alquran merupakan asal dari satu ritual yang khas dalam Islam yaitu ibadah qurban. Diriwayatkan bahwa Ibrahim a.s. bermimpi (mimpinya seorang nabi merupakan wahyu) bahwa Allah

swt. memerintahkan mengurbankan puteranya Ismail a.s. 13 Perintah tersebut datang justru ketika Ibrahim a.s. baru bertemu dengan putera

kesayangannya dan telah lama berpisah selama 11 sampai 12 tahun. Dikisahkan, setelah menerima wahyu yang aneh, menakutkan, menyakitkan ini, Ibrahim a.s. menemui Ismail a.s. dan mengatakan kepada puteranya apa yang dilihatnya dalam mimpi, dan ia menanyakan pendapat serta jawaban dari Ismail a.s. mengenai mimpinya tersebut. Namun di luar dugaan, Ismail a.s. tidak meragukan “wahyu” Allah swt. tersebut. Ismail a.s. “siap untuk menderita dan bersabar” serta bersedia untuk menjalankan “ketabahan dan kepatuhan kepada Allah swt”.

12 Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1996, h. 75. 13 Bagi agama Yahudi dan Nasrani, putera yang dimaksud adalah Ishaq, sedangkan dalam Alquran

Terjemah terbitan Departemen Agama Ri ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan anak yang sabar adalah Ismail

Jawaban atau pendapat Ismail a.s. menunjukkan kepaAllah total pada Allah swt. dan Ismail a.s. meminta ayahnya agar melaksanakan perintah yang diterimanya tersebut. Riwayat lain menyebutkan, Ismail a.s. khawatir ketika pelaksanaan proses pengurbanan dirinya ia akan melawan dan memberontak, maka ia memohon kepada ayahnya untuk mengikat kedua tangan dan kakinya. Hal itu dilakukan Ismail a.s. karena ia

khawatir akan menyakiti ayahnya yang sudah tua dan baik hati. 14 Al- Shaffât [QS. 37: 100 – 109]

d. Membangun Rumah Allah atau Tempat Peribadatan (bentuk ketundukan dan kepaAllah)

Implikasi dari ajaran tauhid adalah menjalankan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya membutuhkan perilaku yang tawakkal dan patuh

kepada Dzat yang Maha Kuasa, perilaku tersebut dalam kehidupan sehari- hari dijalankan melalui shalat (ruku’ dan sujud), i’tikaf, dan thawaf, hal ini tergambarkan dari sikap Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana firman-Nya dalam Al-Baqarah [QS. 2: 124 – 126] dan Al-Hajj [QS.22: 26]

Pelaksanaan shalat (ruku’ dan sujud), i’tikaf, dan thawaf adalah sebagai bentuk peribadatan (ketundukan dan kepatuhan) Ibrahim a.s. kepada Allah swt. Keteladanan dalam kepaAllah tersebut, setiap tahun ummat Islam memperingatinya antara lain diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Mekah, karena beliaulah bersama putranya Ismail a.s. yang membangun (kembali) fondasi-fondasi Kakbah sebagai tempat beribadah al-Baqarah [QS. 2: 127].

14 Kamal al-Sayyid, Kisah-kisah Terbaik Alquran, penerjemah, Selma Anis, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004, h. 75

2. Penokohan

Pembicaraan mengenai alur pada dasarnya adalah pembicaraan mengenai rangkaian peristiwa dan kejadian dalam sebuah karya sastra. Peristiwa itu terjadi karena tindakan dan perbuatan manusia yang menjadi tokoh cerita dalam lingkungannya. Karakter (watak) dari sang tokoh sesungguhnya merupakan penentu bagi peristiwa dan kejadian. Sebaliknya, peristiwa merupakan ilustrasi atau pencerminan karakter tokoh. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tokoh dan penokohan merupakan faktor penting yang harus ada dalam cerita sebab segenap peristiwa terjadi karena aksi/ tindakan para tokoh cerita itu. Peristiwa Ibrahim a.s. di dalam Alquran tidak

dapat dipisahkan dan dilepaskan dari tokoh yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut.

Istilah “tokoh” sendiri menunjuk pada orang atau pelaku di dalam cerita. Penunjukkan orang dimaksud, misalnya dapat dilakukan dengan sejumlah pertanyaan: “Siapakah tokoh (orang) yang terlibat dalam cerita tersebut?”, “Ada berapa orang?”. Menurut Jones, penokohan berarti pelukisan gambaran

yang jelas tentang seseorang yang dimunculkan dalam sebuah cerita 15 . Dalam pengertian lain, orang-orang yang ditampilkan tersebut oleh pembaca

(penulis) ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam perkataan dan apa yang dilakukan dalam tindakan 16 . Jadi, kualitas pribadi tokoh sangat berkaitan erat dengan

penerimaan dan persepsi pembaca (penulis). Dalam sebuah karya sastra, tokoh cerita merupakan tokoh rekaan dari pengarang. Namun, tokoh dalam cerita haruslah tokoh yang hidup secara wajar seperti manusia pada umumnya yang memiliki adat kebiasaan, sikap, dan perasaan. Tokoh cerita ini menempati posisi yang strategis sebagai

15 Edward H. Jones, Outlines of Literature: Short Stories, Novels, and Poems, New York: The Macmillan Company, 1968, h.33

16 M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, h. 20.

penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.

Seorang “tokoh” tidak dapat dilepaskan dari watak atau karakter yang menunjuk pada suatu sikap dan sifat dari para tokoh yang menampilkan kualitas pribadinya yang ditafsirkan oleh para pembaca. Dalam kasus kisah Ibrahim a.s., penafsiran tokoh tentu saja dilakukan oleh penulis. Penggunaan istilah “watak” atau “karakter” mengacu pada dua pengertian yaitu pertama, sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan kedua, sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh- tokoh tersebut 17 . Karakter dapat berarti “pelaku cerita” atau “perwatakan”.

Dalam kasus penafsiran atas novel-novel atau karya sastra lainnya, pengenalan atau pengidentifikasian terhadap tokoh tidak mudah dilakukan

atau tidak sekaligus hadir di hadapan pembaca, melainkan sedikit demi sedikit sejalan dengan perkembangan cerita dan kompleksitas pribadi dan karakter tokoh. Namun, dalam kasus kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran, tidaklah mengalami kesukaran, hal ini disebabkan Ibrahim a.s. merupakan seorang Nabi sekaligus tokoh yang diakui sebagai pendiri tiga agama samawi yang di dalam kitab suci mereka masing-masing disebut atau ditampilkan tokoh ini. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana persepsi penulis terhadap tokoh Ibrahim a.s. berdasarkan sumber kitab suci Alquran yang tentu saja pada akhirnya akan berbeda dengan penerimaan atau persepsi kedua agama lain terhadap tokoh ini.

Khusus dalam kisah Alquran, tokoh yang menjadi pelaku dari serangkaian peristiwa tidaklah harus seorang manusia. Namun, tokoh yang memainkan peranan dalam kisah-kisah Alquran dapat berupa seorang manusia, binatang, dan makhluk ghaib.

17 Robert Stanton, An Introduction to Fiction, h. 17

Ada tiga prinsip pengidentifikasian seorang tokoh dalam sebuah cerita termasuk kisah yang bersumber dari kitab suci 18 , yaitu:

1) Prinsip Pengulangan Prinsip ini menggambarkan bahwa sifat atau karakter tokoh diulang-ulang dalam sebuah cerita untuk menekankan atau mengintensifkan sifat yang menonjol tersebut sehingga pembaca memahaminya dengan jelas. Alquran menceritakan secara berulang tentang sifat Ibrahim a.s. yang hanîf sebanyak 7 kali, yaitu pada Surah Al-Baqarah [QS.2: 135], Ali Imran [QS.3: 67 dan 95], Al-Nisâ’ [QS.4: 125], Al-An’âm [QS.6: 161], serta Surah Al-Nahl [QS. 16: 120 dan 123].

Kata hanîf biasa diartikan lurus atau cenderung pada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan

pasangannya yang kiri condong ke arah kanan dan yang kanan condong ke arah kiri. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan lurus. Dalam beberapa ayat di atas, yang dimaksud dengan hanîf sebagai millah Ibrahim a.s. memiliki makna bahwa agama Ibrahim tidak memihak pada ajaran Yahudi maupun ajaran Nasrani.

2) Prinsip Pengumpulan Prinsip ini dilakukan dengan cara mengungkapkan seluruh kedirian tokoh sedikit demi sedikit dalam seluruh rangkaian cerita. Pada prinsip ini dapat dilakukan juga dengan mengumpulkan data-data kedirian tokoh yang tercecer di seluruh cerita tersebut, sehingga akhirnya diperoleh data yang lengkap. Pengumpulan data ini menjadi penting karena, karena data- data kedirian yang diperoleh dapat dikumpulkan dan digabungkan sehingga bersifat saling melengkapi dan menghasilkan suatu gambaran yang padu tentang kedirian tokoh dimaksud.

Hubungan paradigmatik dari teori Saussure dapat terlihat dalam hubungan antara tokoh utama dalam kisah Ibrahim a.s. ini. Dari data yang

18 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 212 – 214 18 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 212 – 214

Selain tokoh utama dan tokoh pendukung tokoh utama, dalam kisah Ibrahim a.s daat disebutkan satu kelompok tokoh yang merupakan tokoh penentang dari dakwah yang dilakukan Ibrahim a.s. Tokoh-tokoh tersebut adalah Ayah Ibrahim a.s., kaumnya, serta Namrud sang raja pada masanya. Ketiga tokoh ini memiliki sifat yang berlawanan dengan sifat Ibrahim a.s. dan tokoh-tokoh pendukungnya. Mereka meiliki karakter sebagai pembangkang dan tidak mempercayai pembaharuan yang

ditemukan oleh Ibrahim a.s. Mereka adalah penganut setia tradisi yang tidak berdasarkan akal pemikiran sehingga apa yang mereka lakukan

terutama dalam sembahan dan peribadatan mereka dapat disebut sebagai sebuah tindakan bodoh.

Tohoh utama (Ibrahim a.s.) mengajak ketiga tokoh penentang (ayahnya, kaumnya, serta rajanya) untuk berpikir bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah tidak benar sebab bagaimana mungkin berhala yang mereka ciptakan dengan tangan dan sesuai dengan kemauan mereka justru mereka jadikan sembahan (sesuatu yang lebih mulia) mereka. Padahal kalau mereka mau berpikir, berhala tersebut tidakl dapat dapat mendengar, melihat, apalagi memberikan kemanfaatan bagi mereka. Berhala itu ada karena dibuat oleh mereka sendiri.

Tokoh utama dalam sebuah cerita menurut Abrams, adalah orang atau tokoh yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan perilakunya. 19

Karakter atau perwatakan tokoh utama mengarah kepada sikap,

19 Abrams, M.H., A Glossary of Literary Terms, h. 20.

ketertarikan, dan prinsip moral yang melekat pada sang tokoh. 20 Perwatakan yang melekat pada Ibrahim a.s. diantaranya adalah shiddiq

(benar dan membenarkan), hanîf, fathanah (cerdas), istiqâmah (konsisten atau teguh pendirian), tabligh (komunikatif), tenang, toleran, dan santun, serta reformis.

Pengelompokan sifat-sifat atau perwatakan dari tokoh utama ini tidak hadir dalam teks. Perwatakan ini hadir berdasarkan analisis paradigmatik atau upaya menelaah unsur-unsur yang tidak hadir dalam teks karena adanya hubungan makna dengan simbol. Dasar analisisnya adalah makna konotasi karena unsur-unsur cerita berupa tanda berasosiasi

dengan pikiran pembaca. Tanda-tanda itu berupa nilai-nilai yang mempunyai sifat implisit sebagai pesan dari kebudayaan.

Beberapa penjelasan dari karakter atau perwatakan tokoh utama dalam kisah Ibrahim a.s., dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Shiddiq Menurut al-Laits dalam Lisân al-‘Arab disebutkan:

adalah orang yang membenarkan segala yang diperintahkan Allah swt. dengan penuh keyakinan tanpa ada sedikitpun

Makna

perasaan bimbang dan ragu-ragu. 21 Sebagaimana para nabi dan rasul, salah satu wataknya adalah memiliki sifat shiddiq, yaitu selalu membenarkan wahyu Allah swt. dan selalu yakin bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah swt.

20 Istilah tokoh merujuk pada orangnya apabila tokoh itu seorang manuasia atau pelaku cerita jika pelakunya selain manusia. Penokohan atau dapat disebut sebagai karakter atau perwatakan, menunjuk

pada sifat dan sikap para tokoh sebagaimana yang ditafsirkan oleh pembaca. Dapat dikatakan karakter tidak hadir sebagai petanda berupa bahasa atau kalimat, melainkan ia hadir sebagai sebuah proses pemaknaan oleh pembaca. Perwatakan adalah pelukisan atau penggambaran yang jelas dari seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.(Edward H. Jones, Outlines of Literature: Short Stories, Novels, and Poems , New York: The Macmillan Company, 1968, h. 33)

21 Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Ihya’ Al-Turâts Al-‘Arabi, Juz 7, h. 308 21 Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Ihya’ Al-Turâts Al-‘Arabi, Juz 7, h. 308

b. Hanîf

Makna hanîf sebagaimana disebutkan dalam Lisân al-‘Arab memiliki pengertian

Orang Islam yang selalu condong pada agamanya atau selalu condong pada kebenaran

Menurut Abu Zaid:

(orang yang lurus, teguh pendirian) yang

disebutkan dalam ungkapannya:

Abu Ubadah menyebutkan berdasarkan firman Allah swt.: Dari ayat tersebut disimpulkan

setiap orang yang mengikuti agama Ibrahim maka dia disebut hanîf. Karakter dari Ibrahim a.s. adalah hanîf, yaitu sebagaimana hanîf pengertian di atas, seorang yang lurus dan selalu berpegang kepada kebenaran serta tidak pernah meninggalkannya. 22 Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan karakter hanîf. Di antaranya Al-Nahl [QS.16: 120], Al-An’âm [QS. 6: 161], Al-Nisâ’ [QS. 4: 125]

c. Fathanah (Cerdas dan Kritis)

Salah satu keutamaan para nabi dan rasul adalah kecerdasannya. Di dalam berdakwah dan menyampaikan pesan-pesan Allah dibutuhkan kemampuan menangkap pesan tersebut dan mengolahnya menjadi sumber informasi yang mudah diterima ummatnya. Pesan-

22 Lihat Alquran Terjemah terbitan Departemen Agama RI 22 Lihat Alquran Terjemah terbitan Departemen Agama RI

Allah itu hidup (timbul), dan Allah itu tidak mati (tidak tenggelam) Matahari itu timbul, dan matahari tenggelam Maka, matahari bukan Allah Bulan itu timbul, dan bulan tenggelam Maka, bulan bukan Allah

Bintang itu timbul, dan bintang tenggelam Maka bintang bukan Allah

Di dalam menarik kesimpulan premis di atas tentulah membutuhkan kecerdasan, apalagi menyangkut hakikat dan keberadaan Allah swt. Penalaran Ibrahim a.s. tersebut tertulis dalam Al-An’am [QS. 6: 74 – 79]. Kecerdasan dam kekritisan Ibrahim a.s. ditunjukkan pula dalam Alquran ketika berdebat dengan Namrud akan hakikat kekuasaan Allah, sebagaimana Al-Baqarah [QS. 2: 258].

d. Istiqâmah (Teguh pendirian) Nabi Ibrahim a.s. juga memiliki sikap yang teguh, tidak plin-plan atau gampang terombang-ambing dengan bujukan dan rayuan serta ancaman. Sikap demikian tentu saja dibutuhkan seorang nabi dan rasul ketika menyampaikan risalah-Nya yang mengandung kebenaran hakiki. Kebenaran tidak akan sampai kepada ummatnya, jika Ibrahim a.s. plin-plan karena ummat akan menjadi ragu.

Keteguhan Ibrahim a.s. dikisahkan di dalam Al-Anbiyâ’ [QS.21: 66–69] ketika memperoleh ancaman dibakar hidup-hidup oleh Namrud dan para pengikutnya.

e. Tabligh (Komunikatif)

Nabi Ibrahim a.s. termasuk seorang nabi yang komunikatif, artinya beliau mampu menggunakan bahasa sesuai dengan tempat dan lawan bicaranya. Ketika berhadapan dengan Namrud dan para pengikutnya, ia menggunakan bahasa yang tegas, namun ketika berbicara dengan anaknya Ismail a.s., ia menggunakan bahasa yang lembut dan penuh kasih sayang. Sebagaimana dalam surah Al-Anbiyâ’, [QS. 21: 66–69] ketika Ibrahim a.s. memperoleh ancaman akan dibakar hidup-hidup oleh Namrud dan para pengikutnya.

Contoh lain dari gaya komunikasi Ibrahim a.s., adalah ketika ia menyeru kepada ayahnya untuk meninggalkan penyembahan kepada

berhala. Konflik ideologi yang sangat mendasar antara Ibrahim a.s. dan ayahnya dikemukakan dengan lembut , penuh sopan santun, dan penuh

kasih sayang. Sebagaimana diungkapkan dalam Alquran surah Maryam [QS.19:42-45].

Perkataan Ibrahim dalam ayat tersebut sangatlah santun, kata yang digunakan adalah Ï M t / ' r ¯ » t ƒ yang diulang-ulang sampai empat kali. Hal ini menunjukkan suasana kasih sayang (rasa kecintaan) yang

tidak dimiliki oleh kata ”Ya Abiyyu” meskipun secara linguistik arti dasarnya sama. 23

Di satu sisi ungkapan kata tersebut menunjukkan kelembutan hati Ibrahim a.s. sekaligus kesopanan Ibrahim a.s. dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Dapat dikatakan bahwa metode dakwah Ibrahim a.s. adalah sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah swt. bahwa untuk menyiarkan dakwah hendaknya dengan kata- kata yang baik dan jika harus berdebat hendaknya dilakukan dengan etika dan tatakram

f. Tenang, toleran, dan santun

23 Amil Badi’ Ya’kub, Mausû’ah al-Nahwi wa al-Sharfi wa al-I’rab, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al- Malâyîn, 1988 , h. 15

Seperti yang diungkapkan dalam surah Hûd [Q.S. 11: 75] bahwasannya Ibrahim a.s. memiliki sikap yang santun dan berserah diri kepada Allah swt. Ketenangan dirinya dalam menghadapi segala seusuatu, digambarkan dalam Alquran ketika Ibrahim a.s. berada pada proses pencarian hakikat Tuhan. Ia lama merenung dan pada akhirnya setelah berdebat dengan logika pemikirannya, ia mengambil sebuah kesimpulan bahwa ia harus beriman kepada Sang Pencipta langit bumi serta seisinya.

Setelah yakin akan hakikat Tuhan yang dicarinya, Ibrahim kembali kepada kaumnya dan kepada ayahnya. Namun, sang ayah

menolak dengan kasar apa yang disampaikan oleh Ibrahim a.s. Ia tidak membalas penolakan ayahnya dengan kebencian tetapi dengan sikap

yang santun. Ia melakukan tidakan menghancurkan berhala-berhala sembahan kaumnya dan meninggalkan berhala yang paling besar dengan tujuan agar kaumnya berpikir dengan logis apakah mungkin sebuah berhala memberikan kesaksian tentang siapa yang menghancurkan berhala-berhala di sekitarnya.

Cara yang diambil Ibrahim a.s ketika melakukan penghancuran berhala adalah upaya Ibrahim untuk berdialog dengan kaumnya agar mau berpikir dengan logis tentang eksistensi tuhan mereka. Apakah mungkin sebuah kekuatan yang Maha Agung dapat mereka ciptakan sendiri? Itu berarti kekuatan benda yang diciptakan mereka berada pada level di bawah kekuatan mereka dan tidak mungkin hakikat

Tuhan berada di bawah kuasa manusia. 24 Selain itu, ketika Ibrahim a.s. bergembira dengan tumbuh

kembang Ismail, ia bermimpi diperintah Allah swt. untuk membunuh anaknya dengan cara menyembelihnya. Dalam situasi seperti inipun,

24 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al- Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 116 24 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al- Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 116

g. Reformis (Pembaharu)

Nabi Ibrahim a.s. termasuk seorang nabi yang reformis, beliau tidak mau mengikuti ajaran-ajaran nenek moyangnya yang sesat. Tingkah laku kesesatan masyarakatnya yang tidak mendatangkan manfaat harus ditinggalkan dan ditolak, serta dirubah kepada perilaku yang menimbulkan manfaat serta berada pada cahaya iman. Salah satu sikap Ibrahim a.s. yang reformis ditunjukkan di dalam Alquran surah Al-Anbiyâ’ [QS 21: 51 – 54].

3) Prinsip Kemiripan dan Pertentangan Prinsip ini dilakukan dengan cara mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita yang ditampilkan. Perbandingan dan pertentangan antar tokoh tidak harus berada dalam pengertian yang ekstrem, hitam-putih, negatif-positif, melainkan lebih merupakan mempertunjukkan kadar, gradasi dan intensitas tokoh satu lebih dalam hal sifat tertentu dibandingkan dengan tokoh lain. Alquran juga menunjukkan kemiripan dan pertentangan antar tokoh dalam kisah Ibrahim a.s., misalnya keinginan yang sama dalam ketundukkan antara Ibrahim a.s. dengan Ismail a.s. kepada Allah swt., seperti Surah Al- Baqarah [QS 2: 128]. Kemiripan yang sama dalam berserah diri menerima perintah Allah swt. sebagaimana ditunjukkan oleh Alquran dalam peristiwa pengurbanan Ismail a.s. Al-Shaffât [QS 37: 83 – 113]

3. Alur atau plot

Alur atau plot menurut merupakan unsur sebuah cerita yang penting karena cerita adalah pengisahan peristiwa demi peristiwa yang tersusun

25 Sayyid Quthb, Al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân, h. 135 25 Sayyid Quthb, Al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân, h. 135

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya sastra adalah plot atau cerita. Dalam pengertiannya yang paling umum, plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam

cerita. Oleh karena itu, cerita merupakan sederetan kisah dan peristiwa yang tidak harus berhubungan dan belum tentu pula berkaitan satu sama lainnya.

Alur sebenarnya merupakan salah satu aspek intelektual dan logika dalam cerita rekaan, yang juga memerlukan misteri, yang membuat pembacanya mungkin meraba-raba dalam dunia yang tidak nyata. Alur adalah jalan cerita dalam sebuah cerpen dengan pengertian bagaimana cara pengarang menyuguhkan cerpennya kepada pembaca, bagaimana suatu cerita dirangkaikan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dalam hubungan kausalitas. 26

Menurut Abrams, pengertian alur adalah struktur peristiwa-peristiwa. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Hubungan sebab-akibat dalam alur selalu menuntut kemampuan daya ingat dan kecerdasan berpikir pembaca agar dapat memahami sebuah cerita rekaan. Pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut dimaksudkan untuk mencapai efek emosional dan efek

artistik tertentu. 27

26 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 113 27 Abrams, M.H., A Glossary of Literary Terms, h. 137

Secara teoritis, plot dapat diklasifikasikan dalam tiga urutan pokok yaitu plot awal, tengah, dan akhir. Tahapan plot ini saling berkaitan membentuk sebuah kepaduan cerita terlepas dari mana letak masing-masing tahapan dalam urutan sintagmatik. Tahap awal cerita umumnya akan membawa para pembaca dari proses pengenalan seting menuju tanda-tanda munculnya konflik. Tahap tengah menggambarkan tahapan konflik yang mulai meningkat, hubungan antar konflik yang mengarah pada suatu klimaks yang merupakan inti cerita. Tahap akhir mengurakan tahapan klimaks yang terdiri dari beberapa konflik menuju sebuah penyelesaian. Namun, pada praktiknya dalam langkah operasional, seorang pengarang sering tidak tunduk pada teori

itu. 28 Jika dilihat dari urutan waktu atau kronologis cerita, plot dapat

dibedakan dalam dua kategori, yaitu kronologis dan tidak kronologis. Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya. Plot kronologis disebut juga plot lurus, maju, atau plot progresif, sedangkan plot tidak kronologis adalah plot sorot balik,

mundur, flash-back, atau sering disebut sebagai plot regresif. 29 Plot cerita dalam kisah Ibrahim a.s. disusun dengan pola maju-mundur,

kadangkala melompat ke depan, atau kadangkala melompat mundur ke belakang atau flash back. Model alur kisah Yusuf a.s. berbeda dengan kisah Ibrahim a.s., kisah peristiwa Nabi Yusuf a.s. berurutan secara kronologis dan berkembang dimulai dengan peningkatan usia Nabi Yusuf. Peristiwa- peristiwa pada masa Nabi Yusuf masih kecil diceritakan lebih dahulu, diikuti dengan peristiwa ketika beliau menjadi pemuda dan dewasa, kemudian akhirnya peristiwa ketika beliau diangkat menjadi menteri perbendaharaan Mesir. Plot cerita pada kisah nabi Ibrahim a.s. menggunakan teknik flash back ataupun flash forward ataupun parallel, tidak berdasarkan urutan waktu.

28 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 149 29 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 153

Penyajiannya dalam Alquran tidak dalam satu kesatuan surah sebagaimana kisah Yusuf a.s. melainkan menyebar dalam episode-episode tertentu pada beberapa surah Alquran yang berlainan.

Kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran tidak dipaparkan dari awal kisah, melainkan dipaparkan dari beberapa episode yang berbeda. Yaitu episode keimanannya atau proses Ibrahim a.s. mencari hakikat Tuhan, dialog Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, penghancuran yang dilakukan Ibrahim a.s. terhadap berhala-berhala serta Ibrahim a.s. menjauhi ayah dan kaumnya. Juga episode tentang anugrah dari Allah swt. dua orang anak yaitu Ismail dan Ishaq, mimpi Ibrahim a.s. yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya

dan episode penebusan anaknya tersebut. Episode pembangunan kakbah dan panggilan Ibrahim a.s. kepada seluruh manusia untuk melaksanakan ibadah

haji. Episode tentang permintaaannya kepada Allah swt. akan bukti bahwa orang yang sudah mati dapat hidup kembali, bukan agar dia percaya, sebab dia sudah percaya, akan tetapi tujuannya agar dia mendapatkan ketenangan hatinya. Episode ini dijelaskan dengan peristiwa kebangkitan empat ekor burung yang telah dimutilasi dan dipisahkan masing-masing bagiannya di atas bukit yang berlainan. 30 Al-Baqarah [Q.S. 2: 260].

Secara terperinci, Dirk mengurutkan kisah Ibrahim a.s. dalam episode- episode sebagai berikut:

1. Kelahiran Nabi Ibrahim a.s. dan masa remajanya (tidak diceritakan di dalam Alquran kapan dan dimana);

2. Ibrahim a.s. mengamati alam untuk sampai pada penemuan hakikat “Allah”;

3. Ibrahim a.s. menghancurkan berhala;

4. Ibrahim a.s. mengajak kaumnya menyembah Allah swt. dan beragama yang hanîf serta diadili oleh Namrud;

5. Keyakinan Luth dan Pernikahan Ibrahim a.s. dengan Sarah;

30 Sayyid Quthb, Al-Tashwîr al-Fanni fî Al-Qur’ân, h.135

6. Ibrahim a.s. meninggalkan kampungnya;

7. Ibrahim a.s. di Mesir;

8. Ibrahim a.s. menikahi Hajar;

9. Hajar melahirkan Ismail a.s.;

10. Ibrahim a.s. pergi dari Palestina ke Jazirah Arab dan meninggalkan Hajar;

11. Kabar tentang Luth, Sarah, dan kelahiran Ishaq;

12. Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dikhitan;

13. Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. membangun Kakbah;

14. Ibrahim a.s. meninggalkan Hajar dan Ismail a.s.;

15. Ismail a.s. beranjak remaja dan Ismail a.s. dikorbankan;

16. Ibrahim a.s. wafat (sebagaimana kelahirannya, Alquran tidak menceritakan kapan dan 31 dimana)

Urutan-urutan peristiwa tersebut di atas, di dalam Alquran tidak dikisahkan secara berurutan dimulai dari lahir hingga wafatnya Ibrahim a.s.

4. Seting

Dalam karya sastra, seting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut dapat menentukan situasi umum sebuah karya. Seting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen seting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan dimana, kapan dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, atau perwatakan tokoh, dan perilaku masyarakat serta tokoh yang bersangkutan.

Latar atau seting juga merupakan salah satu fakta cerita yang harus diperhatikan, dianalisis dan dinilai. Latar biasa juga disebut sebagai atmosphere atau setidak-tidaknya bagian dari atmosphere atau tone secara keseluruhan.

31 Urutan-urutan peristiwa yang menyangkut Ibrahim a.s dalam Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan , h. 286 – 290

Pada dasarnya, latar adalah tempat terjadinya peristiwa dalam cerita pada suatu waktu tertentu. Dengan cara yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa latar adalah lingkungan di sekeliling pelaku cerita, mungkin berupa sebuah kamar, lingkungan kehidupan sebuah rumah tangga, bahkan di dalamnya termasuk pula pekerjaan dan lingkungan pekerjaan para pelaku, alat-alat yang digunakan dan berhubungan dengan pekerjaan tokoh, dan sebagainya.

Dalam kisah Ibrahim a.s. ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan seting, yaitu:

1. Seting Tempat Secara umum, kehidupan Nabi Ibrahim a.s. terbagi kepada dua tahap,

yaitu ketika beliau berada di Mekah dan yang kedua ketika berada di tempat sebelum Mekah, yaitu suatu masa ketika Ibrahim a.s. belum memiliki putera, peristiwa ini banyak terjadi di Ur, Palestina, Haran atau sebelum kepergian Ibrahim a.s. ke Mekah.

2. Lingkungan Kehidupan Lingkungan kehidupan yang mewarnai kehidupan Ibrahim terutama yang menggerakkan akal pemikirannya adalah adalah lingkungan yang menjadikan benda-benda langit sebagai sembahan dan berhala-berhala yang dibuat sendiri oleh kaumnya dianggap sebagai tuhan.

3. Lingkungan kekuasaan Namrud Dalam alquran digambarkan dialog yang dilakukan Ibrahim a.s dengan raja Babilonia kala itu yang sering disebut sebagai Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Saam bin Nuh. Dialog yang dilakukan oleh Ibrahim dengan Namrud perihal kekuasaan Allah swt. dalam menghidupkan sesuatu yang telah mati. Ibrahim berdoa kepada Allah swt. agar ditunjukkan sebuah bukti bahwa sesuatu yang telah mati dapat hidup kembali dan allah swt. mengabulkan permohonan itu dengan perantaraan burung yang dipotong- potong dan setiap bagiannya diletakkan di atas bukit yang berbeda. Dan 3. Lingkungan kekuasaan Namrud Dalam alquran digambarkan dialog yang dilakukan Ibrahim a.s dengan raja Babilonia kala itu yang sering disebut sebagai Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Saam bin Nuh. Dialog yang dilakukan oleh Ibrahim dengan Namrud perihal kekuasaan Allah swt. dalam menghidupkan sesuatu yang telah mati. Ibrahim berdoa kepada Allah swt. agar ditunjukkan sebuah bukti bahwa sesuatu yang telah mati dapat hidup kembali dan allah swt. mengabulkan permohonan itu dengan perantaraan burung yang dipotong- potong dan setiap bagiannya diletakkan di atas bukit yang berbeda. Dan

4. Lingkungan keluarga Sasaran dakwah Ibrahim yang pertama kali adalah orang yang paling dekat dengannya, yaitu Azar, sang ayah. Namun, dakwahnya ditolak oleh ayahnya. Walaupun ditolak oleh ayahnya, Ibrahim dengan bahasa yang santun menympaikan kebenaran yang diyakininya dengan menyampaikan bukti-bukti bahwa benda yang dibuat dengan tangan manusia tidak mungkin mempunyai kekuatan atau kekuasaan melebihi manusia yang menciptakannya.

5. Sistem kehidupan Ibrahim hidup di tengah budaya feodalisme yang dipimpin oleh seorang

raja bernama Namrud. Dalam lingkunganyang memiliki tradisi atau adat istiadat menyembah berhala. Padahal berhala tidakdapat memberikan kemanfaatan apapun bagi orang yang membuatnya.

5. Bahasa (Simbol, Gaya Bahasa/ Dialog)

Kisah di dalam Alquran bukan merupakan karya sastra yang bebas, baik dalam tema, plot, penokohan, seting maupun bahasa (termasuk di dalamnya gaya bahasa), senantiasa tunduk kepada tujuan keagamaan yaitu untuk mencapai tujuan yang mulia. Namun, ketundukkan ini tidaklah menghalangi

munculnya karakteristik seni (gaya bahasa) dalam pemaparannya 32 . Sehingga pemaparan kisah dalam Alquran merupakan gabungan dari aspek seni dan

aspek keagamaan. Dapat dimaklumi bahwa Alquran secara empiris merupakan suatu naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Namun, harus dipahami bahwa Alquran berbeda dengan teks- teks sastra ataupun teks-teks lainnya. Hal ini disebabkan sifat hakikat bahasa

32 Sayyid Quthb, Al-Tashwîr al-Fanni fî Al-Qur’ân, h. 11.

yang terkandung di dalam Alquran memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi lainnya dalam komunikasi antar manusia. Perbedaan tersebut terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa Alquran yang khas, universal, dan

mengatasi ruang dan waktu. 33 Kekhususan sifat hakikat Alquran itu adalah sarana komunikasi antara Allah swt. dengan makhluk, terutama manusia

sedangkan bahasa dalam pengertian umum hanya merupakan komunikasi antar sesama manusia.

Bahasa pada dasarnya merupakan sarana pengungkapan sastra. Keindahan sebuah sastra tergantung pada konteks pemakaian dan situasi wacana dimana tuturan itu terjadi. Hakikat bahasa merupakan suatu struktur

dan makna. Struktur berkaitan dengan bentuk kata, kaidah kata, susunan frasa, struktur kalimat, makna kalimat, struktur fonologi dan pengucapannya 34 .

Dengan demikian, suatu bahasa sebagai sarana komunikasi harus memenuhi seluruh unsur hakikat makna bahasa dan harus berkaitan dengan aspek pragmatisnya.

Untuk memahami struktur kalimat, struktur frasa sebuah kalimat dalam teks Alquran dapat dilakukan melalui pendekatan stilistika, suatu pendekatan secara sederhana diartikan sebagai kajian linguistik yang objeknya berupa style 35 . Cara atau gaya bahasa suatu kisah dalam Alquran, meliputi: teknik

pemaparan kisah, penyajian unsur-unsur kisah, pengulangan kisah dan seni penggambaran kisah 36 .

Alquran sendiri menegaskan bahwa wahyu disampaikan dalam “bahasa Arab” yang jelas Al-Nahl [QS.16: 103] dan Al-Syu’arâ [QS. 26: 195].

33 Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika Alquran, Yogyakarta: Islamika, 2003, h. 70 34 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Alquran, h. 70

35 Style berarti suatu cara penggunaan bahasa dari seseorang dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu, lihat Geoffrey Neil Leech, Style in Fiction, London: Longman, 1981, h. 10

36 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Alquran, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, h. 66

Montgomery mengatakan terdapat berbagai bentuk atau ciri bahasa yang digunakan di dalam Alquran 37 , yaitu:

1) Bentuk slogan atau peribahasa, seperti firman-Nya: “Petunjuk Allah adalah petunjuk (yang sebenarnya) ” Al-Baqarah [QS. 2: 120] atau “Allah adalah (penentu) nasibku kepadanyalah orang-orang yang tawakkal berserah diri ” Al-Zumar [QS. 39: 38] atau sebagaimana perkataan Ibrahim a.s.; “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat ”

2) Bacaan yang memastikan positif dan ”kapan”, biasanya menunjukkan waktu atau didahului dengan ”idza” (ketika/ apabila) atau ”yauma” (hari

ketika), ”falamma” (tatkala) seperti: ” Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan ” Al-Nashr [QS. 110: 1] atau, ”Maka tatkala anak

itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu ” Al-Shaffât (QS. 37: 102]

3) Adegan dramatik. Alquran menggambarkan suatu peristiwa secara dramatik dengan maksud untuk meninggalkan kesan dalam hati nurani dan memenangkan suatu argumen. Misalnya peristiwa hari kiamat dan hidup yang akan datang ditampilkan atau adegan dramatik dari peristiwa pengurbanan Ismail a.s.: Al-Shâffat [QS. 37: 102 – 103]

4) Narasi dan Perumpamaan. Narasi yang paling panjang adalah kisah Yusuf a.s. dalam Surah Yusuf, dan sesekali kejadian-kejadian akan disela dengan penjelasan-penjelasan mengenai maksud Allah swt. dalam kejadian itu. Ciri lainnya adalah perumpaan atau matsal, seperti dalam Al-Jumu’ah [QS. 62: 5]. Menurut penelusuran penulis, ayat-ayat yang mengkisahkan Ibrahim a.s. tidak terdapat kandungan matsal atau perumpamaan.

37 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Alquran, penerjemah, Lilian D Tedjasudhana, Jakarta INIS, 1998, h. 66

Namun, tidak demikian halnya dengan narasi. Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia 38 , narasi berarti penceritaan suatu cerita atau

kejadian, pengertian lainnya adalah cerita atau deskripsi dari suatu kejadian atau peristiwa. Menurut pengertian ini, maka narasi dalam ayat-

ayat Ibrahim a.s. dapat dimulai dengan kata seperti: Al-An’am [QS.

Meskipun dalam imajinasi umum kalangan muslim, tokoh-tokoh yang diceritakan dalam narasi kisah Ibrahim a.s. adalah nyata, artinya tokoh-tokoh yang benar-benar ada akan tetapi sangat sedikit atau tidak ada

perhatian yang detil terhadap tokoh-tokoh itu. Hal ini disebabkan pelajaran dari kehidupan dan perjuangan mereka merupakan isu pokok dari pesan-pesan Ilahi. Kalaupun ada tokoh yang diceritakan detil di dalam ayat Alquran, lebih dikarenakan kesamaan predikatnya dengan Ibrahim a.s., sebagai Nabi dan Rasul, yaitu Ismail a.s. dan Luth a.s.

Sesungguhnya pesan utama dari narasi, dengan ketiadaan perhatian yang detil terhadap tokoh lain, adalah tekanan pada kontinuitas kenabian Muhammad saw. dan para nabi sebelumnya, sebagai pelajaran moral dan peringatan bagi orang-orang yang mengabaikan atau menentang perintah Allah. Kisah-kisah ini juga sekaligus memantapkan jalan dan risalah Nabi Muhammad saw. atas apa yang sudah ditempuhnya dengan menceritakan padanya bahwa para nabi sebelumnya juga memiliki musuh, dan dengan

keyakinan serta keteguhan mereka melawan musuh-musuhnya. 39

5) Bahasa Kiasan.

38 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia 39 Farid Esack, Samudra Alquran, terjemahan dari, The Quran: A Short Introduction, Oxford:

Oneworld Publication, 2002, h. 135

Dalam Alquran terdapat banyak kiasan (simile). Seperti dalam pemberitaan hari kiamat ”Ketika langit digulung seperti gulungan kertas” Surah Al-Anbiyâ’ [QS. 21: 104].

6. Moral (Pesan)

Moral seperti halnya tema merupakan unsur isi. Ia merupakan pesan- pesan yang akan disampaikan kepada pembaca. Moral merupakan makna yang terkandung dalam sebuah kisah atau makna yang disarankan lewat cerita. 40 Seringkali memang, moral diidentikkan dengan tema walaupun

sesungguhnya berbeda. Moral lebih dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. 41

Lebih tegasnya, moral mengacu pada pengertian tentang ajaran baik buruk, yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, etika, budi pekerti, susila, dan sebagainya. Jenis moral itu sendiri dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Kiranya dapat diklasifikasikan persoalan hidup manusia, yaitu kesatu, persoalan hubungan manusia dengan sesamanya di dalam lingkup masyarakat atau social. Kedua, hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ketiga, hubungan manusia dengan lingkungan alam dan keempat hubungan manusia dengan Allahnya.

Alquran banyak mengandung pesan-pesan moral yang tentu saja dapat mengandung persoalan hidup atau hubungan hidup manusia dengan salah satu, dua, tiga atau keempatnya sekaligus. Meskipun dari ketiga hubungan tersebut akan bermuara pada hubungan yang keempat, yaitu kepada Allahnya.

Kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran banyak mengandung pesan-pesan moral yang disampaikan kepada pembacanya. Di antara pesan-pesan moral dari kisah Ibrahim a.s. yang dapat penulis tangkap adalah:

40 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 320 41 William Kenny, How to Analyze Fiction, New York: Monarch Press, 1966, h. 89.

- Tujuan mulia tidak akan tercapai tanpa kesabaran, pengorbanan, komitmen dan konsistensi (istiqâmah) - Pendekatan dialogis lebih diutamakan daripada menggunakan pendekatan kekerasan dalam pendidikan dan berdakwah. - Berprasangka baik kepada Allah swt. dengan kesabaran dan tunduk dalam melaksanakan segala perintah-perintahNya serta menjauhi larangan- laranganNya (dalam rangka mencapai tujuan hidup yang mulia).

B. KOHERENSI DAN KETERPADUAN UNSUR-UNSUR DALAM KISAH IBRAHIM A.S.

Secara umum, kehidupan Nabi Ibrahim a.s. terbagi kepada dua tahap, yaitu ketika beliau berada di Mekah dan yang kedua ketika berada di tempat sebelum

Mekah, seperti Iraq (tanah kelahirannya), Palestina, Haran (Turki) dan Mesir. Di dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud mengkaji keseluruhan kehidupannya, namun lebih fokus kepada ujian terhadap diri dan keluarganya serta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sebagaimana dikisahkan Alquran. Alquran tidak menceritakan alur peristiwanya secara berurutan, tetapi lebih mementingkan tema atau pesan-pesan yang diangkat walau tidak mengabaikan peristiwa itu sendiri.

Penulis membagi dua episode, yaitu: episode sebelum Mekah dan episode Mekah. Pertimbangan penulis membagi ke dalam dua episode ini adalah faktor subjektif semata. Diketahui, bahwasanya kisah Ibrahim a.s. secara umum terbagi ke dalam masa ketika beliau bersama Ismail a.s. membangun Kakbah, Ismail a.s. dikurbankan, dan Hajar serta Ismail a.s. ditinggalkan di padang tandus, peristiwa ini terjadi di Mekah dan satu masa lain ketika Ibrahim a.s. belum memiliki putera, peristiwa ini banyak terjadi di Ur, Palestina, Haran atau sebelum kepergian Ibrahim a.s. ke Mekah.

1. Pendahuluan Di dalam Alquran, Allah swt. memerintahkan kepada Muhammad 1. Pendahuluan Di dalam Alquran, Allah swt. memerintahkan kepada Muhammad

41] dan Al-Syu’arâ’ [QS.26: 69 – 70], yang pada hakikatnya juga mengajak atau memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membaca cerita atau kisah Ibrahim a.s., karena di dalamnya terdapat keistimewaan-keistimewaan yang dapat dijadikan ibrah bagi ummat sesudahnya.

Terdapat sepuluh keistimewaan atau pujian yang diberikan Allah swt.

kepada Ibrahim a.s. 42 , yaitu:

1) Ibrahim a.s. adalah orang yang selalu berbuat baik dengan tulus (muhsin).

Al-Shaffât [QS. 37: 104 – 105];

2) Imam teladan yang patuh kepada Allah swt (qânit) lagi lurus (hanîf). Al- Nahl [QS.16:120];

3) Dia adalah orang yang pandai bersyukur, orang yang dipilih dan diberi petunjuk oleh Allah swt. Pada jalan yang lurus (shirath al-mustaqîm). Al- Nahl [QS. 16: 121];

4) Orang shalih yang mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Nahl [QS.16: 122];

5) Seorang Nabi yang sangat cepat membenarkan (shiddiq) segala hal ghaib yang datang dari Allah swt. Maryam [QS. 19: 41];

6) Orang yang sangat lembut hatinya dan penyantun (awwâh halîm). Al- Taubah [QS. 9: 114];

7) Orang yang selalu menepati janji (alladzî waffâ). Al-Najm [QS. 53: 37];

8) Orang yang mencapai derajat kekasih Allah (Khalil Allah). Al-Nisâ’ [QS.

9) Orang yang memiliki karya besar dan ilmu tinggi (uli al-aidî wa al- abshâr ) serta disucikan oleh Allah swt. sehingga menjadi hamba yang mulia serta selalu mengingat kehidupan akhirat. Shâd [QS. 38: 45 – 47];

42 Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji, h. 33

10) Orang yang senang menjamu tamu dengan jamuan yang berlimpah, sehingga beliau dijuluki abu dlaif. Hûd [QS 11: 69 – 70] dan Al-Dzâriyât [QS. 51: 25 – 27.]

2. Episode Sebelum Mekah

a. Kelahiran Nabi Ibrahim as. dan masa remajanya (tidak diceritakan di dalam Alquran kapan dan dimana) Menurut riwayat yang masyhur Nabi Ibrahim a.s. dilahirkan pada tahun 2166 SM 43 di sebuah gua, namun tidak ada yang mengetahui pasti

dimana letak gua tersebut. Ibnu Abbas mengemukakan bahwa Ibrahim a.s. dilahirkan di Babil (Babilonia, Irak), pendapat Ibnu Abbas inilah yang

sangat terkenal. Ketika itu ibunya ingin menghindari pembantaian bayi lelaki besar-besaran di negerinya yang dilakukan seorang penguasa. Para ahli sejarah berkeyakinan bahwa penguasa tersebut bernama Nimrod atau Namrud atau Namrudz.

Dikisahkan, keputusan Namrud untuk membantai seluruh anak laki- laki diawali oleh datangnya seorang peramal yang mengatakan kepadanya akan lahir seorang bayi laki-laki dan ia akan mengakhiri kerajaan Namrud. Ketika disembunyikan orang tuanya di dalam gua itu, bayi Ibrahim a.s. tidak mendapatkan makanan apa-apa kecuali dari ibu jarinya yang selalu dihisap-hisapnya dan membuatnya kenyang. 44

Agama Yahudi dan Nasrani mengenal Ibrahim a.s. sebagai Abraham. Tidak jelas asal usul Ibrahim a.s. Satu-satunya informasi genealogis yang diceritakan Alquran adalah bahwa Ibrahim a.s. itu putera

Azar, sebagaimana surah Al-An’am [QS. 6: 74] 45

43 Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 24 44 Kamal al-Sayyid, Kisah-kisah Terbaik Alquran, h. 60 45 Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 25, tetapi Alquran Terjemah terbitan

Departemen Agama menjelaskan bahwa di antara Mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Abiihi (bapaknya) ialah pamannya

Ibnu Katsir lebih spesifik lagi menyebutkan genealogis Ibrahim a.s. dengan lengkap. Nama lengkap Ibrahim a.s. jika mengacu pada bapak dan nenek moyangnya adalah Ibrahim a.s. ibn Tarikh (250) ibn Nahur (148) ibn Sarugh (230) ibn Raghu (239) ibn Faligh (439) ibn Abir (464) ibn

Syalih (433) ibn Arfakhsyadz (438) ibn Saam (600) ibn Nuh a.s 46 . Berbeda dengan Ibnu Katsir Jerald F. Dirk, menambahkan silsilah

keturuan Ibrahim a.s. setelah Ibn Syalih (433) adalah Qaynan 47 , baru kemudian Arfakhsyadz (438) dan ibn Saam (600). Lebih lanjut Ibn Katsir mengatakan bahwa ibu Ibrahim a.s. bernama Amilah. Ibrahim a.s. dilahirkan ketika Tarikh berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun. Saudara-

saudara kandung Ibrahim a.s. adalah Nahur atau Nahor dan Haran, dari Haran inilah lahir Luth a.s. 48

Ibnu Katsir juga menceritakan, Tarikh mengajak Ibrahim a.s. dan isterinya, serta Luth pergi ke Haran. Pada zaman itu, penduduk haran menyembah tujuh bintang dan berkiblat ke kutub selatan. Dan tiap-tiap tujuh bintang tersebut, para penduduk selalu mengadakan hari raya dan juga berkurban. Tidak jelas apa motivasi Tarikh pergi ke Haran. Berdasarkan penemuan arkeologis teridentifikasi bahwa Haran merupakan pusat penyembahan dan pemujaan dewa bulan Akad dan Sin yang merupakan dewa utama yang dipuja di Ur. Sejalan dengan penemuan arkeologis tersebut nampaklah bahwa Haran merupakan lokasi ziarah favorit bagi para pemuja Sin (sebagaimana Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis sebagai ziarah favorit bagi ummat Islam). Dari fakta itu, menurut

Jerald F. Dirk 49 , maka motivasi Tarikh ke negeri Haran dalam rangka perjalanan religius.

46 Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiyâ’, Tanpa Kota: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, h. 166 47 Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 31. 48 Jerald F. Dirk mengemukakan hal yang sama perihal saudara kandungnya, Ibrahim Sang

Sahabat Tuhan , h. 25. 49 Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 66

Semenjak kecil, Ibrahim a.s. telah dianugerahi oleh Allah swt. akal yang cerdas lagi kritis. Dia memberikan kepada Ibrahim a.s. kematangan dan hikmah di usia dini. Ahmad Bahjat menceritakan kekritisan Ibrahim a.s. di waktu kecil ketika melihat ayahnya membuat patung-patung

tuhan. 50

b. Ibrahim a.s. mengamati alam untuk sampai pada penemuan hakikat “Allah”. Di atas digambarkan bahwa penduduk Ur adalah penyembah bulan dan tujuh bintang. Dan dijelaskan pula, Ibrahim a.s. telah mencapai kematangan akalnya. Pada saat hari menjadi gelap, Ibrahim a.s.

bertafakkur dan pergi ke kota untuk mencari kebenaran. Terlihatlah penerangan yang menyala di suatu kuil, dan nampak orang-orang sedang

menyembah planet. Mereka berfikir bahwa planetlah tuhan mereka. Kepekaan religius Ibrahim a.s. terus menerus terfokus pada tritunggal yang berhubungan dengan benda langit yang terdiri atas bulan, bintang, dan matahari, yang merupakan sesembahan kaum Ur. Ketika

menginjak usia remaja sekitar 14 tahun 51 , ia mulai berproses menjadi seseorang yang secara spiritual, religius. Ia mulai mempertanyakan

konteks religius yang mengelilinginya dan memalingkan pada benda tritunggal tersebut yang secara sakral menjadi sesembahan. Dan ia mulai merenungkan hukum-hukum alam yang mengatur dan menata benda- benda langit. Dengan kebijakannya, Ibrahim a.s. mengajak kaum Ur untuk menggunakan akalnya dalam menemukan hakikat Tuhan. Al-An’am [ QS.

6: 75 – 79] Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa peristiwa yang diceritakan oleh Allah swt. di dalam ayat-ayat di atas adalah persitiwa di mana Nabi Ibrahim a.s. sedang mencari-cari Tuhannya. Di antara yang

50 Ahmad Bahjat, Ensiklopedi Nabi-nabi Allah, penerjemah, Khalifurahman Fath, Yogyakarta: Al- Manar, 2007, h. 126 – 128.

51 Jerald F. Dirk. Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 46 51 Jerald F. Dirk. Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 46

Jika Ibrahim a.s. menerangkan fenomena matahari, bintang, dan bulan sebagai perwujudan argumentasinya, maka kata ’ În 1 u ‘ tidak

dipahami sebagai suatu benda yang memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah. 52 Kondisi dalam sebuah diskusi atau dialog ilmiah berbeda

dengan kondisi lainnya. Artinya, dalam sebuah diskusi adakalanya pembicara mengajukan argumen walau yang ia ajukan bukan merupakan keyakinannya bertujuan untuk mencari kebenaran atau membantah

lawan bicaranya. Oleh sebab itu, Ibrahim a.s. mengatakan ’ În 1 u ‘ tidak diartikan bahwa ia mengatakan tritunggal benda langit memiliki sifat-sifat

ilahiyah melainkan hanya bermaksud menggiring kaumnya untuk menerima argumen (hujjah), padahal tentu saja beliau telah meyakini bahwa benda-benda tersebut tidak memiliki sifat-sifat rububiyah. Sekali lagi, Ibrahim a.s. memperlihatkan kepada kaumnya seakan-akan ia menyetujui keyakinan mereka, namun bukan berdasarkan taqlid (tanpa dasar ilmiah). Bahkan beliau bermaksud menunjukkan bukti dasar tentang tritunggal benda langit tidaklah pantas menyandang sifat ilahiyah maupun rububiyah.

52 Syaikh Abd al-Rahman ibn Nashir Al-Sa’di, Tafsîr al-Lathîf al-Manân fî Khulashah Tafsîr al- Qur’ân , penerjemah, Abu Muhammad Idral Haris, Tegal: Pustaka Al-Nusroh, 2004, h. 440.

Ibrahim a.s. ingin mengatakan kepada kaumnya dengan dalil-dalil rasional. Ia berargumen bahwa benda-benda yang memiliki sifat tenggelam, mati, terbenam, tidak bisa dijadikan sandaran. Benda-benda tersebut dianggap tidak dapat mempertahankan eksistensi dirinya. Seolah- olah ia ingin mengatakan, “saya belum mantap bertuhankan bulan”. Pola argumentasi Ibrahim a.s. seperti di atas dikisahkan pula oleh Allah swt. dalam Al-Anbiyâ’ [QS. 21: 62 – 63]

Pada ayat ini, seakan-akan Ibrahim a.s. ingin memposisikan diri seperti kaumnya sebagai penyembah berhala (patung), walaupun sesungguhnya Ibrahim jelas-jelas tidak meyakini hal yang sama. Kira-kira

Ibrahim a.s. ingin mengatakan: ”bukan saya, mana mungkin saya melakukannya (karena saya sama seperti engkau), tanyalah sama patung

yang besar itu ”. Sekali lagi, jelaslah disini bahwa Ibrahim a.s. semata- mata ingin menggiring mereka kepada argumentasi yang dapat diterima oleh akal. Dengan sifatnya yang hanîf, maka Ibrahim a.s. bersih dari prasangka-prasangka yang mengotori keyakinannya terhadap Allah swt. Menarik untuk ditelaah, dalam kasus ini Ibrahim a.s. sekaligus mengajak kepada kaumnya untuk bisa merasakan kehadiran Allah Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya bukan kepada wujud-Nya. Sebab wujud Allah tidak bisa dilihat, melainkan dirasakan kehadirannya melalui ayat-ayat-Nya atau ciptaan-Nya. Seperti diketahui pula, tidak ada satupun kitab suci agama lain yang menyebutkan dan menjelaskan wujud Allah. Ibrahim a.s. ingin memberikan bukti-bukti ilmiah bahwa Allah itu ada dan bisa dirasakan melalui ciptaan-Nya. Al-Anbiyâ’ [QS. 21: 51 – 73] dan Al-An’am [QS. 6:

76 – 78] Inilah salah satu kisah Ibrahim a.s. yang diceritakan di dalam Alquran, suatu kisah tentang perjalanan spiritual Ibrahim a.s. dalam menemukan keesaaan Allah swt.

c. Ibrahim a.s. menghancurkan berhala Konflik terus berlanjut. Kala itu ada perayaan religius, mungkin dipersembahkan kepada dewa atau sesembahan mereka, para penduduk mengajaknya namun Ibrahim a.s. menolaknya dengan alasan sakit, terdapat dalam Al-Shaffât [QS. 37: 89], bahkan ia mengisyaratkan bahwa ia memiliki rencana atas berhala-berhala tersebut, sebuah rencana yang akan ia laksanakan ketika orang lain tidak ada yang mengawasi. Al- Anbiyâ’ [QS. 21 : 57]

Dengan penuh hati-hati Ibrahim a.s. keluar menuju rumah ibadah (kuil) sambil membawa sebilah kapak yang tajam. Lalu ia menghampiri

berhala kayu berlapis emas yang berbusana megah dan memiliki sajian makanan lezat di hadapannya. Ibrahim a.s. kemudian menghina berhala

itu, dan juga menghina konsep pemberhalaan, yaitu bahwa manusia sangat menipu diri sendiri karena menyembah sesuatu yang diciptakannya. Patung yang ditanya membisu, dan patung-patung lainpun tidak luput dari hinaan dan ejekan Ibrahim a.s. Al-Shaffât [QS. 37: 83 – 113], senada dengan ayat di atas, Surah Al-Anbiyâ’ [QS. 21: 58] juga mengkisahkan hal yang sama.

Dari kedua ayat di atas, tidak ada ditemukan pengulangan. Bila kedua ayat tadi ditempatkan dalam satu konteks, peristiwa penghancuran berhala, maka kejadian yang diceritakan dalam ayat kedua tadi tidak lain hanyalah pelengkap dari kejadian yang dikisahkan sebelumnya.

d. Ibrahim a.s. mengajak kaumnya menyembah Allah swt. dan beragama yang hânif serta diadili Namrud Setelah perayaan keagamaan selesai, para pendeta (pemuka agama) beserta pengikut-pengikutya kembali ke kuil untuk memberikan sesembahan kepada Allah-Allah mereka, namun mereka mendapati berhala-berhala telah hancur berkeping-keping kecuali yang besar. Tanpa mengiyakan dan mengingkari apa yang telah ia lakukan, Ibrahim a.s.

mencela para pendeta dan pengikut-pengikutnya serta menyampaikan keyakinannya. Al-Shaffât [QS. 37: 94 – 96]

Sayangnya pesan-pesan Ibrahim a.s. tidak menjadikan mereka sadar melainkan meningkatkan kemarahan dan kegusaran. Lalu mereka berteriak dengan suara lantang dan meminta Ibrahim a.s. dibakar hidup- hidup karena diduga telah menghancurkan Allah-Allah mereka. Al-Shaffât [QS. 37: 97].

Karena kegaduhan dan keributan yang terjadi di kuil, Namrud segera datang. Setelah tahu apa yang terjadi, ia mengkhawatirkan tahtanya, sehingga ia memerintahkan agar Ibrahim a.s. ditangkap dan diadili. Inilah

peristiwa puncak konflik antara Ibrahim a.s. di satu sisi dengan pendeta, pengikut-pengikutnya dan Namrud di sisi lain. Proses pengadilan

digambarkan di dalam Alquran Surah Al-Anbiyâ’ [QS. 21: 59 – 70]. Ibrahim a.s. memberikan hujjah kepada kaumnya. Ia membungkam mereka dengan bukti-bukti dan logika pemikiran. Dengan nada mengejek Ibrahim a.s. melemparkan tuduhan menghancurkan berhala yang diarahkan kepada dirinya kepada patung yang paling besar. Ia juga meminta mereka untuk menanyakan siapa yang menghancurkan berhala- berhala tersebut. Akan tetapi berhala-berhala itu tetap membisu.

Tidak diketahui secara jelas dalam beberapa literatur kapan kejadian perdebatan (dialog) antara Ibrahim a.s. dengan Namrud, apakah sebelum pengadilan ataukah pada saat pengadilan itu sendiri dilaksanakan. Namun Alquran mengabadikan dialog Ibrahim a.s. dengan Namrud tersebut Al-Baqarah [QS. 2: 258].

Menarik untuk diperhatikan bahwa Ibrahim a.s. menggunakan gaya bahasa yang disesuaikan dengan audien atau sasaran dakwahnya. Jika diamati, penggunaan kata pada dialog Ibrahim a.s. kepada ayahnya mengandung makna atau unsur kasih sayang sesuai dengan sifatnya sebagai seorang anak di samping seorang rasul yang diutuskan oleh Allah Menarik untuk diperhatikan bahwa Ibrahim a.s. menggunakan gaya bahasa yang disesuaikan dengan audien atau sasaran dakwahnya. Jika diamati, penggunaan kata pada dialog Ibrahim a.s. kepada ayahnya mengandung makna atau unsur kasih sayang sesuai dengan sifatnya sebagai seorang anak di samping seorang rasul yang diutuskan oleh Allah

sendiri mengetahui dengan jelas dakwahnya ditolak oleh ayahnya. Lafaz yang berbeda digunakan untuk objek dakwahnya masyarakat umum, Nabi Ibrahim a.s. menggunakan gaya bahasa yang sesuai sifat masyarakat yang “ngeyel”, fanatik terhadap keyakinan dan golongannya. Misalnya

perkataan yang artinya celakalah kamu, jijik perasaanku terhadap kamu . Jelas sekali kata tersebut mengandung celaan, terhadap

penyembah-penyembah berhala yang tetap ingkar menerima kebenaran sekalipun mereka sudah kalah di dalam perdebatan.

Sebagian besar mufassirin berpendapat bahwa peristiwa ”Empat Ekor Burung” yang dicincang dan kemudian dihidupkan kembali oleh Allah swt. terpisah dengan peristiwa pengadilan Ibrahim a.s.. Namun, menurut Kamal al-Sayyid kejadian tersebut menyatu dengan peristiwa pengadilan Ibrahim a.s. 53 , yaitu ketika Namrud telah menunjukkan kepada

Ibrahim a.s. bagaimana ia bisa menghidupkan dan mematikan dengan memanggil dua orang tahanan, yang satu divonis hukuman mati dan yang lain dibiarkan hidup. Kemudian Namrud, karena terdesak atau keras kepala, ia meminta Ibrahim a.s. untuk menunjukkan pula bagaimana Allahnya bisa mematikan dan menghidupkan. Lantas Ibrahim a.s. meminta kepada Allah swt. untuk menunjukkan bagaimana proses kehidupan dan kematian. Al-Baqarah [QS. 2: 260]

Menurut penulis, pendapat terakhirlah yang dapat dijadikan pegangan, mengingat tidak ada kaitan peristiwa ”Empat Ekor Burung” dengan peristiwa-peristiwa lainnya dalam kisah Ibrahim a.s. Di sisi lain ayat ini beriringan dengan ayat tentang kejadian pengadilan Ibrahim a.s., meskipun tidak bisa dijadikan patokan atas pendapat di atas. Argumen lain

53 Kamal al-Sayyid, Kisah-kisah Terbaik Alquran, h. 67.

adalah, sejak kecil Ibrahim a.s. telah memperoleh kematangan religius dan dianugerahi akal penalaran yang kritis. Maka, kurang tepat jika Ibrahim a.s. merasa perlu meminta Allah untuk menunjukkan proses kehidupan dan kematian tanpa ada konteksnya. Konteks kemantapan dan keyakinan yang diharapkan Ibrahim a.s. pada ayat di atas adalah semata-mata untuk digunakan pada adu debat atau argumen Ibrahim a.s. kepada lawan bicaranya yaitu Namrud. Jelasnya, Ibrahim a.s. memperoleh satu dalil atau hujjah bahwa apa yang dikatakan Ibrahim a.s. bukanlah omong kosong tetapi dengan pembuktian empirik.

e. Kelemahan dan kerentanan sifat manusia (fanatisme terhadap golongan dan keyakinan lama yang dianut) jika berhadapan dengan kebenaran

adalah cenderung menanggapinya dengan emosional daripada secara logis. Hal itu dikarenakan kekhawatiran dan keterpaksaan manusia dalam menghadapi kebenaran. Sifat tersebut cenderung muncul bila sifat mutlak dari kebenaran itu dibentuk oleh penalaran dan logika yang tidak dapat dijelaskan, terutama bila orang itu terperangkap dengan kesombongan, keangkuhan dan kebanggaannya sendiri serta golongannya. Maka jawaban yang diterima Ibrahim a.s. bukanlah kesadaran mereka untuk kembali kepada Allah yang benar, melainkan respon emosional dengan tetap meminta kepada Namrud untuk membakarnya. Tidak demikian halnya dengan Ibrahim a.s., walau menghadapi ancaman siksaan dan hukuman, ia tetap mengajak mereka dengan santun kembali kepada kebesaran Allah Pencipta Alam Al-‘Ankabût [QS. 29: 16 – 27]

f. Keyakinan Luth dan Pernikahan Ibrahim a.s. menikahi Sarah Meskipun mayoritas penduduk Ur tidak mau menerima ajakan dakwah Ibrahim a.s. yaitu ajaran monoteisme (tauhid), setidaknya ada dua f. Keyakinan Luth dan Pernikahan Ibrahim a.s. menikahi Sarah Meskipun mayoritas penduduk Ur tidak mau menerima ajakan dakwah Ibrahim a.s. yaitu ajaran monoteisme (tauhid), setidaknya ada dua

Alquran dan hadis shahih tidak memberikan petunjuk berapa usia Ibrahim a.s. ketika menikah dengan Sarah. Menurut penelitian Dirks yang bersumber dari beberapa kitab perjanjian lama, hanya diketahui bahwa Ibrahim a.s. lebih tua 10 tahun dibandingkan Sarah 55 . Dan hingga usia 75

tahun Ibrahim a.s. belum dikaruniai anak.

g. Ibrahim a.s. meninggalkan kampungnya Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa motivasi Ibrahim a.s. meninggalkan kaumnya adalah kekecewaan Ibrahim a.s. melihat tiadanya

harapan bagi kaumnya untuk mau mengikuti risalahnya. Sementara Kamal al-Sayyid beranggapan bahwa alasan kepergian Ibrahim a.s. adalah karena

mendapatkan hukuman psikis diusir dari kampungnya oleh Namrud, setelah hukuman pembakaran tidak punya pengaruh apa-apa 56 . Jika menilik Surah Maryam [QS. 19: 46], akan nampak sesungguhnya Ibrahim a.s. meninggalkan kaumnya disebabkan Azar-lah yang mengusirnya sekaligus tidak mengakui puteranya (anak asuhnya) tersebut, bahkan bersiap akan membunuh Ibrahim a.s. dengan cara dirajam.

Namun demikian, walaupun diusir oleh ayahnya (Azar), Ibrahim a.s. tetap mendoakannya dan meninggalkan ayahnya dengan kata-kata manis. Maryam [Q.S. 19: 47-48].

h. Ibrahim a.s. di Mesir Ibrahim a.s., Sarah dan Luth tiba di Mesir, karena ada ketentuan untuk membayar pajak pada orang yang baru tiba di Mesir, maka Ibrahim

54 Riwayat Ibnu Jarir dalam Ibnu Katsir mengatakan bahwa Sarah adalah puteri Raja Haran, namun yang paling masyhur adalah sepupu dari ayah Ibrahim.

55 Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 64 56 Kamal al-Sayyid, Kisah-kisah Terbaik Alquran, h. 70.

a.s. menyerahkan pajaknya. lalu Ibrahim a.s. diterima oleh raja 57 . Dikisahkan pula raja melihat kecantikan Sarah dan ia bertanya kepada

Ibrahim a.s. apa hubungannya dengan Sarah, Ibrahim a.s. menjawab bahwa sarah adalah saudara perempuannya. Tidak ada literatur yang jelas mengapa Ibrahim a.s. berbohong tentang hubungannya dengan Sarah, beberapa hadis shahih yang diriwayatkan Bukhari mengatakan bahwa hal yang demikian karena ia diperintahkan oleh Allah swt., dan ia juga mengetahui secara persis apa yang akan terjadi jika mengatakan yang sebenarnya. Namun, dalam hadis shahih memang tidak dijelaskan apa yang akan terjadi jika Ibrahim a.s. mengatakan yang sebenarnya.

Tatkala raja ingin menyentuh Sarah, Ibrahim a.s. memalingkan muka seraya berdoa kepada Allah swt. agar ia dan isterinya dilindungi dari

perbuatan jahat. Dan Allah swt. mengabulkannya dengan membuat tangan dan tubuh raja lumpuh. Kemudian raja itu menjadi tidak mampu menyentuh Sarah. Ia tahu bahwa Ibrahim a.s. telah mencegahnya dari perbuatan itu. Ia bertanya kepada Ibrahim a.s., ”apakah Tuhanmu telah mencegahku dari melakukannya ?”. Ibrahim a.s. menjawab: ”iya, Tuhanku Maha Pemurah ”. Raja Mesir itu berkata lagi, ”Tuhanmu Maha Pemurah dan engkau juga pemurah, maka mintalah kepada Tuhanmu untuk menyembuhkan tanganku, dan aku tidak akan berbuat seperti itu lagi ”. Lalu Ibrahim a.s. memohon kepada Allah swt. untuk menyembuhkan tangan raja itu, dan Allah swt. memperkenankan permohonannya 58 .

Kisah di atas tidak terdapat dalam Alquran, namun dikisahkan dari beberapa hadis Shahih riwayat Bukhari.

57 Disebutkan bahwa raja yang dimaksud adalah Fir’aun dari dinasti I, lihat Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan , h. 64

58 Dikisahkan pula bahwa sesungguhnya yang berdoa kepada Allah s.w.t adalah Sarah. Dan kelakuan Raja tersebut diulang sebanyak tiga kali, dan sebanyak 6 kali Sarah memohon kepada Allah

swt. 3 kali agar dijauhi dari kejahatan raja, dan 3 kali agar menyembuhkannya. Lihat Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan , h. 104 – 105.

i. Ibrahim a.s. menikahi Hajar Sebagaimana diceritakan sebelumnya perihal perjumpaannya dengan Raja yang berusaha menggoda dan mempermalukan Sarah, Raja kemudian memberikan seorang budak perempuan bernama Hajar kepada Sarah. Kemudian Sarah menyarankan kepada Ibrahim a.s. supaya menjadikan sang budak perempuan itu, sebagai isteri keduanya, supaya Ibrahim a.s.

mendapatkan anak dari Hajar, karena ia merasa selama 36 59 tahun pernikahannya belum juga dikaruniai anak. Dengan pernikahannya itu diharapkan Ibrahim a.s. memiliki keturunan dan memperoleh kebahagiaan. Alquran tidak menceritakan peristiwa di atas, namun hanya

menjelaskan kondisi Sarah dan Ibrahim a.s. yang sudah uzur dan tua. Al- Hijr [QS. 15: 54 – 55]

j. Hajar melahirkan Ismail a.s. Tidak ada riwayat yang pasti berapa umur Ibrahim a.s. ketika Hajar melahirkan Ismail a.s. selain yang diriwayatkan Ibnu Katsir yaitu 86 tahun dan tiga tahun kemudian lahirlah Ishaq dari kandungan Sarah. Ibrahim a.s. senantiasa berdoa kepada Allah swt. agar dikaruniai anak. Al-Shaffât [QS.37: 100 – 101].

Saat itu Kakbah belum dibangun. Ismail a.s. bocah yang ditinggal Ibrahim a.s., kelak akan memikul tanggung jawab atas pembangunan Kakbah bersama ayahnya. Ibrahim a.s. meninggalkan Ismail a.s. yang masih menyusui di tengah padang tandus. Hajar menyusui Ismail a.s., lalu ia merasakan kehausan dan susu ibu Ismail a.s. pun kering. Mereka berdua sama-sama haus. Ismail a.s. mulai menangis dan menjerit-jerit. Hajar panik, lalu mencari-cari dimana sumber air. Ia berlari dari satu bukit (Shafa) ke bukit (Marwah) yang lain sampai tujuh kali. Kemudian dilihatnya mata air, - kemudian dikenal dengan air Zamzam, - memancar

59 Jerald menyebutkan angka 36 tahun untuk usia pernikahan Ibrahim. Lihat Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan ,h. 119.

dari tanah akibat kaki si kecil Ismail a.s. menendang-nendang. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu ritual dalam ibadah haji, yaitu Sa’i (lari- lari kecil) antara bukit Shafa dan Marwah.

k. Ibrahim a.s. pergi dari Palestina ke Jazirah Arab dan Meninggalkan Hajar Kecemburuan Sarah menyebabkan kepergian Ibrahim a.s. dan Hajar beserta anaknya Ismail a.s. yang ketika itu masih menyusui. Sarah melihat Hajar mampu memiliki anak sementara dirinya tidak, di samping itu Ibrahim a.s. lebih memperhatikan Ismail a.s., karena sebagai orang tua ia telah menantinya selama ± 30 tahun usia pernikahannya. Sarah memohon kepada Ibrahim a.s. agar dirinya dijauhi dari Hajar dan Ismail a.s.. Ibrahim

a.s. mengabulkan permintaannya. Lalu Ibrahim a.s. berdoa kepada Allah swt., dan Allah mengabulkan permohonan Ibrahim a.s. sekaligus memberi

petunjuk kepadanya agar pergi ke Jazirah Arab (Mekah) dan menjamin kesehatan dan keamanan Ismail a.s. dan kelak satu bangsa besar akan muncul dari keturunan Ismail a.s.

Setibanya di Mekah, Ibrahim a.s. langsung meninggalkan Hajar dan Ismail a.s. Hajar mengikuti Ibrahim a.s. seraya bertanya, ”Hai Nabiyallah, kemana engkau akan pergi, apakah engkau akan meninggalkan kami sedang lembah ini tidak terdapat seorang manusiapun dan tidak pula makanan apapun?”, hal yang demikian itu diucapkannya berkali-kali, namun Ibrahim a.s. tidak menjawabnya. Lalu Sarah merubah pertanyaannya, ”Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan hal ini?”. Ibrahim a.s. berhenti dan mengiyakan pertanyaan itu. ”Kalau begitu, kami tidak akan disia-siakan” , kata Hajar. setelah mendapatkan jawaban itu, Hajar punya satu pertanyaan tambahan, ”Wahai Nabiyallah, kepada siapa engkau akan meninggalkan kami?”, jawaban Ibrahim a.s. jelas dan langsung kepada intinya, ”Aku menitipkanmu kepada perlindungan Allah”. Keimanan kepada Allah dan keteguhan Hajar langsung memegang kendali dan menenangkan batinnya, ”Aku ridla bersama Allah”.

Kemudian Hajar pun kembali. Dan Ibrahim a.s.pun berdoa. Surah Ibrahim [QS. 14: 37]

l. Khabar tentang Luth, Sarah, dan kelahiran Ishak Suatu hari datang tiga orang pemuda berbadan kuat ke rumah Nabi Ibrahim a.s. Terdapat kebiasaan di kampung itu untuk menghormati tamu dengan menyiapkan hidangan yang istimewa. Bagi tamu ia akan menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah sebagai bentuk penghormatan kembali. Jika menolak hidangan yang disediakan tuan rumah, maka itu berarti sang tamu menolak keramahtamahan dan menumbuhkan sikap kurang simpati atau sakit hati dari tuan rumah. Ibrahim a.s. menghidangkan daging sapi panggang kepada tamunya sebagai wujud pengormatan beliau. Ada satu ukuran di kampung Ibrahim a.s. bahwa hidangan daging kambing sudah sangat layak dalam menghormati tamu. Namun Ibrahim a.s. menyediakannya lebih. Ketika hidangan itu disuguhkan, tamu-tamu tersebut tidak menyentuhnya. Ibrahim a.s. khawatir atau takut bahwa penolakan para tamunya merupakan preseden buruk. Untuk menenangkan sikap Ibrahim a.s., tamu- tamu itu memperkenalkan diri sekaligus mengkhabarkan bahwa mereka membawa berita sedih dan berita gembira. Berita sedih adalah hukuman dan siksaan yang diberikan Allah swt. kepada kaum Nabi Luth a.s., sedangkan berita gembira adalah akan lahirnya anak (Ishaq) dari rahim Sarah. Alquran menggambarkan sikap Ibrahim a.s. dan Sarah menerima khabar yang dibawa para tamunya sebagaimana firman-Nya dalam Al- Dzâriyât [QS.51: 24 – 34], Hûd [ QS. 11: 69 – 76], dan Al-Hijr [QS. 15:

3. Episode Mekah

a. Ismail a.s. beranjak remaja dan dikorbankan Episode berikut dari kisah Ibrahim a.s. adalah berkumpulnya kembali Ibrahim a.s. setelah perjalanan panjang ke negeri Sarah selama beberapa waktu. Setelah sekian lama berpisah sekitar 11 – 12 tahun dengan Ismail a.s. (usia Ismail a.s. 13 tahun) dan ketika Ismail a.s. sudah beranjak remaja serta telah mencapai akil baligh dimana ia telah mampu melakukan sesuatu berdasarkan akal fikirannya, Ibrahim a.s. menerima wahyu lewat mimpi, dimana ia diperintahkan untuk mengurbankan nyawa Ismail a.s. bagi Allah.

Ibrahim a.s. menerima ujian yang paling sulit, ia harus memilih ketaatan, kepaAllah sebagai wujud kecintaannya kepada Allah swt..

ataukah kecintaannya kepada Ismail a.s., seorang anak yang beranjak remaja dan dirindukan karena telah lama ditinggalkan, tiba-tiba menerima perintah untuk memilih: Ismail a.s. ataukah Allah yang lebih dicintai.

Ujian pun diterima Ismail a.s., seorang anak yang tidak merasakan masa kanak-kanak bersama ayahnya, seorang anak yang ”tidak” merasakan kasih sayang ayahnya, menerima perintah Allah harus mengakhiri hidupnya justru di tangan ayahnya. Bagaimana kira-kira perasaan dan sikap si bocah itu? Kekecewaankah dalam diri Ismail a.s. karena tidak sempat merasakan kasih sayang sang ayah, ketika ia mengharapkan kehadiran sang ayah? ataukah kekecewaan lain menerima kenyataan ayah yang tidak pernah ada di sisinya (tidak mempedulikan dirinya) harus membunuh nyawanya. Alquran memberikan jawaban atas sikap kedua orang, yaitu Ibrahim a.s. si ayah dan Ismail a.s. si anak. Al- Shaffât [QS 37: 83 – 113].

b. Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dikhitan Setelah Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. berhasil melalui ujian keyakinan dan kepaAllah yang diberikan Allah, mereka menerima perintah baru b. Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dikhitan Setelah Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. berhasil melalui ujian keyakinan dan kepaAllah yang diberikan Allah, mereka menerima perintah baru

khitan. 60 Dalam kisah ini Alquran sama sekali tidak menceritakan.

c. Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. membangun Kakbah Mengenai pembangunan Baitullah Kakbah ini, Allah swt. berfirman dalam Ali-Imran [QS 3: 96 – 97]. Ketika dalam proses pembangunan rumah

Allah, dan Ibrahim a.s. membersihkan rumah-Nya atas perintah-Nya pula, Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. berdoa: Al-Baqarah [QS 2: 124 – 141]

d. Ibrahim a.s. wafat Ibnu Katsir menyebutkan, Ibrahim a.s. meninggal dunia dalam usia seratus tujuh puluh lima (175) tahun setelah jatuh sakit. Pemakamannya

dilakukan oleh Ismail a.s. dan Ishak serta dikuburkan di gua (Makhpela 61 ) yang terdapat di daerah Habrawan di samping isterinya Sarah. 62

Sebagaimana kelahirannya pula Alquran tidak menceritakan kapan dan dimana.

e. Penutup atau Kesimpulan Sebagai penutup sekaligus kesimpulan dari kisah Ibrahim a.s. dan siapakah dia, penulis mengutip Al-Nahl [QS 16: 120 dan 123]:

ûü Ï. Î Ž ô ³ ß J ø 9 $ # ` z ÏB à7 ƒ t óO 9 s r u $ ÿ Z Š ÏZ m y ° ! $ \ F ÏR $ % s p Z ¨Bé & c š % . x z OŠ Ïdº • t ö / Î ) ¨b Î )

60 Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 154 61 Penyebutan gua Makhpela disampaikan oleh Jerald F. Dirk, ia juga sepakat bahwa Ibrahim

wafat pada usia 175 tahun. Lihat Jerald F. Dirk Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, h. 216 62 Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, h. 221.

120. Sesungguhnya Ibrahim a.s. adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).

ûü t Å 2 Î Ž ô ³ J ß ø 9 $ # ` z ÏB b t % . x $ B t r u ( $ ÿ Z ‹ ÏZ m y z OŠ Ïdº t • / ö Î ) ' s # © ÏB ì ô 7 Î ? ¨ # $ b È r & 7 y ø ‹ 9 s ) Î ! $ u Z Š ø m y ÷r r & §Nè O 123. Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah

agama Ibrahim a.s. seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.

C. RELASI STRUKTURAL KISAH IBRAHIM A.S. DENGAN KONTEKS

Di atas telah dijelaskan, kajian kisah Alquran dapat dilakukan melalui pendekatan stilistika (gaya bahasa) yang meliputi: teknik pemaparan kisah, penyajian unsur-unsur kisah, pengulangan kisah dan seni penggambaran kisah.

Teknik pemaparan kisah-kisah di dalam Alquran memiliki cara yang spesifik. Ada 6 cara yang dapat dilakukan pada teknik ini 63 , yaitu:

1. Berawal dari Kesimpulan Pada teknik ini dimulai dari kesimpulan, lalu diikuti dengan rinciannya (episode pertama hingga episode terakhir). Contoh pada kisah Ibrahim a.s. a.s. dengan teknik ini adalah Al-Nahl [QS 16: 120-123] dan Al-Taubah [QS 9:

2. Berawal dari Ringkasan Kisah Pada teknik ini kisah justru dimulai dari ringkasan lalu diikuti rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh pada teknik ini adalah Al-Baqarah [QS2: 124 – 141]

3. Berawal dari Adegan Klimaks Pola pada teknik ini adalah memaparkan kisah yang berawal dari adegan klimaks, lalu diceritakan rinciannya dari awal hingga akhir, sebagaimana firman-Nya Al-Baqarah [QS 2: 258].

63 Shihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, h. 67

4. Tanpa Pendahuluan Pada teknik ini kisah justru dimulai dari intinya yang tidak didahului dengan pendahuluan sebagaimana pada teknik pertama, kedua dan ketiga atau dengan pola pertanyaan, seperti tertera dalam Al-An’am [QS 6: 74]

5. Adanya Keterlibatan Imajinasi Manusia Menurut Watt, dalam memahami Alquran (terutama kisah) harus dipergunakan daya imajinasi pembacanya. 64 Sebab ayat-ayat Alquran pada umumnya disusun secara garis besarnya saja. Misalnya kisah Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. tatkala membangun Kakbah sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Baqarah [QS 2: 127].

Pada pemaparan kisah di atas akan tergambar pada imaginasi kita suatu kondisi yang terdiri dari dua tokoh Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dengan latar

Baitullah. Adegan pertama dimulai peletakkan batu pertama oleh tukang bangunan yang bernama Ibrahim a.s. dibantu asistennya bernama Ismail a.s. Imaginasi tersebut akan terus mengembara dan membayangkan kira-kira apa yang dilakukan kedua tokoh tersebut pada saat membuat batu dari tanah, menyusun, meninggikan hingga tahap pembersihan.

6. Penyisipan Nasihat Keagamaan Teknik pemaparan kisah dalam Alquran sering disisipi pesan-pesan moral keagamaan. Pesan tersebut antara lain ajaran tauhid atau keesaan Allah swt.. dan keharusan adanya hari akhir. Contoh pola ini adalah Al-Baqarah [QS 2: 124 – 141] atau pada. Al-Hijr [QS 15: 56]

Pada unsur-unsur yang kedua yaitu teknik penyajian unsur-unsur kisah telah dijelaskan pada sub bab di atas. Unsur-unsur kisah pada umumnya di dalam Alquran terdiri dari 3 (tiga), yaitu adanya tokoh, peristiwa dan dialog. Ketiga unsur tersebut terdapat hampir seluruh kisah Alquran.

Sedangkan pada teknik pengulangan kisah dan seni penggambaran kisah, kiranya penulis dapat memaparkan sekaligus kedua teknik tersebut, beberapa

64 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Alquran, h. 66 64 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Alquran, h. 66

Contoh stilistika terakhir dari pemaparan Alquran, seni penggambaran kisah, di antaranya adalah peristiwa penghancuran berhala, dapat diperhatikan peristiwa dialog Ibrahim a.s. dengan ayahnya dan di sisi lain seolah terjadi pengulangan, misalnya pada Surah Al-Anbiyâ’ [QS 21: 52], Surah Al-Syu’arâ’ [QS 26: 70], Surah Al-An’am [QS 6: 74] dan surah Maryam [QS 19: 42]

Pada dasarnya hal ini hanya merupakan cabang-cabang atau tahap-tahap dari babak perjalanan kepribadian Ibrahim a.s. Boleh jadi, pada masa kecil

Ibrahim a.s. telah berani mengingkari sembahan ayahnya beserta kaumnya dalam bentuk pertanyaan pengingkaran seperti yang disebut dalam Surah Al-Syu’arâ’ [QS 26: 70]. Padahal saat itu Ibrahim a.s. belum diangkat menjadi Rasul. Karena itu dapat diartikan bahwa pengingkaran Ibrahim a.s. berangkat dari kecerdasan dan daya kritisnya.

Ketika akalnya mulai matang dan pengetahuannya bertambah, menegaskan penyebutan nama benda (patung) sembahan ayahnya dan kaumnya seperti yang disebut dalam Surah Al-Anbiyâ’ [QS 21: 52]. Kemudian ketika akalnya semakin matang, Ibrahim a.s. menyebutkan letak kesalahan ayahnya dan kaumnya. Surah Al-An’am [QS 6: 74]. Dan ketika mencapai kematangan, Ibrahim a.s. menjelaskan alasan atau argumen dari pendapatnya atas pengingkaran terhadap patung-patung sesembahan dan buatan ayahnya seperti Surah Maryam [QS 19: 42]. Allah swt. menegaskan bahwa apa yang diperoleh Ibrahim a.s. atas akal dan argumennya merupakan hujjah-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Al-An’am [QS 6: 83].

Kisah lain yang dapat penulis analisis yang terkait dengan seni penggambaran kisah, terutama dilihat dari penggunaan kata. Di antaranya adalah peristiwa penghancuran berhala, dapat diperhatikan seolah telah terjadi Kisah lain yang dapat penulis analisis yang terkait dengan seni penggambaran kisah, terutama dilihat dari penggunaan kata. Di antaranya adalah peristiwa penghancuran berhala, dapat diperhatikan seolah telah terjadi

muncul kata ö N è dq = è t « ó ¡ s ù (bertanya kepada berhala yang hancur), dan bukannya è dq è = t « ó ¡ ù s (bertanya kepada berhala yang besar). Seakan-akan berhala yang hancur

itulah yang harus ditanya oleh mereka. Oleh sebab itu tidak diragukan lagi, kalimat ini mengandung sindiran. Kata tersebut juga bisa memiliki makna, bah-

wa kata N è d tadi bahwa berhala besar sebagai perwujudan semua bentuk berhala

yang dihancurkan tadi. Sebab berhala besarlah sebagai simbol Allah para Allah. Bertanya kepadanya berarti bertanya kepada semua Allah, dan sekaligus dapat dipahami bahwa maksud Ibrahim a.s. membiarkan berhala yang besar tadi untuk memberikan sindiran kepada kaumnya, sekaligus memelihara simbol karena ia juga memelihara Allah Pencipta Alam yang disimbolkan dalam hatinya. Dan pada saat ia menghancurkan berhala-berhala, Allah swt telah memilihnya sebagai

khalilullah 65 Kisah lain yang mengalami pengulangan atau kemiripan cerita adalah

peristiwa hukuman pembakaran terhadap Ibrahim a.s. dari Namrud yang diulang sebanyak 3 kali, yaitu pada Al-Shaffât [QS 37: 97], Al-Anbiyâ’ [QS 2: 68], dan Al-‘Ankabut [QS 29: 24].

Usulan membunuh Ibrahim a.s. hanya disebut sekilas, yang menjadi pokok atau tekanan adalah substansi dari usulan tersebut, yaitu pembakaran. Menurut penulis, jika kaumnya Ibrahim a.s. atau Namrud menghendaki Ibrahim a.s. dibunuh, tentu tidak perlu repot-repot menyiapkan bangunan, tidakkah lebih mudah di tanah lapang saja, mengapa kaum Ibrahim a.s. justru memilih untuk menyiapkan bangunan guna membakar Ibrahim as.?

65 Ahmad Bahjat, Ensiklopedi Nabi-nabi Allah, h. 14. Tidak diterangkan apakah pada saat dipilihnya Ibrahim sebagai Khalilullah sekaligus diangkat ia sebagai Rasul.

Kiranya dapat disimpulkan dari keinginan mereka yang kuat tersebut dan cara yang mereka tempuh, bahwa maksud tersembunyi dari semua itu adalah bukan hanya sekedar cara untuk membunuh Ibrahim a.s., melainkan dapat diduga bahwa hal tersebut merupakan satu bentuk upacara ritual yang telah menjadi tradisi mereka. Dan menjadikan Ibrahim a.s. sebagai korban sesembahan bagi Allah-Allah mereka. Jika dilihat dari literatur sejarah-sejarah kuno, korban dalam bentuk persembahan manusia dan hewan telah menjadi tradisi di seluruh bangsa

ketika itu 66 . Berdasarkan fakta sejarah tadi kiranya dapat dipahami bahwa keinginan

kaum Ibrahim as. untuk membakarnya tidak lain sebagai upaya membersihkan jiwa Ibrahim as. yang mereka yakini telah ternodai atau menodai kaum Ibrahim

a.s. Di sisi lain tidak dapat dipungkiri juga menurut sejarawan bahwa masa itu sebagian kaum Ibrahim a.s. memiliki keyakinan menyembah api, yang di dalam sejarah dikenal dengan keyakinan Majusi. Maka pengorbanan Ibrahim a.s. melalui sarana api, pada hakikatnya memberikan sesembahan kepada tuhan mereka.

Menilik kajian kisah Ibrahim as. dalam Alquran, kiranya dapat ditelusuri dan ditelaah beberapa simbol yang dapat diambil hikmah dan ibrah sesuai dengan konteksnya yang meliputi: pengorbanan, api, berhala, tritunggal benda langit (bulan, bintang dan matahari), bait (bait Allah) atau rumah.

1. Pengorbanan

Sejarah awal dan tatacara kurban sudah ada lama sebelum adanya pertanian yang terorganisir bahkan sejak Nabi Adam as. Habil putera Adam as. melaksanakan pengorbanannya dengan mempersembahkan hewan yang gemuk-gemuk dan sehat-sehat sebagai kurbannya, sementara Qabil putera

66 FW. Dillistone, The Power of Symbol, terj. A. Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 70

Adam as. yang lain mempersembahkan hasil pertaniannya yang buruk-buruk dan busuk-busuk.

Sebagaimana uraian di atas, Ibrahim as. pun tidak luput dari proses dan pelaksanaan kurban, yaitu ketika ia dipersembahkan kaumnya sebagai sesembahan bagi tuhan-tuhan kaumnya, karena ia dianggap menodai kesucian dan kekuasaan tuhan-tuhan mereka.

Kegiatan pengorbanan yang dipersembahkan kepada para dewa dan tuhan selalu ditemui dalam peribadahan agama-agama kuno dan primitif. Namun, dalam perkembangannya, persembahan-persembahan kepada para dewa dan tuhan tersebut digantikan dengan pengorbanan yang bersifat lebih

spiritual. Dalam Yahudi, Islam dan Budha, tidak terdapat pengorbanan yang bersifat ritual. Dan inti dari setiap kegiatan pengorbanan adalah kesediaan

melakukan apa saja demi sesuatu yang dicintainya Peristiwa pengorbanan Ibrahim dan kepasrahan Ismail-lah sebagai tonggak pengorbanan yang mengutamakan spiritual daripada ritual. Melalui Ibrahim as. secara amaliah dan tersirat pesan-pesan tersebut disampaikan, bukan karena manusia atau benda lainnya terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban, tapi karena sifat-Nya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puteranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun -bila panggilan telah tiba- wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pula pada manusia, maka praktek pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan 67 .

Islam melalui Ibrahim menggantikan semua pengorbanan mubazir itu dengan pengorbanan hati dan penyangkalan batin terhadap nafsu diri. Setiap amal perbuatan yang dilakukan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah

67 Quraish Shihab, Wawasan Alquran, h. 75.

adalah pengorbanan. Shalat adalah pengorbanan harian setiap muslim. Dalam Nahj al-Balâghah , Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib berkata: “Zakat dijadikan, seperti halnya shalat, sebagai (bentuk) pengorbanan ”.

2. Api

Pada awal perjalanan dakwah Ibrahim a.s. dijumpai kaumnya sebagai penyembah matahari, bulan dan bintang. Ketergantungan pada matahari, bintang dan fase-fase bulan, bagi penduduk bumi zaman purbakala atau kaum Ibrahim as. adalah sangat mutlak. Terang hanya datang dari atas atau dari kebakaran hutan yang kadang-kadang dan tak terduga-duga terjadi. Matahari,

bukan dan bintang sebagai simbol pemberi cahaya kehidupan. Tanpa mereka, ummat manusia tidak dapat melakukan aktifitas kehidupan dan

bermasyarakat. Baru kemudian lahirlah babak baru ditemukan api, baik yang bersumber langsung dari matahari maupun kayu-kayu kering.

Tidak mengherankan bahwa api menjadi salah satu bentuk simbolis yang paling kuat dan paling luas penerapannya sebagaimana air. Api dapat mengacu kepada sedemikian banyak manfaat dan sekaligus sedemikian banyak bahaya. Api tidak dapat diperlakukan secara serampangan tanpa tahu kegunaan dan akibatnya. Oleh karenanya, timbullah seruan orang yang melihat api sebagai simbol katarsis tertinggi: Tuhan yang diyakini bangsa

Israel adalah api yang melalap 68 . Tidak banyak adegan dramatis daripada turunnya api dari langit sebagai jawaban atas permohonan Nabi Musa as di

bukit Tursina. Tidak banyak ucapan Yesus (Nabi Isa as.) yang lebih mengandung misteri daripada perkataan-Nya bahwa ia telah datang untuk melemparkan api ke bumi

Keldani mengatakan bahwa penyucian jiwa seorang muslim dilakukan Tuhan melalui api yang berarti bahwa Allah swt meresapi dan mengisinya

68 FW. Dillistone, The Power of Symbol, terj. A. Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 67 68 FW. Dillistone, The Power of Symbol, terj. A. Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 67

Muhammad dijelaskan melalui wahyu Allah swt. dalam Al-Baqarah [Q.S. 2: 138]

ÇÊÌÑÈ t br ‰ ß 7 Î » t ã ¼ & ã ! s ß ` t ø w U u r ( p Z t ó 7 ö ¹ Ï ! « $ # Æ š ÏB ` ß ¡ | ô m & r ô` B t u r ( ! « $ # p s ó t 7 ö Ï ¹ “Shibghah (pembaptisan) 70 Allah. Dan siapakah yang lebih baik dari

shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah. Senada dengan Keldani, Quraish Shihab menafsirkan kata shibghah

dengan celupan. Jika suatu benda dicelupkan ke sesuatu, maka sesuatu itu akan mengambil warna sesuai warna celupan. Yang dimaksud celupan ini

adalah mencelupkan hati ummat Islam ke dalam celupan berupa iman yang diajarkan oleh Ibrahim a.s. 71

Di sisi lain tidak dapat dipungkiri juga, bahwa simbol katarsis dari api juga berpengaruh bagi sebagian kaum Ibrahim a.s. yaitu keyakinan menyembah api, yang di dalam sejarah dikenal dengan keyakinan Majusi.

3. Berhala

Dalam memahami makna kata keberadaan teks dan konteks tidak bisa dipisahkan, di mana keduanya telah menjalin dialektika. Teks tidak lahir dari ruang hampa, namun teks pada umumnya merupakan respon terhadap situasi yang dihadapi dalam ruang dan waktu tertentu. Teks yang dibaca karena ada konteks atau faktor yang melatarbelakangi. Jika pemahaman hanya terfokus

69 David Benjamin Keldani, Menguak Misteri Muhammad, Jakarta: Sahara, 2003, h. 191 – 193. 70 David Benjamin Keldani menerjemahkan kata shibghah dengan pembaptisan agama Allah.

Pembaptisan bagi kaum Muslim berbeda dengan yang dilakukan kaum Kristen. Dalam tradisi ajaran Kristen, pembaptisan dilakukan dengan air yang bersumber dari sungai Yordan. Menurutnya, tradisi ini tidak dihapus oleh Islam tetapi disempurnakan dengan cara berwudlu (Lihat David Benjamin Keldani, Menguak Misteri Muhammad, h. 186 – 196). Lebih jauh ia mengatakan bahwa pembaptisan berarti peresapan ajaran-ajaran tauhid ke dalam dada kaum muslimin, sehingga menimbulkan api yang berkobar-kobar dalam menjalankan perintah-perintahNya.

71 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 1, h. 318.

kepada teks semata dengan mengabaikan konteks yang melahirkannya maka akan terjebak pada kekaburan bahasa. Karena itu, makna dari sebuah kata baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa pembicaranya dan siapa pendengarnya.

Bakhtin, salah seorang pemikir Rusia, mengatakan bahwa sebuah teks bukan dihasilkan oleh seorang pengarang yang berbicara kepada dirinya sendiri dalam bentuk monolog, dan bukan pula merupakan refleksi diri pengarang secara utuh dalam suatu proses referensi diri. Faktor historisitas dengan latar sosio-kultural, politik, ekonomi, struktural sangat mendasari turunnya sebuah teks. Sebab itu, sebuah teks tidak turun tanpa sebab-sebab

tertentu, atau seperti yang diungkap Francis Bacon, setiap teks mempunyai ruh zamannya. Historisitas tidak hanya meliputi ruang dan waktu, melainkan

sekaligus ia adalah sebuah teks yang berkaitan erat dengan teks lainnya yang akan menentukan makna teks itu sendiri 72

Seperti kata ashnam (berhala), ia adalah simbol yang merujuk pada referen tertentu. Ashnam merupakan petanda dari sebuah konsep yang dipuja dan diposisikan pada kedudukan tertinggi. Kalau pada masa Nabi Ibrahim as. hingga masa Nabi Muhammad s.a.w. saat beliau menyampaikan dakwahnya di tengah-tengah kehidupan umat makna atau petanda ashnam sangat jelas, yaitu merujuk pada berhala, patung, arca, atau sejenisnya (makna denotasi dalam istilah Barthes). Dalam ayat lain disebutkan bahwa ashnam ini tidak dapat mendengar, melihat, dan tidak dapat memberikan apapun bagi manusia.

Namun, dalam konteks kekinian makna ashnam, barangkali tidak sebatas itu, tetapi mengarah kepada sesuatu yang dapat mendominasi kehidupan seseorang misalnya pemujaan terhadap jabatan, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya yang kesemuanya dapat melalaikan manusia kepada Allah, bahkan mempersekutukan-Nya (makna konotasi dalam istilah

72 Moh. Shofan, Urgensi Pembacaan Ulang Terhadap al-Qur'an: Menakar Kembali Kebenaran Agama , dalam Kembali ke Alquran Menafsir Makna Zaman, ed. M. Hilmi Faiq (Malang: UMM Press,

Barthes). Artinya, makna kata ashnam tersebut bergantung pada situasi dan konteks di mana kata itu diungkapkan.

4. Bait (Rumah)

Simbol lain yang terdapat pada kisah Ibrahim a.s. adalah rumah (al- bayt ). Misalkan terdapat pada. Al-Baqarah [Q.S. 2: 125]

( ’ ~? Á | ãB z O¿ Ïdº t • ö / Î ) ÏQ $ ) s ¨B ` ÏB # ( r ‹ ä ƒ Ï B ª # $ r u $ Z Y ø B & r u r ¨$ Ä ¨Z=Ïj9 Z p /$ t W s t B M | Š ø t 7 ø 9 # $ $ u Z ù= è y y _ Œ ø Î ) u r

ú ü Ï ÿ 3» Å è y 9 ø $ # u r ûü t Ï ÿ ͬ $ ! © Ü = Ï9 z Ó L É ‹ ø / t # t • Îdg Û s b r & Ÿ @‹ è Ï » J y ™ ó ) Î u r z O¿ Ïdº • t / ö Î ) # ’ n < Î ) $ ! R t ô ‰ Îg ã t r u

ÇÊËÎÈ Ï Š q à f • ¡ 9 $ # Æ ì 2 ž • ” 9 $ # u r

Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”.

M ø Š 7 t 9 ø # $ dalam ayat ini digambarkan sebagai Z p t /$ s W t B yang berarti tempat berkumpul atau berlindung atau tempat memperoleh pahala atas ibadah haji,

umrah atau ibadah lainnya dengan pahala yang berlipat ganda melebihi tempat-tempat lain.

Kakbah dinamakan bayt yang berarti rumah, karena rumah adalah tempat kembali untuk beristirahat dari kelelahan dan kegelisahan demikian juga dengan Baitullah. Sedemikian jelasnya sehingga hati manusia selalu

terpanggil untuk mengunjunginya. Baitullah dilukiskan pula dengan kata $ Y Z ø B r & yang berarti keamanan. Hal ini bukan berarti Kakbah dapat memberikan rasa aman, tetapi perintah kepada manusia untuk memberikan rasa aman kepada siapapun yang berkunjung dan masuk ke Kakbah. Siapapun yang masuk ke

masjid dimana Kakbah itu berada ia tidak boleh diganggu, karena Allah swt. menghendaki rasa tenang, tenteram, dan terhindar rasa takut terhadap segala masjid dimana Kakbah itu berada ia tidak boleh diganggu, karena Allah swt. menghendaki rasa tenang, tenteram, dan terhindar rasa takut terhadap segala

Berkaitan dengan kata $ Z Y ø B r & dalam penjelasan tentang Baitullah, dalam ayat berikutnya disebutkan doa yang dipanjatkan oleh Ibrahim a.s. yang

memohon kepada Allah swt. agar diberikan rasa keamanan terhadap sebuah negeri, yaitu Mekah tempat Baitullah berada. Surah Al-Baqarah [Q.S. 2: 126]

Doa yang diucapkan Ibrahim a.s. adalah permohonan untuk menjadikan kota Mekah dan sekitarnya sebagai kota yang aman yang berkesinambungan hingga akhir masa, atau menganugrahkan kepada penduduk dan

pengunjungnya kemampuan untu menjadikannya man dan tentram.

Ketika berbicara tentang kakbah sebagai $ Z Y ø B r & , diuraikan bahwa itu adalah perintah Allah swt. untuk menjadikannya aman dan tentram dalam

bentuk yang sempurna, sehingga kakbah sendiri digalukiskan sebagai “aman” bukan sekedar tempat yang aman.

Surah Al-Baqarah [Q.S. 2: 126] ini bukan saja mengejarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Mekah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah tempat tinggalnya dan agar penduduknya memperoleh rizki yang berlimpah.

Dua hal dia atas, rasa aman dari segala yang menggelisahkan dan limpaha rizki, merupakan syarat utama bagi suatu wilayah bahkan stabilitas keamanan dan kecukupan ekonomi merupakan nikmat yang menjadikan seseorang berkewajiban mengabdi kepada Allah swt., sebagaimana dalam

Surah Quraisy 74 [Q.S. 106:3-4]

73 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 1, h. 304 74 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 1, h. 306

Dari beberapa simbol yang telah disebutkan di atas, setidaknya dapat mengungkap tiga keistimewaan Ibrahim a.s. yang tidak dimiliki oleh nabi dan manusia lainnya. Kesatu, Ibrahim menemukan Tuhan melalui pencarian dan pengalaman ruhani Kedua, melalui Ibrahim, kebiasaan mengorbankan manusia sebagai sesaji atau persembahan dibatalkan oleh Allah swt. Ketiga, nabi Ibrahim adalah satu-satunya nabi yang berdoa kepada Allah swt. agar ditunjukkan bukti bagaimana Allah swt. dapat menghidupkan makhluk hidup yang telah mati dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Allah swt.