Ghozi Mubarok Prinsip prinsip Tafsir al Syathibi dan Ortodoksi Tafsir Sunni

PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI< DAN ORTODOKSI TAFSIR SUNNI TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

Ghozi Mubarok 05.2.00.1.05.01.0012

Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

: Ghozi Mubarok

NIM : 05.2.00.1.05.01.0012 Tempat, Tanggal Lahir : Sumenep, 3 Mei 1980

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t} ibi> dan Ortodoksi Tafsir Sunni” ini benar-benar merupakan karya

asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab

saya.

Jakarta, 11 Januari 2008

Ghozi Mubarok

ii

PENGESAHAN

Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni” t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 14 Februari 2008

Penguji I

Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA

iii

PENGESAHAN

Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni” t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 14 Februari 2008

Penguji II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA

iv

PENGESAHAN

Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni” t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 14 Februari 2008

Pembimbing Merangkap Penguji

Dr. Yusuf Rahman, MA

PENGESAHAN

Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni” t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 14 Februari 2008

Ketua Sidang Merangkap Penguji

Dr. Fuad Jabali, MA

vi

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni” t elah diperiksa dan dinyat akan layak unt uk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.

Ja kart a , 9 Ja nua ri 2008

Pembi mbing

Dr. Yusuf Ra hma n, MA

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI

A. Konsonan

= b = t}

= z}

= ts

= h}

= kh

= dz

= sy

= s}

= d}

B. Vokal

= a = i = u Vokal Panjang

Vokal Tunggal :

= a> = i> = u>

Vokal Rangkap

= ay = aw

C. Lain-lain

- Transliterasi syaddah atau tasydi>d ( ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

viii

- Transliterasi ta>` marbu>t}ah ( ) adalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh

kata sandang “al” ( א ), kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an. - Kata sandang “ “ ditransliterasikan dengan “al” diikuti dengan kata א

penghubung “-“, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun huruf syamsiyyah, kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.

- Transliterasi ayat al-Qur`an dilakukan sesuai dengan bacaan aslinya dengan mengabaikan pemisahan antar kata.

Contoh:

ihdinas} -s} ira> t} al-mustaqi> tΛ⎧É)tGó¡ßϑø9$# m, bukan xÞ≡uÅ_Ç9$# $tΡω÷δ$# =

ihdina> al-s} ira> t} al-mustaqi> m

- Transliterasi kata “ ” yang tersambung dengan kata lain sebelumnya juga א

akan ditulis secara bersambung. Contoh:

kita> bulla> א h, bukan =

kita> b Alla> h

- Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan

latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

D. Translasi - Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis. - Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah,

Departemen Agama RI, edisi tahun 2002, dengan beberapa penyesuaian.

ix

ABSTRAK

Fokus utama penelitian ini adalah prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh al-Sya> t} ibi> dalam dua buah karyanya, al-Muwa> faqa> t dan al-I‘tis} a> m. Karena al-Sya> t} ibi> kerap diapresiasi dalam dua perspektif yang berlawanan, maka penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria ortodoksi tafsir Sunni.

Melalui elaborasi dan analisis terhadap dua karya di atas, penelitian ini menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> dibangun di atas tiga pra- anggapan dan asumsi dasar tentang al-Qur`an, yaitu status al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah, sebagai teks berbahasa Arab, serta sebagai kitab yang diturunkan kepada bangsa Arab yang ummi> .

Metode tafsir yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> bertumpu pada prinsip intertekstualitas al-Qur`an sebagaimana terlihat dalam konsepsinya tentang makki> -madani> , muh} kam-mutasya> bih, serta teknik menjembatani ayat-ayat yang terkesan kontradiktif. Meski al-Sya> t} ibi> sering dianggap sebagai salah satu pemberi inspirasi bagi munculnya metode tafsir mawd}u> ‘i, namun prinsip intertekstualitas al-Qur`an al-Sya> t} ibi> itu dilatarbelakangi oleh minat dan tujuan, serta dirumuskan melalui pola, yang sedikit berbeda dari apa yang lazim dalam tafsir mawd} u> ‘i> , terutama dalam hal hirarki kulli> -juz`i> serta kronologi pewahyuan.

Menyangkut sumber penafsiran, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa al-Sya> t} ibi> memberikan otoritas yang tinggi kepada penafsiran generasi-generasi terdahulu ( al-salaf al-s} a> lih} ), terutama para sahabat dan ta> bi‘i> n. Pada saat yang sama, al-Sya> t} ibi> juga membolehkan tafsir bi al-ra`y sepanjang ia dilakukan secara berhati-hati serta tidak melampaui batas.

Penelitian ini juga merumuskan tiga kriteria ortodoksi tafsir: tekstualisme dan perhatian kepada kaidah-kaidah bahasa, pengakuan terhadap pengalaman masyarakat-penafsir Sunni, serta identifikasi teologis. Penilaian terhadap prinsip- prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> melalui tiga kriteria tersebut menunjukkan bahwa, secara umum, prinsip-prinsip tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai bagian dari, atau —setidaknya— tidak bertentangan dengan, ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.

Pada akhirnya, penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan al- Sya> t} ibi> sering digunakan untuk menggugat tekstualisme dalam tafsir. Tetapi gugatan tersebut barangkali bisa diterima sepenuhnya hanya apabila al-Sya> t} ibi> sendiri dilampaui. Selain itu, hasrat untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya al-Sya> t} ibi> melalui konteks sosial dan intelektual di masanya menyiratkan dugaan bahwa karya-karya itu sebetulnya diajukan “sekedar” sebagai kritik sosial-keagamaan bagi masyarakat Granada pada abad 8 H..[]

ABSTRACT

This study deals with the principles of Qur`anic exegesis formulated by al-Sya> t} ibi> in his two published works, al-Muwa> faqa> t and al-I‘tis} a> m. As he has been appreciated by modern scholars in two adversarial perspectives, this study also tries to evaluate those principles based on the criteria of Sunni orthodox view on Qur`anic exegesis.

Through an examination and analysis of al-Sya> t} ibi> ’s works, this study reveals that his principles of Qur`anic exegesis are based on three presuppositions, i.e. that the Qur`an is a kulliyyah al-syari> ‘ah, that it is an arabic text, and that it is a book which is sent down to the ummi> people of Arab.

Al-Sya> t} ibi> has also developed a method of Qur`anic interpretation which is based on the principle of Qur`anic intertextuality, as seen in his conception on the matters of makki> -madani> and muh} kam-mutasya> bih, and in his formulation of the technique for dealing with the seemingly contradictory verses. Although it is often said that al-Sya> t} ibi> ’s principle of Qur`anic intertextuality has inspired many scholars to develop mawd} u> ‘i> method of Qur`anic exegesis, this study shows that his principle is marked by different motives and patterns which distinguish it from what is developed latter by the proponents of mawd}u> ‘i> method, particularly in the hierarchy of kulli> -juz`i> and the chronological order of revelation.

On the source of Qur`anic exegesis, this study proves that al-Sya> t} ibi> attributes a high respect to the interpretations proposed by the former pious generations ( al-salaf al-s} a> lih} ), especially by the Companions and the Successors. At the same time, al-Sya> t} ibi> also allows tafsi> r bi al-ra`y only in the condition that it is done carefully without transgressing the rules.

This study argues that the Sunni orthodox view on Qur`anic exegesis is based on three criteria: textualism and great attention to the linguistic rules of Arabic language, acknowledgment of the experience of Sunni mufassir community, and theological identification. Evaluation of al-Sya> t} ibi> ’s principles of Qur`anic exegesis by these criteria shows that those principles are, generally, in accordance with, or —at least— not in opposition to, the Sunni orthodox view.

Finally, al-Sya> t} ibi> ’s ideas are frequently used to criticize textualism in Qur`anic exegesis. It is the contention of this study that those criticisms can, perhaps, be adopted completely only if al-Sya> t} ibi> himself is overstepped. The desire to seek legitimation from the past in the service of the present often causes the distortion of history. The reading of al-Sya> t} ibi> ’s works through his social and intellectual context implies that those works are proposed primarily as

a socio-religious critique of the life lived by the people of Granada in 8 th century AH.[]

xi

xii

KATA PENGANTAR

Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa disebutkan di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih, penghargaan, serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, tentu saja, adalah Dr. Yusuf Rahman yang telah membimbing penulis selama melakukan penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya membuat penulisan tesis ini menjadi sesuatu yang menghibur dan menggairahkan. Juga Prof. Dr. Salman Harun,

pembimbing akademik penulis, serta Prof. Dr. M. Amin Suma, penguji proposal tesis ini. Dengan cara masing-masing, keduanya telah membantu membuat rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih “rasional”.

Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta, Yogyakarta, dan Madura, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta dan Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama Jakarta, serta Kollese St. Ignatius Yogyakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai sesuai harapan tanpa kemudahan akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih kepada Syukron, pegawai Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala bantuan dan keramahannya. Juga kepada Guntur Romli, Fathullah, Adib Mas‘ud, Maryono, Zuhairi, Nopri, Ridwan, Yayak, Ali NZ, Hasib, Hamzah, dan Ibnu di Jakarta; Yusuf, Jabbar, dan Fatur di Yogyakarta; Nia di Kairo; serta Mun‘im di Amerika untuk literatur-literatur yang mereka berikan, pinjamkan, atau kirimkan.

Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan dan menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul- de-sac. Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan: kehadiran kawan-kawan yang memberikan support, motivasi, atau bahkan “gangguan”. Untuk Muslim, Novi, Amar, Hamzah Arsa, Andhika, Firdaus, Syiqqil, Adib, Maryono, Maya, Fahimah, Susi, Maftuhah, Rifqi, Ibnu, dan beberapa nama lagi, terima kasih.

xiii

Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki, dan disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari beberapa pihak. Selain Pak Yusuf, Pak Salman, dan Pak Amin yang telah disebutkan di atas, penulis juga berutang kepada (alm.) KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA, juga Hamzah F. Harmi, Guntur, Mun‘im, Idris Thaha, Rifqi, Adib, Ibnu, dan Aulia Apriana.

Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian dari proses “perjalanan intelektual” penulis selama masa studi di Program Tafsir Hadits, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada Dr. Ahzami Sami‘un Jazuli, Dr.

Sahabuddin, Dr. Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali, Prof. Dr. Badri Yatim, Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, Dr. Uka Tjandrasasmita, Dr. Abdul Choir, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Romlah, serta Dr. Rusmin Tumanggor untuk kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan.

Terakhir, untuk Aba dan Ummi: Muhammad Idris Jauhari dan Zahrotul Wardah, kepada siapa penulis mendedikasikan tesis sederhana ini dengan penuh cinta dan bakti. Juga adik-adik: Faiqoh, Nazlah, Nia, Hanun, dan Lora Basthomi.

Terima kasih!

Ciputat, 1 Januari 2008

G.M.

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran Al-Sya> t} ibi> dianggap sebagai orang yang meletakkan dasar-dasar

pembaharuan bagi us} ul fiqh melalui, terutama, perumusan konsep maqa> s} id al- syari> ‘ah. Anggapan itu terlihat, misalnya, dalam komentar yang ditulis oleh ‘Abdulla> h Darra> z sebagai pengantar untuk al-Muwa> faqa> t, karya terbesar al- Sya> t} ibi> . Untuk menyimpulkan ( istinba> t} ) hukum-hukum syariat, seseorang harus

memiliki pengetahuan yang mendalam tentang dua hal, yaitu bahasa Arab dan maqa> s} id al-syari> ‘ah. Dalam hubungannya dengan dua hal tersebut, ‘Abdulla> h

Darra> z kemudian menulis, “Demikianlah, ilmu us} ul [fiqh] kehilangan bagian yang agung, yaitu bagian yang mengkaji salah satu pilar penyangganya [ maqa> s} id al-syari> ‘ah], hingga akhirnya Allah swt. memunculkan Abu> Ish} a> q al-Sya> t} ibi> di

abad 8 Hijriah….” 1 Akan tetapi terdapat pula anggapan bahwa al-Sya> t} ibi> tidak saja menandai

pergeseran epistemologis di bidang us} ul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`an. 2 Dalam perspektif tersebut, al-Sya> t} ibi> dipandang

1 ‘Abdulla> h Darra> z, “Muqaddimah”, dalam al-Sya> t} ibi, Al-Muwa> faqa> t fi> Us} u> l al-Syari> ‘ah (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 5. Untuk menekankan pentingnya pembaharuan

yang dilakukan oleh al-Sya> t} ibi dalam bidang us} ul fiqh, ‘Abid al-Jabiri menyebut apa yang dilakukan al-Sya> t} ibi dalam al-Muwa> faqa> t sebagai proyek i‘a> dah ta`s}i> l al-us} u> l (pendasaran kembali ilmu us} ul fiqh). Muh{ ammad ‘A< bid al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar (Beirut: Markaz Dira> sa> t al- Wih{ dah al-‘Arabiyyah, 1994), hlm. 57. Istilah ta`s}i> l al-us} u> l itu sebetulnya berasal dari al-Sya> t} ibi> sendiri. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t fi> Us} u> l al-Syari> ‘ah (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hlm. 70. Selain itu, urgensi peran al-Sya> t} ibi> terlihat jelas dalam penisbatan gelar “al- mu‘allim al-awwal” dalam hal perumusan konsep maqa> s}id al-syari> ‘ah serta “h}ujjah min h} ujaj al- syari> ‘ah wa ‘alam min a‘la> m maqa> s}idiha> ” kepadanya. Lihat Muh} ammad T{ ahir al-Mi> sawi> , “Al- Syaykh Muh} ammad al-T{ a> hir ibn ‘A> syu> r wa al-Masyru> ‘ al-ladzi> lam Yaktamil”, dalam Muh} ammad al-T{ ahir ibn ‘A> syu> r, Maqa> s}id al-Syari> ‘ah al-Isla> miyyah (Oman: Da> r al-Nafa> `is, 1999), hlm. 101. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Sha> t} ibi> ”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

2 David Johnston menulis bahwa al-Sya> t} ibi> “is credited by several contemporary

scholars with having negotiated the turn from traditional text-based literalism to a focus on the meta-legal notion of shari> ‘a ’s aims…The ability of al-Sha> t}ibi> to systemize leads him to radically rework the traditional textual hermeneutic.” Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology scholars with having negotiated the turn from traditional text-based literalism to a focus on the meta-legal notion of shari> ‘a ’s aims…The ability of al-Sha> t}ibi> to systemize leads him to radically rework the traditional textual hermeneutic.” Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology

rasional yang diinduksikan dari al-Qur`an sendiri. 3 Hal yang sama juga dikemukakan oleh T{ a> ha> Ibra> hi> m. Menurutnya, konsep al-Sya> t} ibi> tentang

pentingnya mendasarkan penafsiran al-Qur`an kepada status ke- ummi> -an bangsa Arab adalah salah satu argumen untuk menyatakan bahwa al-Qur`an mesti dipahami berdasarkan logika pemikiran manusia ( mant}iq al-fikr al-basyari> ), bukan dengan logika bahasa Arab ( mant} iq al-lugah al-‘arabiyyah) yang lazim

dipakai oleh para ulama tafsir dan us} 4 ul fiqh.

and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hlm. 252-253. Al-Sya> t} ibi> memang sering dianggap memberikan inspirasi bagi munculnya orientasi non-tekstual dalam penafsiran al-Qur`an. Wael B. Hallaq, misalnya, menyatakan bahwa metode induksi yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> , “yang bergantung kepada penyerapan tujuan dan semangat hukum—tanpa membatasi dirinya pada dalil tekstual tertentu…telah membuat teori tersebut menarik bagi sekelompok pemikir modern yang minat utama mereka adalah membebaskan pikiran umat Islam dari belenggu yang terbentuk oleh makna-makna lahiriah yang terkadang bersifat mengekang dari teks-teks yang diwahyukan.” Lihat Wael B. Hallaq,

A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al- Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 206. ‘A< bid al-Ja> biri> bahkan menyatakan bahwa al-Sya> t} ibi> melakukan modifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi baya> ni> —sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khit}a> b al-mubi> n. Lihat Muh{ ammad ‘A< bid al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> : Dira> sah Tah} li> liyyah Naqdiyyah li Nuz}um al-Ma‘rifah fi> al-Tsaqa> fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Da> r al-Bayd} a> `, cet. 7, 2000), hlm. 534-536. Selain itu, ketika Fahmi> Huwaydi> menyatakan bahwa pembacaan yang benar ( al-qira> `ah al-s}ah}i> h} ah) terhadap al-Qur`an harus mempertimbangkan aspek maqa> s}id al-syari> ‘ah selain aspek bahasa, dia mendasarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdulla> h Darra> z dalam pengantar untuk kitab al-Muwa> faqa> t, karya al- Sya> t} ibi> . Lihat Fahmi> Huwaydi> , Al-Qur`a> n wa al-Sult}a> n (Kairo: Da> r al-Syuru> q, cet. 5, 2002), hlm. 53-56.

3 Al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar, hlm. 57-59. 4 T{ a> ha> Ibra> hi> m, Us} u> l Badi> lah li al-Fiqh wa li al-Fikr: Musa> hamah fî H{ all Azmah al-‘Aql

al-‘Arabi> al-Muslim (Kairo: Merit li al-Nasyr wa al-Ma‘lu> ma> t, 2002), hlm. 180-182. Bandingkan dengan al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 60-62.

Begitu juga dengan metode dan pendekatan tafsir. Karena yang coba diungkap dalam proses tafsir adalah rasionalitas di balik ayat-ayat al-Qur`an, maka, di mata al-Ja> biri> , al-Sya> t} ibi> menganggap pendekatan tafsir yang sepenuhnya tekstual dan linguistik menjadi tidak memadai. Untuk itu, al-Sya> t} ibi> merumuskan metode induksi ( istiqra> `) guna mencari prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) yang dengannya proses penafsiran ayat-ayat partikular dalam al- Qur`an dapat dilakukan. Dengan mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip general itu, tafsir al-Qur`an menjadi berdiri di atas landasan-landasan yang rasional dan

obyektif. 5 Salah satu bagian dari pemikiran al-Sya> t} ibi> yang juga dianggap

kontroversial adalah konsepsinya tentang posisi Sunnah terhadap al-Qur`an. David Johnston menyatakan bahwa karena prinsip-prinsip general yang merupakan rasionalitas di balik ayat-ayat al-Qur`an bisa diinduksikan dari ayat- ayat al-Qur`an itu sendiri, maka sunnah Nabi, dalam pandangan al-Sya> t} ibi> , sebetulnya tidak menambahkan apa-apa selain penjelasan-penjelasan yang

bersifat sekunder. 6 Lebih jauh lagi, fungsi yang dijalankan Rasulullah saw. terhadap al-Qur`an adalah fungsi seorang penafsir. Dengan demikian, posisi

hadits terhadap al-Qur`an sama statusnya seperti posisi seorang hakim terhadap teks-teks undang-undang hukum—otoritas pertama tentu saja harus diberikan

kepada teks-teks tersebut, bukan kepada penafsiran sang hakim. 7 Selain itu, al-Sya> t} ibi> juga dianggap mendefinisikan beberapa terma dalam

tafsir dan ‘ulu> m al-Qur`a> n secara agak berbeda. Di antaranya adalah konsep makki> -madani> dan na> sikh-mansu> kh. Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa hampir

seluruh prinsip-prinsip general dari al-Qur`an tertuang dalam ayat-ayat

5 Dalam ungkapan al-Ja> biri> , apa yang dilakukan al-Sya> t} ibi> melalui metode istiqra> ` dan perumusan kulliyya> t itu merupakan proyek ta`si> s al-baya> n ‘ala> al-burha> n. Lihat al-Ja> biri> , Bunyah

al-‘Aql al-‘Arabi> , hlm. 519-527. 6 David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, hlm. 253. Lihat juga al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 6-7. 7 Hallaq,

A History of Islamic Legal Theories, hlm. 197. Bandingkan juga dengan Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”, dalam Wael B. Hallaq dan Donald P. Little [ed.], Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden: E.J. Brill, 1991), hlm. 79. Hallaq tampaknya merujuk kepada al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 8.

makkiyyah. Prinsip-prinsip general itu bersifat qat} ‘i> dan, karenanya, tidak dapat di- naskh. Lebih jauh lagi, karena yang dapat di-naskh hanya hal-hal yang bersifat partikular dan bukan prinsip-prinsip yang bersifat general serta universal, maka konsep naskh sendiri dalam penafsiran al-Qur`an sebetulnya tidak sepenting apa

yang dibayangkan orang. 8 Demikianlah, paling tidak, beberapa hal yang dianggap sebagai medan

modifikasi dan pembaharuan al-Sya> t} ibi> terhadap asumsi-asumsi standar dalam disiplin keilmuan tafsir. Tetapi hal-hal tersebut masih mengandung persoalan dan bisa diperdebatkan berdasarkan alasan-alasan berikut. Pertama, pendapat- pendapat al-Sya> t} ibi> , di sisi lain, sering dikutip untuk menentang pandangan-

pandangan yang menyimpang dari kaidah-kaidah normatif dalam tafsir—dengan kata lain, untuk mendukung asumsi-asumsi standar dalam disiplin keilmuan tafsir. ‘Iya> dah al-Kubaysi> dan Fahd ibn ‘Abd al-Rah} man al-Ru> mi> , dalam karya masing-masing, misalnya, mengutip al-Sya> t} ibi> untuk menegaskan

ketidakmungkinan pengabaian Sunnah dalam penafsiran al-Qur`an. 9 Demikian pula anggapan bahwa teori al-Sya> t} ibi> bisa digunakan untuk menjustifikasi

pembatalan makna lahiriah ayat al-Qur`an ( ta‘t} i> l al-nas} s} ) demi maslahat kemanusiaan; anggapan tersebut ditolak oleh, misalnya, Yu> 10 suf al-Qard} a> wi> .

Kedua, problem pembedaan antara pemikiran al-Sya> t} ibi> sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya dengan konsekuensi dan implikasi yang bisa

A History of Islamic Legal Theories, hlm. 189-190. 9 ‘Iya> dah ibn Ayyu> b al-Kubaysi> , “Mana> hij al-Mufassiri> n bayna al-Atsar wa al-Tajdi> d”, dalam Buhu> ts Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 568; dan Fahd ibn ‘Abd al-Rah} ma> n ibn Sulayma> n al-Ru> mi> , Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-H{adi> tsah fi> al-Tafsi> r (Beirut: Mu`assasah al-Risa> lah, 1407 H.), hlm. 333-336.

8 Hallaq,

10 Yu> suf al-Qard} a> wi> menggunakan argumen al-Sya> t} ibi> untuk mendukung pendirian kelompok moderat ( al-madrasah al-wasat} iyyah) yang menganut prinsip konvergensi antara teks-

teks partikular dan tujuan-tujuan general syariat Islam ( al-rabt} bayna al-nus} u> s} al-juz`iyyah wa al- maqa> s}id al-kulliyyah) tanpa salah satu dari keduanya dikorbankan demi kepentingan yang lain. Menurut al-Qard} a> wi> , kelompok ini merupakan kelompok terbaik di antara dua kelompok ekstrem lainnya, yaitu kelompok neo-Z{ a> hiriyyah ( al-Z{ a> hiriyyah al-Judud) dan kelompok pembatal teks ( madzhab ta‘t}i> l al-nus}u> s} ). Lihat Yu> suf al-Qard} a> wi> , Dira> sah fi> Fiqh Maqa> s} id al-Syari> ‘ah: Bayna al-Maqa> s} id al-Kulliyyah wa al-Nus} u> s} al-Juz`iyyah (Kairo: Da> r al-Syuru> q, cet.2, 2007), hlm. 139- 140.

ditarik dari pemikirannya itu. Ini adalah problem diskrepansi antara teks dengan pemahaman terhadapnya, atau antara apa yang dinyatakan oleh al-Sya> t} ibi> sendiri dengan apa yang dinyatakan oleh orang lain berdasarkan inspirasi dari pemikiran al-Sya> t} ibi> tersebut. Pertanyaannya, benarkah hal-hal di atas merupakan pendapat al-Sya> t} ibi> ?

Ketiga, problem representasi ortodoksi. Jika diasumsikan bahwa empat hal di atas benar-benar merupakan pemikiran al-Sya> t} ibi> , maka persoalan berikutnya adalah: sungguhkah hal-hal itu menyimpang dari prinsip-prinsip tafsir yang “dianggap benar” dalam tradisi tafsir Sunni? Tidakkah hal-hal itu sekedar

merupakan pengembangan atau “penambahan corak khusus” 11 dari apa yang

telah dikemukakan oleh para ulama lain? Siapa sajakah yang bisa dianggap representasi dari ortodoksi tafsir itu?

Persoalan-persoalan di atas membuat penelitian tentang prinsip-prinsip tafsir menurut al-Sya> t} ibi> dan perbandingannya dengan prinsip-prinsip tafsir yang dianggap ortodoks dalam tradisi Sunni menjadi menarik untuk dilakukan. Hanya saja, tentu terlebih dahulu harus dijelaskan apa yang dimaksud dengan “prinsip- prinsip tafsir” dan apa pula yang menjadi kriteria “ortodoksi tafsir Sunni”.

Prinsip-prinsip tafsir dalam penelitian ini dipahami sebagai “seperangkat asumsi dan aturan yang mendasari sekaligus membatasi proses interpretasi al-

Qur`an”. 12 Demi tujuan-tujuan metodologis, prinsip-prinsip tersebut akan dibatasi pada tiga persoalan. Pertama, asumsi dan pra-anggapan tentang al-

Qur`an. Kedua, metode tafsir. Ketiga, sumber pengetahuan dalam tafsir, termasuk perdebatan mengenai tafsir bi al-ma`tsu> r dan bi al-ra`y. Tiga kategori

11 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, dalam Buh} u> ts Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f (Kuala

Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 354. 12 Dalam hal ini, pengertian “prinsip-prinsip tafsir” mirip dengan pengertian

hermeneutika sebagai ilmu tentang teknik dan metodologi menafsirkan kitab suci. Tetapi kesulitan pertama dalam penggunaan istilah “hermeneutika” adalah tidak adanya satu definisi tunggal yang disepakati tentangnya. Lihat Muhammad ‘Ata al-Sid, “The Hermeneutical Problem of the Qur`an in Islamic History” (Disertasi pada Temple University, 1975), hlm. 7. Karena alasan itu, juga karena alasan bahwa istilah hermeneutika kerap dimaknai secara peyoratif, penulis memilih untuk tidak menggunakan istilah tersebut.

ini akan digunakan sebagai kerangka-kerja dalam menguraikan prinsip-prinsip tafsir menurut al-Sya> t} ibi> dan melakukan penilaian atasnya berdasarkan kriteria- kriteria ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.

Lalu bagaimana memaknai dan membatasi “ortodoksi tafsir” tersebut? “Ortodoksi” berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata: orth ‘benar’ dan doxa ‘ajaran, pendapat’. Ia kemudian dimaknai sebagai “kepatuhan terhadap doktrin yang telah mapan, terutama dalam agama tertentu”. Terma ini biasanya dilawankan dengan “heterodoksi”, sebuah “sikap yang bertentangan atau berbeda dari standar yang telah diakui, atau bentuk tradisional,

atau doktrin agama yang telah mapan”. 13 Dalam beberapa kasus, penelitian ini

juga menggunakan kata “deviasi” untuk menyebut sebuah kaidah atau teori yang menyimpang dari ortodoksi tafsir.

Sering dinyatakan bahwa ortodoksi adalah sesuatu yang asing dalam konteks Islam, karena tidak ada dalam Islam sebuah institusi, seperti dewan sinode atau lembaga gereja, yang memiliki otoritas untuk menentukan kriteria

ortodoksi. 14 Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep ortodoksi dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut.

Pertama, ortodoksi sebagai sebuah konsep ternyata dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi dan

heresiografi. 15 Dalam konteks ini, ortodoksi dipahami dalam kerangka

13 Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Britannica CD, ver. 2.0 (Encyclopaedia Britannica, Inc., 1995).

14 Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah

“pandangan mayoritas” ( the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hlm. 268.

15 Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘ari> , al-Gaza> li> , al-Syahrasta> ni>

dan lain-lain pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok-kelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 77-78.

pembedaan antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari pemerian dua kategori tersebut. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘ulu> m al-Qur`a> n dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh penafsiran yang menyimpang. Hal itu menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam tafsir.

Kedua, dalam setiap disiplin keilmuan, selalu berlangsung proses standardisasi dan pemapanan. 16 Dalam disiplin keilmuan tafsir, kecenderungan

yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta terminologi- terminologi tafsir dan ‘ulu> m al-Qur`a> n telah mengalami proses pemapanan yang berlangsung sekian lama. Yang mapan serta yang standar kemudian menjadi

arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Dan setiap pemikiran yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai penyimpangan dari ortodoksi.

Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi tafsir itu didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa dikategorikan ortodoks dan bukan heterodoks? Dalam banyak persoalan yang menjadi fokus perdebatan para ulama tafsir Sunni, pendapat manakah yang dianggap paling bisa merepresentasikan ortodoksi? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori yang banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya?

Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar ortodoksi tafsir seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh, misalnya, Norman Calder dalam artikelnya, “The Limits of Islamic

Orthodoxy”. 17 Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama,

16 Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula

Günther, “Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 142.

17 Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hlm. 66-86.

bersifat general sekaligus longgar; “general” dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “longgar” dalam arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua, pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara yang sama, kriteria

ortodoksi tersebut berfungsi menjadi basis untuk menganalisa mengapa al- Sya> t} ibi> diapresiasi dengan cara yang berseberangan; di satu sisi, dia dianggap menyimpang (atau memberi inspirasi kepada orang lain untuk menyimpang) dari ortodoksi, sementara di sisi lain, pendapat-pendapatnya juga digunakan untuk mendukung dan menjustifikasi ortodoksi. Ketiga, demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> akan dilakukan kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, misalnya, bagian x dari prinsip-prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> bertentangan atau sesuai dengan bagian y dari struktur ortodoksi.

Meminjam teori Norman Calder, 18 penelitian ini berpendapat bahwa tidak ada satu pun karya di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi

apa yang disebut ortodoksi tafsir Sunni. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak ortodoksi tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana deviasi dari ortodoksi itu bisa dinilai. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi antara ortodoksi dan pilihan politik penguasa, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama tafsir Sunni sendiri. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar ortodoksi dalam tafsir

18 Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 69-71.

secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur tafsir dan 19 ‘ulu> m al-Qur`a> n berdasarkan kerangka teori yang

akan diuraikan pada bagian mendatang. Kategori “Sunni” juga agak sulit dibatasi. Penelitian ini memilih untuk mendefinisikan Sunni dari luar, yaitu Sunni sebagai sebuah kelompok di luar kelompok-kelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawa> rij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya,

A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usul al-Fiqh” adalah us}ul fiqh yang dikembangkan

oleh sebuah kelompok mayoritas (Sunni) di luar Syi‘ah. 20 Implikasinya, kategori

Sunni dalam penelitian ini digunakan dengan sedikit banyak mengabaikan varian-varian (teologis) yang terdapat di dalam kelompok Sunni sendiri. Pada wilayah tafsir, perbedaan antara Asy‘ariyah dan Ma> turi> diyah, untuk menyebut satu contoh variasi dalam kelompok Sunni, rasanya tidak terlalu signifikan.

Oleh karena yang hendak dicari dalam penelitian ini adalah struktur ortodoksi yang bersifat relatif mapan dan stabil, maka kategori Sunni dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted, yang telah ada “dengan sendirinya”. Persoalan-persoalan sejarah, seperti tentang kapan dan di mana Sunni beserta ortodoksi tafsirnya terbentuk, cenderung akan diabaikan. Penelitian ini bahkan ingin memperlihatkan bahwa dalam kesadaran kolektif kelompok Sunni, “kebenaran” adalah sesuatu yang bersifat anakronis—tafsir yang “benar” adalah tafsir yang setia pada aturan-aturan tertentu, dan aturan-aturan tersebut diyakini telah ada sejak dahulu kala.

Selain itu, terma “ortodoksi tafsir Sunni” menyiratkan bahwa terdapat juga sejenis ortodoksi tafsir dalam kelompok-kelompok lain. Pandangan Arkoun dan Calder yang akan diuraikan pada bagian mendatang menguatkan asumsi ini.

19 Literatur-literatur tafsir dan ‘ulu> m al-Qur`a> n juga meliputi karya-karya tentang “heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah fi> Tafsi> r al-

Qur`a> n al-Kari> m, Ikhtila> f al-Mufassiri> n: Asba> buhu> wa D{ awa> bit} uhu> , Madza> hib al-Mufassiri> n, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawa> ‘id al-H{ isa> n li Tafsi> r

al-Qur`a> n, Us}u> l al-Tafsi> r wa Qawa> ‘iduhu> , dan lain-lain). 20 Hallaq,

A History of Islamic Legal Theories, hlm. vii.

Tetapi pemetaan struktur dasar ortodoksi tafsir yang akan dilakukan pada bagian mendatang itu, pada dasarnya, bisa digunakan untuk melakukan penilaian secara internal maupun eksternal, bagi mufassir Sunni sendiri maupun bagi mufassir non-Sunni. Seorang mufassir Sunni bisa saja memiliki pandangan tertentu yang berseberangan dengan ortodoksi Sunni. Karena itu, perdebatan tentang status al-

Sya> 21 t} ibi> —apakah dia merupakan bagian dari kelompok Sunni atau tidak?— tidak membuat penelitian ini menjadi kehilangan signifikansinya.

Selanjutnya, dalam hubungannya dengan dua model apresiasi yang berbeda terhadap al-Sya> t} ibi> di atas, penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> tidak menyimpang dari prinsip-

prinsip tafsir ortodoks dalam tradisi Sunni. Artinya, penelitian ini meyakini bahwa proses interpetasi al-Qur`an yang sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> tidak akan menghasilkan pemahaman yang menyimpang secara radikal dari penafsiran para ulama Sunni ortodoks. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menduga bahwa perbedaan apresiasi terhadap al-Sya> t} ibi> diakibatkan oleh, salah satunya, proses tarik-menarik antara keinginan untuk menggugat ortodoksi, di satu sisi, dan hasrat untuk mempertahankannya di sisi yang lain.

B. Permasalahan

1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah Dari dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi permasalahan- permasalahan berikut ini.

a. Meski dikenal sebagai tokoh dalam tradisi us}ul fiqh, al-Sya>t}ibi> juga merumuskan prinsip-prinsip tafsir al-Qur`an yang dapat dielaborasi dari karya-karyanya. Prinsip-prinsip tafsir seperti apakah yang dapat dirumuskan dari karya-karya al-Sya> t} ibi> itu?

21 Hamka Haq menyatakan bahwa al-Sya> t} ibi> lebih dekat kepada paham Muktazilah, Ma> turi> diyyah Samarkand, dan Qadariyyah dibandingkan dengan Asy‘ariyyah. Lihat Hamka Haq,

Al-Syâthibî: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 264-273.

b. Di sisi lain, para ulama tafsir Sunni juga telah merumuskan prinsip-prinsip tafsir, yang kemudian menjadi ortodoks, dalam karya-karya mereka. Kriteria apa sajakah yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni itu?

c. Bagaimana menilai prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya>t}ibi> berdasarkan struktur dasar ortodoksi tersebut?

d. Al-Sya>t}ibi> merupakan sosok yang kontroversial. Di satu sisi, ia dianggap menggariskan sebuah proyek revolusioner yang, bila berhasil diberlakukan, akan merombak cara berpikir umat Islam dalam berhadapan dengan teks- teks keagamaan. Tetapi di sisi lain, al-Sya> t} ibi> juga dianggap sebagai sosok

yang sepenuhnya bagian dari tradisi ortodoksi Sunni. Bagaimana representasi al-Sya> t} ibi> menurut dua persepektif ini?

e. Al-Sya>t}ibi> dianggap sebagai tokoh yang memberikan inspirasi bagi banyak pemikir muslim modern dalam merumuskan hukum yang lebih akomodatif terhadap realitas sosial. Bagaimana pengaruh al-Sya> t} ibi> terhadap perumusan konsep-konsep tafsir dan penafsiran ayat-ayat hukum di masa modern?

f. Bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-

Sya> t} ibi> ke dalam penafsiran al-Qur`an yang sesungguhnya? Dari sekian banyak permasalahan yang bisa diidentifikasi di atas,

penelitian ini memusatkan perhatiannya kepada empat poin pertama (a, b, c, dan d). Dengan kata lain, penelitian ini akan menguraikan prinsip-prinsip tafsir menurut al-Sya> t} ibi> , memetakan struktur dasar ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni, membandingkan keduanya, untuk kemudian melakukan penilaian terhadap pemikiran al-Sya> t} ibi> berdasarkan komparasi tersebut. Hasil penilaian itu akan dibawa ke dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan analisis singkat tentang apresiasi terhadap al-Sya> t} ibi> dalam dua perspektif yang bertolak belakang. Pengaruh al-Sya> t} ibi> terhadap para pemikir muslim modern (poin e) serta aplikasi nyata dari prinsip-prinsip tafsirnya (poin f) adalah dua hal yang tidak memiliki kaitan langsung dengan upaya perbandingan antara prinsip- penelitian ini memusatkan perhatiannya kepada empat poin pertama (a, b, c, dan d). Dengan kata lain, penelitian ini akan menguraikan prinsip-prinsip tafsir menurut al-Sya> t} ibi> , memetakan struktur dasar ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni, membandingkan keduanya, untuk kemudian melakukan penilaian terhadap pemikiran al-Sya> t} ibi> berdasarkan komparasi tersebut. Hasil penilaian itu akan dibawa ke dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan analisis singkat tentang apresiasi terhadap al-Sya> t} ibi> dalam dua perspektif yang bertolak belakang. Pengaruh al-Sya> t} ibi> terhadap para pemikir muslim modern (poin e) serta aplikasi nyata dari prinsip-prinsip tafsirnya (poin f) adalah dua hal yang tidak memiliki kaitan langsung dengan upaya perbandingan antara prinsip-

2. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan umum penelitian sebagai berikut: Apakah prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh al-Sya> t} ibi> bertentangan dengan kriteria ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni?

Dari pertanyaan umum tersebut, dapat dikembangkan pertanyaan- pertanyaan khusus berikut ini.

a. Apa sajakah prinsip-prinsip tafsir menurut al-Sya>t}ibi>?

b. Kriteria apakah yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni?

c. Di manakah posisi prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> dalam struktur dasar ortodoksi tersebut? Menyimpangkah ia?

C. Survei Literatur Sejauh ini, belum ditemukan sebuah monograf tunggal yang mencoba

merumuskan prinsip-prinsip tafsir al-Qur`an dari karya-karya al-Sya> t} ibi> dan membandingkannya dengan kriteria ortodoksi tafsir kelompok Sunni. Kajian atas pemikiran al-Sya> t} ibi> sendiri banyak dilakukan dalam bingkai us} ul fiqh dan

yurisprudensi Islam, seperti oleh ‘Abd al-Rah} 22 ma> n Ibra> hi> m al-Kayla> ni> ,

23 24 H{ 25 amma> di al-‘Ubaydi> , Muhammad Khalid Masud, Asafri Jaya Bakri,

26 Duski 27 , Khotib, dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula penelitian yang

22 ‘Abd al-Rah} ma> n Ibra> hi> m al-Kayla> ni> , Qawa> ‘id al-Maqa> s} id ‘Inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ‘Ard} an wa Dira> satan wa Tah} li> lan (Damaskus: Da> r al-Fikr, 2000). 23 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah (Tripoli: Kulliyyah al- Da‘wah al-Isla> miyyah, 1992)

24 Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu> Ish}a> q al- Sha> t}ibi> ’s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publishers, 1989)

25 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syatibi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996).

26 Duski, “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut asy-Syatibi: Suatu Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî” (Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,

Jakarta, 2006) Jakarta, 2006)

(tentang nilai-nilai akhlak), 29 serta karya Asep Saepudin Jahar (tentang konsep bid‘ah). 30 Tentu saja literatur-literatur tersebut tidak memusatkan perhatiannya

kepada ilmu tafsir serta tidak berupaya menguraikan prinsip-prinsip tafsir al- Qur`an menurut al-Sya> t} ibi> seperti apa yang coba dilakukan oleh penelitian ini.

Kajian terhadap pemikiran al-Sya> t} ibi> di bidang tafsir dilakukan, setidaknya, dalam tiga tulisan berikut ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Irwan dengan judul “Tafsir bi al-‘Ilmi dalam Perspektif al-Syathibi”. Irwan menyatakan bahwa al-Sya> t} ibi> menolak tafsir bi al-‘ilmi> (istilah yang lebih tepat,

sebetulnya, adalah “al-tafsi> r al-‘ilmi> ”) dengan alasan bahwa al-Qur`an diturunkan kepada bangsa Arab yang ummi> , yang tidak mengenal konsep-konsep saintifik. Karena itu, setiap penafsiran yang mencoba melampaui konteks ke- ummi> -an bangsa Arab saat al-Qur`an diturunkan, termasuk tafsir bi al-‘ilmi> , jelas tidak

dapat diterima. 31 Sebagaimana tampak dari uraian di atas, penelitian Irwan ini hanya memfokuskan perhatiannya kepada salah satu bagian kecil dari prinsip-

prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> . Kedua, tulisan Wael B. Hallaq yang berjudul “The Primacy of the Qur`a> n

in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”. Sebagaimana tercantum dalam judul tulisan tersebut, Hallaq menegaskan posisi sentral al-Qur`an dalam pemikiran al-Sya> t} ibi> . Itu

27 Khotib, “Pemikiran Hukum Syatibi: Studi tentang Metodologi” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1997).

28 Karya yang berjudul “Aspek-aspek Teologis dalam Konsep Maslahat menurut al- Syatibi Sebagaimana Terdapat dalam al-Muwâfaqât” ini semula merupakan disertasi pada

Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 1990, dan telah diterbitkan dengan judul Al-Syâthibî: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007).

29 Salimul Jihad, “Nilai-nilai Akhlak dan Maqâshid al-Syarî‘ah: Tinjauan Pemikiran Imam Abu Ishaq al-Syatibi dalam Kitab al-Muwâfaqât” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN

Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000). 30 Asep Saepudin Jahar, “Abu> Ish} a> q al-Sha> t} ibi> ’s Reformulation of the Concept of Bid‘a: A Study of His al-I‘tis} a> m” (Tesis pada Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada, 1999). 31 Irwan, “Tafsir bi al-‘Ilmi dalam Perspektif al-Syathibi” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000), hlm. 121.

terlihat dalam asumsi yang dikembangkan al-Sya> t} ibi> bahwa al-Qur`an merupakan satu keseluruhan yang integral dan mencakup seluruh basis bagi ajaran-ajaran Islam. Hallaq tampaknya hendak membawa argumen ini ke arah kesimpulan bahwa al-Sya> t} ibi> membuat status Sunnah Nabi turun menjadi sesuatu yang sekunder dibandingkan al-Qur`an. Selain itu, perbedaan tulisan Hallaq dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini juga terletak pada proses dan hasil komparasi. Hallaq membandingkan pemikiran al-Sya> t} ibi> dengan pemikiran para

ulama us} 32 ul fiqh, seperti al-Gaza> li> dan al-A< midi> , sementara penelitian ini mencoba melakukan komparasi antara al-Sya> t} ibi> dengan para ulama tafsir.

Ketiga, tulisan S{ a> lih{ Qadi> r Zanki> yang berjudul “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-

Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”. Dalam makalahnya itu, S{ a> lih{ Qadi> r Zanki> menyebutkan lima belas kaidah tafsir yang dapat diinferensikan dari kitab

al-Muwa> faqa> t, karya al-Sya> t} ibi> , seperti bahwa al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan pemahaman dan kebiasaan bangsa Arab, bahwa satu-satunya tujuan tafsir adalah memahami maksud al-Qur`an sehingga apa pun yang melampaui tujuan tersebut dapat dianggap berlebihan, bahwa tafsir harus memiliki persentuhan dengan sisi praktis kehidupan, bahwa tafsir harus mempertimbangkan maqa> s} id al-syari> ‘ah dalam menjelaskan indikasi lafal dan menjembatani pertentangan antar dalil, bahwa tafsir tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang qat} ‘i> , dan

sebagainya. 34 Karena ditulis dalam format makalah yang singkat, tulisan S{ a> lih{ Qadi> r Zanki> ini terasa kurang elaboratif dan lebih banyak berurusan dengan

kaidah-kaidah terapan dalam tafsir. Selain itu, tidak seperti penelitian yang penulis lakukan ini, S{ a> lih{ Qadi> r Zanki> juga tidak secara sengaja mempertautkan kaidah-kaidah tafsir al-Sya> t} ibi> itu dengan konstruk ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.

32 Wael B. Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”, hlm. 71. 33 Tulisan ini merupakan makalah yang dipresentasikan dalam muktamar tentang

Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f di International Islamic University Malaysia, 17-18 Juli 2006.

34 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 354-371.

Di luar literatur-literatur di atas, perlu juga disebut sebuah penelitian yang mencoba mengkaji secara kritis penggunaan metode induksi dalam konsep maslahat al-Sya> t} ibi> . Penelitian tersebut ditulis oleh Junaidi Lubis dengan judul “Induksi Sebagai Metodologi Pengambilan Hukum Islam: Kritik terhadap Abu

Ishak al-Syathibi dalam Konsep Maslahatnya”. 35 Meski kritik-kritik dalam penelitian Junaidi itu ditujukan kepada metode induksi yang digunakan dalam

perumusan hukum Islam, namun substansi kritik-kritik tersebut dapat pula bermanfaat bagi pengujian metode induksi dalam tafsir.

Di sisi lain, prinsip-prinsip tafsir mencakup wilayah literatur yang sangat luas. Hampir seluruh karya tentang tafsir dan ‘ulu> m al-Qur`a> n mengandung

pembahasan tentang prinsip-prinsip tertentu yang harus dipatuhi dalam melakukan penafsiran al-Qur`an. Hanya saja, belakangan muncul karya-karya yang mencoba mengkaji kaidah-kaidah tafsir secara komprehensif, seperti apa

yang ditulis oleh ‘Abd al-Rah} 36 ma> n ibn Na> s} ir al-Sa‘di> , Kha> lid ‘Abd al-Rah{ ma> n

37 38 al-‘Akk, 39 Kha> lid ibn ‘Utsma> n al-Sabt, dan ‘Abd al-Ha> di> al-Fad{ li> . Berbeda dengan literatur-literatur di atas yang mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir tanpa

mengaitkannya dengan tokoh tertentu, prinsip-prinsip tafsir yang akan diuraikan dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek kajiannya, yaitu pemikiran dan karya- karya al-Sya> t} ibi> . Selain itu, penelitian ini juga mencoba membawa konsep tentang prinsip-prinsip tafsir tersebut kepada persoalan-persoalan yang lebih mendasar, seperti asumsi, pra-anggapan, serta motif al-Sya> t} ibi> dalam merumuskan teorinya.