Ali Romdhoni Al Qur'an dan Literasi Arab Kajian tentang Pengaruh Al Qur'an terhadap Perkembangan Literasi Arab

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam bidang Ulumul Qur’an

Oleh:

ALI ROMDHONI

NIM: 06.2.00.1.14.08.0071

Pembimbing: Dr. H. Udjang Thalib, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ”Al-Qur'an dan Literasi Arab: Kajian tentang Pengaruh Al-Qur'an terhadap Perkembangan Literasi Arab“ yang ditulis oleh ALI ROMDHONI (NIM: 06.2.00.1.14.08.0071), mahasiswa konsentrasi Ulumul Qur'an, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diajukan ke sidang ujian tesis.

Jakarta, 24 Desember 2008 Pembimbing,

Dr. H. Udjang Thalib, MA NIP: 150 200 984

LEMBAR PERSETUJUAN TIM PENGUJI Tesis dengan judul ”Al-Qur'an dan Literasi Arab: Kajian tentang

Pengaruh Al-Qur'an terhadap Perkembangan Literasi Arab“ yang ditulis oleh ALI ROMDHONI (NIM: 06.2.00.1.14.08.0071), mahasiswa konsentrasi Ulumul Qur'an, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diujikan, dipertahankan dan dinyatakan lulus dalam Seminar Tesis (Munaqasyah) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Januari 2009.

Selanjutnya, tesis ini telah direvisi sesuai dengan kritik dan masukan dari tim penguji. Dengan demikian tesis ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ulumul Qur’an.

Jakarta, 19 Januari 2009

Tim Penguji

Ketua/Merangkap Penguji Pembimbing/Merangkap Penguji

Dr. Fuad Jabali, MA Dr. Udjang Thalib, MA

Penguji Penguji

Dr. Muchlis Hanafi, MA Dr. Abdul Chair

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: ALI ROMDHONI

: Mahasiswa Program Magister

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis dengan bejudul ”Al-Qur'an

dan Literasi Arab: Kajian tentang Pengaruh Al-Qur'an terhadap Perkembangan Literasi Arab“ adalah karya intelektual saya, kecuali kutipan-

kutipan yang telah disebutkan sumbernya. Sekiranya pernyataan saya ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditentukan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bisa berakibat pada pembatalan gelar kesarjanaan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, 22 Desember 2008

ALI ROMDHONI

ABSTRAK

Berdasarkan penelusuran historis, tesis ini membuktikan bahwa yang mempengaruhi perkembangan tradisi literasi Arab adalah turunnya al-Qur'an, beserta keinginan umat Islam untuk mengetahui pesan al-Qur'an. Kebutuhan untuk mendokumentasikan wahyu (

), minat yang tinggi untuk mempelajari al-Qur'an serta kepeloporan Nabi Muhammad dalam gerakan literasi telah menjadi media dan momentum yang tepat bagi perkembangan literasi Arab. Selain itu, perintah membaca dan menulis (QS. 96:1-5) menyebabkan terjadinya ‘kompetisi’ dalam mendalami tradisi literasi di tengah umat Islam.

Temuan dalam tesis ini membuktikan kelemahan pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan literasi Arab didorong adanya kontak budaya melalui aktifitas ekonomi dan perdagangan (Ma'rifat, 2007), juga pendapat yang mengatakan,

aktifitas perdagangan memiliki andil besar terhadap perkembangan literasi Arab (Amal, 2005). Pendapat seperti ini bertentangan dengan fakta bahwa kemampuan membaca dan menulis orang-orang Arab belum mampu secara penuh mewadahi wahyu al-Qur'an. Terbukti, generasi muslim setelahnya harus bekerja keras untuk menyempurnakan dan menciptakan kaedah membaca dan menulis al-Qur'an. Ini artinya, hubungan perdagangan antara orang-orang Quraisy dengan para saudagar di sekeliling Jazirah Arab tidak membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan tradisi literasi Arab.

Tesis ini juga membantah pendapat Ibn Khaldûn (m. 808 H) dalam , bahwa perkembangan literasi bahasa tertentu mensyaratkan, salah

satunya, adanya kemapanan ekonomi. Syarat ini tidak berlaku pada masyarakat muslim Arab saat itu, yang jauh dari kemapanan ekonomi. Peralatan yang digunakan untuk menulis wahyu sangat sederhana: tulang unta, pelepah kurma, kulit kayu, dan benda-benda lain yang bisa ditulisi. Namun mereka berhasil mengembangkan budaya literasi. Modal yang dimiliki umat Islam adalah semangat keislaman, keberagamaan, keimanan dan dedikasi untuk mengambil pesan wahyu. Dan dengan ini mereka berhasil.

Namun begitu, pendapat Ibn Khaldûn yang mensyaratkan adanya kompetisi dan komunitas sosial bagi perkembangan tradisi literasi sangatlah tepat. Dalam konteks masyarakat Islam, dua hal ini jelas ada. Masyarakat yang dibentuk Nabi adalah kelompok sosial yang kondusif, yang memungkinkan diajak berfikir progresif. Di antara mereka juga ada kompetisi, yaitu ingin mengetahui pesan wahyu, menjadi muslim yang mulia.

Posisi tesis ini memperkuat pendapat yang mengatakan, bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan tradisi literasi Arab adalah turunnya al-Qur'an, antara lain al-Faruqi (New York, 1986), al-A'zami (Jakarta, 2005), Lewis (New York, 1960), Hasan (Jakarta, 2006), Shihab (Bandung, 1999), dan Hitti (London, 1970). Namun, pendapat-pendapat mereka masih berupa statement yang belum didukung bukti historis serta analisis mendalam. Riset ini menguatkan pendapat- pendapat ini dengan menunjukkan bukti-bukti historis.

Tesis ini juga menjelaskan, sebelum al-Qur'an turun masyarakat Arab telah mengenal tradisi literasi, tetapi sangat terbatas. Al-Qur'an—melalui motivasi, tamtsil, serta perintah membaca dan menulis serta kerja keras Nabi Muhammad

telah mempopulerkan tradisi literasi Arab. Karena al-Qur'an juga, sistem tulisan Arab menjadi sempurna. Indikatornya, terjadi kodifikasi jumlah dan bentuk huruf (abjad) Arab, penyempurnaan sistem huruf Arab (

, ) dan dibukukannya ilmu nahwu. Bahkan setelah itu muncul kesadaran (semangat) untuk mempelajari ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam. Maka, munculah disiplin ulumul Qur'an, ulumut Tafsir, penulisan kitab-kitab tafsir, penulisan hadis Nabi, Sirah Nabi, penerjemahan buku-buku karya para filsuf Yunani, dan lain-lain. Dari tradisi literasi ini kelak lahir peradaban ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Sumber data riset ini adalah ayat al-Qur'an yang berbicara perintah, motivasi dan inspirasi tradisi literasi. Ayat ini diposisikan sebagai embrio dimulainya tradisi literasi Arab; dikaji dengan pendekatan

. Selain ayat al-Qur'an adalah buku-buku ulumul Qur’an, sejarah al-Qur'an (

) dan sejarah masyarakat Arab yang menceritakan perkembangan tradisi literasi Arab. Semuan data kemudian dianalisis dengan pendekatan sosial historis. Buku yang merangkum para penulis keislaman awal dan karya intelektualnya, misalnya

karya al- Nadîm (m. 380 H) dan

karya Hâjî Khalîfah (m. 1067 H) sangat membantu penelusuran sejarah dalam tesis ini. Dari buku ini, perkembangan literasi Arab—yang ditandai dengan terbitnya buku-buku keislaman—akan diukur, sampai seberapa besar perkembangan literasi Arab pasca al-Qur'an turun.[]

ABSTRACT

Based on the investigation of historical evidence this thesis proves that some factors influencing the growth of Arabic literacy tradition was the revelation of al- Qur'an, along with the desire of Islamic people to know the message of al-Qur'an. The need for documenting the revelation (

), was a high enthusiasm among the muslims to study al-Qur'an and also Prophet Muhammad’s initiative in

literacy movement became media and right momentum for the growth of Arabic literacy. Besides, the comand to read and write (QS. al-'Alaq/96:1-5) encourages the muslims to compete in studying literacy tradition.

Findings of this thesis prove the weak opinion declaring that the growth of Arabic literacy was pushed by the existence of cultural contact through economic and commercial activities (Hadi Ma'rifat, 2007), also there is other opinion assuming that commercial activities had a big share in the growth of Arabic literacy (Adnan Amal, 2005). This opinion is against the fact that ability of reading and writing among Arab people had not yet received comprehensively the revelation of al-Qur'an. It had been proven, that the next moslem generation had to strive to create and accomplish reading and writing methods of al-Qur'an. It means that commercial relation (trade) between the Quraishites with the merchants around Jazirah Arab did not bring any significant change for the growth of literacy traditions for the Arabs.

This thesis also argues Ibn Khaldûn’s opinion ( ), that the growth of certain language literacy required, one of them, the existence of an established economic condition. This condition was not applicable for the Arab muslims who were at that time far from the setled economics condition. Equipments used to write the revelation were very simple: camel bone, date frond, bark, and other objects which could be written. But they succeeded in developing literacy culture. What they owned was Islamic spirit, religiousity, belief in God, and dedication for taking the message of the revelation. And with this all they succeeded.

However, Ibn Khaldûn’s opinion requiring the existence of social community and competition for the growth of literacy tradition is very acurate. In the context of muslim community these things were clear existent. The community created by Prophet Muhammad was a conducive social group, which were able to think

progressively. There was also competitions among them, namely they were eager to know the message of the revelation and to be good muslims.

This thesis strengthes the opinion claiming that some factors influencing the growth of Arabic literacy tradition is the descent of al-Qur'an, for example the opinions of al-Faruqi (New, York, 1986), al-A'zami (Jakarta, 2005), Bernard Lewis (New, York, 1960), Ibrahim Hasan (Jakarta, 2006), Quraish Shihab (Bandung, 1999), and Hitti (London, 1970). But, their opinions are still mere statement which are not yet supported by historical evidence and deep analysic. This research strengthens these opinions by showing historical evidence.

This thesis also explains, before al-Qur'an was revealed the Arabs had recognized literacy tradition, but very limited. Al-Qur'an contains motivation, This thesis also explains, before al-Qur'an was revealed the Arabs had recognized literacy tradition, but very limited. Al-Qur'an contains motivation,

to al-Qur'an, Arabic characters system became perfect. Some indicators to this were the codification of the number and forms of Arabic letters (alphabet), completion of Arab letter system

and the invention of Arabic syntac (nahwu). Even then emerged among the muslim people awareness (the spirit) to study science. Hence, emerged

(the science of al-Qur'an), exegesis Qur’anic, writing of the Prophet’s

(biography), translation of masterpiece books of Greek philosophers, and others. The sources of the research are Qur'anic verses which talk about comand, motivation and inspiration for litercy tradition. These verses are positioned as embryo for the beginning of Arabic literacy tradition, which are studied with the approach of

, his

. In addition to Qur'anic verses are Qur'anic science books, history of al-Qur'an (

) and history of Arabs that narrate the growth of Arabic literacy tradition. The data are analysed using the socio-historical approach. Two books containing early muslim writers and their works are of al-Nadîm (tungsten 380 H) and

of Hâjî Khalîfah (tungsten 1067 H) which help the writer trace history in this thesis. With these books, the growth of Arabic literacy after the revelation of al-Qur'an can be assessed.[]

ﻡﻋﺩﺘ ﻲﺘﻟﺍ ﺔﻜﺭﺤﻟﺍ ﺓﺩﺌﺍﺭ ﻲﻫ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﻤ ﻡﻴﻠﻌﺘﻟﺍﻭ ﻡﻴﺭﻜﻟﺍ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻡﻠﻌﺘﻟ ﺓﺭﻴﻐﻟﺍﻭ ﺔﺠﺎﺤﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻡﻴﺭﻜﻟﺍ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﺙﺤ ﻥﺃ ﻰﻟﺇ ﺔﻓﺎﻀﻹﺎﺒﻭ . ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍﻭ ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ ﺔﻓﺭﻌﻤ ﻲ ﻓ ﺔﻴﻤﻨﺘﻟ ﺍ ﻥﻔﻟﺍ ﺍﺫﻫ ﺔﻴﻗﺭﺘﻟ ' ﺔﺴﻓﺎﻨﻤ ﻟﺍ ' ﻰﻟﺍ ﺎﻀﻌﺒ ﻡﻬﻀﻌﺒ ﻥﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍ ﻊﻓﺩ ﺩﻗ ( ٥ - ١ : ﻕﻠﻌﻟﺍ ) ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ

ﻰﻠﻋ ﺍﻭﻓﺭﻌﺘ ﺩﻗ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ لﻭﺯﻨ لﺒﻗ ﺏﺭﻌﻟﺍ ﻥﺃ - ﺭﺎﺼﺘﺤﻻﺍ لﻜﺒ - ﻥﻴﺒﻴ ﺙﺤﺒﻟﺍ ﺍﺫﻫ ،ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺙﺤﺘ ﻲﺘﻟﺍ ﺔ ﻴﻨﺁﺭﻘﻟﺍ ﺕﺎﻴﻵﺍ لﻼﺨ ﻥﻤ ﻙﻟﺫﻭ . ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍﻭ ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ ﺔﻓﺭﻌﻤ

ﻡﻴﺭﻜﻟﺍ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻥﻷ . ﺕﺍﺭﺎﺸﺒﻟﺍﻭ ﻡﻴﻟﺎﻌﺘﻟﺍ ﻥﻤ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﺔﻴﺼﺨﺸ ﻲﻓ لﺘﻤﺘﺘ ﻲﺘﻟﺍ ﺔﻨﺴﺤﻟﺍ ﺓﻭﺴﻷﺍﻭ ﻑﻭﺭﺤﻟﺍ ﻥﻴﻭﺩﺘ ﻙﻟﺫ ﻰﻠﻋ لﺩ ﺩﻗﻭ ،ﺎﻴﻗﺍﺭ ﺎﻴﻟﺎﺜﻤ ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍ ﻡﺎﻅﻨ لﻌﺠ ﻱﺫﻟﺍ ﻭﻫ

ﻲﻓ ﻥﺴﺤﺘﻟﺍ ﻥﻤﻭ ،لﻜﺸﻟﺍﻭ ﺩﺩﻌﻟﺍ ﺙﻴﺤ ﻥﻤ ( ﻱﺩﺠﺒﻷﺍ ﺏﻴﺘﺭﺘﻟﺍ ﺏﺴﺤ ) ﺎﻬﺒﻴﺘﺭﺘﻭ ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺩﻌﺒ ﺎﻤﻴﻓ ﺭﻭﻁﺘﻴ ﺎﻤﻭ ﻑﺭﺼﻟﺍﻭ ﻭﺤﻨﻟﺍ ﻥﻤ ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﻡﻭﻠﻌﻟﺍ ﻥﻭﺩ ﺩﻗ ﻪﻨﺃ ﺎﻤﻜ . لﺎﻜﺸﻷﺍﻭ ﻡﺎﻅ ﻨ ﻲﻋﻭﻟﺍ ﺭﻭﻬﻅ ﻥﻤ ﺔﻴﻤﻼﺴﻹﺍ ﺔﻤﻷﺍ ﻲﻓ ﺎﻀﻴﺃ لﺜﻤﺘﺘ ﺓﺭﻫﺎﻅﻟﺍ ﻩﺫﻫﻭ . ﺏﺩﻷﺍﻭ ﺔﻏﻼﺒﻟﺍ ﻥﻤ ﺔﻴﺍﻭﺭ ﻱﻭﺒﻨﻟﺍ ﺙﻴﺩﺤﻟﺍ ﻡﻭﻠﻋﻭ ،ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻡﻭﻠﻋ ﻲﻓ ﻡﻭﻠﻌﻟﺍ ﻥﻭﻨﻓ ﻥﻤ ﻥﻓ ﻡﻠﻌﺘﻟ ﺔﺴﺎﻤﺤﻟﺍﻭ

. ﻙﻟﺫ ﻰﻟﺇ ﺎﻤﻭ ،ﻥﺎﻨﻭﻴﻟﺍ ﺔﻔﺴﻼﻓ ﻥﻤ ﺔﻴﺒﻨﺠﻷﺍ ﺏﺘﻜﻟﺍ ﺔﻤﺠﺭﺘ ﻭ ،ﺔﻴﻭﺒﻨﻟﺍ ﺓﺭﻴﺴﻟﺍﻭ ،ﺔﻴﺍﺭﺩﻭ ﻲﻬﻓ ﺙﺤﺒﻟﺍ ﺍﺫﻫ ﻲﻓ ﺎﻫﺃﺭﻘﻴﻭ ﺙﺤﺎﺒﻟﺍ ﺎﻬﻴﻟﺇ ﻊﺠﺭﻴ ﻲﺘﻟﺍ ﺕﺎﻨﺎﻴﺒﻟﺍﻭ ﺭﺩﺎﺼﻤﻟﺍ ﺎﻤﺃ ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍﻭ ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ ﺔﻓﺭﻌﻤ ﻲﻓ ﻊﻴﺠﺸﺘﻟﺍﻭ ﻊﻓﺍﺩﻟﺍﻭ ،ﺏﻴﻏﺭﺘﻟﺍ ﻥﻋ ﻡﻠﻜﺘﺘ ﻲﺘﻟﺍ ﺔﻴﻨﺁﺭﻘﻟﺍ ﺕﺎﻴﻵﺍ ،ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍﻭ ﺓﺀﺍﺭ ﻘﻟﺍ ﺔﻓﺭﻌﻤ ﺭﻭﻬﻅﻟ ﻕﻼﻁﻨﻻﺍ ﺔﻁﻘﻨ ﻰﻠﻋ لﺩﺘ ﻲﺘﻟﺍﻭ ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺙﺩﺤﺘ ﻲ ﺘ ﻟﺍ ﻲﺒﺭﻌﻟﺍ ﻊﻤﺘﺠﻤﻟﺍ ﺦﻴﺭﺎﺘﻭ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﺦﻴﺭﺎﺘﻭ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻡﻭﻠﻋ ﻲﻓ ﺏﺘﻜﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﺔﻓﺎﻀﻹﺎﺒ ﺞﻬﻨﻤﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺙﺤﺎﺒﻟﺍ ﺎﻬﻀﺭﻌﺘﺴﺍﻭ . ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍﻭ ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ ﺔﻓﺭﻌﻤ ﺭﻭﻁﺘ ﻥﻋ ﻱﻭﺘﺤﺘ ﻲﺘﻟﺍ ﺏﺘﻜﻟﺍ ﺽﻌﺒ ﺙﺤﺒﻟﺍ ﺍﺫﻬﻟ ﻲﺨﻴﺭﺎﺘﻟﺍ ﺙﺤﺒﻟﺍ ﻲﻓ ﺩﻋﺎﺴ ﺩﻗ ﻪﻨﺃ ﺎﻤﻜ . ﻲﻋﻭﻀﻭﻤﻟﺍ

ﻥﻭﹸﻨﱡﻅﻟﺍ ﹸﻑﹾﺸﹶﻜﻭ ( ٣٨٠ ﺕ ) ﻡﻴِﺩﹶﻨ ِﻥﺒﻻ ﺕﺴِﺭﻬِﻔﻟﺍ لﺜﻤ ،ﻡﻬﺘﺎﻔﻟﺅﻤﻭ ﻥﻴ ﻟﻭﻷﺍ ﺏﺎ ﺘﻜﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺔﻴﺒﺭﻌﻟﺍ ﺔﺒﺎﺘﻜﻟﺍﻭ ﺓﺀﺍﺭﻘﻟﺍ ﺔﻓﺭﻌﻤ ﺔﻴﻤﻨﺘ ﺱﻴﻘﺘ ﺏﺘﻜﻟﺍ ﺍﺫﻫ ﻥﻤﻭ . ( ١٠٦٨ ﺕ ) ﺔﹶﻔﻴﻠﹶﺨ ﻲِﺠﺎﺤﻟ

[] . ﻲﻨﺁﺭﻘﻟﺍ ﻲﺤﻭﻟﺍ لﻭﺯﻨ ﺩﻌﺒ ﺎﻫﺭﻭﻁﺘﻭ

UNGKAPAN TERIMA KASIH

Dua tahun menjadi bagian dari kampus Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selama itu pula banyak hal telah aku dapatkan. Tak terkecuali suka/duka, lebih/kurang, kesulitan/kemudahan bergantian mengisi perjalanan hingga akhirnya sampai seperti sekarang ini. Aku selalu bersyukur kepada Allâh ’Azza wa Jalla, karena ketika dalam kondisi sulit selalu saja ada kemudahan yang Dia kirim melalui orang-orang terpilih-Nya.

Karena itu saya merasa wajib mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu meringankan tanggung jawab saya selama kuliah. Terima kasih kepada pembimbing penulisan tesis, Dr H Udjang Thalib MA, yang dengan telaten telah membaca, mengoreksi dan memberi masukan berharga selama proses penelitian, sehingga menjadikan karya ini lebih teliti dan bisa dipertanggungjawabkan. Kepada Dr Fuad Jabali MA dan Dr Yusuf Rahman MA, terima kasih telah banyak memberi inspirasi dan pengarahan—tidak hanya ketika berlangsung penulisan tesis ini tetapi sejak awal saya belajar di SPs UIN Jakarta. Jujur, saya merasa beruntung karena berkesempatan untuk berdiskusi dalam berbagai tema dengan dua doktor ini. Terima kasih kepada Rektor UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat, Direktur SPs UIN Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra MA, serta Deputi Direktur Pengembangan Kelembagaan Prof Dr Suwito MA. Terima kasih pula kepada tim penguji tesis, terutama Dr Muchlis Hanafi MA dan Dr Abdul Chair. Kritik, saran dan masukan berharga dari mereka menjadikan tesis ini semakin ‘melimpah dalam data’ dan ‘kaya dalam perspektif’.

Sujud ta’zhim-ku untuk Bapak dan Ibundaku, H Surat Sahlan (m 2007) Allâh yarham dan Hj Hasanah Isbat. Bagiku, mereka berdua adalah guru pertamaku yang dengan sangat sabar telah mengajari aku untuk mencintai ilmu pegetahuan dan mendidik aku agar tidak bosan menjadi pribadi yang baik. Untuk Ibundaku, semoga Allah memberi karunia kesehatan dan umur panjang yang barakah, dan kekuatan untuk mendidik, mengarahkan dan mendoakan anak-anaknya (Âmîn). Kepada kakak-kakak kandungku, mbak Hj Nur Rosyidah, kak Subhi, mbak Sundrikah dan kak Ahmad Irsyad beserta isteri dan suami, terima kasih sudah memberi perhatian lebih kepada adikmu. Untuk kak H Tauhid dan kak Abuyoto, terima kasih dengan perhatiannya selama ini. Terima kasih juga saya sampaikan untuk mas dan mbakyu aku di Cilacap (mbak Fadhila, mas Faizun, mas Fatihun, mbak Faiza, mas Bagyo dan mbak Farida) beserta Keluarga Besar Pesantren Nurul Islam, Karangjati, Sampang, Cilacap.

Kepada para dosen, utamanya Prof Quraish Shihab, Prof Kautsar Asyhari Noor, Prof Rif’at Syauqi Nawawi, Prof Aziz Dahlan, Prof Zainun Kamal, Prof Salman Harun, Prof Amin Suma, Prof D Hidayat, Dr Matsna, Dr Sri Mulyati, Dr Dardiri, Dr Faizah Ali, Dr Sahabuddin, dan Dr Romlah Askar, terima kasih sudah membagikan ilmu kepada saya. Semoga Allah menggantinya dengan kemuliaan.

Harus saya akui, kelancaran selama studi di UIN Jakarta juga tidak lepas dari kemurahan dan budi baik para teman, kolega dan sahabat. Dalam kesempatan ini, saya sangat berterima kasih kepada mas Sidik Sisdiyanto yang sudah memberi berbagai fasilitas dan kemudahan sehingga proses penulisan tesis menjadi lebih lancar dan ringan. Terima kasih juga buat mas Ruchman Basori, mas Abdul Rouf, mas Asrul, mas Rumadi (The WAHID Institute Jakarta) dan mas Aziz Syafiuddin. Bersaudara dengan mereka membuat diri ini semakin dewasa.

Begitu juga sejumlah teman dan sahabat yang tergabung dalam bebagai lembaga dan komunitas, yang memungkinkan saya bekerjasama dan beraktualisasi diri, seperti mas Mukhsin Jamil (Lemlit IAIN Semarang), Rusmadi (Ilham-Institute Semarang), mas Marzuki Wahid (Fahmina- Institute Cirebon), Caswiono Cakrawangsa dan Rikza Hamami (PP IPNU), mas Ubaid (IAIN Semarang), mas Tolchah (Inceis Jakarta), Aziz Hakim dan Wiwit (DPP PKB), Masfuq (Koran Harian Seputar Indonesia), Gus Solah,

Idris dan Muhtadlirin (CSRC Jakarta), mas Joko TH (SKM Amanat Semarang), Faruq dan Asep (Aliansi mahasiswa Filsafat Indonesia —AFI), Burhan dan Kunjaryanto (INISNU Jepara), Hamdan dan Munawir Aziz (STAIN Kudus), serta segenap ”keluarga kelas spesial” Ulumul Qur’an SPs UIN Jakarta 2006, terutama Jaja, Irfan, Pak Fuad, Syihab, Syamsuni, Zainal, Thohar, Syuhada, Islah, Aziz, Muallim, dan F Munadi.

Tidak lupa, saya berterima kasih kepada Diktis Depag RI yang sudah memberi beasiswa, sehingga memungkinkan saya untuk studi S2. Terima kasih juga kepada pengelola perpustakaan SPs UIN Jakarta, Drs Suali Fuad dan M Syukron. Berjam-jam di antara rak buku selama beberapa semester menjadi lebih menyenangkan berkat kebaikan dan kemurahan hati mereka berdua. Begitu juga pengelola perpustakaan utama UIN, PSQ Jakarta, dan FIB UI Depok.

Akhirnya, penghargaan yang istimewa aku sampaikan kepada isteri tersayang, Umi Nur Fatihatul Jannah (Umi) dan puteri kami, Aghna Lokanatha Ramdhani (Ananta). Pengertian dan kesabaran mereka selama studi, terutama saat penulisan tesis ini telah memungkinkan kuliahku selesai tepat waktu. Kepada mereka, karya intelektual ini aku dedikasikan. Jazâkumullâh ahsanal Jazâ’.

Jakarta, bertepatan Hari Ibu 2008

ALI ROMDHONI

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

NO. ARAB

INDONESIA

NO. ARAB INDONESIA

Vokal panjang (mad) dan diftong:

a panjang :

i panjang :

ay

ﻭﹶﺍ Catatan:

u panjang :

aw

Huruf hamzah ( ) di awal kata ditulis dengan vokal tanpa didahuli tanda ( ‘ ). Contoh: kata ﻡﺎﻣﺇ ditulis imâm, bukan ‘imâm.

Transliterasi Arab-Indonesia di atas tidak diterapkan secara ketat dalam penulisan nama orang dan tempat yang berasal dari bahasa Arab tetapi sudah lazim dan dikenal di Indonesia.

DAFTAR ISI Al-Qur'an dan Literasi Arab:

Kajian tentang Pengaruh Al-Qur'an terhadap Perkembangan Literasi Arab

Halaman Judul i Lembar Persetujuan ii Lembar Persetujuan Tim Penguji iii

Lembar Pernyataan iv Abstrak Bahasa Indonesia v Abstrak Bahasa Inggris vii Abstrak Bahasa Arab ix Ungkapan Terima kasih xi Pedoman Transliterasi xiii Daftar Isi xiv Daftar Tabel dan Gambar xvii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 01

B. Permasalahan 16

1. Identifikasi Masalah 16

2. Pembatasan Masalah 17

3. Perumusan Masalah 18

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan 18

D. Tujuan Penelitian 27

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian 27

F. Metodologi Penelitian 28

1. Jenis Penelitian 28

2. Sumber Data 29

3. Pendekatan 30

4. Penyajian Hasil Penelitian 30

5. Keterbatasan Penelitian 31

G. Sistematika Penulisan 31

BAB II: AL-QUR'AN DAN TRADISI BACA-TULIS

A. Al-Qur'an dalam berbagai Pengertian 34

B. Al-Qur'an dalam Pemikiran dan Praktik Umat Islam 39

1. Al-Qur'an: Sumber Kebenaran Absolut 40

2. Al-Qur'an: Panduan Hidup 43

C. Motivasi dan Inspirasi Al-Qur'an terhadap Tradisi Baca-Tulis 48

1. Perintah Membaca dan Menulis 48

2. Perintah Mencari Ilmu Pengetahuan dan Inspirasi Tradisi Manajemen 53

3. Bahasa-bahasa dalam Al-Qur'an yang Identik dengan Tradisi Literasi 55

BAB III: TRADISI LITERASI ARAB SEBELUM AL-QUR'AN TURUN

A. Literasi dan Tradisi Lisan 60

B. Hafalan dan Sistem Penghafalan 67

C. Tradisi Literasi Masyarakat Arab 69

1. Kondisi Sosio-Kultur Masyarakat Arab 70

2. Proses Transformasi Pengetahuan 76

BAB IV: AL-QUR'AN DAN LAHIRNYA TRADISI INTELEKTUAL ISLAM

A. Al-Qur'an: Dari Tradisi Literasi kepada Tradisi Intelektual Islam 80

B. Penulisan Al-Qur'an: Batu Tonggak Dimulainya Tradisi Intelektual Islam 84

C. Lahirnya Ilmu-ilmu Keislaman 90

1. Kodifikasi Huruf Arab 103

2. Penggunaan Titik dan Syakl dalam Sistem Tulisan Arab 120

3. Pembakuan Tata Bahasa Arab (Nahwu) 139

4. Penulisan Ilmu Al-Qur'an dan Ilmu Tafsir 146

5. Penulisan Tafsir Al-Qur'an 156

6. Penulisan Hadis 172

7. Penulisan Sirah 178

BAB V: BAHASA DAN ILMU PENGETAHUAN ARAB PASCA TURUNNYA AL-QUR’AN

A. Bahasa Arab: Bahasa Ritual Keagamaan 184

B. Bahasa Arab: Bahasa Ilmu Pengetahuan 191

C. Bahasa Arab: Menyatukan Peradaban 195

D. Al-Qur’an Menjaga Kemurnian Bahasa Arab 196

BAB VI: PENUTUP

E. Kesimpulan 199

F. Saran-saran 204

Daftar Pustaka 205 Tentang Penulis 216

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ***

Tabel 2.1. : Daftar kata yang identik dengan piranti baca-tulis dan penyebutannya dalam al-Qur'an 56

Tabel 4.1. : Macam-macam ilmu beserta cabangnya menurut Ibn Khaldûn 102

Tabel 4.2. Teori Ibn Khaldûn mengenai Penyokong Perkembangan Tradisi Literasi 118

Tabel 4.3. : Daftar nama tokoh dan kontribusinya dalam merumuskan sistem penulisan mushaf al-Qur'an dengan titik dan syakl 137

Tabel 4.4. : Daftar kitab nahwu yang ditulis pada masa perintisan 144 Tabel 4.5.

: Nama tokoh dan kitab Ulumul Qur’an/Tafsir yang ditulis pada masa perintisan 154

Tabel 4.6. : Daftar nama tokoh dan perannya dalam kodifikasi tafsir al- Qur'an 171

Tabel 4.7. : Daftar nama tokoh dan perannya dalam proses kodifikasi hadis 177

Tabel 4.8. : Nama tokoh dan kitab sejarah pada masa awal Islam 181 Tabel 4.9.

: Bagan yang menunjukkan posisi al-Qur'an di antara kebutuhan interpretasi dan kebutuhan untuk dibaca, ditulis dan dilafalkan dalam ritual khusus 183

Tabel 5.1. : Daftar Literatur Keislaman versi Nadîm 192 Tabel 5.2.

: Daftar literatur Keislaman menurut Hâjî Khalîfah 192

Gambar 4.1. : Beragam Abjad: Kontribusi Timur Dekat kepada peradaban manusia 110

Gambar 4.2. : Route penyebarab awal skrip Arab Utara 114 Gambar 4.3. : Route penyebaran abjad Arab 117 Gamabar 4.4 : Inskripsi Arab Kufi yang dibuat tahun 40 H 122 Gamabar 4.5. : Mushaf abad pertama Hijrah dengan tulisan Arab tanpa titik dan

harakat 123 Gambar 4.6. : M M u u s s h h a a f f k k u u n n o o t t a a n n p p a a a a d d a a k k e e r r a a n n g g k k a a t t i i t t i i k k 127

Gamabar 4.7. : Mushaf yang ditulis dalam skrip Kûfî, yang sudah menggunakan sistem tanda titik yang digagas al-Du’alî (611-688 M) 129 Gamabar 4.8. : Skrip al-Qur’an abad ketiga hijrah yang sudah memakai tanda

titik warna-warni 135

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tradisi literasi 1 (baca-tulis) Arab menempati posisi yang menentukan dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan Islam. Ia menjadi jembatan penghubung

antara doktrin keislaman dengan peradaban-peradaban (terutama khazanah intelektual) pra-Islam. Ia sangat berguna karena telah mendokumentasikan wahyu

(Al-Qur'an) dalam bentuk teks tertulis, sehingga bisa dikaji oleh generasi Islam pada masa-masa selanjutnya. 2 Ia juga yang mengantarkan Islam dikenal di berbagai

wilayah dunia Islam—mulai dari Arab, Spanyol, sampai di India—sebagai agama yang cinta ilmu pengetahuan. Bermula dari tradisi baca-tulis, kelak Islam menghasilkan beribu-ribu jilid buku ilmu pengetahuan dan mewariskan beragam

bangunan peradaban yang agung tak ternilai harganya. 3 Karena itu, sangat tepat bila tradisi baca-tulis Arab disebut sebagai pintu gerbang menuju kejayaan Islam.

Menurut Qatadah dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân karya Al-Qurthubi, kemampuan membaca dan menulis adalah karunia tertinggi yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Ia menjadi perantara untuk memahami sesuatu. Tanpa tradisi

1 Secara sederhana literasi dimaknai the ability to read and write, kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun dalam arti yang lebih luas budaya literasi adalah pintu gerbang bagi suatu

bangsa/komunitas untuk mencapai predikat sebagai bangsa terpelajar. Baca Jean E. Spencer, “ Literacy” dalam The Encyclopedia Americana International Edition, Vol. 17, (Complete in Thirty

Volumes), New York: Americana Corporation, 1972, hlm. 559. Lihat juga ’Literasi’ dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Literacy, data diakses pada 23 Mei 2008.

2 Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, A-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000, hlm. 116. Di antara contoh riil praktik pendokumentasian wahyu

adalah langkah Al-Suyuthi sendiri dalam menulis Al-Itqan. Pekerjaan ini merupakan upaya menggali suatu khazanah yang begitu luas. Dengan demikian ia telah menyelamatkan banyak informasi berguna, yang mungkin bisa hilang atau selamanya tidak dikenal orang bila tidak dibukukan. Baca Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, (Lectures du Coran, terj. Hidayatullah), Bandung: Pustaka, 1998, hlm. 3.

3 Buku-buku karya para intelektual muslim inilah yang kelak akan menggambarkan wajah Islam yang sejatinya; yang damai dan cinta ilmu pengetahuan, ketika satu generasi muslim berada dalam

keterpurukan. Bandingkan dengan Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 4.

baca-tulis agama (Islam—pen) tidak akan pernah berjaya. 4 Bagi J. Pedersen tradisi

baca-tulis Arab merupakan roda penggerak peradaban (Islam—pen). 5 Fakta sejarah membuktikan, peradaban Islam bergantung kepada tradisi baca-tulis baik dalam

proses pertumbuhan maupun pelestariannya. 6 Pendapat-pendapat tersebut cukup beralasan, karena tanpa memiliki tradisi

baca-tulis yang ”mapan” generasi muslim awal tidak mungkin mampu mempelajari prestasi bangsa-bangsa lain di sekitarnya, untuk selanjutnya menciptakan peradaban baru yang lebih unggul dan bermanfaat. Peradaban Islam berkembang seiring dengan maraknya kesadaran masyarakat muslim untuk membaca sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang bisa dijumpai, serta mendokumentasikan hasil-hasil

temuan dalam bentuk catatan yang rapi. 7 Seandainya kekayaan ilmu pengetahuan Islam tidak dibukukan, maka sedikit demi sedikit ia pasti akan hilang. Bila sudah

demikian, prestasi-prestasi yang pernah dicapai Islam pun tidak akan dikenal orang- orang pada masa sekarang.

Pertanyaannya, sejak kapan tradisi baca-tulis Arab mulai berkembang? Apa yang menyebabkan tradisi literasi Arab berkembang pesat? Dalam hal ini, kalangan intelektual muslim bersilang pendapat mengenai dimulainya tradisi baca-tulis di tengah-tengah masyarakat Arab. Pendapat pertama mengemukakan, mayoritas penduduk bangsa Arab tidak mengenal tradisi baca-tulis, alias buta aksara. Kelangkaan alat tulis dan ketidakmampuan baca-tulis mengantarkan bangsa Arab mengandalkan hafalan (bahkan, hingga saat ini pun, bangsa Arab

4 Baca Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid 10, Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993, hlm. 81.

5 J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, cet. ke-1 (terj. Alwiyah Abdurrahman), Bandung: Mizan, 1996, hlm. 110

6 Lihat F. Rosental, "Significant Uses of Arabic Writing" dalam R. Ettinghausen dan O. Kurz (ed), Four Essays on Art and Literature in Islam, Vol. 2, Leiden: E. J. Brill, 1971, hlm. 60. Baca juga

Ilham Khoiri R, Al-Qur'an dan Kaligrafi Arab, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 3

7 Baca M. Amin Abdullah, “Penerjemahan Karya Klasik” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002, hlm. 15-21 7 Baca M. Amin Abdullah, “Penerjemahan Karya Klasik” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002, hlm. 15-21

parah lagi, seseorang yang bisa baca-tulis dianggap lemah daya ingat (hafalan)-nya (dha'îf al-dzâkirah) 9 — karena itu kemampuan baca-tulis dianggap sebagai aib.

Alkisah, penyair Arab yang bernama Zurrummah meminta kepada seseorang yang mendapatinya sedang menulis, untuk tidak memberitahukan kepada orang lain tentang kemampuan menulisnya. Zurrummah berkata: Innahû 'indanâ 'aib (artinya,

sesungguhnya kemampuan baca-tulis di kalangan kami adalah aib). 10 Karena kondisi ini, banyak peradaban masyarakat Arab yang tidak terdokumentasi secara teratur

dalam bentuk catatan sejarah. 11 Aktifitas perniagaan, sastra dan intelektual, jiwa kepahlawanan, dan keagamaan bangsa Arab hanya bisa dijumpai dalam wujud cerita-

cerita yang masih di-ingat masyarakat itu sendiri, atau sisa-sisa berbagai peninggalan yang masih terpelihara hingga sekarang. Selebihnya, banyak yang dilupakan dan

akhirnya hilang tidak terlacak. 12 Pendeknya, tradisi baca dan tulis belum menjadi kesadaran masyarakat Arab kala itu. 13

8 Pada saat Al-Qur'an diturunkan bangsa Arab berada dalam martabat yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka bahkan banyak yang hafal ratusan ribu syair, dan mengetahui silsilah

serta nasab (keturunan)-nya. Lihat Muhammad Abdul Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî Ulûm al- Qur’ân, jilid 1, Baerut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, hlm. 240.

9 Lawannya adalah qawwiy al-dzâkirah. Lihat Manna’ Khalil Qaththan, Mabâhits fî Ulûm al-Al- Qur'ân, 1973, hlm. 119. Baca juga Ali Romdhoni, “Al-Qur'an dan Masyarakat Pembaca”, Surat Kabar

Mahasiswa AMANAT IAIN Walisongo Semarang, edisi 109 Agustus-September 2007, hlm. 12

10 Baca Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 72. 11 Lhat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet

Riyadi), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 109.

12 Khafaji menyebutkan bahwa jenis prosa jahili sangat banyak. Karya sastra Arab jenis ini merekam jejak hampir semua peristiwa penting yang dialami masyarakat itu. Namun karena tidak ada

upaya untuk mengkodifikasi—yang disebabkan mereka tidak bias membaca dan menulis —akhirnya karya sastra ini banyak yang hilang. Hal ini berbeda dengan syair, karya sastra jenis ini mudah dihafal karena terkait dengan batasan-batasan wazan (musikalitas) dan qâfiyah (sajak). Baca Muhammad ‘Abd al-Mun’im Khafaji, Al-Syi’r al-Jâhilî, Beirut: Dar al-Kitâb,1973, hlm. 136.

13 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Târîkh al-Islâm al-Siyâsîy wa al- Tsaqâfîy wa al-Ijtimâ', terj. A. Bahauddin), Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hlm. 108.

Al-Qur'an sendiri (QS Al-Jumu'ah/62: 2) menamai masyarakat Arab sebagai masyarakat ummiyyîn. 14 Kata ummiyyîn merupakan bentuk jamak dari kata ummiy,

terambil dari kata umm yang arti harfiahnya adalah ibu. Yang dimaksud ummiy di sini adalah seorang yang keadaannya sama dengan ketika dilahirkan oleh ibunya dalam

hal kemampuan membaca dan menulis. 15 Selain Al-Qur'an juga ada hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Al-Nasa'i, yang membenarkan bahwa masyarakat yang hidup pada masa Nabi Muhammad adalah orang-orang yang ummiy,

yang tidak pandai menulis dan tidak bisa berhitung. 16 Tidak aneh apabila catatan Al- Baladzuri (w. 892) melaporkan, pada masa Nabi Muhammad hanya terdapat 17 orang

laki-laki dan segelintir wanita yang bisa menulis. 17 Selanjutnya, menurut kelompok pertama ini, tradisi literasi Arab mulai

berkembang bersamaan dengan lahirnya doktrin keislaman yang terkandung dalam

14 Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf (ummiyyîn) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan

kepada mereka kitab dan hikmah (Al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (åõæó ÇáøóÐöí ÈóÚóËó Ýöí ÇáúÃõãøöíøöíäó ÑóÓõæáðÇ ãöäúåõãú

15 Lihat Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 71.

16 öÇ äøóÇ ÇõãøóÉñ ÇõãøöíøÉñ áÇ äßÊõÈõ æáÇ äóÍÓõÈõ . ÇáÔåúÑõ åßÐÇó æ åóßÐÇ æ åßÐÇó . Artinya, Kami adalah umat yang ummiy, yang tidak pandai menulis, tidak juga pandai berhitung.

Bulan begini, begini, dan begini. (Dia menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk mengisyaratkan angka dua puluh sembilan atau tiga puluh hari). Ada juga interpretasi lain mengenai pengertian ummiy. Sumber lain mengatakan, ummiy pada zaman Nabi Muhammad merujuk pada orang-orang yang bukan Yahudi atau Nasrani. Pendapat ini didasarkan pada Al-Qur'an surah Ali Imran/3:20 yang menggunakan istilah ummiy secara khas dalam pengertian orang yang tidak termasuk kalangan Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani). Ayat itu mengatakan: ”Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Alkitab dan orang-orang yang ummiy”. Karena itu, jelaslah bahwa ummiy berarti bukan- Yahudi dan bukan-Nasrani. Ayat itu menunjukkan lebih lanjut bahwa ummy tidak berarti buta huruf, karena bila demikian maka implikasinya adalah bahwa semua orang Yahudi dan Nasrani saat itu adalah melek huruf, yang tentu saja tidak benar. Ayat lain yang juga menjelaskan bahwa kata ummiy merujuk pada orang yang di luar Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) adalah QS. Ali Imran/3:75, yang dalam ayat itu Ahlulkitab mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummiy”. Lihat Faruq Sherif, Al-Qur'an Menurut Al-Qur'an (A Guide to The Contents of The Qur’an , terj. M. H. Assagaf dan Nur Hidayah), Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 56. Baca juga ulasan Muhammad Shahrur tentang makna kata ummî dalam Muhammad Shahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’ân, Qirâ’ah Mu’âshirah, Mesir: Sina li al-Nasyr, 1992, hlm. 139

17 Baca Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005, hlm. 145. Lihat juga Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, hlm.

Al-Qur'an (QS. Al-'Alaq/96: 1-5) yang memerintahkan belajar membaca dan menulis. 18 Dan Nabi Muhammad adalah orang pertama yang menaruh perhatian

serius terhadap pengajaran baca-tulis kepada masyarakat Arab. 19 Dia terus memotivasi kaum muslim agar belajar baca-tulis. 20 Ibarat gayung bersambut, motivasi Nabi disambut hangat oleh umat Islam. 21 Karena itu, orang-orang yang

belajar menulis pada saat itu semakin banyak. Ini sedikit berbeda dengan pendapat Hadi Ma’rifat. Menurut dia, orang-orang Arab Hijaz di masa lampau memang tidak bisa baca-tulis. Mereka baru mengetahui ilmu baca-tulis sejak mendekati munculnya Islam. Yang membuat bangsa ini tidak butuh ilmu baca-tulis adalah kehidupan badui yang selalu menghabiskan waktu dalam perjalanan, mengembara, berperang dan merampok. Aktifitas yang demikian menghalangi orang-orang ini untuk berfikir tentang seni, termasuk seni baca-tulis. Namun demikian, pada masa-masa berikutnya di antara mereka ada yang tertarik dan mau belajar baca-tulis. Adapun yang membuat budaya literasi berkembang dalam masyarakat Arab Hijaz adalah kontak budaya yang terjadi dalam perdagangan. Sebagian dari orang-orang Arab Hijaz ini melakukan perjalanan ke Syam dan Irak untuk tujuan dagang, lambat laun mereka bersentuhan dan terpengaruh budaya masyarakat yang sudah maju dan beradab. Mereka kemudian belajar etika dan ilmu

baca-tulis kepada orang-orang Syam dan Irak. 22 Pendapat yang kedua mengatakan, masyarakat Arab sudah mengenal budaya

baca-tulis selama berabad-abad jauh sebelum datangnya Islam. Kesimpulan ini didasarkan pada temuan sejumlah prasasti dalam bahasa Arab selatan yang bertanggal

18 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 23

19 Baca Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Târîkh al-Islâm al-Siyâsîy wa al-Tsaqâfîy wa al-Ijtimâ', terj. A. Bahauddin), Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hlm. 108.

20 Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an (Târikh al-Qur'ân, terj. Thoha Musawa), Jakarta: Al-Huda, 2007, hlm. 178.

21 Lihat Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 23.

22 Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah Al-Qur'an (Târikh al-Qur'ân, terj. Thoha Musawa), Jakarta: Al-Huda, 2007, hlm. 177-185.

jauh sebelum era Kristen. Beberapa prasasti juga ditemukan di daerah barat Laut

23 24 Arab dalam abjad Nabatean, 25 Lihyanik, dan Tsamudik. Konon, benda-benda

kuno ini dibuat pada abad-abad sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Penemuan lain yang juga menunjukkan adanya peradaban bahasa Arab klasik dan naskah- naskah bahasa Arab adalah tiga sketsa kasar yang menempel pada tembok suatu kuil

di Siria, yang diyakini dibuat pada abad ke-3. 26 Kelompok ini juga mendasarkan argumennya pada kenyataan bahwa di Jazirah

Arab terdapat Makkah yang mashur sebagai kota dagang. Kota ini sudah menjadi pusat perniagaan yang sangat makmur bagi masyarakat perkotaan Arab sejak sebelum

kelahiran Islam. 27 Makkah bahkan menjadi kota transit para pedagang yang bolak- balik melintas dari Yaman, Yatsrib (Madinah), Palestina, Siria, dan sebelah barat

menuju Laut Merah dan Jeddah. 28 Ketika Islam lahir, legenda kemashuran aktifitas dagang masyarakat Arab (Quraisy) yang secara teratur mengadakan perjalanan dua

kali pada setiap tahunnya—di musim dingin ke Yaman dan di musim panas ke Syam—ter-cover dalam Al-Qur'an (QS. Quraisy/106). Logikanya, masih menurut kelompok kedua, tradisi baca-tulis tentu sudah menjadi kebutuhan kaum pedagang, lebih-lebih di kawasan perkotaan. Jadi, sangat tidak mungkin masyarakat Arab (Makkah dan sekitarnya) tidak mengenal baca-tulis. Di sisi lain, Al-Qur'an banyak berbicara mengenai fungsi tulisan. Al-Qur'an, misalnya, menentukan bahwa transaksi

23 Nabatean berasal dari nama satu kerajaan di semenanjung Arab. Bangsa Nabatean merupakan cikal bakal kaum Tsamud, kaum Nabi Shaleh as. Kaum yang dianugrahi kemahiran dalam memahat

dan mengukir bebatuan menjadi rumah dan istana-istana raksasa. Kawasan Nabatean membentang luas mulai dari Madain Shaleh di Madinah, Arab Saudi sampai kawasan Petra di Jordan dan Damsyiq di Syiria.

24 Lihyanik berasal dari kata lihyan, yaitu nama satu kabilah atau bani pada zaman Nabi Muhammad. Baca “Perang Bani Lihyan Dan Dzi Qarad ” dalam

http://www.alsofwah.or.id/cetaktarikh.php?id=56, data diakses pada 23 Mei 2008.

25 Tsamudik berasal dari kata Tsamud, yaitu nama kaum Nabi Shaleh as. 26 Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005,

hlm. 145.

27 Philip K. Hitti, History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present (terj. dalam bahasa Indonesia R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2006, hlm. 130. 28 Baca Muh. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, Yogyakarta:

LESFI, 2004, hlm. 15.

hutang-piutang yang dilakukan seorang muslim harus dicatat. 29 Ini bisa dimaknai, bahwa audien Al-Qur'an adalah masyarakat yang mengerti (berbudaya) baca-tulis. 30

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang kapan dimulainya tradisi baca-tulis di tengah-tengah masyarakat Arab serta apa yang membuat literasi Arab berkembang pesat, sejarah mencatat, literasi Arab menemukan momentumnya bersamaan dengan turunnya wahyu pertama (QS. Al-'Alaq/96: 1-5), yaitu perintah untuk belajar membaca dan menulis. Di sini, selain motivasi untuk menjalankan perintah Al- Qur'an, umat muslim juga berkepentingan untuk merekam kata-kata Al-Qur'an. Sejarah pun mencatat, tulisan Arab diperankan untuk mengabadikan kata-kata Al-

Qur'an dalam orisinalitasnya. 31 Di Makkah, Nabi menyeleksi orang-orang yang pandai baca-tulis. Sahabat-sahabat penulis terbaik ini diperintahkan untuk mencatat

berbagai macam urusan umat muslim, termasuk wahyu yang turun. 32 Mereka yang didaulat Nabi untuk menulis wahyu adalah Abu Bakar, Umar bin

Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sofyan, Zaid bin

29 Lihat QS. Al-Baqarah/2: 282: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah

seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya… Baca juga QS. Al-Baqarah/2: 283: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...

30 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005, hlm. 145.

31 Lihat Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, A-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000, hlm. 116. Baca juga Muhammad Abdul Azhim al-Zarqani,

Manâhil al-‘Irfân fî Ulûm al-Qur’ân, jilid 1, Baerut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, hlm. 246. 32 Perlu dipahami, masa ini merupakan masa peralihan, di mana tradisi baca-tulis yang

sebelumnya tidak popular, asing, bahkan dipandang sebagai aib, oleh Nabi digalakkan dan difungsikan sebagai bagian dari kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, praktik tulis-menulis pada saat itu masih sangat sederhana. Ali Al-Shabuni dalam Al-Tibyân mengemukakan, pada saat-saat awal Islam, para sahabat melakukan penulisan Al-Qur'an pada pelepah kurma, kepingan batu, kulit dan daun kayu, tulang binatang, dan benda-benda lainnya. Cara ini ditempuh karena belum ada pabrik kertas di kalangan masyarakat Arab. Lihat Muhammad Ali Al-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur'an (Al-Tibyân fî Ulûm Al-Qur'ân, terj. Aminuddin), Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, hlm. 99.

Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Ka'ab, dan Tsabit bin Qais. 33 Al-Zarkasyi dalam Al-Burhân mengutip pernyataan Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan

Muslim, Anas berkata: "Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasulullah oleh empat orang yang kesemuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal,

Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid. 34 Karena kerja keras dan sentuhan tangan halus mereka, Al-Qur'an yang mula-mula terhimpun dalam dada (shadr) mewujud dalam

bentuk tulisan. Umat Islam pun sangat beruntung memiliki kesatuan dan keutuhan kitab suci yang kemurniannya dipelihara dengan tingkat kesungguhan yang luar

biasa, hingga saat ini. 35 Selain memerintah beberapa sahabat untuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an, Nabi

juga melibatkan berbagai pihak untuk mempercepat pengembangan pendidikan. Mereka yang memiliki keahlian baca-tulis diharuskan berpartisipasi memerangi buta

aksara, laksana peran seorang ayah kepada anaknya. 36 Bahkan hingga para tawanan perang Badar (2 H) juga dimanfaatkan untuk mengurangi angka buta aksara.

Tawanan perang yang menguasai baca-tulis tetapi tidak mampu menebus diri dengan sejumlah harta yang ditentukan, harus mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh anak-

anak muslim sebagai tebusan bagi kebebasan mereka. 37 Ini semua menjadi bukti

33 Baca Subhi Al-Shalih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur'ân, Baerût: Dâr Ilm Lilmalâyîn, hlm. 69. Sementara Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi dalam Al-Burhân mengutip pernyataan

Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Anas berkata: "Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasulullah oleh empat orang yang kesemuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu zaid. Lihat Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al- Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Kairo: Dâr Al-Hadîts, 2006, hlm. 170.

34 Lihat Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Kairo: Dâr Al-Hadîts, 2006, hlm. 170.

35 Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 5. 36 Lihat Muhammad Mustafa Al-A'zami, Sejarah Teks Al-Qur'an (The History of The Qur'anic Text, terj. Sohirin Solihin dkk) , Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 59.

37 Kebijakan Muhammad ini merupakan langkah cerdas. Bekas bala tentara Quraisy yang kalah perang itu tidak biarkan kembali ke induknya dan menjadi musuh Islam yang berbahaya, juga tidak

dibunuh/ mati sia-sia. Dengan pertimbangan matang dan atas dasar rasa kemanusiaan, mereka dipekerjakan sebagai pengajar. Kemampuan mereka dalam hal baca-tulis diberdayakan, sekali lagi, untuk kemakmuran umat dalam jangka panjang. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Târîkh al-Islâm al-Siyâsîy wa al-Tsaqâfîy wa al-Ijtimâ', terj. A. Bahauddin), Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hlm. 118.

kesungguhan Nabi mengatasi buta aksara dan mempercepat kemajuan dunia pendidikan.

Sejak itu, aktifitas membaca dan menulis dengan menggunakan huruf Arab (utamanya membaca dan menulis Al-Qur'an) mulai bergeliat dan disadari masyarakat

Arab sebagai kebutuhan, setidaknya oleh kalangan pengikut setia Nabi Muhammad. 38 Begitu juga dengan keberadaan Al-Qur'an—yang sudah tertulis dalam bentuk teks

(mushaf Al-Qur'an)—telah menjadi inspirasi tersendiri bagi lahirnya sebuah peradaban keilmuan. 39

Menurut Bernard Lewis, Al-Qur'an adalah literatur berbahasa Arab pertama dan terkaya di antara literatur-literatur yang ada. Pada permulaan abad kekuasaan Islam, sajak dan prosanya telah berkembang dengan baik. Ilmu pengetahuan dan pengajaran (teaching), pada awalnya, tumbuh dari kebutuhan untuk menginterpretasikan Al-

Qur'an. Dari sini lahir ilmu hukum Islam dan sejarah Islam. Di sini, sejarah berkembang mulai dari biografi Nabi yang diperkaya dengan keterangan lisan yang historis mengenai tradisi Arab pra-Islam. Pada periode selanjutnya, orang-orang Arab sudah memiliki kesadaran sejarah yang tinggi dan segera menghasilkan berjilid-jilid buku sejarah dari berbagai jenis. Karya tentang sejarah Arab awal ditulis dalam bentuk ikhtisar hadis, berisi riwayat para saksi mata, yang disusun dalam rangkaian nama para perawi. Dari sanalah laporan (interpretasi) sejarah dikembangkan. Sebagai

puncaknya, lahir Al-Muqaddimah 40 karya Ibnu Khaldun (1332-1406), ahli sejarah bangsa Arab sekaligus pemikir tentang sejarah terbesar di Abad Tengah. 41

38 Minat terhadap tradisi baca-tulis tumbuh sebanding dengan minat baru dalam teks Al-Qur'an sebagai pembimbing untuk semua pemikiran dan aktivitas, dan keinginan untuk menjaganya dan

menyampaikannya secara akurat. Lihat lagi Isma'il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya' Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986, hlm, 358.

39 Philip K. Hitti, History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present (terj. dalam bahasa Indonesia R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2006, hlm. 159. 40 Lihat “Mukadimah Karya Ibnu Khaldun” dalam

http://www.lakpesdam.or.id/index.php?id=85 , artikel diakses pada 8 Mei 2008.

41 Baca Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam (The Arabs in History, terj. Said Jamhuri), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,

1988, hlm. 141.

Pendapat yang sama disampakan oleh A'zami. Menurutnya, tidak ada sumber yang mencatat adanya buku berbahasa Arab di Semenanjung Arabia sebelum Islam muncul. Al-Qur'an adalah buku pertama berbahasa Arab. Segera setelah tiba di

Madinah Rasulullah mengatur sistem pendidikan dengan melibatkan orang-orang yang berilmu, meskipun masih minim. Pada masa berikutnya (kepemimpinan Khulafâ' al-Râsyidîn), sejarah mencatat, Madinah berfungsi sebagai pusat agama, militer, ekonomi, dan administrasi negara—yang pengaruhnya menembus dari

Afganistan ke Tunisia, Turki selatan hingga Yaman, dan Muscat hingga Mesir. 42 Dalam konteks ini, posisi Al-Qur'an tidak terbatas sebagai kitab suci yang