(Hak) Ulayat: antara hak publik dan hak privat

(Hak) Ulayat: antara hak publik dan hak privat

Sebelum menutup uraian pada bagian ini, dirasa perlu untuk membahas pandangan Roewiastoeti (2014). Pandangan Roewiastoeti yang mengatakan bahwa Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 tidaklah tepat untuk diacu sebagai dasar yang menjamin pengakuan atas wilayah hidup turun‐menurun (ancestral domain) dari sekelompok orang’ perlu diluruskan. Meski begitu, catatannya tentang perlunya membedakan pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat sebagai hak publik dari satuan‐satuan masyarakat adat itu dalam konteks hubungannya dengan hak publik negara, dan hak perdata (kolektif) dari warga negara yang tercakup dalam satuan‐satuan masyarakat hukum adat itu, perlu untuk

dipedomani. 54 Terkait soal yang pertama, pandangan Roewiastoeti dikatakan kurang cermat

atau terperangkap cara berfikir sangat legalistik. Jika dicermati perdebatan yang

53 Safitri & Uliyah, 2014, op.cit. hal. 11. 54 Lihat Roewiatoeti, 2014, op.cit.

terjadi selama proses amandemen Pasal 18, sebagai terekam dalam risalah yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, khususnya dalam buku Jilid

5, jelas sekali terlihat original intended perubahan pasal itu, yang kemudian bermuara pada, antara lain, munculnya Pasal 18B ayat (2), tidak semata‐mata dalam konteks pengakuan hak publik masyarakat hukum adat dalam sistem pemirintahan di Indonesia sebagaimana disangkakan Roewiastoeti karena pasal ini berada di dalam Bab yang mengatur soal Pemerintahan Daerah. Dalam proses amandemen, justru ada yang mengatakan bahwa karena Pasal 18B ayat (2) ini juga mengatur apa yang disebut Roewiastoeti sebagai hak perdata dari sekelompok orang yang juga disebut sebagai masyarakat adat itu. Oleh sebab itu ada yang mengusulkan agar substansi yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) ini

dipindah saja menjadi bagian dari Pasal 33 (tentang Kesejahteraan Rakyat). 55 Dengan kata lain, dengan tafsir yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa Pasal 18B

ayat 2 tidak saja dimaksudkan untuk mengakui hak publik melainkan juga mengakui hak perdata kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dengan demikian, berbeda dengan pandangan Roewiastoeti, penggunaan Pasal 18B ayat 2 ini oleh AMAN bukanlah sesuatu yang keliru sama sekali. Sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikut, dengan demikian, baik hak publik maupun hak perdata dari masing‐masing hukum adat dapat saja merujuk pada pengertian (hak) ulayat sebagai kedaulatan di satu sisi (yang merujuk pada subyek hukum tertentu) maupun ulayat dalam pengertian hak bersama dari

subyek‐subyek hukum yang lain lagi. 56

Agar tujuan pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi bisa optimal maka kemampun untuk melakukan

55 Sayangnya, sepanjang yang data dibaca dalam risalah dimaksud, tidak ada penjelasan atau pembicaraan lebih lanjut mengapa usul itu tidak dilaksanakan dan pada akhirnya PAsal 18B ayat

(2) itu tetap di dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah. 56 Perlu disampaikan bahwa Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan hak ulayat sebagai “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” (Pasal 1 ayat 1) Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan hak ulayat sebagai “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” (Pasal 1 ayat 1)

Berbagai(jenis(hak(masyarakat((hukum)(adat(menurut(Deklarasi(PPB(tentang( Hak9Hak(Masyara9(kat(Adat((United'Na*ons'Declara*on'on'The'Rights'of' Indigenous'Peoples/UN9(DRIP)((

•  Hak(untuk(menentukan(nasib(sendiri:( – 

Masyarakat(adat(berhak(menentukan(pilihan(tentang(jalan(hidup(( – 

Masyarakat(adat(berhak(menentukan,(mengembangkan(rencana(dan(urutan( kepenDngan(bagi(pemanfaatan(tanah,(wilayah,(dan(sumber(daya(mereka( (Pembangunan).((

–  Masyarakat(adat(berhak(menyatakan(atau(mengungkap(jaD(diri,(melestarikan(bahasa,( budaya,(dan(tradisi9tradisi,(serta(mengatur(dan(mengelola(hidup(sendiri(tanpa(terlalu( banyak(campur(tangan(pemerintah.(

–  Masyarakat(adat(berhak(mendapatkan(otonomi(dan(atau(membangun(pemerintahan( sendiri.((

–  hukum,(ekonomi,(sosial,(dan(budaya(sendiri.( Masyarakat(adat(berhak(mempertahankan(dan(membangun(lembaga9lembaga(poliDk,( – 

Masyarakat(adat(berhak(untuk(Ddak(kehilangan(penghidupan(dan(mata(pencaharian.( – 

Masyarakat(adat(berhak(menentukan(hubungan(lembaga(pemerintahan(mereka(dengan( pemerintah(pusat(atau(negara.((

•  Hak(atas(tanah,(Wilayah,(dan(Sumberdaya(Alam( • 

Hak(Turut(Serta((ParDsipasi)(dan(Hak(Untuk(Mendapat(Informasi( • 

Hak(Budaya( • 

Hak(Atas(Keadilan(

Suatu pendekatan yang sekedar berdasarkan prinsip self determination dan self identification yang bersifat dogmatis, yang disertai pula dengan keengganan untuk menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi Indonesia, tentulah sangat tidak memadai dan boleh jadi kontra produktif. Sebab konstitusi telah mengatur bahwa pengakuan itu dalam konteks pengaturan negara Republik Indonesia yang merdeka. Artinya, pengakuan hak‐hak masyarakat adat itu tidak semata‐ mata pemahaman yang bersifat akademik melainkan merupakan pilihan‐pilihan politik yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang terlibat. Hanya saja pilihan‐pilihan politik itu juga tidak bisa diambil tanpa pengetahuan yang cukup tentang hal‐hal yang akan dinegosiasikan itu. Itulah sebabnya suatu pengetahuan dan ketrampilan yang mampu menjelaskan berbagai sobyek, obyek, dan jenis hak‐hak masyarakat hukum adat itu menjadi suatu keniscayaan.***