Masyarakat Hukum Adat: unit sosial yang tunggal atau majemuk?

Masyarakat Hukum Adat: unit sosial yang tunggal atau majemuk?

Lebih dari perdebatan ini semua, pertanyaan pokoknya adalah apakah konsep masyarakat hukum adat itu hanya merujuk pada suatu unit sosial yang tunggal, sehingga jika ada Perda tentang unit sosial yang diasumsikan tunggal itu maka selesailah ‘syarat penting’ bagi pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat itu?

Mari kita uji pandangan umum itu. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa putusan pokok dari Putusan MK 35 Tahun 2012 menyatakan bahwa ‘hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah bagian dari wulayah adat masyarakat Mari kita uji pandangan umum itu. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa putusan pokok dari Putusan MK 35 Tahun 2012 menyatakan bahwa ‘hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah bagian dari wulayah adat masyarakat

ditetapkan dalam Peraturan Daerah’. 47

Pengaturan yang mirip juga sudah terjadi pada Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.– biasa disingkat Permenagraria 5/1999. Menurut Peraturan Menteri ini, pada Pasal 2 ayat 2 diatur bahwa: Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan‐ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari‐hari; b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari‐ hari; dan c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Selanjutnya, pada Pasal 5 dikatakan bahwa: (1) Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi‐instansi yang mengelola sumber daya alam; dan (2) Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas‐batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.

Pada Permenagraria 5/1999 ini memang tidak terlalu jelas diatur bagaimana pengaturan dan/atau pengesahan atas keberadaan tanah‐tanah ulayat itu, apakah harus ditetapkan melalui sebuah Peraturan Daerah, sebagaimana yang

47 Bahasan yang relatif komprehensif pasca Putusan MK 35 Tahun 2012 ini, tepatnya tentang serangkaian pekerjaan rumah agaroutusan efektif bagi perbaikan kehiduapan masyarakat adat,

dapat dilihat pada 7 (tujuh) tulisan yang termuat dalam WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yogyakarta: Indonesia Society for Social Transformation. Tidak sebuah tuntutan AMAN dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Tuntutan AMAN yang ditolak, antara lain, pemberlakuan prinsip self to determination yang dianggapa Mahkamah bersifat separatis dan pencabutan pengakuan bersayarat ini.

kemudian disebutkan oleh Putusan MK 35 Tahun 2012, atau bisa dengan jenis peraturan perundangan tingkat daerah yang lain, seperti Surat Keputusan Bupati misalnya. Permenagraria 5/1999 hanya mengatakan bahwa, pada Pasal 6 dikatakan: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan

Peraturan Daerah yang bersangkutan. 48

Mari kita coba menguji ketentuan yang demikian itu pada kasus ‘hutan adat’ yang dapat saja berupa dan/atau berada pada ‘tanah ulayat’ di Ranah Minang, sebagaimana yang diringkas pada tabel berikut. Dari tabel itu terlihat bahwa subyek hak atas obyek hak yang berupa tanah ulayat itu sangat beragam. Demikian pula, jenis tanah ulayat juga sangat beragam. Pertanyaannya adalah, dengan demikian, apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah untuk setiap kaum/buah gadang, suku, buek, atau pun nagari, agar masing‐masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang berupa tanah ulayat) dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK 35/2012, dan juga Permenagraria/Ka BPN 5/1999 itu?

Atau, jika menggunakan logika Permenagraria 5/1999, apakah warga suatu kaum/buah gadang, suku, atau buek harus mendorong suatu Peraturan Daerah yang menetapkan keberadaan suatu nagari agar tanah adat/tanah ulayat suatu kaum/buah gadang, suku, atau buek dapat diakui sebagaimana yang diatur Permenagraria 5/1999 dimaksud?

Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa dibayangkan betapa berat dan sibuknya masyarakat adat dan Pememrintah di negeri ini untuk memenuhi amanat

konstitusi yang memang mengakui hak‐hak masyarakat adat itu, termasuk hak‐ hak atas tanah adat, sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 18B: ayat 2 UUD 1945 itu.

48 Sejauh ini hanya Pemerintah Propinsi Sumatera Barat yang pernah mengeluarkan peraturan daerah dimaksud. Yakni Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008

tentang Tanah Uayat dan Pemanfaatannya. Namun, sebagaimana akan diulas lebih jauh dalam bagian lain, keberadaan peraturan daerah ini tidak efektif menyelesaikan konflik klaim di daerah itu. Lihat Mora Dingin, (2014). Bersiasat dengan Hutan Negara. Jakarta: Epistema Institute.

Konstelasi*sistem*tenurial*pada*Masyarakat*Minangkabau*(Franz*von*Benca; Beckmann*(2000);*K.*von*Benda;Beckmann*(2000);*Warman*(2010)*

Subyek'Hak'

Objek'Hak:'

Jenis'hak/kewenangan'&'‘pemegang'kuasa>nya’'

;  Panghulu*andiko*

sainduak/

(sekalian*nega*tanah*dan*hutan)*

;  Kewenangan*untuk*mewakili,*mengatur* paruik* !*jurai*

samandeh* !* ; 

Mulai'dari'batu'jo'pasie'nan'

pengelolaan,*mengumpulkan/memungut*hasil,*dan* (genealogis)*

saincek'(mulai*dari*dari*batu*dan*

pasir*yang*sebuGr)*

Rumpuik'nan'sahalai'(rumput*

pengelolaan*hasil*bagi*kepenGngan*bersama.*

yang*sehelai)*

Jirek'nan'sabatang'(pohon*jarak*

;  Mamak*Kapalo*Warih*(yang*adalah*panghulu* gadang* *

Kaum/buah*

yang*sebatang)*

andiko*yang*diangkat*menjadi*ketua*panghulu* ; 

Ka'atehnya'taambun'jantan'(ke*

andiko*yang*ada*pada*kaum*tertentu)* (genealogis)*

atasnya*terembun*jantan)*

Ka'bawah'sampai'takasiak'bulan'

(ke*bawahnya*hingga*pasir*bulan)*

Hindu/Suku* ; 

Pangkek'panghulu'punyo'ulayat' (pangkat*penghulu*punya*ulayat*

;  Mamak*Kapalo*Warih*

pusako*

cq.*kuasa)*

(taratak* !* (Dt.*Rajo*Penghulu,*1997:*209)**

‘Pemerintah*nagari’*

Terkait*dengan*keuangan/ ;  KAN*(Perda*No.*13*Tahun*1983* !*masa*Ordebaru,* !*Nagari*

dusun* !*koto)* *

* pendapatan*Pemerintahan*Nagari:* Bungo'kayu,'bungo'pasie,'bungo'

pasca*UU*5/1979)*

;  Wali*Nagari*(Perda*Nagari*Tahun*2000)* !*Perda* (genealogis*dan*

batu,'bungo'karang* !*Zaman*Orba:*

kembali*ke*nagari*

teritorial)* retribusi*kayu,*damar,*rotan,*karet,* cengkeh,*kulit*manis,*dsb.*

;  Kembali*ke*KAN*menurut*versi*Perda*Nagari*No.*2* *

Tahun*2007*yang*hakekatnya*adalah*‘Perda* kembali*ke*desa)*

Jika bukan demikian yang dimaksudkan oleh kedua kebijakan itu, pertanyaan berikutnya adalah, Peraturan Daerah seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan, agar hak‐hak masyarakat adat itu terakui dan/atau terlindungi tanpa harus terperangkap kesibukan yang tidak berujung itu?

Pendekatan per persil tanah ulayat yang diatur dalam Permenagraria Nomor 5 Tahun 1999 mungkin jauh lebih realistis untuk diterapkan, sejauh persyaratan keberadaan masyarakat hukum adat yang diatur oleh Pasal 2 ayat (2) dapat diubah menurut kondisi riil masyarakat hukum adat itu sendiri. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah kebijakan di tingkat daerah yang memuat siapa dan apa saja yang dapat disebut sebagai subyek dan obyek hak masyarakat hukum adat dalam tatanan sosial dan budaya yang bersangkutan yang akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan. Jadi tidak lagi peraturan daerah yang hanya berisikan definisi‐definisi yang bersifat generik.

Dalam konteks Minangkabau, misalnya, subyek itu bisa saja berupa kaum, 49 buah gadang, suku, 50 buek/koto/jorong 51 dan nagari. 52 Adapun obyek hak yang akan

49 Kaum di beberapa daerah disebut buah gadang, sekumpulan keluarga luas yang berpangkal pada satu nenek moyang (perempuan) tertentu.

50 Suku dan/atau hindu adat (satuan kekerabatan yang lebih luas yang terdiri dari sejumlah kaum.

51 Buek/Koto/Jorong adalah satuan organisasi sosial yang berbasis tempat dan aspek‐aspek genealogis yang berada di bawah da/atau merupakan bagian dari nagari.

52 Nagari adalah satuan organisasi sosial yang berbasis tempat dan aspek‐aspek genealogis lainnya. Di beberapa tempat keberadaan sebuha nagari, kecuali terdiri dari keberadaan beberapa 52 Nagari adalah satuan organisasi sosial yang berbasis tempat dan aspek‐aspek genealogis lainnya. Di beberapa tempat keberadaan sebuha nagari, kecuali terdiri dari keberadaan beberapa

Pusako kaum, pusako buah gadang, pusako suku, ulayat buek, ulayat nagari, dan rimbo larangan berbentuk lahan atau tanah ataupun hutan yang ‘dikuasai secara bersama’ oleh masing‐masing unit sosial yang bersangkutan. Namun, hanya ulayat nagari dan rimbo larangan yang merupakan tanah ulayat yang bersifat publik dalam arti tanah yang bersangkutan bisa dimanfaatkan oleh seluruh warga di nagari yang bersangkutan. Sedangkan Pusako kaum, pusako buah gadang, pusako suku, ulayat buek adalah tanah ulaat yang bersifat privat, dalam arti hanya bisa dimanfaatkan oleh warga unit sosial yang bersangkutan saja. Adapun arato pancarian merujuk pada harta beda/kekayaan yang dimiliki oleh pribadi tertentu yang diperolehnya melalui aturan adat‐istiadat yang ada dalam komunitas itu. Maka, jelaslah bahwa hak adat atas tanah tidak hanya berbentuk tanah ulayat sebagaimana yang dipahami publik selama ini melainkan juga ada tanah‐tanah adat yang bersifat individual. Demikian pula, tidak seluruh tanah ulayat bersifat publik, melainkan ada juga ulayat yang bersifat privat.