Dinamika Pengakuan Hak hak Masyarakat Ad

Dinamika Pengakuan Hak‐hak Masyarakat (Hukum) Adat dan Lokal Pasca‐

reformasi 1

Oleh:

R. Yando Zakaria 2

Pendahuluan

Konstitusi Republik Indonesia pada dasarnya telah mengatur soal pengakuan hak‐hak masyarakat (hukum) adat yang secara sosiologis memang telah lebih

dulu ada sebelum Republik itu berdiri. 3 Sebagaimana digambarkan dalam Diagram berikut, setidaknya ada 3 (tiga) pasal dalam Undang‐Undang Dasar

1945 yang mengandung pesan dan/atau amanat pengakuan atas hak‐hak masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu. Yakni Pasal 18B ayat (2), Pasal 28i ayat (3), dan Pasal 32 ayat (2). Lima belas tahun pasca‐proklamasi, Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok‐pokok Agraria pun diberlakukan. Terdapat pasal 5 yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan‐peraturan yang tercantum dalam undang‐undang ini dan dengan peraturan‐perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur‐unsur yang bersandar pada hukum agama”. Pada pasal 3 sebelumnya telah pula dinyatakan bahwa “… pelaksanaan hak‐ulayat dan hak‐hak yang serupa itu dari masyarakat‐ masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang

1 Bahan Bacaan yang dipersiapkan untuk Pelatihan ‘Social Affair Specialist’. Diselenggarakan oleh Center of Social Excellence (CSE) – The Forest Trust, 2015.

2 Praktisi antropologi. Pemerhati desa dan masyarakat (hukum) adat. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM; dan Fellow pada Lingkar pembaran

Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta. Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI. Bahan ini dipersiapkan dalam rangka advokasi pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyaakat (hukum) adat di Indonesia.

3 Frasa masyarakat (hukum) adat memang sengaja ditulis dengan memberi tanda kurung pada kata hukum, keberadaan, berikut persamaan dan perbedaan antara terma‐terma ‘masyarakat

adat’, ‘masyarakat hukum adat’, ‘kesatuan masyarakat hukum adat’, dan juga ’persekutuan masyarakat hukum adat’. Hal ini akan dibahas secara khsus dalam sub‐bab berikut. lihat juga R. Yando Zakaria, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 Undang‐Undang Dasar 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Konferensi

dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan tema “Negara Hukum ke Mana Akan Melangkah?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9‐10 Oktober 2012.

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang‐undang dan peraturan‐peraturan lain yang lebih tinggi”. 4

Namun, belum lagi pengakuan‐pengakuan itu diatur lebih lanjut agar dapat dilaksanakan di tingkat lapangan, terkait dengan kemelut politik dan krisis ekonomi pada tahun‐tahun pada paruh pertama decade 1960‐an, pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat ini justru terbatalkan melalui pemberlakuan beberapa undang‐undang sektoral. Misalnya seperti yang dilakukan melalui Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐pokok Kehutanan, Undang‐undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, dan juga Undang‐ undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pengingkaran itu telah menghancurkan kehidupan banyak kelompok masyarakat adat di negeri

ini. 5 Pada ranah kehutanan, berdasarkan Undang‐Undang No. 5 Tahun 1967 tentang

Pokok‐Pokok Kehutanan, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini, atas nama pembangunan sektor kehutanan, tegas‐tegas dinyatakan bahwa hak‐hak adat yang ada di dalam sebuah konsesi pengusahaan hutan dibekukan. Demikian pula dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 251/Kpts‐11/1993 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Aggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan, yang mengatur, antara lain, masyarakat adat diizinkan memungut hasil hutan pada masyarakat adat ‘yang masih ada’ berdasarkan

4 Meski begitu, jika diperhatikan secara sungguh‐sungguh, pengaturan hak adat dalam UUPA 1960 ini masih diwarnai sejumlah bias. Antara lain masih terkandungnya ‘bias adat Melayu’, ‘bias

peradaban modern’, dan ‘bias agraris’. Tentang hal ini lihat R. Yando Zakaria & Djaka Soehendera (1994), “Pengaturan Hukum Adat Tanah dalam Perundang‐undangan Nasional dan Rasa Keadilan”. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pertanahan di Indonesia. Diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Tanggal 7 September 1994.

5 Sekedar menyebut beberapa sumber, tentang hal‐hal ini periksalah Maria R. Ruwiastuti, Noer Fauzi, dan Dianto Bachriadi, eds., 1997. Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah. Sistem

Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria dan INPI – PACT; R. Yando Zakaria (2000). Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Yance Arizona, ed., 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa; dan Zakaria, 2012, ibid.

keputusan dari Bupati dan juga harus ada izin dari pejabat kehutanan yang berwenang. 6

Problematika terkait pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat adat dengan keberadaan berbagai perangkat peraturan perundang‐undangan salama ini dapat digambarkan secara ringkas ke dalam tabel berikut. Seperti yang tersaji secara ringkas dalam Tabel dimaksud berikut, terlihat bahwa konflik‐konflik agraria, baik yang bersifat vertikal bahkan juga horizontal, terjadi karena adanya silang‐sengkarut alas hak yang menjadi dasar tata kelola – mencakup tata guna, tata kuasa, dan tata usaha ‐‐ sumber‐sumber agraria di Indonesia. Belum terjadi sinkronisasi antara berbagai sumber hukum, antara perangkat peraturan perundang‐undangan (baca: hukum positif) di satu pihak, dengan berbagai sumber hukum adat yang hidup dan berkembang dalam berbagai komunitas yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu di pihak lain. Meskipun, pada tataran konsitusi, yang kemudian ditegaskan ulang dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu telah diakui

keberadaannya. 7

Silang'sengkarut.alas.hak.para.pihak.dalam.tata.kelola.sumber.agraria. dan.SDA.di.Indonesia. !.Pangkal.konflik.ver;kal.dan.juga.harizontal!.

Sumber'legi+masi'

Tata'Guna'

Tata'Kuasa'

Tata'Usaha'(Administrasi''dan'Teknis)'

Perundang' Perangkat.Peraturan. UU.Kehutanan,.Pertambangan,. Perkebunan,.dan.UU.sektoral.lain.

Perkebunan,.dan.UU.sektoral.lain. UU.Kehutanan,.Pertambangan,. undangan.

UU.Pokok.Agraria;. Bagaimana.dengan.UU.

UU.Penataan.Ruang.

sektoral.lain?.

ar;.‘kawasan.hutan’. !.apa.

RPJMDPropinsi. RPJM.Kabupaten.Kota.

UU.Pertambangan.

Perda.Cg.RTRW.Kabupaten/Kota. Perda.Cg.RTRW.Propinsi.

yang.ditafsir.sama. dengan.‘hutan.negara’?.

Dsb..

UUD.1945. Putusanan2.MK. !. Sebelum.Amandemen.:.Pasal.18. 250.“Zel$esturende+landschappen”.dan'“Volksgemeenschappen”,.seper;.desa+di.Jawa.dan.Bali,.negeri0di. !.Penjelasan.II.!.Dalam.territoir.Negara.Indonesia.terdapat.lebih.kurang. MK.35/2012.

!. Minangkabau,.dusun+dan.marga+di.Palembang.dan.sebagainya..Daerah'daerah.itu.mempunyai.susunan'asli. dan.oleh.karenanya.dapat.dianggap.sebagai.daerah'yang'bersifat'is+mewa..Negara.Republik.Indonesia.

menghorma;.kedudukan.daerah'daerah.is;mewa'tersebut.dan.segala.peraturan.negara.yang.mengenai. daerah.itu.akan.menginga;.hak?hak'asal?usul.daerah.tersebut”... Pasca.Amandemen.(2000). masyarakat'hukum'adat.beserta.hak?hak'tradisionalnya.sepanjang.masih.hidup.dan.sesuai.dengan. !.Pasal.18B:.2.:.“Negara.mengakui.dan.menghorma;.kesatuan?kesatuan' perkembangan.masyarakat.dan.prinsip.Negara.Kesatuan.Republik.Indonesia,.yang.diatur'dalam'undang?

undang”.(cetak.tebal.ditambahkan).. MK.35/2012:.Hutan.adat.BUKAN.hutan.negara;.hutan.ada.bagian.dari.wilayah.adat/ulayat.masyarakat.hukum. adat;.hak.masy.hukum.adat.diakui.jika.MHA.telah.ditetapkan.dengan.Perda..

Perda.da/atau.kebijakan.cq..peraturan.perundangan'undangan.;ngkat.Daerah.apa.seper;.apa.yang. sebenarnya.dibutuhkan?.Inilah.pertanyaan.yang.harus.bisa.dijawab,.agar.kebijakan'kebijakan.d.;ngkat. Daerah.itu.hanya.sekedar.ada.tetapi.;dak.operasional.bagi.pengakuan.dan.penghormatan.hak'hak.MHA.itu..

Hukum.Adat. (pernah.disebutkan.

?????. . sebagai.sumber.

hukum.Nasional).

6 Ketentuan ini sangat memberatkan masyarakat adat karena belum ada pedoman/pengaturan lebih lanjut tentang bagaimana menilai suatu masyarakat adat ‘masih adat’ atau ‘sudah tidak ada

lagi’.

7 Tata guna, tata kuasa, dan tata usaha adalah 3 aspek yang tercakup dalam sistem pengelolaan sumbr‐sumber agrarian. Tata guna merujuk pada bentuk‐bentuk penggunaan dari sumber‐

sumber agrarian dimaksud; tata kuasa merujuk pada bentuk‐bentuk hak yang melekat pada subyek hak atas masing tata guna sumber agrarian (disebut juga sebagai obyek hak), dan tata usaha merujuk pada tindak‐tindakan dan atau proses‐proses yang menyangkut penggunaan sumber agararia. Misalnya bagaimana sumberdaya agrarian itu diusahakan, siapa yang berhak atau memliki otorritas dalam mengatur proses pengusahaan, pendistribusian hasil atau manfaat, maupun penggunaannya untuk investasi.

Problematika itu makin parah karena adanya berbagai faktor ekternal yang terkait dengan politik ekonomi global dan di nasional di sepanjang dua abad

terakhir yang memang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat adat itu. 8 Pada satu sisi, bagaimana kedudukan hak‐hak masyarakat hukum adat itu dalam

berbagai perangkat peraturan perundang‐undangan yang ada, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian‐bagian berikut, masih saja menjadi ranah pertarungan perebutan makna, yang pada akhirnya bermuara pada pengabaian pengakuan dan perlindungan atas hak‐hak masyakat hukum adat itu sendiri.

Pada sisi yang lain, belum kunjung terealisasinya amanat konstitusi yang mengakui hak‐hak tradisional masyarakat (hukum) adat ini, bersamaan dengan munculnya masalah‐masalah sosial dan lingkungan yang menyertai pembangunan pada era pasca Perang Dunia Kedua, telah pula mendorong lahirnya gelombang pembelaan hak‐hak masyarakat adat (baca: indigenouse peole) di tingkat global, yang belakangan membantu memperbesar gelombang tuntutan pemenuhan hak‐hak sosial, ekonomi, dan budaya komunitas masyarakat (hukum) adat di dalam negeri. Fenomena ini pun mendapat perhatian para ahli luar negeri dan segelintir kaum cerdik‐pandai dalam negeri. Perdebatan pun kemudian berkembang kearah kepatutan dari ‘politik identitas berbasis simbol‐simbol promordialisme’ hingga ‘mitos‐mitos dan pencitraan’ terkait konsep‐konsep akademik tentang ‘masayarakat hukum adat’,

‘masyarakat adat’, ataupun apa yang disebut ‘hukum adat’ itu sendiri. 9 Sebagian dari kritik yang disampaikan tentu ada benarnya, dan justru bisa

digunakan sebagai pedoman untuk menghindari efek buruk dari gerakan pembelaan hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu sendiri, dan sebagian yang lain

8 Lihat Sediono M.P. Tjondronegoro & Gunawan Wiradi, eds., 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor; dan Noer

Fauzi, 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Poltik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, INSIST Press, dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

9 Tentang hal ini periksalah tulisan‐tulisan yang dihimpun dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, eds., 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Yayasan

OBOR & KITLV‐Jakarta; dan (sebagian) ‘jawaban’ atas ktirik‐kritik dimaksud, sebagaimana yang disampaikan Franz dan Kebeet von Benda‐Beckmann, 2011. “Myth and Stereotypes about Adat Law. A Reassessment of van Vollenhoven in the light of current struggles over Adat Law in Indonesia.” Dalam Bijdragen tot de Taal‐, Land‐ en Volkenkunde, Vol. 167. No. 2 – 3 (2011), hal. 167 – 195.

layak untuk simpan sebagai suatu pengetahuan saja. Dan, di atas segala perdebatan itu semua, dalam konteks penyusunan kebijakan publik terkait pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat adat ini, suatu ‘kesapakatan baru’ perlu diambil agar pengakuan itu efektif bagi perubahan ke arah yang menguntungkan pihak masyarakat hukum adat di satu sisi, dan pada saat yang bersamaan, tidak pula boleh merugikan kelompok‐kelompok warga negara lainnya di sisi yang lain. Hal ini senda dengan apa yang disampaikan Li (2002):

… masalahnya (adalah) bagaimana caranya untuk meneruskannya: suatu pengakuan hak atas tanah adat tetap penting bagi mata pencaharian dan kesejahteraan berjuta‐juta penduduk perdesaan. Akan tetapi, ketiadaan pemerintah yang transparan, proses hukum yang jelas, dan kebebasan demokratis yang nyata dari desa sampai tingkat di atasnya, klaim sepihak atas hak‐hak tersebut … mengorbankan kaum pendatang yang sama lemahnya

dengan masyarakat adat tersebut dan sering lebih parah … “. 10 Jelaslah bahwa, dari pernyataan itu, masalah pengakuan dan perlindungan hak‐

hak masyarakat adat ini mencakup hal‐hal yang kompleks. Namun, kompleksitas masalah tentunya tidak boleh menjadi alasan untuk mengingkari amanat konstitusi. Oleh sebab itu diperlukan suatu strategi yang menyeluruh yang mencakup berbagai masalah yang terkait pada strategi dimaksud. Salah satunya yang penting, untuk tidak mengatakannya terpenting, adalah soal kejelasan tentang siapa subyek dan apa obyek pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu sendiri. Sehingga, seperti yang disampaikan oleh Hauser-Schäublin, 2013: “…There is a wider range of different actors who identify themselves as masyarakat adat. Grown out of particular historical circumstances of oppression – colonial as well as post-colonial – all these actors hope to (re-)gain

dignity, recognition, rights, and property,” tidak terjadi lagi. 11 Sebab, sebagaimana yang disampaikan Soepomo, “ … bahwa, penguraian tentang badan-badan

persekutuan itu (baca: masyarakat hukum adat) harus tidak didasarkan atas suatu

10 Tania M. Li, 2002. “Ethnic cleansing, recursive knowledge, and the dilemmas of sedentarism”, dalam International Jounal of Social Sciences, 173: 361 – 71. Dikutip dari Jamie S. Davidson, 2010.

“Budaya dan hak dalam kekerasan etnik”, dalam Davidson, Henley, dan Moniaga, eds., 2010. loc.cit.

11 Brigitta Hauser-Schäublin, 2013. Adat and Indigeneity in Indonesia. Gottingen: Universitätsverlag Göttingen.

dogmatik, melainkan harus berdasarkan kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan. …". 12 Betapapun, “…syarat pengakuan dan penghormatan masyarakat

hukum adat dalam frasa ― sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, harus dimaknai sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis dan merupakan living law, artinya merupakan hukum yang diterima (accepted) dan dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan karena memenuhi rasa keadilan bagi mereka dan sesuai serta diakui

oleh konstitusi. …”. 13 Harus jujur diakui bahwa pencegahan efek penyingkiran yang dapat muncul

dalam upaya pengakuan hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu belum mendapat porsi perhatian sebagaimana yang dibutuhkan. Upaya pembelaan hak‐hak masyarakat adat ini terlalu fokus pada dimensi pengakuan dan perlindungan itu sendiri, sebagaimana yang tergambarkan pada beberapa prinsip yang harus ditegakan dalam upaya‐upaya pembelaan itu, yakni prinsip rights to self

determination, human rights, transisional justice, dan pemulihan hak. 14 Dalam konteks yang demikian maka hadirnya rumusan Pasal 104 dalam Undang‐

Undang Nomor 6 Tahun 2013 tentang Desa, yang menyebutkan bahwa ”Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal‐usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur da diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip

12 Soepomo, 1983. Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 49. 13 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012. Putusan Perkara No. 35/PUU – X/2012 tentang Uji

Materi Undang-Undang No. 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana dapat dilihat pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1

14 Lihat Martua Sirait, et.al., 2005. “Refleksi Pengembangan Methodologi Identifikasi Masyarakat Adat dan Wilayah Adat Secara Partisipatif di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur,” dalam

Konsorsium pembaruan Agraria (KPA), et.al., 2005. Tanah Masih di Langit. Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala dan the Ford Foundation). Bahasan tentang praktek eksklusi pasca‐ politik desentralisasi dan menguatnya tuntutan pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat ini dapat juga dilihat pada Benda‐Beckmann, Franz von, 1990. “Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency

Internationales Jahrbuch für Rechtsanthropologie 5: 25‐42; Benda‐Beckmann, Franz von / Keebet von Benda‐Beckmann, 2007. “Social Security Between Past and Future: Introduction.” In: Franz von Benda‐Beckmann und Keebet von Benda‐Beckmann (Hg.), Social Security Between Past and Future: Ambonese Networks of Care and Support. Münster: LIT: 1‐24; dan Benda‐Beckmann, Franz von / Keebet von Benda‐ Beckmann, 2010. “Unity and Diversity: Multiple Citizenship in Indonesia” In: Marie‐Claire Foblets, Jeans‐Francois Gaudreault‐Desbiens und Alison Dundes Renteln (Hg.), Cultural Diversity and the Law: State Responses from Around the World. Bruxelles: Bruylant: 889‐917.

and Oppression”.

Law

& Anthropology.

keberagaman” perlu diapresiasi secara khusus. Terlebih, dalam bagian penjelasan untuk Pasal 104 ini disebutkan ulan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘keberagaman’ adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu”.

Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat?

Suatu perdebatan yang agak berkepanjangan, sebagaimana akan dikomentari lebih lanjut dalam bagian lain, adalah perdebatan seputar perumusan dan penggunaan dua terma yang ‘serupa tapi tak sama’. Yakni perumusan dan pilihan antara terma masyarakat hukum adat (selanjutnya disingkat MHA) atau ‘masyarakat adat’ (seterusnya disingkat MA). Keduanya, betapapun, memiliki konteks sejarah pertumbuhan dan kontek sosial politik yang berbeda satu sama lainnya, meski tetap dapat ditarik benang merah keterhubungan antara yang

satu dan lainnya. 15 Terma masyarakat hukum adat dalam wacana politik ‐‐ dan kemudian juga

akademik di Indonesia – tentulah hadir bukan tanpa argumen yang melatar‐ belakangi kehadirannya itu. Dalam konteks ini dua nama sarjana berkebangsaan Belanda memiliki peran yang penting, yakni Snouck Hurgronje dan Cornellis van Vollenhoven. Tokoh yang pertama, melalui dua karyanya yang disebutkan sebagai karya penting dari yang bersangkutan, yakni De Atjehers dan Het Gajoland, untuk pertama kalinya terma ‘hukum adat’ (adatrecht) digunakan

untuk mengonsepkan ‘adat‐adat yang berakibat hukum’. 16

Konsep ini mendapatkan perhatian – dan karenanya terus dikembangkan – van Vollenhoven, yang kemudian memiliki keyakinan bahwa “rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri, dan karena itu tidak boleh ada unifikasi hukum, … pemberlakukan hukum Barat kepada rakyat pribumi tidak akan memperkaya

15 Karena itu, sebuah komentar yang mengatakan bahwa “ … sebuah gerakan (yang memperjuangkan hak‐hak masyarakat (hukum) adat yang kemunculannya hampir tidak

diramalkan sebelumnya oleh para pengamat Indonesia … ” (lihat David Henley dan Jamie Davidson, 2010. “Konservatisme radikal – Aneka wajah politik adat”, dalam Davidson, Henley, dan Moniaga, eds., 2010, loc.cit., Hal. 2) tidak lebih sekedar sebuah komentar yang berakar pada ketidakpahaman atas permasalahan yang ada. Hal ini tentu cukup mencengangkan. Sebab, sebagaimana disampaikan Zakaria (2000, loc.cit), jika hal ini tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, pengabaian atas apa yang disebut sebagai hakhak masyarakat (hukum) adat ini dapat memicu integrasi nasional.

16 Cornelis van Vollenhoven, 1987. Penemuan Hukum Adat. Jakarta: Penerbit Djambatan dan KITLV, hal. 141 – 142.

peradaban pribumi.” Van Vollenhoven pun kemudian menentang segala upaya administrasi kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum‐hukum adat (misalnya, pada tahun 1914 van Vollenhoven menentang pemberlakuan rancangan Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk Hindia Belanda tanpa terkecuali, dan menjegal usulan amandemen Pasal 62 Regeringsreglement 1984 yang berakibat pada hapusnya perlindungan atas hak‐hak pribumi); mengembangkan konsep dan eksistensi masyarakat hukum adat dan hak‐hak penguasaan atas wilayah adat yang disebutnya sebagai

beschikkingsrecht. 17

Apresiasi yang demikian itu – untuk tidak mengatakannya sebagai kesimpulan – tentu berbeda sama sekali dengan kesimpulan Joehana (1989), yang mengatakan bahwa “… the adat law had been utilized more effectively than the brute force of the Dutch colonial armed troops to enforce compliance, not only to rule the adat law created but also to the interest of the colonialist. Thus, the study of adat law did more the simply reinforced the Dutch colonialist’s grab for power: it justified

the Dutch colonialism.” 18

Masyarakat hukum adat atau yang disebut van Vollenhoven sebagai rechtsgemeenschap, sebagaimana dinyatakan oleh Wignjosoebroto (2012) adalah sebuah masarakat hukum yang terbentuk oleh adanya kesatuan adat tertentu. Menurut Holleman (1981), masyarakat hukum (adat) itu bisa berbentuk sebuah kelompok kekerabatan, sebuah kelompok territorial atau campuran dari keduanya. Anggota sebuah masyarakat hukum mematuhi kaidah‐kaidah yang ada dalam hukum adat yang melingkari mereka sebagai sebuah cara hidup yang khas dan sebagai sistem yang memenuhi sebagian besar dari fungsi‐fungsi yang ada dalam kelompok masyarakat itu. Kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat itu hidup dalam satuan wilayah di bawah pengaturan hukum adat yang

17 Lihat Upik Djalins dan Noer Fauzi Rahman, 2013. “Pengantar untuk Membaca Karya Cornelis van Vollenhoven (1919) Orang Indonesia dan tanahnya”, dalam Cornelis vn Vollenhoven, 2013.

Orang Indonesia dan Tanahnya. Yogyakarta: STPN Press, Sajoyo Institute, Tanah Air Beta, dan HuMa. Lihat juga Soetandyo Wignnjosoebroto, 1984. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Suatu Kajian tentang Dinamika Sosil‐Politik Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia, 1840 – 1990. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

18 Tjunggozali Joehana, 1989. Adat Law School Tradition in Indonesia: an Anthropological Review. Master of Art tesis submitted to the Graduate Faculty of the Deparpement of Anthropology,

University of Pittsburgh.

disebut beschikkingsrecht. Konsep ini merujuk pada beberapa prinsip yang menjadi ciri‐ciri dasar konsesi beschikkingsrecht itu. Masing‐masing adalah:

1. Kewenangan komunitas atas tanah yang belum dikerjakan;

2. Pemanfaatan tanah komunitas oleh pihak luar;

3. Pembayaran atas penggunaan tanah komunitas;

4. Kewenangan komunitas atas tanah yang sedang dibudidayakan;

5. Tanggungjawab territorial kolektif terhadap pihak luar;

6. Keabadian hak‐hak komunitas. 19 Menurut Burn (2010), konsepsi tentang beschikkingsrecht itu tidak bisa

diandalkan, dan itulah penyebab pada dekade terakhir pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tidak mampu lagi menunjukkan efektivitasnya. Hal ini terjadi karena bercampur aduknya apa yang disebut hukum dan adat dalam konsep hukum adat yang dikembangkan von Vollenhoven dan para murudnya

itu. 20 Kritik Burn ini segara saja mendapatkan pembelaan. Sebagaimana yang

disampaikan oleh F. & K. von Benda‐Beckmann (2011), “kritik terhadap karya akademik colonial memiliki landasan yang keliru dalam berbagai cara, yang menghambat diperolehnya pemahaman yang benar tentang kebangkitan adat di Indonesia belakang ini.” Ada empat kekeliruan yang terkandung dalam kritik itu.

Pertama, umumnya kritik‐kritik tersebut dilandaskan pada sebuah konsepsi legalistik tentang ‘hukum’ dan ‘hukum kebiasaan’. Kedua, kritik tersebut

cenderung untuk membuat generalisasi tertentu yang ditarik dari penafsiran atas adat dalam konteks tertentu, yaitu retorika politik, keputusan‐keputusan peradilan dan pemerintahan, dan perdebatan‐perdebatan hukum tentang karakter dan status adat dan hukum adat. Kritik tersebut tidak cukup mempertimbangkan apa makna yang dapat ditarik ketika penafsiran tersebut dilakukan melampaui konteks‐konteks yang spesifik ini. F. & K. von Benda‐ Beckmann berpandangan bahwa para pengritik telah salah menilai peran dari masyarakat lokal dan para tokoh intelektual dan politik mereka, serta terlalu

19 J.F. Holleman, 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law: Selection from het Adatrecht van Netherlandsch‐Indie (Volume 1, 1918; Volume II, 1931), The Hugue: Martinus Nijhoff.

20 Lihat Peter Burn, 2010. Adat, yang mendahului semua hukum, dalam Davidson, Henley, dan Moniaga, eds., 2010, loc.cit.

berlebihan dalam menilai kegunaan aktual dari konstruksi hukum kolonial tentang adat dan hukum adat terhadap kehidupan hukum penduduk. Ketiga, butir‐butir utama dari kritik terhadap uraian Adat Law School tentang hukum adat dan kegunaannya dalam politik hukum dan pemerintahan sebagian besar bersifat anakronistik. Terakhir, F. & K. von Benda‐Beckmann juga mengajukan pandangan bahwa para pengritik telah salah dalam memilih sasaran dekonstruksi. Pada dasarnya mereka telah lalai memberikan perhatian kepada para sarjana dan peradilan kolonial, yang berlebih‐lebihan dan seringkali secara sadar melakukan kekeliruan dengan membuat tafsiran atas sistem‐sistem norma lokal berdasarkan kategori‐kategori hukum Belanda. Malahan mereka mengarahkan juga kritisisme kepada para ahli yang berupaya memahami substansi dan proses‐proses tertib hukum lokal, yang sadar akan bahaya ethnosentrisme hukum. Pada kahirnya F. & K. von Benda‐Beckmann berpendapat

kontemporer tentang kesinambungan dan perubahan dalam signifikansi hukum adat telah dipengaruhi oleh analisis yang tidak akurat tentang masa lampau. Sejumlah proposisi dan asumsi dari dekonstruksi‐dekonstruksi kritis ini, yang lebih awal maupun kontemporer, menurut F. & K. von Benda‐Beckmann, perlu dievaluasi kembali. Dengan demikian, memikirkan kembali hukum adat kolonial dan karya Van Vollenhoven sejatinya lebih dari sekedar penelusuran kembali sebuah sejarah

bahwa

interpretasi‐interpretasi

yang telah lama berlalu. 21

Dalam pada itu, konsep masyarakat adat muncul seiring dengan makin derasnya upaya‐upaya pembelaan hak‐hak ‘masyarakat hukum adat’ di era akhir tahun 1980‐an dan awal tahun 1990‐an. Berbeda dengan terma masyarakat hukum adat, yang kemudian diserap ke dalam wacana politik dan hukum Indonesia, boleh dikata tidak/atau belum memiliki argumentasi yang utuh mengapa terma masyarakat hukum adat tidak memadai dalam memperjuangkan hak‐hak komuntas yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat saja. Beberapa gejala yang sering dikaitkan dengan perlunya sebutan yang baru karena terma ‘masyarakat hukum adat’ berbau warisan kaum kolonial; cendrung menyempitkan makna masyarakat adat yang holistik itu kepada sekedar ‘urusan

21 Lebih lajut lihat F. & K. von Benda‐Beckmann, 2011., op.cit.

hukum dari komunitas‐komunitas’; dan terlalu panjang sehingga kurang praktis digunakan dalam kegiatan‐kegiatan advokasi yang digulirkan. Namun, begitu, tidak bisa dipungkiri, pilihan pada terma masyarakat adat itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penggunaan terma indigenouse people pada ranah global. Meski terma itu seharusnya diterjemahkan ke dalam terma ‘rakyat asli’, hal ini tidak dilakukan karena disadari penggunaan terjemahan yang demikian itu akan menimbulkan persoalan (diskriminasi) yang baru lagi, sebagaimana yang dicerminkan oleh sikap Pemerintah dalam menolak ratifikasi Konvensi ILO 1969 misalnya: “Semua penduduk Indonesia adalah asli, kecuali mereka yang keturunan non‐pribumi”.

Oleh sebab itu, karena belum tersedianya definisi kerja yang ketat, karena definisi masyarakat adat yang ada demikian longgarnya, maka terma masyarakat adat bisa saja digunakan sebagai ‘terma payung’ yang dapat ‘membawahi’ terma‐ terma ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisional’, ataupun ‘kebudayaan daerah’ yang memang disebutkan dalam konstitusi Indonesia.

( Arizona,*2014,*dilengkapi*RYZ )*

* Pasal*28I*ayat*(3)*&*Pasal*32* ? Masyarakat*Tradisional*

&*Masy*Daerah*

(2)*UUD*1945;**

at *ad

at Pasal*18B*ayat*(2)*UUD*1945* ak

Masyarakat*Hukum* Adat*

ar y

UU*No.*6*Tahun*2014,* berdasarkan*pada**Pasal*18B*

*Mas ayat*(2)*UUD*1945*

a Desa*Adat* iap

Masyarakat*tradisional*dan* Genealogis*(dan*teritorial)* Organisasi*sosial,*wilayah*hukum* (Masyarakat)*Daerah*

adat*

Masyarakat*hukum*adat*

Badan*hukum*perdata* Desa*Adat*

Genelogis*dan*teritorial*

Genealogis,*teritorial*dan* QuasiJnegara*(badan*hukum* fungsional*

publik);*masyarakat*hukum*

Dengan demikian, membicarakan masyarakat adat tentulah menbicarakan persoalan ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisioal’, dan ‘masyarakat daerah’. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam upaya mewujudkan pengakuan hak‐hak masyarakat adat itu, beberapa pengertian‐pengertian teknis yang sudah ada pada terma masyarakat hukum adat, sampai batas‐batas tertentu, akan sangat membantu dalam pencapain tujuan gerakan masyarakat adat.

Pembaruan Hukum Pasca‐reformasi

Salah satu latar belakang yang sering disebut sebagai alasan mengapa pengaturan yang lebih operasional tentang pengakuan hak‐hak masyarakat adat itu tidak kunjung datang adalah karena norma yang ada Pasal 18 itu bersifat

ambigu. 22 Oleh sebab itu, ketika arus reformasi bergulir, Pasal 18 pun diamandemen, dan diubah menjadi beberapa pasal baru, termasuk hadirnya Pasal 18 ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐ kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang” (cetak tebal ditambahkan). Dalam rumusan baru ini terjadi beberapa perubahan pilihan terminologi. Terma volksgemeenschappen dan susunan asli tidak digunakan lagi dan digantikan dengan terma masyarakat hukum adat, mengikuti penerjemahan yang lazim ada dalam kajian (ilmu) hukum adat. Demikian pula dengan terma

‘hak asal‐usul’ yang digantikan oleh terma hak‐hak tradisional. Meski secara teoritik pergantian terma ini bisa menimbulkan masalah baru, namun orginal intended perumusan (kembali) mandat konstitusi ke dalam Pasal 18B: ayat (2) itu jelas dimaksudkan untuk menegaskan (kembali) pengakuan negara atas apa

yang disebut sebagai susunan asli dan/atau masyarakat hukum adat itu. 23 Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐Pokok Kehutanan

termasuk undang‐undang yang direvisi pada kesempatan pertama di awal

22 Lihat R isalah resmi tentang proses amandemen Pasal 18, dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. Khususnya Bab 5.

23 Lihat R. Yando Zakaria, 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama dan

Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA); dan 2012, op.cit., R isalah resmi tentang proses amandemen Pasal 18 ini dapat ditemukan dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. Khususnya Bab 5, hal. 1107 – dst.

reformasi. Undang‐Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diberlakukan sebagai penggantinya. Meski undang‐undang baru disebut‐sebut sebagai hasil amanat reformasi, dan meski mengakui apa yang disebut sebagai hutan adat, namun dalam pengaturan lebih lanjutnya hutan adat itu termasuk ke dalam apa yang disebut sebagai ‘kawasan hutan negara’ (Pasal 1 ayat 6), karenanya pengaturannya berada dalam kewenagan Pemerintah cq. Kementerian Kehutanan (pasal 4 ayat 2).

Dalam ranah peraturan perundang‐undangan yang mengatur masalah agraria, mendahului pembaruan hukum sektor kehutanan dan bahkan amandemen Pasal

18 UUD 1945, Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Adat. Kebijakan ini seolah ingin menjawab tuntutan berbagai pihak yang mencapai titik kulminasinya pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tahun 1999. Meski begitu, hingga hari ini dapat dikatakan kebijakan ini tidak membawa perubahan yang berarti. Sedikit sekali komunitas masyarakat hukum adat yang telah memanfaatkan

peluang ini. 24

Beberapa Kebijakan Terkait Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat: Ingin mengakui atau mengingkari?

Hingga saat ini ada 19 (sembilanbelas) peraturan perundangan‐undangan setingkat undang‐undang yang terkait dengan soal pengaturan lebih lanjut

tentang pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat hukum adat ini. 25

24 Penjelasan lebih lanjut tentang penerapan Permenagraria/Ka BPN Nomor 5 Tahun 1999 akan dibahas leboh lanjut dalam bagian lain Pedoman ini.

25 Masing‐masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;

(4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (9) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (10) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (11) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil; (12) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; (13)UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (14)UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (15) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil; 16) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak‐ hak masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang‐undang otonomi khusus sebagai berikut: (1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (2) UU

Di samping itu terdapat pula 1 (satu) Keputusan Presiden (tentang Komunitas Adat Terpencil/KAT); dua peraturan menteri (yakni Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat).

Baru‐baru ini terbit pula Peraturan Bersama yang melibatkan 4 (empat) kementerian, yakni Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut‐II/2014; Nomor 17/PRTM/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang

berada di dalam Kawasan Hutan. 26

Selain itu, terdapat pula 1 (satu) surat edaran menteri, dalam hal ini Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 522/8900/SJ, Tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat.

Beberapa hal yang mendapatkan perhatian lebih dari para pengamat dan aktifis pembela hak‐hak masyarakat adat adalah persoalan masih dianutnya pendekatan pengakuan bersyarat, penggunaan atau pilihan terma yang digunakan, definisi, macam kriteria dan kondisionalitas, dan mekanime pengakuan yang diatur – yang nyatanya – memang tidak seragam dalam perangkat peraturan perundangan‐undangan yang ada itu. Para pengamat dan pelaku pembela hak‐hak masyarakat adat itu akhirnya berkesimpulan bahwa belum ada model pengaturan yang komprehensif, baik secara substansi maupun kerangka implementasinya. Berbagai pembaruan peraturan yang ada pasca‐ amandemen konstitusi itu masih berjalan sendiri‐sendiri. Alih‐alih

No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan (3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. “Peta Perundang‐ undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat”.

26 Dari sekian peraturan perundang‐undangan yang sudah disebut dalam dokumen ini hanya Peraturan Menteri Bersama Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut‐II/2014; Nomor

17/PRTM/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan ini saja yang boleh dikatakan mengatur hak‐hak masyarakat lokal dan/atau hak‐hak kelompok atau perorangan non‐masyarakat (hukum) adat.

menyelesaikan masalah, yang terjadi justru memperuncing masalah sektoralisme. 27

Tentu perlu cicatat di sini bahwa perhatian yang besar pada permasalahan‐ permasalahan dimaksud bukannya tidak penting karena memang bisa bermuara pada kerumitan, kesulitan, atau bahkan pengingkaran atas niat untuk mengakui dan menghormati hak‐hak masyarakat hukum adat itu sendiri. Misalnya, sebagaimana yang telah terjadi pada kasus Permenagraria Nomor 5 Tahun 1999 yang telah disinggung tadi. Perhatian khusus memang harus diberikan kepada beberapa permasalahan itu, terutama sekali soal ‘kriteria dan indikator’ yang akan digunakan untuk memverifikasi apakah suatu ‘persekutuan sosial’ tertentu dapat disebut sebagai ‘masyarakat hukum adat’ ataupun ‘masyarakat adat’ atau tidak; dan apakah masing‐masing ‘masyarakat hukum adat’ itu memang memerlukan satu kebijakan yang dituangkan ke dalam berbagai pilihan kebijakan di tingkat daerah. Kedua hal ini memang perlu diklarifikasi lebih jauh jika memang kita hendak menyelesaikan masalah dan/atau kasus‐kasus konflik (agraria) yang telah disingung di atas.

Meskipun begitu, dari beberapa peraturan perundang‐undangan yang telah adat itu hanya ada beberapa saja yang mengandung pengaturan yang bersifat operasional, meski beberapa di antaranya tetap juga masih memerlukan perangkat pengaturan yang lebih lanjut. Sebagian besar dari undang‐undang

27 Lihat misalnya Sirait, et.al., 2005., op.cit.; Sumardjono, Maria S.W., “Kedudukan Hak Ulayat dan Pengaturannya dalam Berbagai Peraturan Perundang‐undangan” dan “Kasus‐kasus Pertanahan

Menyangkut Tanah Ulayat dalam Pembangunan di Papua”, dalam Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: KOMPAS; Yance Arizona, 2010. “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat. Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak‐ hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia (1999 – 2009), dalam Yance Arizona, ed., 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2011. Naskah Akademik untuk Penyusunan Rencana Undang‐Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.; R. Yando Zakaria, 2012, op.cit. Setelah sempat berhenti untuk beberapa saat, baru‐baru ini pokok perhatian yang sama muncul kembali. Misalnya dalam Maria Rita Roewiastoeti, 2014. “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU‐ X/2012”, dalam dalam WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yogyakarta: Indonesia Society for Social Transformation; Myrna A. Safitri & Luluk Uliyah, 2014. Adat dan Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Epsitema Institute; Andiko Sutan Mancayo & Nurul Firmansyah, 2014; dan Kurnia Warman, tt. op.cit. Mengenal Pilihan‐pilihan Hukum Daerah untuk Pengakuan Masyarakat Adat. Kiat‐kiat Praktis bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil (Pelaku Advokasi), dan Pemimpin Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa.

yang mengatur soal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu umumnya hanya berupa pengaturan yang bersifat deklaratif semata.

Tabel berikut, sebagai contoh saja, berisikan ringkasan kebijakan dari 3 undang‐ undang yang memuat pasal yang (ingin) mengakui hak‐hak masyarakat adat. Masing‐masing adalah Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil; dan Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Kontestasi)antar)hukum:)Tiga)Contoh)

) UU)41/1999)Kehutanan)

UU)32/2009)Pengelolaan)dan)Pelestarian) )

UU)27/2007)Pesisir)dan)PP)Kecil)

Lingkungan)Hidup) )

Pasal%67%%Ayat%(1):%

Pasal%1%(31)%Masyarakat%hukum%adat%adalah% Masyarakat%hukum%adat%diakui%

Pasal%1%(33):%

kelompok%masyarakat%yang%secara%turun% keberadaannya,%jika%menurut%kenyataannya%

Masyarakat%Adat%adalah%kelompok%

temurun%bermukim%di%wilayah%geografis% memenuhi%unsur%antara%lain:%%

Masyarakat%Pesisir%yang%secara%turunC

tertentu%karena%adanya%ikatan%pada%asal%usul% a.  masyarakatnya%masih%dalam%bentuk%

temurun%bermukim%di%

leluhur,%adanya%hubungan%yang%kuat%dengan% paguyuban%(rechtsgemeenschap;-

wilayah%geografis%tertentu%karena%adanya%

lingkungan%hidup,%serta%adanya%sistem%nilai% b.  ada%kelembagaan%dalam%bentuk%perangkat%

ikatan%pada%asalCusul%leluhur,%adanya%

yang%menentukan%pranata%ekonomi,%poliBk,% penguasa%adatnya;%

hubungan%yang%kuat%dengan%Sumber%Daya%

sosial,%dan%hukum% !%% c.  ada%wilayah%hukum%adat%yang%jelas;%%

Pesisir%dan%PulauCPulau%

Kecil,%serta%adanya%sistem%nilai%yang%

Pedoman%Inventarisasi:% khususnya%peradilan%adat,%yang%masih%

d.  ada%pranata%dan%perangkat%hukum,%

menentukan%pranata%ekonomi,%poliBk,%

Bermukim%di%wilayah%tertentu;% ditaaB;%

sosial,%dan%hukum.%

Adanya%ikatan%asalCusul%leluhur;% e.  dan%%masih%mengadakan%pemungutan%hasil%

Adanya%hubungan%yang%kuat%dengan% hutan%di%wilayah%hutan%sekitarnya%untuk%

Belum)ada)pengaturan)lebih)lanjut.%

lingkungan%hidup;% pemenuhan%kebutuhan%hidup%sehariChari.%%

Hasil%Judicial%Review%terakhir%terma%

sosial,%dan%hukum%adat;% %

masyarakat%adat%’dikembalikan’%menjadi%

’masyarakat%hukum%adat’%

Adanya%sistem%nilai%yang%menentukan%

Bersifat)akumulaEf;)perlu)PP)dulu.)

pranata%poliBk;%

Keberadaan)suatu)MHA)ditetapkan))melalui)

Adanya%sistem%nilai%yang%menentukan%

Perda;)

pranata%ekonomi;% Satu)Perda)satu)MHA?%

Adanya%sistem%nilai%yang%menentukan% pranata%sosial%dan%hukum%adat% %

Bersifat)akumulaEf;)namun) pedoman)KLH)tdk)dimaksudkan)sebagai) upaya)pengakuan)status)hukum)MHA)

Ketiga undang‐undang itu memang belum bisa bekerja secara efektif, dalam arti dapat digunakan untuk melakukan proses pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat di tingkat lapangan. Pengaturan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang diakui melalui Undang‐Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan macet karena Peraturan Pemerintah yang diamanatkan tidak kunjung ditetapkan. Beberapa tahun yang lalu pernah digagas namun mendapatkan penolakan yang keras dari kalangan organisasi masyarakat sipil, karena dianggap akan merugikan masyarakat hukum adat sendiri. Karena adanya penolakan yang besar itu proses penyusunan (Rancangan) Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat terhenti dan belum ada tanda‐tanda untuk Ketiga undang‐undang itu memang belum bisa bekerja secara efektif, dalam arti dapat digunakan untuk melakukan proses pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat di tingkat lapangan. Pengaturan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang diakui melalui Undang‐Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan macet karena Peraturan Pemerintah yang diamanatkan tidak kunjung ditetapkan. Beberapa tahun yang lalu pernah digagas namun mendapatkan penolakan yang keras dari kalangan organisasi masyarakat sipil, karena dianggap akan merugikan masyarakat hukum adat sendiri. Karena adanya penolakan yang besar itu proses penyusunan (Rancangan) Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat terhenti dan belum ada tanda‐tanda untuk

Dari ketiga undang‐undang itu yang dapat dikatakan telah melangkah lebih jauh adalah Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam rangka pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat menurut Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup ini Kementerian Lingkungan Hidup (dulu) telah menyusun apa yang disebut sebagai “Pedoman Tata Cara Inventarisasi Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, Kearifan Lokal, dan Hak‐hak Masyarakat yang Terkait dengan Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup”. 28

Meski begitu, pedoman ini, setidaknya sampai saat ini, belum dijadikan pedoman operasional yang hasil pengkajiannya bisa bermuara pada penetapan keberadaan suatu masyarakat hukum adat secara hukum. Pedoman ini baru digunakan Kementerian Lingkungan Hidup untuk ‘menemukan’ kesatuan‐ kesatuan masarakat hukum adat yang masih hidup selaras dengan alam, dan sebagian di antaranya telah diberikan penghargaan dalam bidang lingkungan yang disebut Penghargaan Kalpataru itu.

Suatu yang pasti dari upaya mendalami undang‐undang dimaksud, setidaknya sebagaimana yang diterapkan dalam Undang‐Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, adalah bahwa dalam proses verifikasi keberadaan suatu masyarakat hukum adat akan menggunakan kriteria‐kriteria penanda secara akumulaif. Artinya setiap masyarakat hukum adat yang hendak diakui keberadaannya haruslah memenuhi kriteria‐kriteria yang telah ditetapkan oleh masing‐masing undang‐undang, yang jika dicermati, bersifat

28 Kementerian Lingkungan Hidup, 2011. Sebagaimana bisa diakses via https://www.scribd.com/doc/235566792/Pedoman‐Adat‐KLH .

anti‐perubahan. Jika begitu pendekatannya, apakah benar masing‐masing undang‐undang tulus ingin mengakui hak‐hak masyarakat hukum adat itu, atau, dengan penerapan kriteria yang sedemikian rupa bukankah pada dasarnya, melalui undang‐undang ini, pemerintah hendak menginkari – atau setidak‐ tidaknya membatasi ‐‐ pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri? Pertanyaan ini akan dijawab dalam bagian‐bagian berikut.

Babak Baru Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Adat

Pengakuan bersyarat, beragamnya sebutan, definisi, kriteria berikut kondisionalitas pemenuhannya, serta beragamnya mekanisme pengakuan hak‐ hak masyarakat hukum adat itu, betapapun, adalah akibat langsung pengaturan di tingkat Konstitusi, yang memang menyatakan kondisionalitas ‘… sepanjang masih hidup … dan diatur dalam undang‐undang’. Artinya memang harus ada syarat yang harus dipenuhi dan – karena memang hak‐hak masyarakat hukum adat yang akan diakui itu begitu beragam – diatur dengan sejumlah undang‐ undang.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dsampaikan Manan (2002), bahwa pengakuan dan penghormatan tersebut tidak berarti menjadi hak yang tidak dapat disentuh atau diatur lebih anjut oleh negara. Negara atau pemerintah berwenang mengatur berbagai hak tradisional tersebut untuk sebesar‐besarnya kemakmuran bersama, tanpa merugikan kepentingan masyarakat yang

mempunyai hubungan dengan hak tradisional tersebut. 29