Deskripsi Novel Ayat-ayat Cinta
1. Deskripsi Novel Ayat-ayat Cinta
Ayat-ayat cinta merupakan sebuah novel yang ditulis oleh seorang novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda. Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.
Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang berbeda latar berbeda, yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang studi di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah metro.
Salah seorang penulis terkenal berpendapat terhadap novel tersebut, “Novel yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El Shirazy dengan sangat menyakinkan mengajak kita menyelusuri lekuk Mesir yang eksotis itu, tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat-Ayat Cinta mengajak kita untuk lebih jernih, lebih cerdas dalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan juga cinta.”
Pendapat lain dari seorang mantan pragawati dan aktris muslimah mengatakan bahwa membaca Ayat-Ayat Cinta membuat angan kita melayang-
commit to user
pesona-pesonanya. Sungguh, sebuah cerita yang layak dibaca dan disosialisikan pada para pemburu bacaan popular yang sudah tidak mengindahkan akhlak
sebagai menu utamanya, agar dunia bacaan kita terhiasi karya-karya yang membangun.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai karya sastra, novel Ayat-ayat Cinta selain memiliki sisi keindahan jika dilihat dari sudut pandang ilmu kesusastraan juga sarat akan pesan-pesan atau nilai-nilai humanis. Novel AAC tersebut penuh nuansa Islami dan dapat dipandang sebagai sarana pembelajaran dan dakwah oleh penulisnya. Setting dalam novel ini adalah sebuah kota di Mesir, Kairo. Novel ini seolah-olah mengajak pembaca untuk melihat kota Kairo secara langsung.
Novel AAC meraih beberapa penghargaan di antaranya Pena Award Novel Terpuji Nasional tahun 2005 dan peraih penghargaan The Most Favorite Book pada tahun 2005. Maka, tidak dapat disangkal jika novel tersebut memang pantas menjadi novel yang best seller.
Ayat-ayat Cinta awalnya diterbitkan secara bersambung di Harian Republika . Akhirnya diterbitkan dalam bentuk novel pada 2004. Pada novel tersebut dikisahkan tokoh Fahri mengawali kehidupannya di Mesir dengan menyewa sebuah flat di daerah Haldayek Helwan, bersama empat orang temannya yang sama-sama berasal dari Indonesia. Di sana mereka bertetangga dengan keluarga Boutros, yang beragama Kristen Koptik (kaum Nasrani yang bersekte dari Yunani). Walaupun berbeda keyakinan, mereka hidup saling menghormati, mengasihi, dan menyayangi, layaknya sebuah keluarga.
Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri, terutama Maria. Ia adalah seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis Koptik yang aneh. Ia seorang non-muslim yang mampu menghafal dua surah yang ada dalam Al-Quran dengan baik, yang belum tentu seorang muslim mampu melakukannya. Ia hafal surah Al-Ma’idah dan surah Maryam.
commit to user
laku Tuan Bahadur berbeda 180 derajat dengan keluarga Boutros. Bahadur terkenal dengan julukan si Muka Dingin, karena ia selalu berperangai kasar
kepada siapa saja, bahkan dengan istrinya, Madame Syaima, dan putri bungsunya, Noura. Bahadur memiliki tiga orang putri, Mona, Suzanna, dan Noura.
Mona dan Suzanna berkulit hitam. Tidak demikian halnya dengan Noura, dia berkulit putih dan berambut pirang. Hal inilah yang membuat Noura sering mendapat perlakuan kasar dari ayah dan kedua kakaknya.
Dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Kairo, suatu kejadian tanpa sengaja membuat Fahri berkenalan dengan seorang wanita bercadar. Wanita yang semula dikiranya orang Mesir itu ternyata adalah wanita asal Jerman yang sedang menuntut ilmu di Mesir. Wanita itu bernama Aisha.
Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami kebanyakan, yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni. Tapi setelah dibaca, ternyata novel ini merupakan gabungan novel Islami, budaya, dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda.
Fahri adalah sosok laki-laki dengan aqidah yang baik dan teguh pendiriannya jika menyangkut ajaran agama. Maria, Noura, Aisha, dan kemudian Nurul, adalah wanita-wanita yang mencintai Fahri. Dalam novel ini diperlihatkan, bagaimana Fahri harus menyikapi perasaan wanita-wanita tersebut dan suasana hatinya ketika ia memutuskan untuk menikahi salah satu dari wanita-wanita tersebut.