TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)

TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)

Oleh INDAH AYU WIDIASTUTI NIM K1204027 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

commit to user

TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)

Oleh INDAH AYU WIDIASTUTI NIM K1204027

SKRIPSI Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

commit to user

commit to user

commit to user

ABSTRAK

INDAH AYU WIDIASTUTI. K1204027. Tinjauan Novel Ayat-Ayat Cinta

Karya Habiburrahman El Shirazy (Analisis Struktural dan Aspek Religius). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas

Maret Surakarta, Januari 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan (2) mendeskripsikan dan menjelaskan makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan strukturalisme. Sumber data penelitian ini adalah dokumen dan informan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen (content analisis) dan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing). Validitas data dilakukan dengan menggunakan triangulasi teori yaitu mengkroscekkan data hasil penelitian dengan perspektif teori yang berbeda. dan triangulasi sumber. Teknis analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif.

Hasil penelitian ini adalah: (1) struktur novel Ayat-Ayat Cinta dibangun oleh tema percintaan dengan tokoh utama Fahri, Maria, dan Aisha. Latar dalam novel tersebut adalah negara Mesir. Alur yang digunakan pengarang adalah alur progresif dengan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Bahasa yang terdapat dalam novel tersebut adalah bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Jerman; (2) Aspek Religius Novel Ayat-ayat Cinta bersumber pada Rukun Iman dan rukun islam, yakni: (a) Nilai-nilai keislaman pada novel Ayat-Ayat Cinta bersumber pada rukun iman di dalam Islam meliputi percaya kepada Allah, percaya terhadap adanya para malaikat Allah, percaya terhadap kitab-kitab-Nya, percaya terhadap Rasul-rasul-Nya, percaya terhadap adanya hari kiamat, dan percaya pada adanya takdir yang baik dan buruk; (b) nilai-nilai keislaman pada Novel Ayat-ayat Cinta Bersumber pada rukun Islam, yaitu mengucapkan syahadatain, mengerjakan salat fardu, mengeluarkan zakat, mengerjakan puasa Ramadan, dan menunaikan ibadah haji.

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Realita dunia sastra sekarang, terdapat fenomena bahwa karya sastra dipandang tidak lagi mengindahkan “dulce et etille”. Setiap karya sastra baik yang berupa puisi, cerpen, essai sastra atau novel yang bertemakan pornografi dapat diangkat dengan mudah oleh penulis kemudian dinikmati oleh khalayak penikmat sastra. Karya sastra yang bertemakan seks, pornografi dan hal-hal yang sebenarnya tidak membudaya dapat kita jumpai dengan mudah di toko buku, persewaan buku, internet dan akses lain ke dunia sastra. Hal tersebut menjadi hal yang patut kita prihatinkan karena karya sastra dapat dinikmati siapa saja tanpa membedakan usia. Anak-anak dapat dengan mudah mendapatkan novel atau bacaan tanpa melalui kontrol dari orang tua. Karya sastra yang semula dapat mendidik manusia ke arah peradaban yang humanis menjadikan manusia yang santun dan bermoral tidak bisa terwujud karena karya sastra yang tidak bernilai

Karya sastra yang memegang teguh asas ” dulce et etille ” .menjadi benteng dari arus pergeseran budaya yang negatif dan juga menopang sekaligus mengembangkan kesusastraan di tanah air. Nilai keindahan dan kebermanfaatan menjadi pertimbangan dalam menjadi karya sastra. Karya sastrawan pendahulu dapat dijadikan acuan bagi kita untuk mengkaji sesuatu yang luhur dan mulia yang terdapat dalam sebuah karya sastra

Nilai moral dan religius adalah nilai-nilai yang sangat diperlukan karya sastra yang hendak di ajarkan di bangku sekolah. Untuk mendidik manusia Indonesia supaya bermoral salah satunya adalah melalui bangku sekolah yaitu melalui apa yang dipelajari siswa di sekolah. Pelajaran apresiasi sastra di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) salah satunya adalah apresiasi terhadap novel dan mengaitkan sesuai konteksnya baik religius, sosial budaya, maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kita yang kebetulan juga terdapat dalam novel yang dikaji siswa. Jika siswa mengkaji novel yang di dalamnya terdapat nilai religius

commit to user

bermoral. Apa yang dikatakan Horacle yaitu ”Dulce et etille” menjadi hal yang

harus benar-benar diperhatikan dalam memilih karya sastra yang hendak diajarkan di Sekolah Menengah Atas bukanlah masalah yang serta merta mudah karena kita harus selektif , novel mana yang sesuai dengan kebiasaan dan novel mana yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang mendidik serta bernilai baik tidak asal-asalan karena sebuah novel menjadi best seller di toko buku. Jika seorang guru menggunakan karya sastra yang merupakan karya lama dengan bahasa yang kaku menurut anak sekarang , maska akan dianggap kuno dan menjadi sulit dipahami oleh anak sekarang, dan seandainya pun memilih karya yang merupakan terbitanbaru maka tidak semua novel mempunyai nilai yang sesuai dengan harapan guru yaitu yang mempunyai nilai baik yang dapat memperhalus budi pekerti siswa

Habiburrahman El Shirazy sebagai salah satu penyair yang masih baru di belantika sastra Indonesia telah mampu membuat orang terkagum dengan karyanya. Orang tertarik terhadap nilai sastra yang transenden karena dirasa dan diyakini dapat mendidik manusia menjadi manusia yang baik karena ajaran agama banyak tersirat di dalam karya sastra transenden. Karya Habiburrahman El Shirazy yang religius dan mengajarkan toleransi terhadap umat lain yang berbeda agama, kisah cinta yang dikemas agamis menarik penikmat sastra. Kecenderungan itulah yang mengundang minat peneliti untuk mengkaji nilai- nilai religius yang ada dalam novel novel karya Habiburrahman El Shirazy. Novel yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El Shirazy dengan sangat meyakinkan mengajak kita menelusuri lekuk Mesir yang eksotis itu tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat-Ayat Cinta mengajak kita untuk lebih jernih, lebih cerdas dalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan juga cinta.

Habiburrahman El Shirazy dengan jempolan mendeskripsikan tempat kuliahnya dulu, kampus al-Azhar Mesir melalui cerpen Nyanyian Cinta. Kang Abik (panggilan akrabnya) dengan gaya bahasa lugas nan memikat menceritakan hubungan Hafsah dan Mahmud yang berlandaskan ruh cinta serta bermuara pada

commit to user

mengkampanyekan ruh cinta universal. Karya-karya Habiburrahman El Shirazy seperti Ayat-Ayat Cinta, Di Atas

Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih banyak memberikan renungan kepada kita pada zaman seperti ini masih ada karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan ajar karena nilai-nilai yang termuat dalam karya sastra. Karakter dan amanat sebagai unsur pembangun novel memiliki kedudukan yang strategis dalam pendidikan nilai. Keduanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengajaran dalam perkuliahan. Hal ini dilandasi oleh pendapat klasik yang mengatakan bahwa cipta sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan jelek atau jahat. Dengan demikian, sangatlah cocok apabila hasil analisis terhadap cipta sastra dijadikan sebagai media dan bahan pengajaran karena di dalam sastra penuh dengan ajaran moral.

Pengajaran sastra pada dasarnya adalah pengajaran tentang kehidupan. Karya sastra menyajikan para tokoh dengan latar belakang tertentu mengalami peristiwa atau konflik. Dalam karya sastra, pengarang menampilkan bagaimana para okoh cerita menyikapi serta keluar daru konflik tersebut. Karena itu, harga karya sastra terletak pada cara pengarang menyampaikan tindak tanduk ,sikap, penilaian tokoh cerita atas konflikyang dihadapi melalui berbagai tinjauan. Melalui tinjauan tersebut pembaca memperoleh pembandingan atau pelajaran yang berharga untuk menyikapi kebutuhan sehari-hari. Karena karya sastra bukanlah petunjuk praktis untuk menghadapi kebutuhan sehari-hari, para siswa perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana membaca karya sastra. Di sinilah pentingnya pengajaran apresiasi sastra. Pengajaran ini bermanfaat untuk memberikan bekal teoritis kesusastraan dan latihan-latihan praktis membaca karya sastra

Oleh karena itu, membaca langsung karya sastra tidak melalui ringkasan cerita jauh lebih penting dan seharusnya dilakukan. Pergaulan langsung dengan teks ini justru berguna untuk menangkap seluruh aspek estetika dan makna karya sastra, misalnya, aspek bahasa, imajinasi, bahkan konteks psikologis dan konteks sosial budaya.

commit to user

dari apa yang dibacanya. Karena itu, pengajaran sastra lebih pada menemukan cara memandang sesuatu gejala atau peristiwa, bukan pada fakta peristiwa itu

sendiri. Karena karya sastra menampilkan penggalian-penggalian dari aspek kejiwaan tokoh, dari sudut pandang sosial budaya, pembaca memperoleh cara pandang relatif sekaligus menyeluruh atas suatu gejala atau peristiwa. Guru dapat berperan dalam mengantarkan siswa pada cara pandang relatif dan komprehensif itu. Agar tujuan tersebut tercapai, guru dan siswa sebaiknya terlibat langsung untuk berdialog dangan karya sastra. Melalui dialog dengan karya sastra, guru dan siswa dapat menemukan alternatif-alternatif pikiran dan tindakan atas gejala atau peristiwa sehari-hari. Melalui dialog, memungkinkan guru dan siswa menemukan cara pandang relatif dan alternatif

Ada beberapa perangkat yang memungkinkan penemuan cara pandang relatif dan alternatif di atas. Perangkat itu adalah bahasa dan konteks cerita. Bahasa menjadi unsur fundamental karena cerita disampaikan melalui bahasa. Karenanya, bagaimana pelajaran membaca mempunyai posisi penting. Pelajaran membaca akan sangat terbantu jika siswa punya pemahaman dan keterampilan memadai dalam menentukan unsur terberita atau subyek dan pesan atau berita tentang subyek, yaitu predikat. Pengenalan dan keterampilan menentukan subyek dan predikat amat berperan bagi siswa dalam memahami pesan kalimat. Namun, keterampilan ini saja belum cukup. Pemahaman konteks cerita ikut berperan dalam memberikan makna kalimat-kalimat dalam teks. Pemahaman konteks ini adalah stilistika atau cara bahasa yang dibangun oleh konvensi bahasa dan budaya, konteks psikologi, konteks sosial budaya yang mengikat tokoh dalam cerita. Rasa kemanusiaan dalam kaitan ini, pemahaman guru sastra akan bidang- bidang di luar karya sastra menjadi penting. Melalui membaca dan mengapresi karya sastra di kelas memungkinkan guru mengeksploitasi kemampuan dan pengetahuan itu agar cerita terpahami secara menyelurh. Pengajaran sastra di sekolah sekarang ini merupakan hal yang rentan dengan pornografi karena banyak karya sastra yang menggunakan tema seks dan pornografi. Guru harus tau tentang hal itu karena hal itu sangat membahayakanbagi perkembangan alam pikir siswa.

commit to user

secara menyeluruh atas peristiwa-peristiwa dalam karya sastra. Seperti apa yang termuat dalam Bali Post bahwa seorang murid bertanya kepada gurunya, ”Bu,

bagaimana dengan novel yang menyajikan pornografi , apakah layak untuk dibaca padahal dari segi isi cerita cukup bagus?”(dalam www.Balipost .com) kemudian sang guru pun bingung menjawab karena kenyataannya ada beberapa novel seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Saman karya Ayu Utami yang ditugaskan kepada siswa untuk membacanya . Padahal ada bagian-bagian tertentu dalam novel-novel tersebut menempatkan saya dan guru bahasa Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu sisi guru bahasa Indonesia harus mengajarkan keterampilan membaca teks-teks sastra secara benar. Di lain pihak saya khawatir dianggap sebagai penyebar bacaan pornografi. Apalagijika dikaitkan dengan bentuk-bentuk pelarangan dalam RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam bab 2 pasal 4 dan 5, bahwa beksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa (pasal 4), mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh orang dewasa (pasal 5) , sampai kini masih menimbulkan multi tafsir.

Peran guru adalah membawa siswa kepada proses menemukan makna dari isi bacaan. Dalam kaitan ini, pemahaman guru bahasa dan sastra Indonesia akan bidang-bidang di luar karya sastra , jadi penting . Karena pengajaran sastra dituntut untuk menemukan cara memandang suatu gejala atau peristiwa bukan pada fakta peristiwa itu sendiri. Guru dapat berperan mengantarkan siswa menemukan nilai-nilai kehidupan melalui penggalian dari aspek kejiwaan tokoh, konteks psikologis, dan konteks sosial budaya yang mengikat para tokoh dalam cerita. Membaca dan mengapresiasi karya sastra di kelas memungkinkan guru mengeksploitasi kemampuan dan pengetahuan siswa agar cerita terpahami secara menyeluruh.

Membaca sastra secara global atau secara menyeluruh untuk menemukan nilai yang hendak disampaikan pengarang atau yang dapat digali pembaca adalah cara mambaca yang sehat. Cara pandang yang menyeluruh ini akan membantu siswa dalam memandang realita sehari-hari. Membaca demikian menjauhkan

commit to user

menggambarkan tubuh dan persetubuhan adalah pornografi. Kecuali kalau dalam puisi atau novel itu secara keseluruhan hanya mengungkapkan eksplorasi daya

tarik ketelanjangan bagian tertentu yang sensual dari orang dewasa ( seperti yang di ungkapkan dalam Bab 2 pasal 4 dan 5 RUU Anti pornografi dan Pornoaksi). Karya tersebut tidak layak untuk dijadikan bahan pelajaran. Meskipun kenyataannya tak ada seorang pun yang berhak mengamputasi imajinasi dan kreativitas seseorang tetapi agama, norma, dan pranata yang ada harus tetap lebih di utamakan dan menjadi landasan kreativitas dan imajinasi tersebut . Begitupun dalam menyajikan materi sastra, landasan agama, norma, dan pranata yang ada harus diutamakan.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?

2. Bagaimanakah makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat sebagai berikut. Kebermanfaatan itu tidak hanya secara teoretis tetapi juga secara praktis.

commit to user

berikut:

1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan

di bidang penelitian sastra, khususnya bidang pengkajian prosa fiksi (novel) melalui pendekatan strukturalisme.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut karya sastra, khususnya melalui pendekatan strukturalisme.

b. Menunjukkan aspek-aspek religius pada karya sastra yang dapat diteladani para pembaca novel.

c. Menambah keluasan materi pembelajaran di sekolah.

commit to user

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel Kata “novel” berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang berarti “baru” (Henry Guntur Tarigan, 1993: 164). Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris- dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif. Meskipun bersifat imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangatlah tepat apabila Burhan menyebut novel sebagai sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan.

Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994:

29) yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.

Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat; (1) perubahan nasib dari

commit to user

biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah

sebuah cerita fiksi dengan berbagai unsur intrinsik yang di dalamnya terdapat problematik/ permasalahan hidup yang dialami tokoh-tokohnya sehingga membuat tokoh utamanya mengalami perubahan nasib.

Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.

Senada dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun mengklasifikasikan jenis novel menjadi novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para remaja. Novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai dengan kemmauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya memang tujuan novel populer semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan novel serius disamping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca.

Sesuai dengan teori Lukacs,Goldmann (dalam Faruk, 2003:31) membagi novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimise dalam peluangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.

b. Unsur-unsur Novel Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang

commit to user

dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung

mempengaruhi bangunan karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur pembangun novel yang dibahas adalah unsur intrinsik karya sastra.

Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1) fakta cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg dkk. membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan para pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).

Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema; (3) karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita. Tidak berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku Teori Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema, pemplotan, pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa), dan moral. Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik pengungkapan. Jadi, pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut Burhan Nurgiyantoro meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang, bahasa, dan moral.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan (bahasa). Kehadiran moral (amanat) sebagai penyusun prosa tidak selamanya diperhitungkan oleh para ahli, padahal setiap karya sastra pasti mempunyai pesan moral (amanat) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

1) Tema Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita yang ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada dengan pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain disampaikan oleh Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:

commit to user

cerita. Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas dari realita kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-

hari. Pendapat demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya, tema adalah masalah hakiki manusia seperti halnya cinta, kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga memberikan definisi tema yang tidak jauh berbeda dengan pendapat ahli yang lain, bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.

2) Latar Gambaran alur sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) bahwa tahap awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu, dll.

Herman J. Waluyo (2002: 200) memaparkan bahwa setting tidak hanya menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah novel tidak hanya mengacu pada tempat saja.

Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan bahwa Latar memang tidak hanya mengacu pada satu macam. Acuan latar

commit to user

macam latar. Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam

tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dll yang tergolong latar spiritual.

Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri. Montaque dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada tiga fungsi setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan tekanan pada tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki fungsi sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan Johnson (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman. Ekspresi yang berupa ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan dengan bentuk metaphor daripada secara literal. Latar sebagai atmosfer artinya ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dsb.

Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar merupakan unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung keberadaan latar yaitu plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 225) antara latar dengan penokohan mempunyai

commit to user

hal akan memperngaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan, barangkali tak berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan

latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat orang-orang desa yang hidup di pedalaman akan berbeda dengan sifat orang-orang kota. Adanya perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang menciri tempat-tempat tertentu, langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada penduduk, tokoh cerita.

Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia berasal. Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan pengaluran, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.

3) Penokohan Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti jika tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita. Para tokoh ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai dengan keinginan pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga

commit to user

Nurgiyantoro, 2005: 166). Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan

penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra tokoh digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca.

Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh dalam cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro (2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu 1)tokoh utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3) tokoh sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5) tokoh tipikaldan tokoh netral.

Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu, tokoh dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh datar dan tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih dikenal oleh pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.

Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu tokoh yang memegang pimpinan. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Dengan kata lain, mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dihadirkan dalam karya sastra dengan membawa karakter yang disukai oleh kebanyakan pembaca.

Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya tidak disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan dengan protagonis. Dikatakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 179) bahwa

commit to user

Waluyo (2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan protagonis.

Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa cara yang dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165) ada tiga cara, yaitu:

a) Metode analitis (langsung) Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari keadaan fisik, psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan pangkat). Menurut Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini pengarang menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokohnya.

b) Metode dramatik (tidak langsung) Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga menggambarkan hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari. Metode dramatik lebih banyak menampilkan tokoh melalui “action” atau lakuan tokoh itu dan dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya. Menurut Suminto (1996/1997: 58), disebut metode dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan dirinya sendiri melalui kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka sendiri.

c) Metode kontekstual Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam menggambarkan watak tokohnya melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Menurut Suminto (1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan karakter tokoh dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.

4) Plot Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting) menjadi hal yang penting pula dalam sebuah karya sastra (novel). Plot

commit to user

tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).

Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita yang berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton mengatakan bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).

Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang punggung cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa plot tidak sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas. Hal ini menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.

Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan sebagaimana diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita meliputi 1) eksposisi, 2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action,

4) complication, 5) climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian). Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem, mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising action adalah penanjakan konflik sampai terjadi peningkatan konflik. Complication adalah konflik yang semakin ruwet. Falling action artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Denonement artinya penyelesaian.

commit to user

beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan.

Kebolehjadian (plausibility)

5) Sudut pandang/Point of view Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di samping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.

Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita.

Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point of view adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam fiktif cerita, atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para pembacanya. Pengarang harus dapat menjelaskan kepada para pembaca bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas. Point of view dapat juga berarti cara yang digunakan pengarang dalam melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia terlibat secara langsung sebagai orang pertama, ketiga atau orangn yang tahu segalanya (2005:184).

commit to user

menjadi tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”, teknik ini disebut teknik aku-an; (2) pengarang

sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku sebagai “dia”, tekniknya disebut teknik dia-an; dan (3) teknik “omniscient narratif” atau pengarang serba tahu. Dalam teknik ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh, tetapi ia mengambil peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas memasuki segala peran tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini dikombinasikan oleh pengarang dalam sebuah cerita agar cerita tersebut lebih bervariatif.

Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona ketiga: “dia”. Dalam sudut pandang ini narator (pengarang) adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini daapt dibedakan menjadi dua, yaitu “dia” mahatahu dan “dia” terbatas atau sebagai pengamat. “Dia” mahatahu dalam bahasa Inggris disebut the omniscient point of view, third person omniscent , the omniscent narrator atau author omnisvient. Dalam sudut pandang ini narator dapat menceritakan tokoh “dia” secara bebas, ia mengetahui segala yang berhubungan dengan tokoh “dia”, termasuk motivasi yang melatarbelakangi tindakannya. Kebebasannya ini tidak hanya berlaku untuk satu tokoh saja, tetapi juga tokoh “dia” yang lain. Sementara itu, “dia” terbatas (sebagai pengamat) merupakan teknik penceritaan dengan narator bebas menceritakan apa saja yang berhubungna dengan tokoh “dia”, tetapi terbatas hanay pada satu tokoh saja atau hanya pada tokoh fokusnya.

Kedua, sudut pandang persona pertama: “aku”. Dalam sudut pandang ini narator terlibat langsung dalam cerita. Ia adalah “aku”, tokoh yang berkisah mengenai peristiwa atau tindakan yang dialami dan dirasakannya. Narator juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya pada dirinya sendiri. Sudut pandang ini dibagi menjadi dua, yaitu “aku”

commit to user

tokoh “aku” menduduki peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut pandang ini memungkinkan pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita

sehingga akan memberikan empati secara penuh. Sementara “aku” tokoh tambahan terjadi apabila tokoh “aku” menduduki sebagai tokoh tambahan. Biasanya “aku” tokoh tambahan hanya tampil untuk mengantarkan dan menutup cerita, sedangkan inti cerita diserahkan sepenuhnya kepada tokoh utama cerita untuk mengisahkan kisahnya itu.

Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu. Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif. Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.

Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara pandang pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam suatu cerita fiksi.

6) Gaya/style Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa dapat disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan atau sarana yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai lebih. Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan sedikit di bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pun harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian meskipun ia merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie Layun Rampan, 1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra memang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya sastra (roman) adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan mengandung deotomisasi (penyimpangan).

Hal yang paling menonjol dalam pembahasan bahasa karya sastra adalah gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari seorang pengarang. Gaya atau style berhubungan erat dengan diksi, imajeri

commit to user

mungkin dapat ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya melihat gaya penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat

menyimpulkan siapa pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir setelah mengalami seleksi oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga dipengaruhi oleh kecakapan pengarang dalam menggunakan gaya yang serasi dalam karyanya.

Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan mungkin “distorsi” dari pemakaian bahasa yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang sesuai dengan selera tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang. Hal ini terjadi karena pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara otomatis oleh pengarang, seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian dari diri pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa, dan sebagai sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat konvensional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dsb. Dengan demikian, gaya tergantung pada konteks ia digunakan, siapa pengarangnya, tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan, seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, dan penggunan kohesi.

commit to user

Salah satu fungsi karya sastra adalah “dulce et utile”, indah dan berguna. Selain memberi keindahan, juga bermanfaat bagi pembaca.

Bermanfaat disebabkan di dalam karya sastra terdapat hal-hal yang dapat dipetik oleh pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Menurut Panuti Sudjiman (1988:

57) amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Sedang Zulfahnur (1996/1997: 26) memberikan batasan amanat sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran, moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat cerita. Amanat pengarang ini biasanya disajikan secara implisit dan eksplisit. Cara penyampaian implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Sedangkan secara eksplisit, bila dalam tengah atau akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran, nasihat, pemikiran, dsb.

Bertolak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca, baik secara implisit maupun eksplisit.

2. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel

Karya sastra dipakai untuk menyampaikan sesuatu yang dihayatinya kepada orang lain. Apa yang disampaikan oleh sastrawan merupakan renungan antara kehidupan yang dijalaninya atau yang disaksikannya. Dengan demikian, karya sastra sangat mungkin mengandung renungan-renungan dari pengarangnya, memuat nilai-nilai kehidupan yang direnungkannya yang sangat bermanfaat memberikan sumbangan nilai-nilai positif bagi masyarakat.

commit to user

terdapat dalam karya sastra (Tirtawijaya, 1983: 83). Lebih lanjut dikatakan oleh Tirtawijaya (1983: 84), bahwa yang dimaksud renungan kehidupan ialah

pengalaman pengarang, hasil hasil perenungan dirinya berkat pengalaman yang dia nukilkan dalam cerita yang ditulisnya, yang nanti akan memperkaya batin pembacanya. Dalam arti, karya sastra sebagai alat refleksi dari pembacanya.

Renungan-renungan yang ditampilkan mengandung nilai-nilai kebenaran yang sudah semestinya disebarluaskan, dan kebenaran ini juga tanggung jawab moral yang merupakan bagian dari kehidupan ini. Jadi melalui bentuk sastra inilah pembaca diajak menyelami alam batin pengarangnya yang sarat dengan perenungan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai yang mampu membuka batin pembaca

Uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa dalam karya sastra terkandung nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bersifat mendidik. Dengan kata lain karya sastra mengandung nilai-nilai edukatif, yang nantinya juga akan kembali kepada kehidupan. H.J. Waluyo (1990: 27) mengatakan bahwa, nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Disebut-sebut sebagai kebaikan karena dalam karya sastra terkandung nilai-nilai yang baik.

Lebih lanjut Baribin (1985:79) mengemukakan bahwa karya kesusastraan selalu mengandung nilai-nilai yang luhur, sehingga dapat menggetarkan jiwa orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Dalam karya kesusastraan dapat kita temukan percikan-percikan buah pikiran atau renungan-renungan dari penulis yang arif yang terdapat dalam setiap zaman.

a. Nilai Pendidikan Estetik (keindahan)

Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi dengan sentuhan estetis yang memiliki keindahan apabila terdapat keutuhan antara bentuk dan isi, keseimbangan, serta kejelasan penampilan aspek karya seni lain. Nilai keindahan akan tampak lebih realistis jika kita perhatikan penilaian atau penghargaan terhadap cipta seni sastra. Keseimbangan antara teknik cerita ,

commit to user

dalam sebuah karya sastra. Nilai estetik disebut juga nilai keindahan. Manusia menjadi bahagia

dengan mengalami sesuatu yang bagus, yang indah. Adanya bermacam-macam seni ialah untuk memenuhi kebutuhan ini. Maka sesuatu yang memenuhi kebutuhan ini kita katakan mempunyai nilai keindahan atau nilai estetik (Drikarya, 1980: 117). Nilai estetik ini jika diterapkan dalam karya sastra tidak hanya tampak dalam bentuk (struktur) cipta sastra tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat) (Esten, 1984: 21).

b. Nilai Pendidikan Sosial

Sosial merupakan istilah yang ditujukan kepada pergaulan kelompok manusia yang berinteraksi, berhubungan dalam kehidupan manusia di masyarakat. Ia juga berarti mempertahankan hubungan-hubungan teratur antara seseorang dengan yang lain (Gazalba, 1976:32). Nilai yang mengarahkan kepada pembentukan sikap sosial ini, menyebabkan kita saling berhubungan dan membuat bermacam-macam kesatuan dalam hidup kita (Drikarya, 1980: 72).

Nilai sosial yang terdapat dalam karya sastra mempunyai pengertian bahwa karya sastra yang memaparkan hubungan manusia melalui tokoh- tokohnya, dapat dijadikan refleksi bagi pembaca untuk mengadakan hubungan sosial antara pribadi dan dengan masyarakat (Waluyo, 1990: 60).

Mengenai hubungan kemasyarakatan ini dapat pula ditemukan dalam karya sastra yang sistematis yang mengungkapkan sifat hubungan anggota masyarakat dengan demikian diketahuilah sebab-sebab terciptanya hubungan dengan segala akibatnya , serbagaimana dikatakan Luxemburg (1989:24) lewat karya sastra dapat digunakan sebagai sumber analisis sistem masyarakat, apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat itu dan bersikap kritis terhadap tata nilai masyarakat yang sedang berlaku, hal ini disebabkan karena sosial budaya merupakan produk masyarakat.

c. Nilai Pendidikan Moral

commit to user

diambil lewat para pelakunya . Bagaimana tingkah lakunya, bagaimana pribadinya, sifat-sifatnya dan lain-lain. Dengan adanya nilai tersebut maka

karya sastra di samping untuk menambah pengetahuan yang dapat mendidik moral manusia.

Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima oleh umum mengenai perbuatan ,sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral adalah nilai-nilai baik yang seharusnya ada dalam ketentuan sosial. Ia adalah pembatasan norma- norma baik dari yang buruk (Gazalba, 1976: 31).