KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK TUGAS AKHIR - Konsep Perencaan Dan Perancangan Revitalisasi Kawasan Alun-Alun Ponorogo Sebagai Ruang Publik

KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh :

AHMAD FARIS ANSORI I0205027 JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVESITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK

Disusun Oleh :

AHMAD FARIS ANSORI

I 0205027

Menyetujui, Surakarta, 1 Agustus 2012

Mengesahkan,

Pembimbing I

Ir. Suparno, MT NIP. 1955 0516 198601 1 001

Pembimbing II

Ir. Hari Yuliarso, MT

NIP. 1959 0725 199802 1 001

Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT NIP. 1962 0610 199103 1 001

Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik

Kahar Sunoko, MT

NIP. 1969 0320 199503 1 003

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.... Om Swastiastu....Om Shanti Shanti Shanti, Om..... Namo Buddhaya... Shalom Aleichem b’Shem Ha Mashiach....

Puji syukur kepada Allah swt. atas waktu untuk kita semua, kesempatan untuk bernafas, kesempatan mengingat keluarga dan mengingat-Nya. Sehingga semua proses dalam penyelesaian Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir ini pun berjalan dengan baik.

Sebuah proses menuju akhir memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit, relative . Maka berkat bantuan dari berbagai pihak, penyusunan pun selesai pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret.

2. Kahar Sunoko, ST, MT selaku Ketua Prodi Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret.

3. Ir. Suparno, MT, selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir.

4. Ir. Hari Yuliarso, MT , selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir.

5. Ir. FX. Soewandi, selaku Pembimbing Akademik.

6. Teman-teman Jurusan Arsitektur UNS, teman-teman kantin, teman-teman KFA, terima kasih atas prosesnya.

Surakarta, 31 Juli 2012

Terima kasih untuk semuanya...... Untuk keluarga, untuk kawan, untuk dosen.....

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ii KATA PENGANTAR

iii UCAPAN TERIMA KASIH

iv DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1. LATAR BELAKANG

I.1.1. Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi

pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik.

I.1.2. Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi.

I.2. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

I.3. TUJUAN DAN SASARAN

I.4. LINGKUP DAN BATASAN

I.5. METODOLOGI

I.5.1. Metode Penelusuran Masalah

I.5.2. Metode Pencarian Data dan Informasi

I.5.3. Metode Perumusan Konsep Desain

I.5.4. Metode Desain

I.6. SISTEMATIKA PENULISAN

8 BAB II TINJAUAN

II.1. REVITALISASI

II.2. AWAL PERADABAN NUSANTARA

II.3. PERMUKIMAN KOTA JAWA

II.3.1. Jagad dan Kota

II.3.2. Halun-Halun

II.3.3. Marga dan Ratan

II.3.4. Pasar atau Peken

II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan

II.3.6. Pawisman atau Pamohan

II.3.7. Dari Kuta Negara ke Kota Modern

II.4. ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA PRAKOLONIAL

II.5. RUANG PUBLIK

II.5.1. Peranan Ruang Publik

II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota

II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota

II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kota di Indonesia

II.5.5. Tipologi Ruang Publik

II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur (unmeasureable design criterias) 83

II.6. PANGGUNG PERTUNJUKAN

II.6.1. Jenis-jenis Panggung

II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas

II.6.3. Macam-macam Panggung

II.6.3.1. Panggung Prosenium atau Panggung Pigura

II.6.3.2. Panggung Portable

II.6.3.3. Panggung Arena

II.6.3.4. Panggung Terbuka

II.6.3.5. Panggung Kereta 100

II.6.3.6. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas 100

II.7. KONDISI KABUPATEN PONOROGO 102

II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo 108

II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo 109

II.8. PRESEDEN 110

II.8.1. Alun-alun Wonosobo 110

II.8.2. Alun-alun Jogjakarta 111

II.9. KESIMPULAN 112

BAB III REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

SEBAGAI RUANG PUBLIK 113 BAB IV ANALISA REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

IV.1. ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

IV.2. ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN 125

IV.3. ANALISA PERUANGAN 126

IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama 126

IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar 127

IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama

IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar 130

IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang 130

IV.3.6. Analisa Besaran Ruang 132

IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak 133

IV.3.7.1. Analisa Klimatologis 133

IV.3.7.2. Analisa View 135

IV.3.7.3. Analisa Pencapaian 137

IV.3.7.4. Analisa Kebisingan 138

IV.3.7.5. Analisa Zoning 139

IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan 140

IV.3.7.7. Analisa Penghawaan 140

BAB V KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK 141

V.1. Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo 141

V.2. Konsep Peruangan 143

V.2.1. Konsep Pesyaratan Ruang 143

V.2.2. Konsep Besaran Ruang 144

V.3. Konsep Site Terpilih 145

V.4. Konsep Dalam Bangunan 146

V.5. Konsep Struktur Bangunan 146

V.6. Konsep Utilitas Bangunan 148 DAFTAR PUSTAKA

xii LAMPIRAN

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 3 Gambar 1.2 Panggung Pertunjukan di Alun-alun Ponorogo

5 Gambar 2.1 Struktur Pusat Negara Demak

17 Gambar 2.2 Kompleks Masjid Demak 1602-1606

20 Gambar 2.3 Kompleks Masjid Demak 1602-1606

20 Gambar 2.4 Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599.

Terdapat di kompleks makam Ratu Kalinyamat

21 Gambar 2.5 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun

kira-kira abad ke-12 merupakan puncak hasil seni bangunan batu bata di Indonesia

22 Gambar2.6 Denah kompleks makam Kota Gede

23 Gambar 2.7 Kompleks makam-masjid Kota Gede

25 Gambar 2.8 Pusat kota Yogyakarta

31 Gambar 2.9 Denah Kompleks Keraton Yogyakarta

31 Gambar 2.10 Keraton Yogyakarta

32 Gambar 2.11 Pusat Kota Surakarta

33 Gambar 2.12 Keraton Surakarta

34 Gambar 2.13 Tatanan Keraton Surakarta berdasarkan Kosmologi

54 Gambar 2.14 Rekonstruksi Kraton Majapahit oleh Maclaine Port

berdasakan Kitab Negarakertagama (1924)

56 Gambar 2.15 Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan

Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul

Gambar 2.16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan

lingkungannya ketika serangan Inggris (1812)

59 Gambar 2.17 Pagar kayu yang membatasi Alun-alun Kraton

Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa Alun-alun dulunya masih merupakan bagian dari Kraton

60 Gambar 2.18 Denah panggung teater kecil

85 Gambar 2.19 Berbagai macam model panggung

86 Gambar 2.20 Panggung proscenium

87 Gambar 2.21 Panggung thrust

89 Gambar 2.22 Bagian-bagian panggung I

90 Gambar 2.23 Bagian panggung II

91 Gambar 2.24 Denah Panggung Proscenium

96 Gambar 2.25 Panggung Portable

97 Gambar 2.26 Denah Panggung Tapal Kuda

98 Gambar 2.27 Denah Panggung Arena bentuk U

98 Gambar 2.28 Denah Panggung Arena bujur sangkar

99 Gambar 2.29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran

99 Gambar 2.30 Denah Panggung Terbuka

100 Gambar 2.31 Peta Wilayah Kabupaten Ponorogo

103 Gambar 2.32 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo

104 Gambar 2.33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo

107 Gambar 2.34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo

108 Gambar 2.35 Situasi Alun-alun Wonosobo

110 Gambar 2.36 Situasi Alun-alun Kidul Yogyakarta

Gambar 2.37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo 112 Gambar 3.1 Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan

116 Gambar 3.2 Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan

117 Gambar 4.1 Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo

pada saat menjelang Syawal

119 Gambar 4.2 Kondisi panggung pertunjukan pada waktu

Grebeg Suro 2011

120 Gambar 4.3 Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal

121 Gambar 4.4 Kondisi sirkulasi lalu lintas Alun-alun Ponorogo

sekarang

122 Gambar 4.5 Pasar Alun-alun Ponorogo

123 Gambar 5.1 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang di bangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil seni bangunan batu bata di Indonesia

141 Gambar 5.2 Kompleks Menara Kudus beserta Makan-Masjid

142

ABSTRAKSI REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK

Setiap kota memiliki keragaman bentuk sosial,budaya,dan ekonomi. Ponorogo yang merupakan salah satu kota yang masih menganut kota jawa kuno, dimana di dalamnya sebuah pusat kota terdapat sebuah Alun-alun. Kondisi Alun-alun pun sekarang bergeser pemaknaannya dari awal penciptaanya. Kegiatan perekonomian pun seperti merajai kondisi Alun-alun sekarang.

Perevitalisasian yang bersifat penggabungan antara pemaknaan Alun-alun pada masa Keraton dengan kebutuhan ruang publik masyarakat modern sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Tentang tata letak pusat kota Jawa, pengaruh agama Hindu Budha dalam mendesain sebuah pusat kota.

REVITALIZATION OF ALUN-ALUN PONOROGO AREA AS A PUBLIC SPACE

Every town has a variety of forms of social, cultural, and economic. Ponorogo which is one city that still adhered to the ancient Javanese city, from where there is a center of a town square. Square condition was now shifted from the initial meaning of thought. Economic activity was dominated conditions such as the square now.

Revitalization which is a merger between the meaning of the square in the Palace with the needs of the public sphere of modern society today. Modernization is not an alternative to the tradition, but the two are dialectically related. About the layout of the center of Java, the influence of Hinduism Buddhism in designing a city center.

Kata Kunci : Revitalisasi, Alun-alun, Ruang Publik, Ponorogo

BAB I PENDAHULUAN

Pengenalan tentang kebudayaan nusantara sangat penting sekali, seiring dengan memudarnya kebudayaan itu sendiri, seolah-olah ditelan oleh modernisasi. Pengenalan kebudayaan pun harus mempunyai solusi untuk mengembalikannya, pengenalan yang bersifat plural dan dapat di akses oleh masyarakat secara luas dan mudah. Sebuah modernisasi bukanlah sebuah aral yang menghambat perkembangan seni, lalu bagaimana kita dapat berjalan seiring dengan modernisasi dan kemajuan teknologi. Sebuah wadah yang mengapresiasi kebutuhan akan ruang berseni yang dapat di akses oleh masyarakat luas.

Hampir setiap kota memiliki ciri khas sendiri-sendiri,kita setuju dengan hal itu. Sama hal-nya dengan kota Ponorogo –kota asal mula kesenian reog- mempunyai kebudayaan, kebiasaan, perilaku masyarakat yang sangat khas. Setiap malam bulan purnama pada setiap bulannya, selalu di adakan sebuah pagelaran seni pertunjukan di alun-alun kota. Bisa berupa seni tari reog, wayang kulit, tari kontemporer. Adanya panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam menyajian sebuah karya seni pertunjukan. Kota ponorogo pun juga memiliki sebuah panggung pertunjukan yang sangat strategis yang dapat diakses oleh semua warga masyarakatnya, dipusat kota, alun-alun kota ponorogo.

Tetapi panggung tersebut mempunyai nilai fungsional yang kurang maksimal. Tidak adanya zona servis yang dapat menunjang semua kegiatan seni pertunjukan. Dengan redesain panggung tersebut diharapkan dapat Tetapi panggung tersebut mempunyai nilai fungsional yang kurang maksimal. Tidak adanya zona servis yang dapat menunjang semua kegiatan seni pertunjukan. Dengan redesain panggung tersebut diharapkan dapat

I.1 LATAR BELAKANG

I.1.1 Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik.

Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri- ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak melakukan apa saja.

Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan

sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsensus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapi tantangan – tantangan dewasa ini.

Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alun- alun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan

Gambar 1.1

Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal

Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun- alun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan.

Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “bercerita” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun- alun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.

I.1.2 Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi. Panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam pengembangan apresiasi seni, juga sebagai media pengenalan kepada masyarakat. Seharusnya panggung tersebut memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitarnya. Pengenalan kepada generasi muda agar bisa tetap I.1.2 Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi. Panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam pengembangan apresiasi seni, juga sebagai media pengenalan kepada masyarakat. Seharusnya panggung tersebut memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitarnya. Pengenalan kepada generasi muda agar bisa tetap

ini

dapat

dimaksimalkan secara fungsional diharapkan

perekonomian

masyarakat sekitar juga meningkat karena adanya wisatawan dalam kota maupun luar kota.

I.2 PERMASALAHAN DAN PERSOALAN Permasalahannya , bagaimanakah merevitalisasi kawasan di alun-alun

Ponorogo yang lebih baik secara fungsional dan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan potensi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Persoalan dipaparkan sebagai berikut.

- Bagaimanakah desain yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan fungsi bangunan.

- Bagaimana tatanan baru yang tetap dapat menjadi wadah kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi.

Gambar 1.2

Panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo Sumber: dokumen pribadi, 17 Nopember 2011

- Bagaimanakah desain yang sebisa mungkin dapat mengembalikan fungsi alun-alun.

I.3 TUJUAN DAN SASARAN

Tujuannya , revitalisasi kawasan Alun-alun di Ponorogo, sehingga dapat memberikan input baru kepada masyarakat tentang kebudayaan nusantara. Sasaran dipaparkan sebagai berikut.

- Tata massa bangunan. - Bentuk panggung pertunjukan. - Sistem struktur dan konstruksi bangunan. - Material bangunan. - Tata kawasan dan landscaping. - Sistem sirkulasi bangunan dan kawasan. - Sistem utilitas penunjang fungsi

I.4 LINGKUP DAN BATASAN

Lingkup pembahasan adalah cakupan disiplin ilmu arsitektur antara lain tema spesifik mengenai ruang publik, aspek redesain panggung pertunjukan sebagai produk fisik, aspek lingkungan alun-alun, serta lokasi (site) spesifik area alun-alun Ponorogo. Batasannya dapat dijelaskan sebagai berikut.

- Pembahasan tema ruang publik untuk masyarakat Ponorogo - Aspek mengenai lingkungan alun-alun dibatasi pada isu-isu yang

bersangkutan, keluar dari ketentuan-ketentuan formal mengenai pengelolaan alun-alun kota.

- Aspek lokasi berkaitan dengan fisik panggung pertunjukan dan esksisting sebagai objek perencanaan.

I.5 METODOLOGI

I.5.1 Metode Penelusuran Masalah

- Observasi, menyusun adanya permasalahan-permasalahan yang timbul

di sekitar panggung pertunjukan dan alun-alun Ponorogo. - Studi literatur, menemukan keterkaitan antara fenomena yang terjadi

dengan acuan ilmu.

I.5.2 Metode Pencarian Data dan Informasi

- Survey lanjutan, melanjutkan pengamatan pada lokasi dan aspek-aspek yang berhubungan dan dibutuhkan dalam pertimbangan kebijakan

desain nantinya. - Studi literatur, mengumpulkan referensi ilmu untuk mengolah

informasi dan data yang diperoleh.

I.5.3 Metode Perumusan Konsep Desain

Perumusan konsep perancanaan dan perancangan (desain) yaitu melalui metoda induktif (berdasar data empirik) dan metode deduktif (berdasar referensi yang membantu mengarahkan pembahasan). Cara yang digunakan yaitu analisis deskriptif, yaitu analisis dengan cara membandingkan/membahas data dan informasi dengan referensi yang ditentukan.

I.5.4 Metode Desain

- Mentransformasikan konsep yang diskriptif (verbal) ke dalam bentuk gambar (visual).

- Sketsa ide. - Studi tiga dimensi. - Realisasi gambar ide menjadi suatu wujud rancangan (desain).

I.6 SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I

Sebagai Pendahuluan untuk memberikan gambaran tentang keseluruhan substansi penulisan ini.

BAB II

Pemahaman Referensi, di sini sebagai acuan ilmu atau pengetahuan umum yang dipilih dan dibutuhkan berkaitan dengan pembahasan. Disertai tinjauan Ponorogo dengan segala potensi yang ada di dalamnya.

BAB III

Merupakan Gagasan, sebuah lingkungan alun-alun yang akan direncanakan.

BAB IV

Analisa merupakan penyelesaian persoalan desain untuk menghasilkan konsep desain.

BAB V

Merupakan output, memaparkan desain dan hasil rumusan dari proses desain sebagai Konsep.

BAB II TINJAUAN TEORI

II.1. REVITALISASI

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002 ). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002 ). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum

Revitalisasi termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi 1 merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural. Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.Tergantung dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.Jadi, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi suatu lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.

Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi

1 pengawetan; pemeliharaan; penjagaan; perlindungan (sumber:http://www.artikata.com/arti-

lingkungan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat luas. Ada beberapa aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk menunjang kegiatan revitalisasi. Selain itu revitalisasi juga dapat ditinjau dari aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. atau revitalisasi dalam rangka untuk mengubah citra suatu kawasan.

Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.

II.2. AWAL PERADABAN NUSANTARA 2

Permukiman kota di nusantara tidak serta merta muncul begitu saja, proses yang cukup panjang, mulai dari peradaban Hindu-Budha hingga sekarang. Negara sebagai suatu bentuk kekuasaan politis ekonomis di Indonesia baru dikenal, setidak-tidaknya, sejak abad ke-4. Bukti dari pengaruh ini diperoleh dari Prasasti

Kutai 3 pada pertengahan abad ke-20. Meskipun pada Prasasti Kutai tersebut tidak disebut adanya sebuah negara, dapat diduga bahwa kerajaan Kutai dibawah Mulawarman telah mengembangkan sebuah negara. Dengan negara ini organisasi sosial politik dan ekonomi permukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas

beberapa desa. Lingga 4 menandai suatu keyakinan bahwa kekuatan kosmik

dihadirkan diatas bumi untuk menciptakan kesatuan aturan bumi dan kosmik raya atas masyarakat manusia.

Pada dasarnya simbolisme lingga sebagai penghubung bumi dan langit ini tidak lebih dari monumentalitas kekuasaan. Kekuatan spiritual yang dipakai dalam pengukuhan lingga tidak bisa dilihat terpisah dari upaya untuk mempersatukan apa yang telah dicapai secara sekuler. Dengan ritualisasi, lingga akan tidak dilihat orang sebagai sekadar batu tegak, tetapi suatu benda yang telah diisi oleh makna mistis. Mitologi akan mendukung kehadiran dan monumentalitas lingga tersebut agar penghormatan atasnya terpelihara. Mitologi berkaitan erat dengan fungsi suatu sejarah. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terbukti bahwa sejarah tidak luput dari pemaknaan perubahan kekuasaan baik polotik, sosial, maupun ekonomi.

3 Batu monumen lingga merupakan unsur penting dalam peradaban Hindu. Lingga didirikan untuk menandai tempat permukiman di mana kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepercayaan

Hindu. Secara simbolik, lingga adalah representasi kekuatan Isvara. Daerah lingga biasanya didirikan/ditanami suatu prasasti yang memberikan keterangan waktu dan jumlah harta yang dipersembahkan oleh sang penguasa kepada para biarawan. Persembahan ini membuktikan kepada khalayak ramai bahwa kemampuan materi suatu wangsa telah sah dan mendapatkan restu serta dukungan spiritual. Dengan demikian wangsa yang bersangkutan memiliki legitimasi untuk memerintah daerah-daerah yang berada dibawah pengaruhnya. Lingga memiliki kesamaan dengan menhir.

4 Lingga adalah sebuah arca atau patung, yang merupakan sebuah objek pemujaan atau sembahyang umat Hindu. Kata lingga ini biasanya singkatan dari Siwalingga dan merupakan

sebuah objek tegak, tinggi yang melambangkan falus (penis) atau kemaluan Batara Siwa. Objek ini

Dalam kepercayaaan Hindu yang berkembang di Jawa dan Bali, lingga berhubungan erat dengan Dewa Siwa. Dewa yang dipercaya sebagai penguasa dunia dalam segala bentuk manifestasinya. Siwa menguasai nasib dan jalan kehidupan manusia di atas bumi ini. Dengan keyakinan demikian, lingga bukan hanya lambang dari awal adanya kehidupan bertempat tinggal, tetapi juga awal dari penyerahan diri dari ketidakpastian kepada sumber kekuatan kosmik raya. Pendirian lingga membutuhkan pengorbanan dan upacara. Semua ini mungkin dibuat untuk memberikan makna adanya keinginan mempertautkan kekuasaan dengan bumi dan lingkungan dengan cara membuka alam. Kebutuhan manusia akan adanya tengaran pada lanskap atau lingkungan fisiknya tampaknya berakar dari hakikat eksistensialnya. Ada semacam ketakutan pada manusia yang berkelompok mendiami suatu kawasan tanpa memiliki suatu tengaran tempatnya.

Tengaran menandakan bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat tinggalnya. Tinggal di suatu daerah membutuhkan suatu sistem tanda, entah berupa tugu atau pelataran. Mungkin lingga tidak lebih dan kurang dari satu sistem tanda manusia intik memberikan tanda teritorial yang sudah dikuasai untuk tempat tinggal. Pendirian tugu monumen yang lazim dalam peradaban Hindu di Indonesia tak tampak lagi setelah peradaban Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya pendirian monumen semacam lingga ini tidaklah hilang begitu saja. Beberapa kasus memperlihatkan lingga sebagai bentuk yang monumental yang terwujud dalam bentuk candi. Selama ini, hanya candi- candi yang memberikan indikasi bahwa pembangunannya didukung oleh masyarakat yang berbudaya kota. Sekalipun demikian, tidaklah selalu berarti Tengaran menandakan bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat tinggalnya. Tinggal di suatu daerah membutuhkan suatu sistem tanda, entah berupa tugu atau pelataran. Mungkin lingga tidak lebih dan kurang dari satu sistem tanda manusia intik memberikan tanda teritorial yang sudah dikuasai untuk tempat tinggal. Pendirian tugu monumen yang lazim dalam peradaban Hindu di Indonesia tak tampak lagi setelah peradaban Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya pendirian monumen semacam lingga ini tidaklah hilang begitu saja. Beberapa kasus memperlihatkan lingga sebagai bentuk yang monumental yang terwujud dalam bentuk candi. Selama ini, hanya candi- candi yang memberikan indikasi bahwa pembangunannya didukung oleh masyarakat yang berbudaya kota. Sekalipun demikian, tidaklah selalu berarti

Ketika dalam lingkungan candi memiliki suatu masyarakat yang terkonsentrasi menetap –bermukim- dan mempunyai sistem sosial politik ekonomi, tidak menutup kemungkinan adanya sebuah pusat pemerintahan. Dalam hal ini, sebuah keraton memiliki perannya. Keraton sebagai pusat kekuasaan selayaknya merupakan pusat di mana perkembangan permukiman urban bermula. Keraton sebagai pusat kekuasaan sudah pasti memiliki tempat yang memberikan tengaran orientasi dan membentuk wilayah yang terorganisir pencapaiaannya. Untuk mendukung dua kondisi ini, pusat perlu didukung oleh lapangan terbuka dan pasar.

II.3. PERMUKIMAN KOTA JAWA 5

II.3.1. Jagad dan Kota

Konsep jagad Jawa erat kaitannya dengan konsep kekuasaan yang pada prakteknya konstan dan mengalir di alam maupun di masyarakat manusia. Dalam konsep ini, jagad merupakan kesatuan dan keteraturan hidup yang tidak didasarkan pada perbedaan yang tajam atas kategori organik dan anorganik.

Jagad terjadi dan mengambil ruang serta waktu tertentu yang bisa berulang. Pusat sebuah jagad atau rat (istilah Jawa asli) merupakan konsep yang berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam dunia nyata. Peristiwa ini hanya terjadi melalui satu figur kepemimpinan yang mampu merangkum spiritual dan sekuler sekaligus. Konsep kepemimpinan yang Jagad terjadi dan mengambil ruang serta waktu tertentu yang bisa berulang. Pusat sebuah jagad atau rat (istilah Jawa asli) merupakan konsep yang berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam dunia nyata. Peristiwa ini hanya terjadi melalui satu figur kepemimpinan yang mampu merangkum spiritual dan sekuler sekaligus. Konsep kepemimpinan yang

kekuasaan sekuler dari spiritual, justru menghendaki integrasi 6 keseluruhan

kekuatan sosial yang ada dalamsatu figur. Karena konsep pusat urban Jawa tidak pada pembendaan atau objektifikasi, bisa dipahami bila struktur fisiknya tidak

otoriter dan teratur geometris seperti halnya kota Alberti dan Scamozi 7 . Sumber keberadaan jagad adalah satu dan karena itu kekuasaan pun memiliki sifat homogen, sehingga kemanunggalan menjadi sentral dalam pemikiran Jawa tentang jagadnya. Karena konsep kemanunggalan inilah hubungan antara sesama manusia dan lingkungan alam maupun binaannya

cenderung mencari konsensus, bukan konflik yang dialektik 8 .

Jika jagad terjadi di lingkungan binaan, struktur apakah yang memberi batas padanya? Bagaimana sebenarnya orang Jawa mendefinisikan jagad itu jika tidak dikenal batas-batas yang jelas? Batas dimaksud berkaitan dengan struktur- struktur yang membangun pengertian tentang apa dan bagaimana jagad itu. Dalam

Serat Centhini 9 V pupuh 4 dapat dibaca perumpamaan jagad yaitu sebagai kelir-

nya pementasan wayang. Kelir dalam pengertian ini erat kaitannya dengan

6 Integrasi berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi social dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga

menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Hal ini terkait dengan asimilasi dan akulturasi.

7 Leon Battista Alberti (14 Februari 1404 – 20 April 1472), Arsitek Vincenzo Scamozzi (2 September 1548 – 7 Agustus 1616), Arsitek 8 Dialektik merupakan seni berpikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antithesis, dan sintesis.

9 Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau

Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk

pementasan itu sendiri, ada adegan, peran, tempat, dan waktu. Kelir sendiri hanya dimengerti bila ada lampu (blencong) yang memberi bayangan pada wayang- wayang yang berperan. Jika sang dalang itu tak ubahnya sebagai yang empunya dan menguasai hidup ini, jagad dalam pengertian Jawa itu sebenarnya bukan dalam kekuasaan manusia. Kejadian-kejadian ketika jagad memperlihatkan diri sebagai fenomena bermukim oleh orang Jawa hanya dipandang sebagai mampir untuk minum. Dalam Serat Centhini sendiri dibedakan pengertian jagad dan dunya. Dunya dikaitkan dengan pengertian yang fana dan menawarkan kenikmatan sensual, yang tidak memiliki kedalaman dan makna kehidupan masa depan. Sementara jagad bicara mengenai wisma masa depan manusia yang memberikan pengetahuan sejati dan kebersatuan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan. Bermukim di atas bumi ini menurut konsepsi Jawa tidak lebih dari kesementaraan untuk membekali diri dengan air kehidupan yang bisa membawa langkah seseorang menuju kemanunggalan dengan Penciptanya.

Dengan konsep bermukim sekadar 'mampir minum' ini, orang Jawa banyak melihat hidup dalam pengertian suatu kerangka maju atau mundur dalam masalah materialistik. Struktur-struktur fisik permukiman oleh orang Jawa tidak dilihat sebagai bangunan permanen, tetapi sebagai pondok sementara. Jika konsep kesementaraan ini yang dianut, bermukim secara Jawa tidak banyak meluangkan waktu untuk mengembangkan seni bangunannya.

Bagaimanakah karya rancang-bangun dan struktur fisik dari sebuah negara atau kuta itu sebenarnya? Kota tua Jawa yang hingga kini masih dapatdilihat strukturnya adalah Demak, Kudus, dan Kota Gede. Bagian kotaDemak yang masih banyak meninggalkan petunjuk gagasan kota negara,nampak pada daerah

yang kini disebut

Kauman,

Pecinan, dan Siti Hinggil.(Gambar 2-1).

Meskipun dalem Sultan Demak, Raden Patah (1500- 1518), sudah tidak nampak,

namun

lokasinya masih dapat diketahui. Dalem ini pasti terletak di daerah yang dikenal sebagai Siti Hinggil, sebelah selatan alun-alun. Struktur pusat negara Demak .merupakan indikasi penting konsep pusat kota di Jawa setelah Majapahit pudar kekuasaannya di Jawa Timur. Demak berkembang bukan dari surplus pertanian, tetapi dari turnbuhnya jasa perdagangan di pantai utara Jawa sebelum Portugis menguasai Selat Malaka tahun 1513-1516. Dengan jasa perdagangan inilah, kompleks mesjid Demak yang menandai masuknya Islam dalam sistem kekuasaan Jawa itu didirikan.

Struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit dengan skala lebih kecil. Di dalam struktur ini halun-halun menjadi struktur ruang

Gambar 2-1 Struktur pusat negara Demak (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)

pengikat bagi Dalem/keraton maupun mesjid yang bersangkutan. Elemen-elemen yang menarik warisan rancang bangun peradaban Hindu nampak pada kompleks Mesjid Demak. Sekalipun orang masih berharap untuk mendapat data arkeologi pada daerah Siti Hinggil (siti: permukaan tanah/bumi, hinggil: tinggi atau ketinggian), namun bisa dilihat bahwa keraton sebagai tempat tinggal tidak dibangun dalam struktur sepermanen dinding-dinding mesjid. Atau, kuta atau tembok keliling keraton telah diratakan dengan tanah untuk perumahan penduduk setelah kekuasaan sultan pudar dan bergeser ke Pajang dan Kota Gede sejak 1518

Kudus merupakan salah satu kota penting yang melanjutkan sinkretisme 10

antara peradaban Hindu dan Islam ke dalam bangunan kompleks mesjid dan makam. Sunan Kudus dalam sejarah dikenal sebagai salah satu Wali Sanga yang sangat berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Jepara, Demak, dan Pajang sekitar awal abad ke-16. Sebagaimana Mesjid Demak, Mesjid Kudus merupakan bagian yang dibangun tidak berdiri sendiri. Mesjid Kudus merupakan pendukung kompleks makam Sunan Kudus. Kompleks Kudus ini meliputi wilayah lebih dari 5000 meter persegi. Seperti halnya kompleks Mesjid Demak, di makam-mesjid Sunan Kudus orang akan menjumpai perpaduan elemen-elemen pura Hindu dan kegiatan Islam. Bagian utama Mesjid Kudus lebih kecil dari Mesjid Demak. Mesjid di Kudus ini nampak istimewa karena memiliki struktur bentar dan paduraksa yang menerus menembus ruang utama mesjid. Struktur gerbang- gerbang ini sekaligus memberi arah Kiblat yang kuat. Jika hal ini dibuat secara

10 Sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian atau pencampuran kebudayaan pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktik berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa

mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah

Struktur ruang makam-mesjid Kudus tidak memiliki hierarki 11 yang

sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding keliling bata merah, seperti juga di Demak. Rancangan profil dinding ini mirip dengan dinding kompleks candi-candi di Jawa Timur, Candi Penataran dan Candi Tikus. Setiap pintu masuk yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai oleh bangunan bentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-Iapis dan membentuk segi empat oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas memperlihatkan terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus, terdapat tidak kurang dari tujuh lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat dijumpai pula tatanan ruang berlapis-Iapis, namun tidak serumit makam Sunan Kudus. Yang menarik di Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh tembok keliling segi empat dengan empat gerbang penjuru angin (Gambar 2-2). Struktur yang jelas ini menyebabkan mesjid nampak lebih menonjol monumentalitasnya.

11 Hierarki adalah urutan atau aturan dari tingkatan abstraksi menjadi struktur pohon

Sarean dikompleks mesjid ini nampak sebagai struktur pendukung yang memiliki jalur prosesi sendiri. Yang membuat tata ruang berlapis-lapis adalah sarean utama yang dibangun dengan struktur cungkup. Struktur ini diyakini memberi perlindungan bagi makam sebagai mana atap melindungi tempat tidur. Orang Jawa melihat kuburan sebagai tempat yang disucikan dari kegiatan harian.

Berziarah ke makam setara dengan menghadap pada yang bersangkutan dengan penuh hormat dan dengan menyucikan badan dari kotoran. Untuk mengawasi tertibnya ritual ini didirikanlah paseban, di mana petugas jaga makam melaksanakan tugasnya. Pada umumnya, paseban sudah dapat dilihat sejak masuk kompleks makam. Untuk melengkapi ritual ziarah, pemandian dibangun. Di beberapa makam dikenakan tradisi menggunakan pakaian tradisional Jawa tanpa alas kaki. Ritual semacam ini merupakan bagian dari prosesi ziarah. Ritual ini pula yang menjadi dasar tata ruang kompleks makam.

Gambar 2-2 Kompleks Mesjid Demak 1602- 1606 (Sumber: Ismudiyanto, 1987:53

Lapisan ruang-ruang yang perlu dilalui dari prosesi ziarah ini dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemiripan dengan prosesi

bersangkutan. Secara tata ruang sarean dan dalem alias kalenggahan sultan selintas tidak berbeda. Dasar dari struktur ruang yang dikembangkan pada makam-makam Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat, hingga Panembahan Senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu sinkretisme antara konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli Jawa dengan fasilitas dan ritual Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun makam berumpak yang mengingatkan pada punden berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan pada gubahan atap mesjid maupun struktur ruang berdinding dengan paduraksa dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan disyaratkan dalam mengikuti proses ritual di dalamnya.

Gambar 2-4 Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599. Terdapat di kompleks makam Ratu

Kalinyamat.

(Sumber: Album Peninggalan Purbakala, 1991: 79)

Teknik konstruksi

dinding

terakota dan rancang bangun kompleks makam-mesjid Demak ini dapat

ditelusuri asal usulnya dari bangunan- bangunan

peradaban Majapahit, Candi Brahu, Candi

Tinggi (lihat

Gambar2-5), dan sisa-sisa Keraton Trowulan. Konstruksi batu bata yang saling terkait tanpa bahan lain (tanpa semen pc, misalnya), selain hasil reaksi antara gesekan bata-bata, merupakan kekhasan warisan Majapahit. Warisan seperti ini masih dipraktekkan pada bangunan-bangunan tradisional Bali: puri, pura, dan patirtan. Di dalam tradisi bangunan di Kota Gede, hubungan antar batu bata tersebut dilekat oleh putih telur.

Gubahan bentuk dinding pada kompleks makam-mesjid Demak berupa segi empat yang membentuk suatu enclosure 12 . Konsep segi empat ini mungkin

diturunkan dari konsep puri. Dengan konsep Sanskerta ini, wilayah terbina atau terbangun telah menjadi suatu kategori dalem. Artinya, tempat yang dikelilingi tembok batu bata itu sudah menjadi milik seseorang dalam mengungkapkan pusat kekuasaan.

Dari tatanan fisik bangunannya, kompleks mesjid dan makam nampak tidak dalam kaitan prosesi langsung, namun saling mendukung. Makam

12 Enclosure merupakan struktur yang terdiri dari suatu daerah yang telah ditutup untuk beberapa

Gambar 2-5 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil seni bangunan batu bata di Indonesia.

ditempatkan sebagai bagian dalam dengan mesjid sebagai latar depannya. Dengan begitu, nampak keluhuran kepercayaan asli memberi prioritas pada mesjid untuk langsung menghadap ke alun-alun.

Kompleks makam dan mesjid ini mungkin bukan bermula di Demak dan Kudus, kemudian mencapai kesempurnaan di Kota Gede (lihat Gambar2-6). Setelah Kota Gede, makam-mesjid tidak lagi dibangun di pusat kota kerajaan. Meskipun di Mesjid Agung Yogyakarta masih terdapat makam, namun bukanlah tempat pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta, karena Sultan Agung membangun makam keluarga Kerajaan Mataram di Imogiri.

Kota Gede sebagai pusat peradaban Islam Jawa dibina oleh Ki Gede Pamanahan sekitar tahun 1577 atas piagam Raja Pajang. Diceritakan oleh de Graaf (1954/1987:52-54) bahwa hutan Mentaok mula-mula dibuka dan dibangunlah kuta atau tembok bata keliling. Di dalam wilayah bertembok keliling Kota Gede sebagai pusat peradaban Islam Jawa dibina oleh Ki Gede Pamanahan sekitar tahun 1577 atas piagam Raja Pajang. Diceritakan oleh de Graaf (1954/1987:52-54) bahwa hutan Mentaok mula-mula dibuka dan dibangunlah kuta atau tembok bata keliling. Di dalam wilayah bertembok keliling

Apa yang dikenal sebagai kitha banon petak ini dibangun setelah Senapati bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan yang berpengaruh besar ini menganjurkan Senapati untuk membangun dalem-nya, dengan itu ia bisa berkuasa sebagai Raja Mataram. Namun, tembok berbata putih masih belum sempurna bila tidak dilindungi oleh pagar keliling yang lebih luas. Senapati memerintahkan rakyatnya untuk membakar bata merah setiap musim kemarau dan mulai membangun kitha jaba. Dengan pembangunan ini maka terbinalah apa yang disebut kitha jaba dan kitha dalem. Dilaporkan oleh de Haan yang pemah mengunjungi Kota Gede tahun 1623 (de Graaf, 1987:116) bahwa jarak antara Jaba dan Dalem adalah sepenembakan peluru (tidak lebih dari 2000 meter).

Situs Kota Gede memberikan informasi bahwa kitha dalem atau beteng jera yang dibangun Senapati dengan banon putih masih nampak sisa- sisanya.Beteng Jero ini melingkari kompleks keraton-singosaren (sekarang namadesa) yang melingkupi kompleks makam-mesjid yang dibangun Ki Gede Pamanahan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sementara itu, sepanjang beteng atau kuta ini terdapat parit-parit. Dikabarkan bahwa Senapati biasa menggunakan perahu kecil atau kanu untuk menuju keratonnya dari bagian selatan. Beteng jaba kota Mataram Islam ini dibangun meliputi kawasan 5 km memanjang dari Grojogan ke Ngipik, serta lebih dari 5 km dari Ngipik ke Wioro dan dengan jarak yang hampir sama dari Wioro ke Warung Bokodan kembali ke Grojogan. Luas Situs Kota Gede memberikan informasi bahwa kitha dalem atau beteng jera yang dibangun Senapati dengan banon putih masih nampak sisa- sisanya.Beteng Jero ini melingkari kompleks keraton-singosaren (sekarang namadesa) yang melingkupi kompleks makam-mesjid yang dibangun Ki Gede Pamanahan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sementara itu, sepanjang beteng atau kuta ini terdapat parit-parit. Dikabarkan bahwa Senapati biasa menggunakan perahu kecil atau kanu untuk menuju keratonnya dari bagian selatan. Beteng jaba kota Mataram Islam ini dibangun meliputi kawasan 5 km memanjang dari Grojogan ke Ngipik, serta lebih dari 5 km dari Ngipik ke Wioro dan dengan jarak yang hampir sama dari Wioro ke Warung Bokodan kembali ke Grojogan. Luas

Gambar 2-7 Kompleks makam-masjid Kota Gede

Dari apa yang dapat dilihat di Kota Gede ini dapat dibicarakan beberapa aspek:

· Inti Kota Gede dimengerti sebagai tempat kompleks Sarean (kuburan) Panembahan Senapati itu berada, setelah Raja Mataram

Islam ini meninggal. Keraton Kota Gede sendiri tidak nampak seperti pemakaman keluarga raja-raja. Kawasan di mana kuta yang dibangun oleh Senapati masih dikenal sebagai permukiman dalem/keraton. Mungkin struktur fisik keraton secara perlahan- lahan hancur. Beberapa bagian pentingnya sejak 1618 dibawa pindah ke Pleret, Kartasura kemudian ke Surakarta danYogyakarta. Bisa diduga, bahwa di kompleks ini keraton Mataram Islam pertama itu berdiri. Mesjid, makam, dan keraton merupakan struktur-struktur utama dari apa yang disebut pusat Jagad-nya Mataram Islam.Struktur fisik ini dikelilingi oleh dinding keliling atau pager bhumi sehingga disebut kuta bukan pradesa.

· Pendirian benteng yang mengelilingi pusat kekuasaan· Mataram, yang disebut pager bhumi itu, mengingatkan orang pada tradisi