PENGARUH INDIKATOR MAKRO EKONOMI TERHADAP KINERJA PASAR MODAL INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS GLOBAL 2008

PENGARUH INDIKATOR MAKRO EKONOMI TERHADAP KINERJA PASAR MODAL INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS GLOBAL 2008

Skripsi

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh: DAVID F0108145

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

iv

commit to user

commit to user

vi

Karya ini penulis persembahkan untuk:

爸爸, 媽媽, 弟弟, 妹妹 和 羅西

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan banyak rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH INDIKATOR MAKRO

EKONOMI TERHADAP KINERJA PASAR MODAL INDONESIA

SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS GLOBAL 2008” untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya dorongan, bimbingan, petunjuk serta bantuan dari berbagai pihak skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. Wisnu Untoro,MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. Supriyono, MSi selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. JJ. Sarungu, Dr.,MS selaku dosen pembimbing akademik.

4. Lukman Hakim, SE, Msi, Ph.D selaku dosen pembimbing dalam proses penyusunan skripsi sehingga dapat berjalan dengan baik.

5. Orang tua penulis yang senang tiasa memberikan yang terbaik kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.

8. Sahabat-sahabat penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan bagi kemajuan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak

commit to user

viii

penelitian selanjutnya.

Surakarta, 12 Juni 2012

Penulis

commit to user

xiii

Respon Sesudah krisis 2009-2011 .................................................................. 89

commit to user

xiv

DAFTAR Grafik

Grafik Halaman

2.1 IPLC ..................................................................................................................... 22

4.1 Pergerakan IHSG tahun 2005-2008.... ............................................................... 54

4.2 Pergerakan IHSG tahun 2009-2011. .................................................................. 56

4.3 Pergerakan Nilai Tukar tahun 2005-2008.... ..................................................... 59

4.4 Pergerakan Nilai Tukar tahun 2009-2011.......................................................... 63

4.5 Pergerakan IHK tahun 2005-2008.... ................................................................. 67

4.6 Pergerakan IHK tahun 2009-2011. .................................................................... 70

4.7 Pergerakan Perdagangan Internasional tahun 2005-2008.... ............................ 73

4.8 Pergerakan Perdagangan Internasional tahun 2009-20011. ............................. 75

4.9 Pergerakan BIRATE tahun 2005-2008.... .......................................................... 79

4.10 Pergerakan BIRATE tahun 2009-20011. ........................................................... 82

4.11 Hubungan Tingkat Impulse Response Sesudah krisis 2009-20011.... .............. 88

4.12 Hubungan Tingkat Impulse Response Sesudah krisis 2009-20011. ................ 90

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Pergerakan Indeks Skema M. Poter – Diamond ............................................ 23

2.2 Sustainable Profit ............................................................................................. 27

2.3 Kerangka Penelitian ......................................................................................... 36

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis Global pada tahun 2008 pasar modal mengalami pelemahan. Jatuhnya Lehman Brothers Inc pada tanggal 15 September 2008 menyebabkan sebagian besar pasar modal dunia menjadi rapuh termasuk Indonesia. Beberapa peneliti mengamati bahwa krisis global tersebut telah menyebabkan ketidak stabilan sektor keuangan. Beberapa peneliti seperti Karim Pakravan (2011), Majid dan Kassim (2009), Abdul, Jais dan Ariffin (2011), Al-Rjoub dan Azzam (2012) & Sakbani Michael (2010) membahas krisis memiliki dampak

ketidak seimbangan global bagi keadaan ekonomi. Mereka berpendapat krisis menyebabkan ketidak stabilan keuangan serta tersebar di pasar keuangan negara-negara lain di seluruh dunia. Berdasarkan hal itu bagaimana pengaruh krisis terhadap pasar modal Indonesia.

Pada saat krisis volatilitas saham meningkat tajam membawa dampak terhadap volatilitas pasar saham hal ini didukung oleh McKeon Ryan & Netter Jeffry (2009) dan Okan Berna, Olgun Onur, dan Takmaz Sefa (2009). Sehingga menyebabkan pelemahan pasar saham hampir seluruh dunia yang diikuti dengan volume penjualan yang sangat besar. Pada saat krisis volatilitas meningkat sehingga tidak meperdulikan lagi faktor ekonomi makro melainkan kekwatiran terhadap krisis yang berkelanjutan sehingga terjadi pelemahan di seluruh pasar saham termasuk di Indonesia.

commit to user

yang negatif dengan kurs. Nachowi dan Usman (2007) dan Aydemir dan Demirhan (2009) mengemukakan bahwa IHSG berhubungan negatif dengan kurs nilai tukar Rupiah terhadap USD dimana apabila terjadi penguatan nilai tukar Dollar dalam hal ini depresiasi Rupiah maka IHSG akan cenderung melemah tetapi Kettering (2009) menyatakan kurs nilai tukar bisa berhubungan negatif maupun positif tergantung periode waktu yang diteliti. Di sisi lain, Batori et al (2010) berpendapat bahwa depresiasi nilai mata uang justru akan meningkatkan ekspor sehingga saham-saham di negara yang berorientasi pada ekspor akan ikut meningkat.

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD akan mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan di dalam negeri yang berorientasi impor. Hal tersebut dikarenakan harga input produksi akan meningkat sehingga menurunkan daya saing perusahaan. Ini sesuai dengan pendapat Novita dan Nachrowi (2006) bahwa perubahan nilai tukar akan mempengaruhi daya saing internasional suatu perusahaan. Akibat dari depresiai nilai tukar adalah menurunnya proyeksi keuntungan perusahaan yang bergantung pada produk impor, sehingga apabila perusahaan ini terdaftar di bursa efek maka sahamnya akan cenderung melemah (Liu dan Shrestha, 2008). Profit yang berkurang ini dikarenakan harga input yang diimpor akan lebih mahal akibat dari depresiasi (Aydemir dan Demirhan, 2009). Namun, dalam kasus negara yang emitennya berorientasi ekspor, depresiasi cenderung akan memperkuat indeks harga saham (Batori e tal, 2010). Pertumbuhan ekspor akan meningkatkan pertumbuhan produktifitas ekonomi disektor industri manufaktur (Thangavelu dan David, 2003).

commit to user

meningkatnya permintaan produksi barang dalam negeri yang dieskpor. Peningkatan permintaan ini disebabkan oleh harga barang yang cenderung murah akibat dari depresiasi. Pendapatan akan meningkat dari sisi valuta asing sehingga investor akan cenderung menginvestasikan dananya ke saham perusahaan-perusahaan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan nilai tukar sebagai salah satu variabel independen berpengaruh negatif terhadap IHSG seperti yang ditunjukkan oleh Nachrowi dan Usman (2007). Hubungan pasar modal antar negara juga telah dijelaskan oleh Nachrowi dan Usman (2007) bahwa pasar modal yang lemah dipegaruhi oleh pasar modal yang kuat. Sedangkan untuk variabel tingkat suku bunga, Ologunde, Elumilade, dan Asaolu (2006) dan Mohammad dan Orouba (2006) menemukan bahwa suku bunga berpengaruh negatif terhadap pergerakan Indek Harga Saham Gabungan hal ini juga dikuatkan oleh Olugunde et al (2006) mendapatkan pengaruh negatif suku bunga terhadap indeks harga saham dimana apabila suku bunga dinaikkan maka investor akan cenderung beralih dari investasinya di pasar modal. Ini sejalan dengan pendapat (Sunariyah 2006:110) yang menyatakan bahwa apabila tingkat bunga naik maka harga sekuritas (saham) akan cenderung turun. Mohammad dan Orouba 2006 Inflasi memiliki hubungan yang negatif terhadap Indek Harga Saham Gabungan .

Peneliti yang telah dilakukan mengfokuskan pada nilai tukar, laju inflasi dan tingkat suku bunga SBI. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti

commit to user

Vector Error Corection Model (VECM). Berdasarkan uraian di atas dan penelitian sebelumnya maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan cakupan masalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai variabel dependen sedangkan nilai tukar Rupiah terhadap USD, inflasi, perdagangan internasional dan BI Rate sebagai variabel independen. Adapun judul penelitian ini adalah “PENGARUH INDIKATOR MAKRO EKONOMI TERHADAP KINERJA PASAR MODAL INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS GLOBAL 2008”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, untuk memberikan batasan permasalahan dan pedoman arah penelitian, maka rmusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat pengaruh antara Nilai Tukar Rupiah terhadap IHSG?

2. Apakah terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap IHSG?

3. Apakah terdapat pengaruh antara Perdagangan Internasional terhadap IHSG?

4. Apakah terdapat pengaruh antara BI Rate terhadap IHSG?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

commit to user

2. Menganalisis pengaruh antara Inflasi terhadap IHSG.

3. Menganalisis pengaruh antara Perdagangan Internasional terhadap IHSG.

4. Menganalisis pengaruh antara BI Rate terhadap IHSG.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek akademis.

1. Bagi investor akan memberikan informasi mengenai pengaruh suatu pengumuman ekonomi sehingga akan dapat menentukan strategi investasi yang tepat.

2. Bagi akademisi, sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam serta dapat memacu motivasi kepada peneliti lainnya untuk melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan metode yang lain.

commit to user

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pasar Modal

a. Pengertian Pasar Modal

Secara umum definisi pasar modal adalah pasar abstrak sekaligus pasar konkrit dengan barang yang diperjual-belikan adalah dana yang bersifat abstrak (jangka panjang) dan bentuk konkritnya adalah lembar surat berharga di bursa efek. Sedangkan pengertian bursa efek adalah suatu sistem yang terorganisir dengan mekanisme resmi untuk mempertemukan penjual dan pembeli efek secara langsung atau melalui wakil-wakilnya (Tandelilin, 2001:8). Menurut (Bambang Tri Cahyono 1999:248), pasar modal adalah tempat pertemuan antara mereka (perorangan atau badan usaha) yang memiliki dana menganggur (idle fund) dengan badan usaha yang butuh modal tambahan untuk beroperasi.

Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta (Suad Husnan, 1996:3). Sedangkan menurut UU RI. No. 8 tahun 1995, Bab 1, Pasal 1, Ayat (13), Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek,

commit to user

lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal dirancang untuk investasi jangka panjang. Pengguna pasar modal adalah individu-individu, pemerintah, organisasi dan perusahaan. Pasar ini adalah tempat transkasi instrumen finansial seperti sekuritas, saham dan obligasi dimana individu, pemerintah dan institusi yang memiliki kelebihan dana berinvestasi di dalamnya (Olugunde et al, 2006) . Perbedaan mendasar antara pasar uang dan pasar modal adalah jangka waktunya, dimana pasar uang biasanya mempertemukan permintaan dan penawaran jangka pendek, biasanya kurang dari 1 tahun (Sunariyah 2006:11) (Olugunde et al, 2006).

Definisi Bursa Efek menurut UU RI. No. 8 Tahun 1995, Bab I, Pasal1, Ayat (4) adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperbandingkan efek di antara mereka.

b. Jenis Pasar Modal

Aktivitas pasar modal secara umum dapat dibagi menjadi 2 yaitu pasar perdana (primary market) dan pasar sekunder (secondary market) (Olugunde et al, 2006). Penjualan saham termasuk sekuritas lainnya kepada masyarakat umumnya dilakukan melalui 2 mekanisme pasar yaitu pasar perdana dan pasar sekunder (Sunariyah 2006:12).

commit to user

1). Pasar Primer

(Andy 2010:92-93) Pasar primer atau pasar perdana adalah pasar penjualan efek (saham atau obligasi) yang baru ditawarkan pada publik. Pasar ini biasanya juga disebut Initial Public Offering (IPO, penawaran umum perdana) dan umumnya dibantu oleh underwriter (penjamin emisi efek) serta profesi penunjang pasar modal lainnya. Calon investor wajib mengisi formulir permohonan pemesanan saham terlebih dahulu.

2). Pasar Sekunder

(Andy 2010:93-94) Pasar sekunder atau pasar perdagangan efek setelah selesainya masa penawaran umum perdana. Pasar sekunder menawarkan likuiditas yang tinggi serta informasi memadai dan kontinu mengenai harga pasar, jumlah volume dan harga transaksi yang sudah terlaksana, jumlah volume serta harga penawaran dan permintaan yang belum terlaksana, serta informasi-informasi terbaru mengenai semua efek yang diperdagangkan.

Ada dua metologi perdagangan yang biasa digunakan pada pasar sekunder yaitu:

a). Call market

Efek hanya diperdagangkan pada waktu yang sangat terbatas. Semua penawaran dan permintaan di-pool (dikumpulkan menjadi satu) dan kemudian hanya satu transaksi yang dideklarasikan. Biasanya, cara seperti ini diterapkan pada pasar yang relatif kecil.

commit to user

b). Continuous market

Efek diperdagangkan secara terus-menerus selama jam perdagangan. Harga pasar ditentukan oleh mekanisme lelang melalui dealer sebagai pelaksana perdagangan. Cara seperti ini dilaksanakan di Bursa Efek Jakarta, New York Stock Exchange, dan Hong Kong Stock Exchange.

c. Metode Perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan

Indeks Harga Saham Gabungan atau Composite Stock Price Index (IHSG) merupakan suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja kerja saham yang tercatat di suatu bursa efek.

Secara sederhana yang disebut dengan indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk membandingkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Demikian juga dengan indeks harga saham, indeks harga saham membandingkan perubahan harga saham dari waktu ke waktu, sehingga akan terlihat apakah suatu harga saham mengalami penurunan atau kenaikan dibandingkan dengan suatu waktu tertentu.

Ada tiga metode dalam penghitungan indeks harga saham gabungan yaitu metode rata-rata (Average Method) dan metode rata-rata tertimbang (Weighted Average Method) (Sunariyah, 2006:144) dan indeks tak tertimbang (unweighted) (Budi, 2005). Pada metode average method, harga pasar saham-saham yang dimasukan dalam perhitungan indeks tersebut dijumlah kemudian dibagi dengan suatu faktor pembagi tertentu. Rumus indeks harga saham gabungan dengan metode rata-rata (average method) adalah :

commit to user

Dimana, IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan

P s = Harga pasar saham P base = Suatu nilai pembagi P å P merupakan suatu faktor nilai pembagi dimana faktor pembagi ini harus dapat beradaptasi terhadap perubahan harga saham

teoritis, karena ada aksi emiten seperti right issue, dividen saham, saham bonus dan sebagainya. Seperti pada perhitungan indeks yang lain, IHSG ditentukan hari dasar perhitungan indeks. Pada hari dasar, harga dasar sama dengan harga pasar sehingga indeksnya adalah 100%.

Pada metode rata-rata tertimbang (Weighted Average Method) dalam perhitungan indeks menambahkan pembobotan di samping harga pasar saham dan harga dasar saham. Ada dua ahli yang mengemukakan metode ini yaitu metode Paasche dan metode Laspayres.

Rumus Paasche :

base s

Dimana : IHSG = Indeks harga saham gabungan

S s = Jumlah saham yang dikeluarkan (outstanding shares) P s = Harga pasar saham

commit to user

P base = Harga dasar saham

Dalam rumus diatas,

( ) s s xS P adalah jumlah nilai kapitalisasi pasar (market capitalization) seluruh saham yang tergabung dalam indeks yang

bersangkutan. Sedangkan ( ) s base xS P merupakan jumlah seluruh nilai dasar dari saham-saham yang bergabung dalam indeks yang bersangkutan. Jadi,

rumus Paasche ini membandingkan kapitalisasi pasar seluruh saham dengan nilai dasar suatu saham yang bergantung dalam suatu indeks. Jadi makin besar kapitalisasi suatu saham, maka akan memberikan pengaruh yang sangat kuat jika terjadi perubahan pada harga saham yang bersangkutan. Rumus Laspeyres

base o

Dimana : IHSG = Indeks harga saham gabungan

S o = Jumlah saham yang dikeluarkan pada hari dasar P s = Harga pasar saham

P base = Harga dasar saham Pada metode Laspeyres diatas jumlah saham yang dikeluarkan pada

hari dasar dan tidak bisa berubah selamanya walaupun ada pengeluaran saham baru. Sedangkan Paasche menggunakan jumlah saham yang berubah jika ada pengeluaran saham baru.

commit to user

memberikan bobot sama (equalweight) kepada semua saham dalam sampelnya tanpa melihat harga atau kapitalisasi pasar saham itu. Indeks ini mengukur perubahan rata-rata (biasanya aritmetik) harga saham dalam sampel. Contoh penggunaan indeks tak tertimbang adalah Singapore Straits Times Industrial Index, Milan Stock Exchange Index, dan Value Line Average. Rumus indeks harga saham gabungan dengan metode indeks tak tertimbang (unweighted) adalah :

Dimana : IHSG = Indeks harga saham gabungan

= Harga pasar saham periode tertentu = Harga pasar saham awal S s = Jumlah saham yang dikeluarkan (outstanding shares)

d. Faktor yang Mempengaruhi IHSG

Harga bereaksi secar cepat terhadap informasi dan bergera secara random (Sunariyah, 2009). Maka informasi yang dimiliki investor atau para pelaku pasar akan digunakan seketika dan harga akan berubah dengan seketika itu juga, sehingga informasi yang akan mempengaruhi harga, baik maupun buruk, juga tidak dpaat diprediksi. Faktor-faktor pengaruh pergerakan harga saham dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar:

commit to user

a. Tingkat inflasi dan suku bunga. Ini akan mempengaruhi pemilihan antara aset riil dan finansial serta antara saham dengan sekuritas dengan pendapatan tetap.

b. Kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini mendeterminasikan penampilan dari pasar modal.

c. Tingkat dan trend dari aktifitas ekonomi. Hal ini mempengaruhi aktifitas saham untuk meningkatkan devidennya.

d. Ekonomi internasional. Hal ini diwakili oleh kompetisi tinggi dari perusahaan asing dan dampak dari perubahan nilai tukar mata uang asing.

2) Faktor mikro

a. Profit. Harga saham suatu perusahaan yang secara konsisten meningkat seiring dengan pertumbuhan keuntungan perusahaan.

b. Deviden. Profit dari perusahaaan akan dialirkan pada peningkatan deviden dari waktu ke waktu

c. Kelebihan aliran dana. Perusahaan dengan pertumbuhan pemasukan yang tinggi dan beban hutang yang rendah bisanya memiliki nilai saham yang tinggi.

d. Perubahan fundamental pada perusahan / industry. Perubahan prilaku investasi. Hal ini menggambarkan realita bahwa investor sering berganti pilihan aset dari waktu ke waktu.

commit to user

2. Nilai Tukar Mata Uang

a. Pengertian Nilai Tukar Mata Uang

Nilai tukar mata uang atau yang sering disebut kurs adalah harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing ( Rahardjo, 2009 ) . Apabila nilai tukar meningkat maka berarti rupiah mengalami depresiasi, sedangkan apabila nilai tukar menurun maka rupiah mengalami apresiasi. Sementara untuk suatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap, perubahan nilai tukar dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Kebijakan suatu negara secara resmi menaikkan nilai mata uangnya terhadap mata uang asing disebut dengan revaluasi, sementara kebijakan menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang asing tersebut devaluasi.

b. Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Mata Uang

Perubahan nilai tukar mata uang terutama diakibatkan karena adanya mekanisme pasar, yaitu mengikuti permintaan dan penawaran. Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terdapat tigak faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Sebaliknya, jika impor menurun, maka permintaan valuta asing menurun sehingga mendorong penguatnya nilai tukar. Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada

commit to user

pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta maupun pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga, kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing.

c. Sistem Nilai Tukar Mata Uang

Sebuah negara dalam menerapkan sebuah sistem kurs akan mempunyai 3 macam jenis sistem nilai tukar mata uang, yaitu sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang terkendali dan sistem nilai tukar mengambang bebas (Warjiyo, 2004:110). Sistem nilai tukar tetap yaitu nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah akan mengintervensi pasar terbuka sebagai upaya untuk terus mempertahankan nilai tukar mata uang yang telah ditetapkan. Sistem ini jarang sekali dipakai dibandingkan dengan kedua sistem lainnya. Sistem nilai tukar mengambang yaitu penentuan kurs dipengaruhi juga oleh pemerintah, dengan membeli dan menjual mata uang dalam pasar terbuka sehingga stabil. Sedangkan sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu kurs yang berlak bebas mengikuti mekanisme pasar. Indonesia selama ini menerapkan sistem nilai tukar tetap, tetapi sejak Agustus l997, Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas dengan melepas nilai tukar terhadap mekanisme pasar (Warjiyo, 2004:111).

commit to user

3. Inflasi

a. Pengertian Inflasi

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga- harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice menurut Badan Pusat Statistika antara lain:

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.

commit to user

level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

1). Pengelompokan Inflasi Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke

dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :

1. Kelompok Bahan Makanan

2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau

3. Kelompok Perumahan

4. Kelompok Sandang

5. Kelompok Kesehatan

6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga

7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

b. Disagregasi Inflasi

Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

commit to user

menjadi:

1) Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:

a) Interaksi permintaan-penawaran

b) Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional,

inflasi mitra dagang

c) Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2) Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :

a) Inflasi

Komponen

Bergejolak

(Volatile Food ) : Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

b) Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered

Prices )

: Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

commit to user

c. Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation ), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut

commit to user

terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

d. Pentingnya Kestabilan Harga

Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

commit to user

4. Perdagangan Internasional

a. Internasional Product Life Cycle (IPLC) Theory

Salah satu pendekatan untuk menjelaskan terjadinya perdagangan internasional (ekspor dan impor) antara negara industri maju dengan negara yang sedang berkembang adalah mengunakan teori marketing dari R. Vernon. Teori ini membicarakan siklus kehidupan produk/PLC. Menurut Sak Onkvisit & Jhon J Shaw (1990:424), berdasarkan teori IPLC terdapat lima tahapan, yaitu tahapan I sampai V yang memberikan gambaran tentang terjadinya perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari suatu negara, seperti tercantum pada tabel dan grafik IPLC dibawah ini.

commit to user

Tabel 2.1 Tahapan IPLC dan ciri-cirinya (untuk AS sebagai Negara Inovator)

Biaya Produksi

(I) Inovasi local

Tidak ada

(II) Inovasi di

luar negeri

Mulai ekspor

AS dan

NIMs lainnya

Sedikit

(lokal)

Mulai menurun karena skala ekonomi

(III) Maturity

Ekspor

stabil

NIMs dan

(IV) Imitasi di

Menaik karena skala ekonomi

menurun

(V) Pembalikan

Impor naik

AS

NIMs

dan NSBs

Menaik karena competitive advantage Sumber: Hady. 2001. Ekonomi Internasional. Jakarta: Ghlia Indonesia

Grafik 2.1 IPLC

Ekspor (+) NIMs lainnya (Eropa, Kanada, Jepang)

Tahap I (0)

II III IV V

NSBs

AS (negara inovator)

Impor (-)

Sumber: Hady. 2001. Ekonomi Internasional. Jakarta: Ghlia Indonesia

Catatan :

NIMs = Negara-negara Industri Maju NSBs = Negara-negara yang Sedang Berkembang

Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Kurva yang berada diatas atau > 0 menunjukkan posisi suatu negara sebagai net eksportir

commit to user

sebagai net importir Agar trade balance AS sebagai negara inovator menjasi positif maka AS akan mengekspor new product yang akan menggunakan emerging technology

b. Competitive advantage of nation dari M. Porter

Menurut M. Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu (W. J. Keegan & M. C. Green, 1997;268) yang digambarkan sebagai suatu diamod berikut.

Gambar 2.1 Skema M. Poter – Diamond FIRM STRATEGY, STRUCTURE AND RIVALRY

FACTOR CONDITIOM

DEMAND CONDITION

RELATED AND SUPPORTING INDUSTRIES

Sumber: Hady. 2001. Ekonomi Internasional. Jakarta: Ghlia Indonesia

1. Factor condition Factor condition adalah sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini.

1. Human resources / Sumber daya manusia (SDM)

commit to user

3. Knowledge resources / Sumber daya teknologi (SDT)

4. Capital resources / Sumber daya capital (SDC)

5. Infastructure resources / Sumber daya infrastruktur (SDI)

2. Demand conditions Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/ perusahaan produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan “demand conditins” tersebut terdiri atas:

1. Composition of home demand

2. Size and pattern of growth of home demand

3. Rapid home market growth

4. Trend of internasional demand

3. Related & supporting undustry Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing, maka perlu dijaga kontak dan koordinasi dengan pemasok (supplier) , terutama dalam menjaga dan memelihara value chain.

4. Firm strategy structure & rivalry Strategi perusahaan, struktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan/rivalry di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi competitive advantage perusahaan, Rivaly yang berat didalam negeri biasanya justru akan mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan

commit to user

peningkatan kualitas produk dan pelayanan.

c. Hyper competitive dari Richard D’Aveni

Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun secara internasional yang berlangsung hingga saat ini, telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju kepada “hyper competitive”. Hal ini dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari Korea, Taiwan, Singapura, dan lain-lain. Persaingan dan ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS, dan Eropa yang selama ini menguasai dunia pasar.

Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi diantara sesama negara yang sedang berkembang (NSB), khususnya untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, argo industri, dan lain-lain.

Kondisi persaingan global yang “hyper competitive” tersebut memaksa setiap negara/perusahaan untuk memikirkan/menentukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan “sustainable” real income secara efektif dan efisien. Strategi ini dikenal sebagai “Sustainable Competitive Advantage” atau SCA yaitu “keungulan daya saing berkelanjutan” (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi “hyper

commit to user

“keunggulan daya saing berkelanjutan” SCA. Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini, perlu dikemukakan beberapa catatan (Hady, 1996) sebagai berikut.

1) Pada situasi “hyper competitive”, keunggulan daya saing suatu perusahaan/negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek.

2) Pengertian SCA atau keungulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus-menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing.

3) Invention dan innovation diperoleh dari hasil research & development, baik yang bersifat scientific maupun applied.

4) “Sustainable competitive advantage” ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor argo industri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbarui atau renewable.

Sustainable competitive advantage yang diperoleh melalui invention dan innovation.

commit to user

Gambar 2.2

Sustainable Profit

Sumber: Hady. 2001. Ekonomi Internasional. Jakarta: Ghlia Indonesia

Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable competitive advantage , maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor produknya, dan tentunya akan lebih baik untuk mengimpor produk lainnya.

d. Competitive Lieralization (Persaingan Liberalisasi)

Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja seara produktif, efisien, dan efektif agar dapat bersaing dipasar global pada dekade terakhir ini, telah mendorong terjadinya “competitive liberalization ” terutama dikawasan Asia Pasifik, khususnya dibidang perdagangan dan investasi.

HYPERCOMPETITIVE dari Richard D’Aveni

Ancaman dari : Korea, Taiwan, Singapore, mengancam elektronik Jepang, AS dan Eropa

Persaingan yang ketat sesama negara yang sedang berkembang ( NSBs) untuk produk-

produk industri ringan (tekstil, sepatu, agro industri, dll)

Perencanaan dan operasi

Strategi berdasarkan

faktor eksternal & internal

Research & Development

Sustainable Competitive

Advantage

SUSTAINABLE PROFIT

commit to user

dilakukan karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi ekonominya menjadi menarik/favorable bagi investor/ penanam modal asing (Hady, 2001).

Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan kepada comparative advantage dinamis dan atau competitive advantage menurut diagram “diamod” Porter’s akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor aau lebih baik mengimpor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi masing-masing negara.

5. BI Rate

a. Pengertian BI Rate

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.

BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh

commit to user

kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan

b. Jadwal Penetapan dan Penentuan

1) Penetapan respons (stance) kebijakan moneter dilakukan setiap bulan melalui mekanisme RDG Bulanan dengan cakupan materi bulanan.

2) Respon kebijakan moneter (BI Rate) ditetapkan berlaku sampai dengan RDG berikutnya

3) Penetapan respon kebijakan moneter (BI Rate) dilakukan dengan memperhatikan efek tunda kebijakan moneter (lag of monetary policy ) dalam memengaruhi inflasi.

4) Dalam hal terjadi perkembangan di luar prakiraan semula, penetapan stance Kebijakan Moneter dapat dilakukan sebelum RDG Bulanan melalui RDG Mingguan.

c. Besar Perubahan BI Rate

Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih

commit to user

dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

B. Penelitian Terdahulu

Aydemir dan Dermirhan (2009) menekankan pada pola hubungan antara nilai tukar dan harga saham. Dalam penelitian ini, keduanya mengemukakan bahwa penguatan harga saham dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain performa perusahaan atau emiten, nilai tukar, suku bunga, indeks harga sama negara lain dan sebagainya. Nilai tukar mempengaruhi performa perusahaan melalui arus kas, investasi dan jumlah keuntungan. Aydemir dan Demirhan mengatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara nilai tukar dan harga saham. Ketika nilai tukar melemah maka akan menurunkan kekayaan domestik yang kemudian akan memicu pelemahan nilai tukar dan menurunkan tingkat suku bunga. Pelemagan indeks harga saham yang dicerminkan melalui pelemahan harga saham akan memicu investor untuk melepas aset dan mata uang domestik.. Pergeseran permintaan dan penawaran valuta asing menyebabkan pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) serta depresiasi nilai tukar. Kesimpulan yang dikemukakan oleh Aydemir dan Demirhan (2009) bahwa hubungan antara nilai tukar dan harga saham adalah negatif.

Ologunde, Elumilade, Asaolu (2006) menekankan pada pola hubungan antara hubungan antara tingkat kapitalisasi pasar saham dan tingkat bunga. ketiganya mengemukakan bahwa ada hubungan negatif antara tingkat kapitalisasi pasar saham dan tingkat bunga yang berlaku.

commit to user

pemerintah, tingkat kapitalisasi pasar saham menurun dan kenaikan Net Present Value dari bursa efek sehingga meningkatkan ukuran bursa. Ini berarti bahwa akan ada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Alasan hubungan ini adalah bahwa saham pemerintah diterbitkan di bursa efek dan jika angka ini meningkat, investor akan berinvestasi di saham pemerintah sehingga meningkatkan dan karenanya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Mohammad dan Orouba 2006 menunjukkan bahwa faktor tingkat suku bunga memiliki dampak yang signifikan dan negatif terhadap return saham, sedangkan risiko pasar masih memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Hasilnya menunjukkan bahwa T-Bill dapat dibeli dan dipegang oleh investor yang memutuskan untuk mengunci diri dalam investasi jangka pendek untuk melindungi investasi mereka dari perubahan tak terduga suku bunga, dan mencapai tingkat yang dapat diterima kembali.

Dengan mengacu pada faktor risiko inflasi, sebagai variabel makroekonomi, tampaknya bahwa variabilitas dalam variabel ini memiliki efek negatif pada kegiatan ekonomi secara keseluruhan tidak hanya pada return saham. Alasannya adalah disebabkan dampaknya terhadap perencanaan keuangan dan perekonomian secara keseluruhan. Hasil empiris untuk memperkirakan efek dari inflasi (indeks harga konsumen diharapkan diwakili oleh atau tidak diharapkan sebagai fungsi dari kebijakan moneter) mengungkapkan dampak negatif terhadap return saham. Berdasarkan hasil

commit to user

inflasi mempengaruhi harga, harga saham akan meningkat, menyebabkan peningkatan jumlah dividen yang diharapkan oleh pemegang saham. Bagi para pembuat kebijakan, efek potensi peningkatan harga akan menciptakan kebutuhan untuk mengakomodasi keputusan moneter untuk membatasi dampak kebalikan dari inflasi terhadap perekonomian, dan melakukan penyesuaian substansial dalam tingkat harga.

Untuk efek indeks harga konsumen, hasilnya menunjukkan dampak negatif dan signifikan, sedangkan inflasi yang tidak diharapkan memiliki dampak negatif tetapi tidak signifikan dalam hubungan mereka dengan return saham. Dampak signifikan dari inflasi yang tidak diharapkan adalah disebabkan fakta bahwa dampak tersebut dapat dihilangkan oleh pemegang saham sebagai lawan pemegang utang. Di mana mereka menyimpulkan bahwa inflasi yang tidak diharapkan bukan merupakan faktor penting dalam menjelaskan perilaku return saham. Hasil ini dihubungkan dengan situasi yang benar dari kebijakan manajemen permintaan diadopsi oleh otoritas pemerintah untuk mencapai batas yang dapat diterima untuk efek negatif dari inflasi.

Mohammad dan Orouba menyimpulkan hubungan positif dan signifikan antara risiko pasar dan bank return saham. Sebuah proporsi yang relatif rendah variasi dalam return saham bank yang disebabkan oleh risiko pasar dilaporkan, menyiratkan kebutuhan untuk memperluas model indeks tunggal untuk menggabungkan faktor berpengaruh lainnya. Sebuah hubungan negatif dan signifikan antara risiko suku bunga dan bank return

commit to user

bunga dengan model estimasi membenarkan ekspansi model indeks tunggal dengan model dua faktor, dan memberikan kontribusi untuk penjelasan dari perilaku variabilitas return saham bank. Seperti utama makro-ekonomi faktor, inflasi memiliki dampak negatif terhadap return saham perbankan. Hasilnya menunjukkan bahwa ninflasi diharapkan memiliki dampak negatif dan signifikan, sedangkan inflasi tak terduga memiliki dampak negatif tetapi tidak signifikan dalam hubungan mereka dengan return saham bank. Hubungan negatif tetapi tidak signifikan yang telah terungkap dengan tak terduga inflasi dan return saham menyiratkan dampak penting rendah dari faktor ini dalam menjelaskan perilaku return saham bank.

Kettering (2009) menekankan pada pola hubungan pengaruh mata uang internasional pada harga saham AS berubah sebagai periode waktu yang berbeda diamati. Dalam penelitian ini, Kettering R.C. mengemukakan bahwa Sangat sedikit hubungan tetap kuat selama seluruh periode waktu dan beberapa tanda koefisien berubah di setiap periode waktu. Kettering R.C. mengatakan bahwa Hanya dollar Singgapore dipamerkan koefisien korelasi negatif yang kuat terhadap kedua indeks di setiap tabel. Pound menunjukkan koefisien positif terhadap kedua indeks pada seluruh tabel, semua signifikan, kecuali hanya dalam satu kasus. Hasil penelitian juga menunjukkan hubungan perubahan mata uang pasangan bila berkorelasi antara yang digunakan dalam penelitian ini. Hubungan positif yang diharapkan ketika pengupas mata uang oleh wilayah. Sebagai contoh, orang akan mengharapkan mata uang Eropa (Euro, Pound, dan SSFranc) atau

commit to user

dengan satu sama lain dalam sama daerah selama periode waktu yang digunakan. Kesimpulan yang dikemukakan oleh Kettering R.C. Ini memiliki implikasi praktis bagi investor juga. Rupanya, perusahaan menggunakan strategi lindung nilai untuk menghilangkan risiko mata uang. Diversifikasi manfaat yang dihasilkan dari aktivitas investasi internasional historis diperoleh karena ekonomi asing di berbagai tahap pertumbuhan atau resesi. Investor harus mempertimbangkan mata uang terkait yang menyertainya berdampak pada pengembalian yang diharapkan. Selama dekade terakhir sebagai ekonomi telah menjadi lebih saling berhubungan, manfaat yang diperoleh dari investasi di negara yang berbeda menurun sebagai ditunjukkan oleh sensitivitas mata uang lemah dari dua indeks AS yang digunakan dalam penelitian ini.

Adjasi, Biekpe dan Osei (2011) Perkembangan pengaturan devisa dan pergerakan neraca modal menunjukkan rezim nilai tukar yang cukup liberal di tujuh negara yang diteliti oleh Adjasi, Biekpe dan Osei. Keterbatasan partisipasi asing dalam investasi domestik telah sangat berkurang namun pemerintah telah mempertahankan kontrol di sektor-sektor strategis seperti minyak mentah dan gas di Negeria dan perusahaan investasi topi untuk Afrika Selatan berinvestasi di luar negeri. ketebukaan posisi transaksi valuta asing juga menunjukkan bahwa ada tingkat yang diijinkan cukup besar konvertibilitas modal neraca dengan beberapa jumlah langit-langit. Ada juga ruang besar bagi warga untuk mengoperasikan dan bertransaksi di rekening dimiliki negeri atau asing. Posisi neraca modal dan rezim devisa ekonomi

commit to user