Spirit Konsili Vatikan II

1. Spirit Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II dibuka tanggal 11 Oktober 1962, dan diakhiri awal Desember 1965. Konsili Vatikan II memiliki agenda yang benar-benar beda dari agenda konsili-konsili sebelumnya. Keunikan Vatikan II dilukiskan oleh

John W. O‟Malley, S.J. dengan beberapa ciri khas. 60 Di antara keunikan- keunikan Vatikan II, unsur yang paling mencolok dari dokumen-dokumen

yang dihasilkan Vatikan II adalah luasnya lingkup perhatian konsili. Konsili berharap untuk menyapa semua bangsa. Dibandingkan dengan konsili- konsili sebelumnya, Vatikan II lebih memberi perhatian kepada dunia, dan menjadikannya sebagai salah satu tugas pokok untuk berdialog dengan dunia.

60 Lih. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. Historical Perspectives on Vatican II”. Theology and Life Series, vol. 26. Wilmington Delaware

1989, 12-14.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 28 |

Umumnya, konsili-konsili menegaskan mengenai kemantapan praksis beriman dan rumusan-rumusan ajaran Gereja dan mengenai pentingnya mengikis segala sesuatu yang akan merintanginya. Konsili Vatikan II mengambil sikap sebaliknya. Karenanya, Konsili sepenuhnya menyadari bahwa Gereja berada di dalam dunia dan di dalam sejarah, dan ia menghendaki Gereja bertindak sesuai dengan kesadaran ini. Konsili mencatat kesadarannya mengenai dunia paling sedikit dalam empat hal, dan tak satupun yang dikembangkan oleh konsili-konsili sebelumnya. Dengan tepat hal itu diterangkan secara singkat oleh John W. O‟Malley, S.J sebagai berikut:

Pertama, Konsili menilai dunia secara positif dan dengan beberapa optimisme. Kedua, sikap positif terhadap dunia ini diterangkan melalui keinginan Konsili untuk melihat Gereja sebagai pelayan spiritual bagi dunia dan bahkan membantu terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan temporal; Gereja ingin membuat dirinya hadir secara efektif di dalam masyarakat sekular demi pembangunan baik masyarakat manusia maupun umat Allah. Ketiga, Konsili sadar bahwa Gereja sangat dipengaruhi oleh budaya tempat Gereja hidup. Keempat, Konsili mengakui penilaian Yohanes XXIII bahwa masyarakat manusia menyongsong era baru. Konsili menginginkan Gereja mempersiapkan diri untuk hadir dengan pengaruh yang formatif di dalam era baru itu. 61

Kesadaran akan dunia dan sejarah demikian merupakan suatu langkah mudah untuk sampai kepada keputusan membuat perubahan-perubahan di dalam Gereja demi menempatkan diri di dalam relasi yang lebih efektif dengan situasi jaman sekarang. Hal itu merupakan suatu perubahan

mentalitas sebagaimana telah dibicarakan oleh konsili-konsili sebelumnya. 62 Di dalam kenyataan, maksud Konsili harus berhadapan dengan

pertanyaan mengenai relasi antara masa lampau dan masa sekarang. Pertanyaan ini mengantar kita kepada inti masalah-masalah Vatikan II. Bagaimana kita tahu mengenai hal-hal masa lampau yang dapat diubah? Bagaimana waktu sekarang ini berhadapan dengan masa lampau, dan kuasa

61 J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 46-47. 62 Bdk. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 14-15.

29 | Petrus Suparyanto

manakah yang dimiliki masa lampau untuk hadir pada masa sekarang? Tetapi, hal yang ditegaskan oleh Konsili adalah bahwa adaptasi yang diinginkan Konsili tidak mengubah warisan mulia kristiani masa lalu, juga tidak memutus kontinyuitas arus iman beserta abad kerasulan. Hal yang oleh Konsili coba dilaksanakan adalah “kembali kepada sumber-sumber”

kehidupan kristiani. 63 Lebih dari itu, tujuan utama dari perubahan adalah menempatkan pelayanan Gereja kepada dunia menjadi lebih efektif.

Mungkin tepatlah mengutip pernyataan Kardinal Suenens berikut: Meskipun Gereja berakar pada masa lalu, ia juga bergerak menuju masa depan. Gereja adalah iman dan harapan. Baginya, pembaruan tidak berarti se-sederhana kembali pada masa lalu atau memperbaikinya, tetapi lebih dari itu, di dalam keberlangsungan dengan masa lalu bergerak lebih jauh untuk berjumpa dengan Tuhan

dan menjawab panggilan-Nya yang baru. Kristus hadir kemarin, hari ini dan akan hadir besok. Kristus sendiri adalah masa lalu, masa sekarang dan masa depan Gereja. Kita semestinya menghidupi pengalaman Vatikan II di dalam sudut pandang demikian, yang akan memimpin kita dari masa sekarang menuju masa berikutnya, dari yang

“telah” ke yang “belum”. 64

Berangkat dari kerangka kerja masa lampau dan sekarang inilah, bapa- bapa Konsili Vatikan II membangun model keuskupan, hidup para imam, dan hidup bakti. Model atau gambaran ideal itu mereka paparkan dengan cara yang jelas, meskipun umum. Masalahnya adalah bahwa Konsili gagal untuk memberikan suatu jawaban atas pertanyaan fundamental: hubungan antara masa lampau dan masa sekarang. Dalam konteks penelitian mengenai hidup bakti, tarekat religius berusaha untuk memenuhi arahan Konsili untuk mengadaptasi spirit asli pendiri mereka. Yang oleh Konsili tidak dijelaskan

63 Bdk. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 48.66. Istilah “berbalik kepada sumber-sumber” atau resourcement berasal dari frase yang digunakan

untuk menjelaskan karya teolog-teolog sejarah dalam beberapa dekade yang mengantar kepada Konsili. Frase tersebut aslinya digunakan oleh Reginald Garrigou-Lagrange dalam arti meremehkan teologinya Henri de Lubac dan teolog-teolog lain.

64 L.K. S HOOK , C.S.B., “Renewal of Religious Structures. Proceedings of the Congress on the Theology of the Renewal of the Church Centenary of Canada”, 1867-

1967. Theology of Renewal vol 2, New York 1968, 9.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 30 |

kepada para religius adalah bagaimana spirit asli itu ditemukan, diverifikasi, dan kemudian diadaptasikan atau diterapkan sesuai dengan jamannya. Konsili tidak memiliki agenda atau tidak mencoba untuk merumuskan sistem kategori yang adekuat untuk mengimplementasikannya. 65 Persoalan dasar ini akan dimengerti lebih baik kalau kita mencoba melihatnya sebagai bagian dari pemikiran bapa-bapa Konsili.

1.1. “Aggiornamento” sebagai Kata Kunci Potret unik lain dari Vatikan II adalah leitmotif tentang aggiornamento 66 yang

dipinjam dari Paus Yohanes XXIII. Maklumat Paus Yohanes XXIII pada tanggal 25 Januari 1959, tidak lebih dari tiga bulan setelah dia dipilih, bahwa beliau bermaksud untuk mengadakan konsili ekumenis. Alasan umum Paus Yohanes untuk mengadakan konsili memberikan cahaya terang pada apa yang beliau maksudkan dan jalannya Konsili yang akan diadakan. Tujuan

pastoral secara umum nampaknya merupakan hal yang prinsip bagi Paus. 67 Christopher Butler mengatakan bahwa persoalan Konsili tidak ada yang

khusus atau lebih tepat dikatakan: segalanya. Tujuan Paus jangka dekat adalah “membiarkan udara segar masuk ke dalam Gereja” dan mempromosikan di dalam Gereja aggiornamento. 68 Hal ini secara simbolis dilukiskan oleh Majalah Time 17 November 1958, untuk melukiskan gagasan umum Paus Yohanes XIII mengenai aggiornamento sebagai berikut:

Jika seseorang mengharapkan Roncalli hanya menjadi Paus sementara, mempersiapkan peralihan ke pemerintahan berikutnya, beliau merusak tujuan di dalam menit- menit pemilihannya …Beliau

65 Bdk. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 44-45. 66 Istilah aggiornamento tidak diciptakan oleh Paus Yohanes XXIII,

meskipun beliau menjadikan istilah tersebut miliknya. Tahun 1950 untuk pertama kalinya Konggres Internasional Religius diadakan di Roma. Menurut Kardinal Piazza, tujuannya adalah aggiornamento bagi tarekat dan kongregasi religius. Penjelasan ini dicatat dalam Étienne Fouilloux, the Antepreparatory Phase: The Slow emergence from

Inertia (January 1958-October 1962), di dalam G IUSEPPE A LBERIGO – J OSEPH A K OMONCHAK , History of Vatican II, Vol. I: Announcing and Preparing Vatican Council II , Maryknoll, NY 1996, 55-166.

67 Bdk. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 11.

68 Bdk. C HRISTOPHER B UTLER , “The theology …”, 6.

31 | Petrus Suparyanto

menghentakkan kaki dengan keras seperti pemilik rumah, membuka jendela dan menyusun melingkar meja dan kursi. 69

Peter Hebblethwaite menjelaskan, “Gagasan untuk mengundangkan suatu konsili demikian didorong untuk kembali pada hari-hari pertama setelah pemilihan Paus Yohanes. Gagasan ini mengubah cara pandang kita baik

mengenai kepausan maupun konsili “. 70 Ia menambahkan, “Dalam sembilan hari pertaman ya beliau, di dalam ungkapan yang terkenal, „membuka

jendela- 71 jendela Vatikan‟”. Dengan kata lain, sebelum dan pada masa awal Konsili, aggiornamento berarti membuka pintu-pintu dan mempersiapkan

suatu perziarahan untuk menemukan 72 Istilah aggiornamento ber arti “mengusahakan agar tetap up to date (cocok

dengan jamannya)”, sesuatu yang oleh setiap institusi manusiawi diperlukan dari waktu ke waktu. 73 Gagasan dasarnya menurut Paus adalah membuat

penilaian atau pembaruan tertentu yang tepat di dalam Gereja sehingga Gereja lebih efektif menyentuh dunia tempat kita hidup. Pada tingkat permukaan, hal ini nampak menjadi usulan yang benar-benar sederhana, dan orang-orang yang suka akan suatu tafsiran ketat mengenai Konsili dapat selalu menunjuk pada kata-kata itu. Tetapi, hasil penyelidikan yang baru menegaskan bahwa paling sedikit ketika Konsili dibuka, Paus Yohanes

sendiri berharap lebih dari itu. 74 Bapa-bapa konsili menghendaki suatu aggiornamento tidak hanya pada tingkat permukaan, tetapi di kedalaman, dan

bahkan pada wilayah ilmu pengetahuan alkitabiah dan teologi dogmatis. 75

69 P ETER H EBBLETHWAITE , “John XXIII Pope of the Council”, London 1984, 285. 70 P ETER H EBBLETHWAITE , “John XXIII …”, 307.

71 P ETER H EBBLETHWAITE , “John XXIII …”, 305. 72 Bdk. E. S CHILLEBEECKX , OP, “Vatican II: the real echievement”, London and Melbourne 1967, 83. 73 Bdk. C HRISTOPHER B UTLER , “The theology …”, 6-8. Lihat juga Centro Studi U.S.M.I, “L‟Aggiornamento nel Pensiero di Paolo VI”, Roma 1968, 5-8. 17-20; P ETER

H EBBLETHWAITE , “John XXIII …”, 460-461; J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 28-29; E UGENE A. L AVERDIERE , S.S.S., “The Renewal of Religious Life in Historical Perspective”, RR

26 (1967) 1056-1057. 74 Bdk. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 29.

75 Bdk. C HRISTOPHER B UTLER , “The theology …”, 17.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 32 |

Emile Guerry, Uskup Agung Camrai, sahabat Paus Yohanes memberikan penjelasan sebagai berikut:

Akan menjadi hal yang mematikanlah mempertentangkan teologi dogmatis dengan teologi pastoral. Tugas pertama dari karya pastoral kita adalah mengajar umat secara integral dan murni, tetapi dengan cara sedemikian sehingga mereka dapat mendengarkan Sabda Allah, menerimanya di dalam iman, dan membawanya ke dalam setiap

“sudut” kehidupan mereka. 76 Selanjutnya , ia memberikan penjelasan tentang istilah “adaptasi” atau

aggiornamento. Marilah kita mengutip lagi apa yang dikatakan Guerry. Jika itu berarti menyesuaikan dengan semangat jaman dan menutupi

apapun yang tidak disukai orang modern, maka hal itu merupakan suatu pengrusakan karya pastoral. Apa yang benar-benar diperlukan agar adaptasi berjalan, bukanlah suatu doktrin, tetapi suatu cara penyajian. Kita memerlukan suatu studi yang mendalam tentang masa lampau sehingga kebenaran-kebenaran yang telah dikenal bersinar dengan cemerlang dan begitu mencerahkan, kehidupan yang indah dan menarik, menyingkapkan cinta Allah yang tak

terukur. 77 Bagaimanapun juga, istilah aggiornamento menempatkan Vatikan II di dalam

tradisi konsili-konsili sebelumnya yang berhadapan secara luas dan dikenal secara umum dengan reformasi Gereja. Asal-usul istilah aggiornamento

digunakan oleh Pius XII. 78 Beliau memulai beberapa pembaruan yang sangat berhasil di dalam kehidupan Liturgi Gereja dan hal-hal lain yang

berhubungan dengannya. Ia merevisi liturgi Paskah dengan dipandu sebagian besar oleh penelitian ulang para ahli mengenai sejarah perayaan Paskah ini; demikian pula reformasinya tentang ritus atau liturgi untuk tahbisan imam; dan kelenturan hukum puasa ekaristis secara radikal ditekankan dan sangat berguna. 79 Vatikan II memutuskan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam Gereja agar bisa membawakan diri ke dalam relasi yang lebih efektif dengan jamannya. Hal itu berarti

76 P ETER H EBBLETHWAITE , “John XXIII …”, 460. 77 P ETER H EBBLETHWAITE , “John XXIII …”, 460.

78 Bdk. Centro Studi U.S.M.I, “L‟Aggiornamento ...”, 5. 79 Bdk. C HRISTOPHER B UTLER , “The theology …”, viii-ix.

33 | Petrus Suparyanto

mengarahkan kembali kepada prinsip lama ecclesia semper reformanda (Gereja secara terus-menerus membarui diri). 80 Konsekuensinya, adaptasi harus

selalu dijalankan di dalam Gereja.

“Aggiornamento” Vatikan II Tentang Hidup Bakti Gerakan pembaruan dan adaptasi terhadap jaman modern telah dimulai dan dikembangkan oleh Pius XII. Vatikan II memperkembangkannya lebih jauh gerakan itu. Konsili telah mendiskusikan dan menarik suatu program untuk membarui dan mengadaptasi kehidupan dan ajaran Gereja terhadap jaman ini. Konsili mengharapkan bahwa perubahan-perubahan sikap sebagaimana dimaksudkan oleh ajaran dan kehidupan Gereja menurut visi dan semangat baru Gereja adalah menggerakkan kehidupan dan reksa pastoral pada semua sektor dan segala tingkat. Karenanya, “aggiornamento” Vatikan II juga mencakup pembaruan hidup bakti. Penelitian ini tidak bermaksud untuk menganalisa secara detil tiap artikel dari dokumen, melainkan memfasilitasi pemahaman inti mengenai nilai-nilai sejati hidup bakti. Penyelidikan berikut memaparkan pembaruan pada wilayah hidup bakti, khususnya ajaran tent ang hidup bakti baik dari “LG Bab V dan VI” maupun dekrit Perfectae Caritatis art. 2. Paulus VI menekankan hal itu sebagai berikut:

Norma-norma dan daya penggerak untuk pembaruan yang sesuai seharusnya tidak hanya ditarik dari dekrit Perfectae Caritatis, tetapi juga dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan II yang lain, khususnya Bab

V dan VI Konsitusi Dogmatik Lumen Gentium. 81

Dekrit Perfectae Caritatis memikirkan kembali ajaran tentang kehidupan menurut nasihat-nasihat Injili di dalam konteks visi baru Gereja, di dalam konstitusi dogmatik Lumen Gentium Bab V dan VI. Dua bab ini amat penting untuk pembaruan hidup bakti. Konsitusi ini juga merupakan dasar dogmatis dari dekrit konsilier mengenai pembaruan. 82

80 Bdk. J OHN W. O‟M ALLEY , S.J., “Tradition and Transition. …”, 29. 81 Paul VI, “Implementation of Certain Decrees of Vatican Council II”, RR 25 (1966) 960. 82 Bdk. P. D E L ETTER , S.J., “After Vatican II. Renewal and Crisis”, Ranchi 1972, ix-xi.33; G USTAVE M ARTELET , S.J., “A Theological Reflection on Perfectae

Caritatis”, RR 25 (1966) 987. Lihat juga P AUL VI, “Motu Proprio. The Norms for

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 34 |

Menurut Komisi Hidup Bakti untuk Konsili, bagian penting LG Bab VI adalah ide mengenai pembaruan hidup bakti yang pas seperti diusulkan oleh bapa-bapa konsili dan suatu panggilan untuk bersolider dengan mereka yang telah membantu kelahirannya: imam, para biarawan awam, dan para biarawan guru. 83 Setelah macam-macam gagasan muncul di dalam

perdebatan merefleksikan macam-macam pemikiran di antara para bapa konsili, hasil pemungutan suara adalah positif pada hari-hari berikutnya, 84

tetapi draft akhir tidak ditulis ulang secara lengkap, dan karena itu tidak mengikuti langkah-langkah yang logis dan runtut. Akibatnya, ajaran yang begitu kaya isinya dipaparkan dalam cara yang fragmentaris. 85 Beberapa

pertimbangan dari bapa-bapa konsili akan diteliti lebih lanjut. Penyelidikan berikut memberikan suatu pencerahan, klarifikasi dan kedalaman makna mengenai ajaran tentang hidup bakti seperti ditampilkan oleh Gereja di dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium. Penyelidikan ini mungkin menambah terang dan memudahkan pemahaman mengenai makna nilai- nilai otentik hidup bakti.

1.2.1 Dasar Teologis Hidup Bakti Beberapa bapa konsili menginginkan suatu dasar teologis hidup bakti. 86

Ajaran Konsili tentang hidup yang dikuduskan dan hidup bakti di dalam

Implementing the Decree of the Second Vatican Council Perfectae Caritatis”, The Way (1967) 3, 15-17.

83 Bdk. N ORMAN T ANNER , “The Church in the World „Ecclesia ad Extra‟”, dalam G IUSEPPE A LBERIGO , gen. ed., History of Vatican II. Vol. IV: Church as

Communion. Third Period and Intersession, September 1964-September 1965, Maryknoll/Leuven 2003, 365.

84 Bdk. N ORMAN T ANNER , “The Church in the World …”, 369. 85 Bdk. P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI of the Dogmatic Constitution Lumen Gentium on Religious Life. The doctrinal content in the

light of the official Documents”, Rome 1987, 7-8. 86 Dalam penjelasannya tentang hidup bakti, Dekrit menggunakan macam- macam istilah dan dengan maksud menghindari definisi yang ketat; kenyataannya

mengenai subyek ini tidak ada pandangan dan terminologi yang lengkap di antara para teolog sendiri. Tetapi semua menyetujui bahwa istilah ini memiliki tiga unsur esensial yang membentuk satu kesatuan yang hidup: religius adalah mereka yang menghidupi nasihat-nasihat Injili, mempersembahkan diri kepada Allah lewat pengrikraran triprasetia atau ikatan-ikatan lain yang sejenis, yang diakui oleh lembaga resmi Gereja. Lih. P AUL M OLINARI , “Introduction and Commentary”, The Way (1966), 9; P AUL

M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 17-19 & 131. Lihat juga J EAN

35 | Petrus Suparyanto

LG Bab VI tidak dapat dipisahkan. Ajaran itu harus dilihat di dalam terang pernyataan yang mendahului yang sangat esensial jika seseorang mau memahami hal-hal yang paling dasar dari hidup bakti. Dasar-dasar tersebut ditemukan di dalam Bab V yang menguraikan kekudusan kristiani di dalam macam-macam wujud. Di dalam Catatan Pengantar pada LG Bab V dan VI,

Wulf menjelaskan bahwa karena struktur hirarkis Gereja merupakan institusi ilahi, satu-satunya perbedaan esensial mengenai status di dalam Gereja adalah antara klerus dan kaum awam. Dari sudut pandang ilahi dan struktur hirarkis Gereja, status hidup bakti bukanlah status di antara klerus dan kaum awam, 87 melainkan mencakup keduanya.

Arti asli kata “kaum awam” dalam pemakaian di dalam tradisi kristiani mencakup tarekat-tarekat hidup bakti dan kongregasi-kongregasi. Di dalam bagian ini kita mulai melihat masalah-masalah yang terkait dengan teologi tentang status hidup di dalam Gereja. Kita tidak memiliki kategori-kategori yang adekuat. Ketiga status – klerus, awam, dan hidup bakti – berakar di dalam misteri yang sama, saling mengatur satu sama lain dan saling terlibat di dalam beberapa cara melalui karya dan fungsi khusus mereka. Teologi mestinya menguji mereka dalam arti hidup kharismatis Gereja dan bukan pertama-tama struktur yuridisnya. Inilah yang oleh Konstitusi Dogmatis

B EYER , S.J., “Life consecrated by the Evangelical Counsels. Conciliar Teaching and Later Developments”, dalam R ENÉ L ATOURELLE , ed.,

Vatican II Assessment and Perspectives. Twenty-five Years After (1962-1987) , Vol. Three. Gregorian University Consortium, New York/Mahwah 1989, 66.

87 Lih. F RIEDRICH W ULF , “Introductory Remarks on Chapters V and VI”, dalam H ERBERT V ORGRIMLER , gen. ed., Commentary on the Documents of Vatican II .

Vol I, London 1967, 253. Molinari Memberikan catatan lebih jelas tentang ajaran Konsili pada topik ini. Marilah kita kutipkan di sini. “Ajaran Konsili tentang hal itu amatlah jelas: draft skema tentang De Ecllesia bertahun 1963 mengatakan: Status huiusmodi ( religiousus ), ratione habita divinae Ecclesiae constitutionis non est intermedium quid inter clericalem et laicalem conditionem : yaitu, „dari sudut pandang

struktur ilahi Gereja status hidup bakti bukanlah suatu status di antara para klerus dan kaum awam‟. Naskah ini dimodifikasi setelah sejumlah besar bapa Konsili memberikan pandangannya: Status huiusmodi, ratione habita divinae et hierarchicae

Ecclesiae constitutionis …: yaitu, „Status hidup bakti dari sudut pandang keilahian Gereja dan struktur hirarkis …‟ Di sini kita memiliki pernyataan yang tidak univok bahwa struktur ilahi Gereja tidak sedemikian sederhana dan semata-mata sama dengan struktur hirarkis-nya. Hubungan di antara keduanya kiranya lebih tepat: status religius pertinet ad ipsam vitam pneumaticam et sanctitatem Ecclesiae : yakni, „termasuk kehidupan spiritual dan kekudusan Gereja sendiri.‟”. Lih. P AUL M OLINARI , “Introduction and Commentary”, 12, catatan kaki no. 2.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 36 |

harus mencoba menjelaskannya. Jean Beyer memberikan catatan penting sebagai berikut:

“Hirarki” dapat juga memiliki arti lain – yakni suatu harmoni dan kesatuan organik yang menyeluruh – dan di dalam cara pandang ini setiap status hidup menurut hukum ilahi menjadi bagian dari struktur ini, membangun kesatuan hidup Gereja. Di dalam cara pandang ini, beda antara klerus dan kaum awam tidak ada lagi. […] Para religius menghidupi status hidup menurut hukum ilahi, nasihat-nasihat Injili merupakan anugerah Allah, kharisma-kharisma merupakan rahmat Roh Kudus, dan tiap tipe hidup yang dikuduskan memiliki kepenuhan Gereja, mengungkapkan misi Kristus dan Gereja, dan mewahyukan kedalaman hidup kristiani. 88

Pada titik ini Molinari dan Gumpel memberikan catatan kritis bahwa beberapa terjemahan teks konsili telah menyumbangkan penyebarluasan gagasan salah bahwa kekudusan kristiani tidak hanya satu tetapi juga sama untuk semua orang, 89 seperti jika semua orang kristen dipanggil kepada kekudusan yang sama dan kepada kesempurnaan kasih yang sama. Gagasan ini telah menyumbangkan krisis identitas yang mempengaruhi begitu banyak religius dan imam. Dan bahkan pemikiran ini merupakan suatu pemikiran yang secara jelas bertentangan dengan ajaran formal Konsili. 90 Marilah mengutip apa yang dikatakan Molinari dari sumber lain:

[…] Lumen Gentium, bicara mengenai panggilan semua orang kepada kekudusan kristiani; dan menetapkan bahwa kekudusan ini berarti bahwa setiap orang kristen semestinya bergerak secara lebih sadar menuju suatu kesatuan dengan Kristus, melalui keterlibatan di dalam

88 J EAN B EYER , S.J., “Life consecrated …”, 71-72. Lihat juga D AVID J. N YGREN , CM-M IRIAM D.U KERITIS , CSJ, “Transforming tradition: Shaping the Mission

and Identity of Religious Life in the United States”, dalam USG, Consecrated Life Today. Charisms in the Church for the World. International Congress. Rome, 22-27 November 1993 . United Kingdom 1994, 26-45.

89 Contohnya, S ANDRA M. S NEIDERS , I.H.M., “Finding the Treasure. Locating Catholic Religious Life in a New Ecclesial and Cultural Context”, New York/Mahwah

2000, 374, dalam cacatan kaki no. 43, ia menulis: “Bab V LG ( Lumen Gentium ), dalam Flannery vol. 1, dengan judul „The Call of the Whole Church to Holiness‟, dan dalam

bab ini Konsili menyatakan bahwa semua orang kristiani dipanggil kepada kepenuhan kehidupan kristen dan kepada kesempurnaan cinta kasih‟, tentu saja kepada „kesucian yang satu dan sama ‟”. Cetak miring milik penulis.

90 Bdk. P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 46.

37 | Petrus Suparyanto

hidup dan semangatnya; pada saat yang sama Konsili memperjelas pemahaman bahwa cara mencapai kekudusan ini tidak dan tidak dapat sama bagi setiap orang kristen atau kelompok- kelompok kristiani. […] Kita dapat terlibat di dalamnya dengan berbagai macam cara; dengan demikian kekudusan kristiani, meskipun secara radikal satu, seharusnya menemukan perwujudannya di dalam banyak cara dan di dalam tingkatan yang berbeda, karena keterbatasan manusiawi, dapat terjadi dan sering terjadi hal-hal yang bertentangan dengan pengudusan itu sendiri. 91

Lumen Gentium Bab V (art.39-42, atau art. 28-31 dalam draft) memberikan penilaian tepat tentang apa yang dihasilkan pada waktu antara sesi kedua dan ketiga sidang Konsili. Molinari dan Gumpel menerangkan bahwa Komisi merasa wajib untuk memperkaya teks, pertama-tama dengan menguraikan istilah-istilah sejelas mungkin tentang aspek-aspek kesucian Gereja baik secara ontologis dan objektif maupun tujuan akhirnya. “Selanjutnya, mereka menekankan bahwa „kesucian Gereja bukanlah sesuatu yang bergantung pada kehendak manusia, melainkan memiliki alasan beradanya

secara teologis, Trinitaris, Kristologis, dan Eklesiologis‟.” 92 Suatu paragraf baru harus ditambahkan pada art. 40, yang menunjukkan bahwa

pembenaran kristiani oleh iman di dalam pembaptisan adalah benar dan secara radikal kudus. Karenanya, dasar ontologis bagi kesucian diletakkan di sana. Panggilan kepada kesucian kristiani tidak dapat diartikan bahwa semua orang dipanggil kepada pola yang sama atau kedalaman dan intesitas kesatuan dengan Kristus yang sama. Lebih dari itu, ajaran yang menyajikan kesucian kristiani sebagai satu dan aneka ragam menurut rahmat yang diberikan Kristus dengan tegas dan berulang-ulang dinyatakan di dalam Lumen Gentium. 93 Ajaran Gereja tentang panggilan umum kepada kesucian,

91 P AUL M OLINARI , “Introduction and Commentary”, 5-6. Cetak miring milik penulis. 92 P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 34.

93 Sebagai contoh, Kesucian Gereja dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih

dengan memberi teladan baik kepada sesama. (LG 39). Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus. (LG 40). Semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. (LG 42).

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 38 |

melanjutkan memperhitungkan aneka status dan aneka peran yang dimiliki orang kristen di dalam Gereja, dan menyelidiki arus utama dimana aneka bentuk kesucian Gereja diwujudkan: aneka bentuk yang berbeda menurut status dan cara hidup, dan bahkan dapat berbeda lebih jauh karena karya Roh Kudus pada seseorang kristiani. 94 Konsep teologis bahwa kesucian

kristiani adalah satu, tetapi pada saat yang sama aneka ragam dan berbeda merupakan dasar segalanya bagi Konsili untuk mengajar. 95

Molinari dan Gumpel menambahkan bahwa, “Pada saat yang sama, dan demi alasan-alasan yang sama, Komisi merasa perlu menekankan lebih jauh dimensi Kristologis mengenai kesucian dan kesempurnaan kristiani, begitu

pula perlunya menekankan kary 96 a Roh Kudus di dalam kesucian kristiani.” Konsekuensinya, peranan cinta kasih, buah dari karya Roh Kudus

dikedepankan: kasih kepada Allah dan sesama. Segala sesuatu dalam teks yang menunjuk pada kasih seharusnya secara jelas dimengerti di dalam terang pemikiran yang mendahuluinya bahwa panggilan kepada kesucian bukanlah sama untuk semua orang, melainkan berbeda menurut aneka panggilan di dalam Gereja. Lebih jauh lagi, LG 42 tidak hanya memberikan prinsip-prinsip umum mengenai cinta kasih, tetapi meneruskan penjelasan tentang beberapa perwujudan cinta kasih dengan corak khas dari panggilan khusus di dalam Gereja. Perwujudan-perwujudan itu adalah mengenai kemartiran dan nasihat-nasihat Injili, dan khususnya mengenai ajaran tentang “anugerah mulia dari karunia Ilahi, yang diberikan oleh Bapa kepada mereka… sehingga mereka lebih siap memberikan dirinya dengan hati tak terbagi kepada Tuhan di dalam keperawanan atau tidak menikah”. 97

Aslinya judul bab tentang status hidup bakti adalah: De statibus evangelicae acquirendae perfectionis. Pernyataan mengenai status hidup bakti menunjuk kepada pendekatan yang lebih bersifat hukum daripada pendekatan teologis. Tetapi seluruh ide tentang status perfectionis (status kesempurnaan), lebih tidak dapat disetujui, meskipun ide ini memiliki latar belakang tradisi berabad-

abad dan mendapatkan semangatnya dari restu St. Tomas. Dibawah Pius

94 Bdk. P AUL M OLINARI , “Introduction and Commentary”, 6. 95 Bdk. P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 49. 96 P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 34. 97 P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 60.

39 | Petrus Suparyanto

XII ide status perfectionis benar-benar menjadi istilah umum bagi kehidupan menurut nasihat-nasihat Injili. 98 Perbedaan konsepsi mengenai nasihat-

nasihat Injili antara Teolog-teolog Skolastik dan sebagaimana diusulkan oleh Konsili Vatikan II terletak pada susunan penyajian nasihat-nasihat Injil. 99

Teolog-teolog Skolastik menyajikan hidup yang dikuduskan di dalam bentuk yang sistematik dengan susunan sebagai berikut: kemiskinan, keperawanan, dan ketaatan. Tetapi, Konsili secara sistematik menempatkan keperawanan

yang dikuduskan pada tempat pertama. 100 Pertimbangan-pertimbangan ini mengantar kita ke inti persoalan: teologi tentang nasihat-nasihat Injili

sepenuhnya diabdikan kepada teologi kasih (LG 42). Tepatnya keperawanan yang dikuduskan mengundang kepada suatu bentuk kasih

khusus, yakni pemberian diri total kepada Allah dengan hati tak terbagi. 101 Tujuan keperawanan yang dikuduskan adalah persembahan diri kepada

Allah sendiri dengan hati tak terbagi. Kasih demikian hanya mungkin bagi mereka yang menghidupi keperawanan yang dikuduskan. 102

Setelah menyoal keperawanan, Lumen Gentium menempatkan dua nasihat Injili kemiskinan dan ketaatan. Keduanya disajikan dari sudut pandang Kristosentris, dan dengan demikian mengikuti tema keperawanan, sebagai konsekuensi dari teologi kasih. Cara hidup dan tata laku murid-murid Kristus, dan karenanya juga kaum beriman, seharusnya menyerupai dan

98 Bdk. F RIEDRICH W ULF , “Introductory Remarks …”, 254-255. 99 Lih. G IUSEPPE R OUSSEAU , “Il Decreto Perfectae Caritatis”, VR 2 (1969) 57,

catatan kaki no. 17. Ia menegaskan, “Nasihat-nasihat Injili disajikan dalam tiga susunan: 1) Ketaatan, Kemurnian, Kemiskinan (Can. 487); 2) Kemiskinan, Kemurnian, Ketaatan (demikianlah susunan tradisional di dalam banyak Konstitusi hidup bakti);

3) Kemurnian, Kemiskinan, Ketaatan (dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium ). Lihat juga P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 82-83, khususnya catatan kaki no. 66.

LG 42, 43, 46. Lihat juga Dekrit Perfectae Caritatis Art. 1 dan 25, khususnya tiga artikel yang secara eksplisit bicara tentang nasihat-nasihat Injili: PC 12 mengenai Kemurnian demi Kerajaan Surga; PC 13 tentang Kemiskinan; PC 14 tentang Ketaatan.

101 Lih. P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 71-89. 102 Lih. P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 89-105;

A NTONIO Q UERALT , S.J., “The Value of Religious Consecration According to Vatican II”, dalam R ENÉ L ATOURELLE , ed., Vatican II Assessment and Perspectives. Twenty- five Years After (1962-1987), Vol. Three. Gregorian University Consortium, New

York/Mahwah 1989, 43-48; J EAN B EYER , S.J., “Life consecrated …”, 66-72.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 40 |

menjadi saksi bagi kasih Kristus yang menggerakkan Dia menjadi miskin dan taat bahkan sampai mati di kayu salib. Lumen Gentium menekankan bahwa nasihat-nasihat Injili ini memiliki nilai pentingnya bagi semua orang kristen yang dipanggil kepada kesucian, atau kepada persatuan lebih dalam dengan Kristus Tuhan. Pada saat yang sama, Konsili menegaskan bahwa tidak semua orang Kristen dipanggil untuk menghidupi kemiskinan dan ketaatan dengan intensitas dan radikalitas yang sama, meskipun hal itu tidak berarti menunjukkan eksklusifitas kaum religius atau kepada mereka yang hidup di dalam status hidup yang dikuduskan. 103 Bahkan jika hal itu tidak menunjuk secara eksklusif kaum religius atau mereka yang hidup di dalam status hidup yang dikuduskan, meskipun demikian jelaslah bahwa diterapkan kepada mereka yang ada di dalam cara hidup yang sudah dikenal.

1.2.2 Penajaman Ide tentang Pembaruan Hidup Bakti Pertimbangan lain dari bapa-bapa konsili adalah pentingnya menandai ketajaman ide pembaruan. Sebagaimana telah kita bicarakan, bapa-bapa konsili memilih suatu aggiornamento yang bukan pada permukaan saja melainkan pada tingkat kedalaman. Slogan resourcement dan aggiornamento menandai usaha ini untuk membawa tradisi lampau ke masa kini. 104 Dalam

keinginan untuk berbalik ke sumber-sumber, Konsili melihat Kitab Suci sebagai sumber fundamental. Setelah Kitab Suci, sumber unggul diberikan kepada tulisan-tulisan patristik. Sumber-sumber Konsili yang lebih jauh adalah dokumen hasil konsili-konsili pendahulu. Ajaran para Paus juga merupakan salah satu sumber. 105

Tetapi, pilihan ini secara implisit memunculkan beberapa pertanyaan penting. Artinya, Konsili hanya mencari cara-cara yang lebih jauh dari arah tujuan yang telah ditentukan. Hal itu berarti menerima perbedaan antara Gereja seperti seharusnya ada atau Gereja yang ideal, dan Gereja sebagaimana adanya. Sebagai konsekuensi, itu berarti juga, sekurang-

103 Bdk. P AUL M OLINARI , S.J. – P ETER G UMPEL , S.J., “Chapter VI …”, 106- 107.

Lih. O RMOND R USH , “Still Interpreting Vatican II. Some Hermeneutical Principles”, New York/Mahwah, N.J. 2004, 2-7. 105 Bdk. O RMOND R USH , “Still Interpreting …”, 12-16.

41 | Petrus Suparyanto

kurangnya beberapa upaya implisit untuk menemukan hak-hak asasi atau titik berangkat yang mendorong suatu kritik terhadap Gereja sebagaimana ia

ada. 106 Di lain pihak, pemahaman baru tentang hubungan Gereja dengan dunia, akhirnya diutamakan, mencakup suatu model Gereja yang melihat

keterbukaan dan dialog dengan dunia sebagai yang esensial bagi pengutusan Gereja, dan benar-benar sebagai suatu model misi di dalam dunia. 107

Mempertimbangkan semua unsur tersebut, Christopher Butler menegaskan bahwa “pembaruan dan penyesuaian hidup bakti melibatkan dua proses yang terjadi serentak: 1. secara terus-menerus kembali ke sumber umum hidup kristen (yaitu Kitab Suci) dan inspirasi asli lembaga religius; 2. penyesuaian lembaga-lembaga religius sesuai kondisi zaman yang sudah

berubah”. 108 “Jelaslah bahwa kondisi pertama yang harus ada bahwa adaptasi didasarkan pada hakikat obyektif iman Kristen dan Gereja; sementara –

satu-satunya – kondisi sekundernya adalah ketepatan terhadap kebutuhan- kebutuhan Gereja dan misinya di dalam sejarah”, tambah Butler. 109

Penyelidikan lebih jauh terhadap kedua kondisi tersebut akan disajikan dalam bagian berikut, khususnya berdasarkan dekrit tentang Hidup Bakti: Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius.