BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI pdf

PRAKATA

Dekrit Perfectae Caritatis memberikan daya dorong baru bagi hidup bakti. Dokumen ini menekankan agar diakui dan dipertahankan semangat dan maksud Pendiri serta tradisi yang sehat, sebagai warisan lembaga.

Akan tetapi dalam suasana tahun enampuluhan perhatian dan kegiatan pembaharuan lebih terarah pada penyesuaian daripada pembaharuan spiritual. Lagi pula, pada masa itu spiritualitas dan semangat Pendiri bagi kami bukan merupakan pokok-pokok pembicaraan. Kami berusaha sebaik mungkin hidup menurut Injil dan Konstitusi.

Dengan demikian dapat terjadi bahwa kami ,terlampau rajin, membuang- buang hingga yang berharga pun ikut terbuang: St.Vinsensius, Pelindung kedua Kongregasi hilang dari Konstitusi dan dari hidup kebanyakan Bruder.

Baru sekitar tahun 1985, ketika kami harus menulis kembali Konstitusi kami, yang harus mengungkapkan kharakter khas, cita-cita, semangat lembaga dan tujuan asli para Pendiri serta tradisi-tradisi yang sehat, mulailah suatu penyelidikan spiritualitas kami. Malahan sesudah Konstitusi baru disetujui, terasa kebutuhan meneruskan penyelidikan agar tercapailah suatu pembaruan sejati. Suatu langkah penting ke arah ini ialah studi ini.

Sambil menyelidiki kembali Konstitusi pertama, tulisan-tulisan para Pendiri dan dokumen-dokumen lain masa permulaan Kongregasi, Pengarang menemukan suatu hubungan erat dengan spiritualitas Vinsensian.

Salah satu soal yang masih harus diselidiki ialah: sebab-sebab inspirasi permulaan sesudah sekian tahun melemah menjadi suatu devosi yang tak begitu menyemangati. Hal ini suatu peringatan bagi masa depan. Suatu soal lain lagi: Bagaimana akan kami membagirasakan yang kami tahu dan hayati kepada sesama?

Nijmegen, 20 September 2005 Bertepatan dengan Hari Jadi Provinsi Indonesia ke-85

Br.William Kets FIC

3| Petrus Suparyanto

DAFTAR ISI PRAKATA PENDAHULUAN

1. Obyek Penelitian

2. Latar Belakang Penelitian

3. Tujuan Penelitian

4. Relevansi dan Pentingnya Penghidupan Kembali Spiritualitas Vinsensian

5. Lingkup dan Pembatasan

6. Metodologi

7. Klarifikasi Istilah-istilah

7.1. Istilah “inspirasi”

7.2. Istilah “kharisma”

8. Catatan Edisi Bahasa Indonesia

BAB SATU: PEMBARUAN HIDUP BAKTI MENURUT SPIRIT KONSILI VATIKAN II

1. Spirit Konsili Vatikan II

1.1 “Aggiornamento” sebagai Kata Kunci

1.2 “Aggiornamento” Vatikan II Tentang Hidup Bakti

1.2.1 Dasar Teologis Hidup Bakti

1.2.2 Penajaman Ide tentang Pembaruan Hidup Bakti

2. Dua aspek bagi Pembaruan Hidup Bakti

2.1 Berbalik ke Sumber

2.2 Penyesuaian terhadap Kondisi Zaman yang Berubah

3. Lima Prinsip untuk Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Bakti

3.1 Mengikuti Kristus

3.2 Kharakter dan Fungsi khas Tarekat

3.3 Keterlibatan dalam Kehidupan Gereja

3.4 Memiliki Semangat Kerasulan yang Berkobar

3.5. Pengrikraran Nasihat-nasihat Injil

4. Simpulan

BAB DUA: AKAR SPIRITUALITAS VINSENSIAN KONGREGASI

1. Konteks Sejarah

1.1 Konteks Sosio-politis, dan Kehidupan Religius di Kota Maastricht

1.2 Gerakan Gereja Katolik

4| BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI

1.3 Gerakan Vinsensian

2. Hidup Para Pendiri

2.1 Mgr. L.H. Rutten

2.1.1 Peziarahan Imamat

2.1.2 Kehidupan Pastoral

2.1.3 Pendiri Kongregasi

2.1.4 Dari Vinsensius sampai ke Mgr. L.H. Rutten

2.2 Br. Bernardus Hoecken

2.2.1 Peziarahan sebagai Religius-bruder

2.2.2 Ko-Pendiri Kongregasi

2.2.3 Dari Vinsensius sampai ke Br. Bernardus Hoecken

3. Nama Kongregasi

4. Peraturan/Konstitusi Kongregasi

5. Dokumen Spiritual

6. Simpulan

BAB TIGA: SPIRITUALITAS VINSENSIAN PARA PENDIRI

1. Vinsensius de Paul: Hidup dan Spiritualitasnya Biografi Vinsensius de Paul

1.1.1 Vinsensius I: Peziarahan menuju Pemerdekaan

1.1.2 Vinsensius II: Rasul Belaskasih

1.2 Cara Hidup Vinsensius de Paul

1.2.1. Dua Pengalaman yang Sarat Makna

1.2.2 Dasar Spiritual Misi dan Cintakasih Vinsensius

1.2.2.1 Pewartaan Kabar Gembira untuk Orang Miskin

1.2.2.2 Pelayanan kepada Orang Miskin

1.2.2.3 Kesatuan Misi dan Kasih untuk Orang Miskin

1.3 Sepatah Kata tentang Spiritualitas Vinsensian

2. Spiritualitas Vinsensian Kongregasi sebagaimana Dihidupi oleh para Pendiri

2.1 Dalam terang “Vincentian Family Tree”

2.2 “Kesinambungan” dengan Spiritualitas Vinsensian

2.3 “Ke-tidak-sinambungan” dengan Spiritualitas Vinsensian

2.4 Penyesuaian Spiritualitas Vinsensian pada Zamannya

3. Suatu Usulan kepada Kongregasi

3.1 Konstitusi: Pelindung dan Ungkapan Spiritualitas Kongregasi

5| Petrus Suparyanto

3.2 Perumusan Spiritualitas Vinsensian Kongregasi: dengan Model Komparatif

4. Simpulan

SIMPULAN AKHIR

Lampiran 1: Bula pengesyahan Regula Pertama Kongregasi Lampiran 2: Surat Ph. van de Ven kepada P.A. van Baars

Lampiran 3: Maastricht Mengenang Paduka Bruder Bernardus Lampiran 4: Litani Pelindung kita Santo Vinsensius de Paul

6| BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI

PENDAHULUAN

Spiritualitas pada tingkat paling dasar dan utama adalah suatu pengalaman hidup pribadi. Pengalaman ini merujuk pada tingkat yang paling riil atau

eksistensial. 1 Menurut Jordan Aumann, ”dalam arti yang paling luas, spiritualitas merujuk pada nilai-nilai etik atau religius yang mewujud sebagai

suatu sikap hidup atau suatu daya kekuatan yang menggerakkan tindakan seseorang.” 2 “Di dalam kehidupan sehari-hari, spiritualitas hadir secara

latent sebagai kekuatan yang diam-diam melatarbelakangi, sebagai sesuatu yang memberi inspirasi dan orientasi,“ 3 tegas Kees Waijman. Lebih lanjut,

Sandra Schneider melukiskan spiritualitas “sebagai pengalaman yang mengarahkan secara sadar pengintegrasian kehidupan seorang pribadi dalam arti tidak terisolasi dan terserap ke dalam diri sendiri, melainkan menuju ke

transendensi diri ke arah nilai akhir yang dikejarnya“. 4 Bagi orang kristen, spiritualitas merupakan suatu kehidupan dibawah

bimbingan Roh Kudus, yang diberikan oleh Bapa dan Kristus agar menjadi saudara-saudara Kristus dan anak-anak Allah Bapa. Artinya, orang beriman kristen ialah mereka yang berpartisipasi di dalam misteri hidup Yesus Kristus, hidup dalam kuasa Roh Kudus. Karenanya, istilah “spiritualitas” sering digunakan secara khusus bagi mereka yang hidup dibawah bimbingan dan kuasa Roh Kudus. Tidak jarang, contoh kehidupan atau ajaran dari

1 ALTER W H P RINCIPE , C.S.B., “Spirituality, Christian”, dalam Michael Downey, ed., The New Dictionary of Catholic Spirituality , Minnesota 1993, 932. Walter

H Principe membedakan spiritualitas menjadi tiga tingkatan: tingkat pengalaman hidup yang riil atau eksistensial, spiritualitas komunal, dan macam-macam tradisi spiritual.

2 J ORDAN A UMANN , “Spiritual Theology”, London 2001, 17. 3 K EES W AAIJMAN , “Spirituality. Forms, Foundations, Methods”, Leuven, 2002, 1. Maloney berpandangan agak sama, lih. R OBERT P. M ALONEY , C.M., “The Way

of Vincent de Paul. A Contemporary Spirituality in the Service of the Poor”, Hyde Park NY 1994, 13; lihat juga oleh pengarang yang sama, “Go! On the Missionary Spirituality of St. Vincent de Paul”, Salamanca 2000, 128-129.

4 ANDRA S M. S CHNEIDER , I.H.M., “Spirituality in the Academy”, Theological Studies

50 (1989) 684; bandingkan juga dengan tulisan oleh pengarang yang sama, “Theology and Spirituality: Strangers, Rivals, or Partners?”, Horizons

7| Petrus Suparyanto

tokoh spiritual menjadi model bagi yang lain. Dalam konteks ini, penelitian mengenai spiritualitas Vincensian, 5 khususnya spiritualitas Vinsensian

Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda memiliki nilai teologis dan spiritual. Lebih jauh, mendalami tema ini dari perspektif dekrit Konsili Vatikan II Perfectae Caritatis berarti bahwa memahami pemikiran bapa-bapa konsili dan problematika yang terkait dengan tema tersebut.

8. Obyek Penelitian

Setiap tarekat atau kongregasi memiliki spiritualitas atau cara hidup dengan kharakter khususnya. Spiritualitas merupakan dinamika realitas hidup dari suatu tarekat atau kongregasi. “Dari pengalaman sejarah, banyak dokumen dengan macam-macam variasi literer bernilai spiritual ditulis di luar ilmu teologi formal. Contohnya, ada aturan hidup bagi para rahib,

komentar- 6 komentar atas Kitab Suci, kumpulan kotbah, puisi, autobiografi.” Konsili Vatikan II menganjurkan untuk membarui hidup religius, untuk

kembali ke semangat awal tarekat. (cf. PC 2). 7 Pembaruan hidup religius didasarkan pada inspirasi awal pendiri, inspirasi asali dan asli yang telah

diterima oleh otoritas Gereja yang kompeten. Hidup para Pendiri dan Konstitusi tarekat mengungkapkan dan sekaligus menjamin serta melindungi maksud dan tujuan serta proyek para Pendiri tarekat, yakni perhatian pada corak dasar, maksud dan tujuan, semangat dan kharakter khas, serta tradisi-tradisi yang sehat. Untuk itu, kita ingin menyelidiki hidup para Pendiri Kongregasi Para Bruder Santa Perawan

5 Para anggota Kongregasi Misi dan Putri Kasih di negara-negara berbahasa Inggris dipanggil Vincentian, karena Pendiri mereka adalah St. Vinsensius. Yang

dimaksudkan dengan istilah spiritualitas Vinsensian adalah spiritualitas St. Vinsensius yang hidup di dalam para pengikutnya.

6 J OANN W OLSKI C ONN , “Spirituality”, dalam J OSEPH K OMONCHAK - M ARY C OLLINS - D ERMOT A L ANE , ed., The New Dictionary of Theology , Dublin 1987, 972. 7 Dalam buku ini, kita akan menggunakan singkatan-singkatan dokumen- dokumen Konsili Vatikan II sebagai berikut: LG = Lumen Gentium , konstitusi

dogmatic tentang Gereja; PC = Perfectae Caritatis , Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius; DV = Dei Verbum ; GS = Gaudium et Spes; AA= Apostolicam Actuositatem ; PO

= Prebyterorum Ordinis ; AG = Ad Gentes Divinitus . Terjemahan Bahasa Indonesia diambil dari R. Hardawirjana, SJ., “Dokumen Konsili Vatikan II”, Dokumen dan Penerangan KWI, Obor 1993.

8| BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI

Maria yang Terkandung Tak Bernoda dan unsur-unsur spiritual di dalam Konstitusi-konstitusi lama (konstitusi-konstitusi sebelum 1967) dengan maksud untuk menangkap kharakter spiritual kongregasi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kita akan menggunakan pertanyaan- pertanyaan berikut sebagai bantuan dalam penelitian ini: Apa arti spiritualitas tarekat? Apa arti istilah “inspirasi” dan “kharisma”; dan bagaimana hubungan antara istilah-istilah tersebut dengan spiritualitas tarekat? Apa maksud dan tujuan para Pendiri dan proyek mereka dalam mendirikan kongregasi? Manakah kehidupan para Pendiri dan unsur-unsur konstitutif spiritualitas mereka? Bagaimana kita menyelidiki spiritualitas FIC 8 ? Instrumen manakah yang membantu untuk melacak spiritualitas

FIC? Persoalannya adalah bahwa di dalam perjalanan sejarah, terdapat penyimpangan hal-hal fundamental yang disimpulkan dari para Pendiri. Di dalam konteks ini, timbul pertanyaan: manakah hubungan antara pemahaman teologis mengenai spiritualitas FIC dan adaptasinya terhadap perubahan pada zaman kita? Dapatkah kita mengindentifikasi suatu konsep teologis dari spiritualitas FIC? Jika bisa, adakah suatu bentuk baru dari praksis komunitas FIC yang lahir sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II? Bagaimana pembaruan dapat dijalankan dalam hubungannya dengan spiritualitas asli kongregasi? Apakah pembaruan tersebut harus dijalankan dengan cara yang kontemporer? Prinsip-prinsip manakah yang dibutuhkan untuk mencapai pembaruan hidup religius? Aspek-aspek hidup religius manakah yang perlu dibarui dan oleh siapa? Pertanyaan-pertanyaan inilah pusat perhatian penelitian ini.

9. Latar Belakang Penelitian

Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda terdaftar di dalam register Kongregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti dan Tarekat Hidup Merasul sebagai: Congregatio Fratres Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis (F.I.C.). Maria, ibu Yesus merupakan

8 Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda terdaftar dalam Kongregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup

Merasul sebagai: Congregatio Fratres Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis (F.I.C.). Selanjutnya akan digunakan singkatan FIC.

9| Petrus Suparyanto

pelindung Kongregasi. Sejak dari awal berdirinya, Vinsensius de Paul dialami para bruder sebagai contoh yang inspiratif. St. Vincensius de Paul merupakan pelindung kedua Kongregasi. Latar belakang penelitian ini berangkat dari tiga sumber.

Pertama , Konsili Vatikan II, dekrit Perfectae Caritatis Art. 2, memberikan dorongan baru untuk pembaruan kehidupan religius. Dorongan ini mencakup baik kembali ke sumber-sumber hidup Kristen secara umum maupun ke inspirasi awal tarekat, dan adaptasinya terhadap situasi dan kondisi zamannya. Di lain pihak, karena desakan dari dekrit Perfectae Caritatis, St. Vinsensius sebagai pelindung kedua Kongregasi “tersingkir” dari Konstitusi dan diputuskan bahwa Maria adalah satu-satunya Pelindung Kongregasi. Karenanya, kita kehilangan sumber-sumber spiritualitas Vincensian dalam Kongregasi.

Kedua , pada Kapitel Umum 1988, Br. Aloysio v.d. Broek, bersama dengan utusan dari Malawi dan Zambia serta Ghana menginginkan untuk membawa kembali St. Vinsensius dan spiritualitasnya ke dalam Konstitusi Kongregasi. “St. Vincensius de Paul bagi kita adalah – sebagaimana pula dia bagi para Pendiri – contoh yang menggerakkan kita untuk mencintai orang miskin. Kita secara khusus belajar dari dia cara-cara melayani dengan rendah

hati, khususnya orang miskin yang semestinya kita layani.” 9 Usul ini tidak mendapat dukungan dari provinsi-provinsi lain. Kapitel tidak memberi

dukungan untuk membuat suatu rekomendasi. 10 Meski kapitel tidak memberi rekomendasi, provinsi Malawi dan Zambia, serta Ghana tetap

mendorong praktik devosi kepada St. Vincentius. Karena hal itulah, kita akan menyelidiki persoalan tersebut secara lebih dekat.

Ketiga 11 , Institut Titus Brandsma telah merumuskan spiritualitas FIC berdasarkan pengalaman hidup para bruder. 12 Kapitel Umum 2000

9 Minutes General Chapter 1988, “Motion 5: Motions on the Constitutions” 10 Bdk. Minutes General Chapter 1988-p.NEXTRECORD. Bagian dari dokumen Minutes General Chapter 1988 ini tanpa nomor halaman. Kutipan sesuai

aslinya. 11 Titus Brandsma Institute (Institut Titus Brandsma) didirikan pada 1968 oleh Universitas Katolik Nijmegen dan Ordo Karmelit.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 10 |

menghendaki sebagai hasil dari penyelidikan TBI untuk merumuskan suatu spiritualitas FIC. Kapitel menolaknya karena mereka merasa bahwa spiritualitas FIC telah dirumuskan dengan baik di dalam Konstitusi kita. “Kita tidak membutuhkan suatu spiritualitas baru, Konstitusi kita mengungkapkan cukup jelas mengenai kekhasan dari spiritualitas FIC.” 13

Pada saat yang sama, kita bingung bagaimana harus memberi jawab atas pertanyaan: apakah kekhasan dari spiritualitas FIC? Persoalan in memotivasi saya untuk melacak manakah corak khas spiritualitas Kongregasi.

10. Tujuan Penelitian

St. Vinsensius de Paul (1581-1660) dikenal sebagai pendiri Kongregasi Misi dan Putri Kasih. Putri Kasih, didirikan di Paris 1633 oleh Luisa de Marillac dan Vinsensius de Paul, merupakan contoh kongregasi yang amat sukses memberikan inspirasi bagi banyak pendiri kongregasi baik perempuan

maupun laki-laki. 14 Menurut Betty Ann McNeil, ada “sembilanpuluh sembilan lembaga dan satu lembaga asosiasi awam yang memiliki St.

Vinsensius sebagai pelindungnya.” 15 Seperti Vinsensius de Paul, para pendiri lembaga hidup bakti mendirikan

kongregasi untuk menghayati aspek khusus dari kehidupan Yesus Kristus dan mereka mengharapkan para penerusnya mengikuti gaya hidup mereka. Cara itu seperti gaya hidup dan corak khas dua belas rasul dan murid-murid pertama Yesus. “Keprihatinan dan persoalan-persoalan komunitas mempengaruhi pusat perhatian setiap Injil. Pengalaman iman komunitas Markus memusatkan pada Yesus sebagai Mesias, hamba Yahwe yang menderita karena murid-murid Yesus ini dianiaya dan bertanya: mengapa

12 M ONIEK S TEGGERDA - N ICOLETTE H IJWEEGE , “My Whole Life for God and Men. An Investigation of the spirituality of the FIC brothers as it is lived today”,

Nijmegen 1994. 13 Minutes General Chapter 2000, “Spirituality „document A‟”, white paper 21.

14 Bdk. J OOS VAN V UGT , “Brothers at Work. A History of five Dutch congregations of brothers and their activities in Catholic education, 1840-1970”,

Nijmegen 1996, 25. 15 B ETTY A NN M C N EIL , “Tracing the Vincentian Family Tree”, RR

56 (1997) 482. Dalam bukunya, ia mencatat bahwa Para Bruder dari Keterkandungan Tak Bernoda dan dari St. Vinsensius de Paul tidak dimasukkan dalam daftar karena

keterlambatan dalam pencantuman. Lih. B ETTY A NN M C N EIL , D.C., “Monographs I, The Vincentian Family Tree. A Genealogical Study”, Chicago 1996, 207.

11 | Petrus Suparyanto

hal ini terjadi pada kita?” 16 Mirip dengan pengalaman ini, Maloney mengatakan tentang para pendiri lembaga hidup bakti yang terinspirasi oleh

spiritualitas Vinsensian sebagai berikut: Karena itulah mengapa orang-orang berargumentasi mengenai

manakah inti spiritualitas St. Vinsensius. Di dalam melukiskan spiritualitas ini, beberapa memusatkan pada pelaksanaan kehendak Allah, yang lain pada percaya pada Penyelenggaraan Ilahi. Beberapa melihat inti spiritualitas St. Vinsensius sebagaimana tampak pada cara hidup menyatunya doa dan karya; yang lain menekankan kesederhanaan dan kerendahan hati. Beberapa lagi, mungkin lebih dapat dimengerti, mengatakan bahwa pelayanan kepada orang-orang miskin adalah segalanya bagi St. Vinsensius dan merupakan daya kekuatan yang menggerakkan segala sesuatu yang ia lakukan, termasuk karya formasio bagi para imam. Semua itu bicara mengenai unsur yang benar, meski semuanya bagaimanapun juga jatuh ke dalam penyempitan/pereduksian. Masing-masing mengungkapkan aspek tertentu dari spiritualitas St. Vinsensius, tetapi masing-masing jatuh ke penilaian bahwa rumusannya paling sempurna dan menyeluruh, menunjuk suatu konteks darimana setiap unsur mendapatkan keutuhannya. 17

Penyelidikan ini didesain untuk melukiskan bahwa hidup para Pendiri FIC dan seputar pendirian Kongregasi berakar pada spiritualitas Vinsesian. Dari perspektif sejarah, penyelidikan ini mencakup kehidupan Mgr. Rutten dan Br. Bernardus yang mewakili relasi paling dekat dengan spiritualitas Vinsensian. Objek penyelidikan yang lain adalah Konstitusi lama (1841- 1936) dan dokumen Petunjuk-petunjuk bagi para Pemimpin dimana macam-macam unsur spiritualitas para bruder FIC telah dirumuskan.

Berangkat dari inspirasi awal para Pendiri dan dalam terang Konsili Vatikan II, dekrit Perfectae Caritatis Art. 2, kita bermaksud untuk merumuskan ulang spiritualitas Vinsensian seperti dihayati oleh Mgr. Rutten dan Br. Bernardus Hoecken, dan mengusulkan spiritualitas ini diperkenalkan kembali ke dalam kehidupan kongregasi. Itulah yang kita maksudkan dengan menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian.

16 J OANN W OLSKI C ONN , “Spirituality…”, 972.

17 R OBERT P. M ALONEY , C.M., “The Way of Vincent de Paul. …”, 12.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 12 |

Bertolak dari spiritualitas para Pendiri, kita menapaki bersama peziarahan Kongregasi.

11. Relevansi dan Pentingnya Penghidupan Kembali Spiritualitas Vinsensian

Pembaruan hidup bakti secara antusias dimulai pada akhir tahun 1960-an. Pembaruan hidup bakti, sebagaimana telah ditekankan sejak Konsili Vatikan

II, mencakup dua aspek: penyesuaian terhadap situasi jaman, dan penghidupan kembali semangat pendiri. Dekrit Vatikan II tentang Pembaruan

Hidup Religius menganjurkan tarekat/kongregasi religius untuk menyelidiki akar spiritual dan menemukan kembali maknanya dalam terang kebutuhan-kebutuhan jaman. Anjuran Konsili Vatikan II untuk “secara terus-menerus kembali kepada sumber- sumber seluruh kehidupan kristiani dan inspirasi asli tarekat, dan

dan

Penyesuaian

penyesuaiannya terhadap kenyataan jaman yang sudah berubah,” 18 merupakan tantangan besar untuk melacak dan merumuskan ulang kharisma

pendirian kongregasi dan bagaimana mengadaptasikannya dengan tanda- tanda jaman.

Spiritualitas Vinsensian sebagaimana dihayati oleh Mgr. Rutten and Br. Bernardus Hoecken adalah mengikuti Yesus Kristus demi kemuliaan lebih besar Allah dan Bapa serta Kerajaan-Nya. Allah yang mengutus putra-Nya di antara kita untuk mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin (Lk 4,16-20) mewujud di dalam cinta kasih kepada Allah dan sesama. FIC mewujudkannya lewat pendidikan kristiani yang formatif. Para Pendiri tidak membuat rujukan khusus kepada pelayanan terhadap orang sakit, pengemis atau mereka yang sakit mental di antara orang-orang miskin, tetapi secara

khusus kepada orang-orang muda. 19 Visi spiritual ini diungkapkan melalui cinta yang berbelaskasih kepada orang miskin, di dalam kepercayaan pada

penyelenggaraan Ilahi dan perlindungan Santa Perawan Maria, dan di dalam sepuluh keutamaan Bernardian, yakni rendah hati, teladan baik, mencintai

18 Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius , Art. 2. Semua kutipan Konsili Vatikan II diambilkan dari R. Hardiwirjana, SJ., “Dokumen Konsili Vatikan II, Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor 1993, 247-265.

19 Beberapa lembaga yang mengklaim sebagai keluarga Vinsensian membuat rujukan khusus kepada pelayanan kepada orang miskin & yang sakit. Lih. B ETTY A NN

M C N EIL , “Tracing …”, 482.

13 | Petrus Suparyanto

para bruder, saleh, sikap bijaksana, lembut hati, tabah hati, kebijaksanaan dan berpengetahuan, semangat dan keteguhan hati, serta percaya kepada Tuhan.

Konsep kemiskinan di dalam arti yang riil dan konkret adalah mereka yang membutuhkan, terhimpit dan tertindas, tak mampu bersuara; mereka yang dipaksa masuk ke dalam situasi yang secara eksistensial sangat

terpinggirkan. 20 Persoalan kemiskinan merupakan persoalan universal. Khusus di dalam Kongregasi kita, sebagian besar dari kita berkarya di

negara-negara dunia ketiga, negara berkembang: Ghana, Malawi, Chile, dan Indonesia, dimana sebagian besar penduduk adalah miskin. Dari konteks bahwa misi kerasulan sebagian besar bruder di negara-negara tersebut, jelas dan sesuailah untuk menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian dan memasukkannya kembali ke dalam kehidupan Kongregasi. Meskipun bruder-bruder Belanda hidup di dunia pertama spiritualitas ini tetap relevan juga. Masyarakat Belanda membutuhkan pendidikan kristiani dengan cara yang baru.

Lebih jauh, kita memerlukan spiritualitas yang menyatukan kita dan memotivasi kita di dalam karya kerasulan kita. Dengan menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian, kita berharap spiritualitas ini mampu menyatukan kita dan menggerakkan masing-masing di antara kita di dalam karya kerasulan, baik secara kongregasional maupun secara personal. Di dalam terang spiritualitas yang sama, yakni spiritualitas St. Vinsensius yang dihidupi oleh para Pendiri, kita menjawab panggilan Konsili Vatikan II: “secara terus-menerus kembali kepada sumber-sumber seluruh kehidupan kristiani dan inspirasi asli tarekat, dan penyesuaiannya terhadap kenyataan jaman yang sudah berubah.”

12. Lingkup dan Pembatasan

Perhatian utama penelitian ini adalah melacak akar spiritualitas Vinsensian Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang Dikandung Tak Bernoda, melalui penyelidikan atas tulisan-tulisan rohani para Pendiri dan

20 Bdk. J OHN O‟B RIEN , “Theology and the option for the poor”, Theology and life series vol 22, Minnesota 1992, 8.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 14 |

Konstitusi-konstitusi lama dan Panduan Pelaksanaannya, 21 sampai pada konsep asli spiritualitas para Pendiri. Dari satu pihak, kehidupan para

Pendiri memberikan suatu insight tentang inti inspirasi awal Kongregasi. Di lain pihak, Konstitusi Kongregasi merupakan kekuatan formatif dan identitas Kongregasi yang telah mentradisi, khususnya hal-hal yang telah menjadi perhatian utama para Pendiri sendiri.

Pokok perhatian lebih jauh adalah memahami ungkapan inspirasi awal para Pendiri dan penyesuaiannya terhadap kenyataan jaman yang berubah sebagaimana didengungkan Konsili Vatikan II, dekrit Perfectae Caritatis. Ini mencakup apa yang dipikirkan oleh para bapa Konsili. Jelaslah bahwa hal itu mesti dipertimbangkan di dalam konteks semangat Konsili itu sendiri. Penyelidikan kita tidak bermaksud untuk menganalisa seluruh dokumen.

Berdasarkan konsep inspirasi awal para Pendiri dan di dalam terang semangat Konsili Vatikan II, Perfectae Caritatis Art. 2, kita meninjau kembali mengenai apa yang oleh Dewan Umum dan/atau Kongregasi putuskan untuk “menyingkirkan” St. Vinsensius sebagai Pelindung “kedua” Kongregasi dari Konstitusi Kongregasi dan selanjutnya kita mengusulkan untuk menghidupkan kembali spiritualitas Vinsensian sebagaimana dihayati oleh para Pendiri.

13. Metodologi

Metodologi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teologi doktiner dan teologi sejarah, serta pada saat yang sama digunakan juga metode analitis. Bab satu buku ini membicarakan dekrit Konsili Vatikan II Perfectae Caritatis Art. 2. di dalam perspektif teologis para bapa Konsili. Pembicaraan ini mengijinkan kita untuk memulai suatu proses kritik doktriner. “Kritik

doktriner mengharuskan kita untuk bertanya apa kekhususan insight teologis di balik formulasi khusus suatu doktrin, dan apa kepentingan historis secara khusus yang mempengaruhi baik insight-insight maupun

21 Yang dimaksud dengan Regula lama Kongregasi adalah Regula pada awal pendirian Kongregasi dan Regula dan/atau Konstitusi yang masih berlaku sampai

dengan tahun 1955.

15 | Petrus Suparyanto

sikap yang mereka artikulasikan, dengan suatu pandangan untuk memulai lagi (jika perlu) 22 formulasi itu.”

Bab dua menganalisa akar spiritualitas Vinsensian dalam Kongregasi lewat suatu seri lingkaran yang konsentris. Pertama, penyelidikan historis tentang perkembangan Kongregasi, dan kemudian dari sini menuju ke penyelidikan perkembangan spiritualitas pada saat-saat awal pendirian Kongregasi. Penyelidikan ini tidak murni menggunakan kriteria historis untuk menilai autentisitas formulasi-formulasi kekayaan rohani Kongregasi. Cara ini lebih tepat disebut dengan deep history, mengartikulasikan jiwa yang menggerakkan dalam sejarah daripada sekedar memaparkan secara fisik data-data sejarah. Karenanya, cara kerja ini menunjuk pada langkah pertama, dan mengintegrasikannya ke dalam refleksi doktiner pada langkah

selanjutnya. 23 Lebih jauh, berdasarkan pemahaman akan perspektif teologis bapa-bapa

Konsili, khususnya dekrit Perfectae Caritatis Art. 2., dan dalam terang konsepsi “inspirasi” dan “charisma”, serta berhadapan dengan spiritualitas Vinsensian, kita menganalisa elemen-elemen spiritual dari spiritualitas Vinsensian Kongregasi sebagaimana dihayati oleh para Pendiri sedemikian

22 M C G RATH , A LISTER

E. , “The Genesis …”, 8.

23 Bdk. A LISTER C G RATH E. M , “The Genesis of Doctrine. A Study in the Foundations of Doctrinal Criticism”, Oxford 1990, vi-vii. McGrath mengklarifikasi tentang hubungan antara doktrin dan dogma: “dogma secara khusus menunjukkan pernyataan Gereja yang mewahyukan kebenaran baik sebagai bagian dari ajaran universal, atau pun melalui penilaian doktriner yang serius. …Semua dogma merupakan doktrin, tetapi tidak semua doktrin merupakan dogma. (see p. 9). Istilah teknis “teologi doktriner” merujuk pada suatu refleksi teologis atas doktrin/ajaran Gereja. “Perjanjian Baru merupakan sumber utama, tetapi bukan satu-satunya sumber ajaran kristiani. Gereja menjelaskan dan mengajarkan makna kehidupan kristiani dengan aneka macam cara: … khususnya dalam dekrit-dekrit konsili-konsili ekumenis maupun pendapat-

pendapat dan ensiklik para paus.” N ANCY C R ING , “Doctrine”, dalam J OSEPH K OMONCHAK - M ARY C OLLINS - D ERMOT A L ANE , ed., The New Dictionary of Theology , Dublin 1987, 291. M ILLARD J E RICKSON dalam “Introducing Christian Doctrin” menekankan alasan bagi suatu penelitian tentang suatu doktrin: pertama , keyakinan- keyakinan doktriner yang benar merupakan sesuatu yang esensial terhadap relasi orang beriman dengan Allah; kedua , ajaran merupakan hal yang penting karena kaitan

antara kebenaran dan pengalaman; ketiga , pemahaman doktrin yang benar merupakan hal penting, karena ada banyak pemikiran tentang sistem religius dan sekular yang

menyaingi kebaktian kita hari-hari ini. Lih. M ILLARD J. E RICKSON , “Introducing Christian Doctrine”, Grand Rapids, MI 2003, 17.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 16 |

sehingga kita sampai kepada suatu perumusan dari inti spiritualitas Kongregasi. Usaha ini akan dikerjakan di dalam bab ketiga.

14. Klarifikasi Istilah-istilah

Dengan harapan untuk menghindari kesalahpahaman, kita memperhatikan beberapa kata kunci dan terminologi yang digunakan di dalam konteks revitalisasi.

7.1. Istilah “inspirasi”

Di dalam naskah dekrit Perfectae Caritatis tidak mungkin ditemukan deskripsi tentang yang dimaksudka n dengan “spirit primitif”. Hal lain bisa ditambahkan, yakni “spirit para Pendiri” untuk mengklarifikasi lebih lanjut istilah tersebut. Di lain pihak, lebih komprehensiflah dan lebih tepatlah bicara tentang “spirit primitif” ketika kita bicara mengenai gerakan untuk “kembali”! Tetapi, legitimasi yang luas mengenai arti ungkapan “spirit primitif” ini tidak menghilangkan kesulitan untuk merumuskan ke dalam suatu deskripsi, dan lebih lagi ke dalam suatu definisi, apa itu semangat dari

suatu lembaga hidup bakti. 24 Di dalam Bahasa Latin, akar kata dari persoalan yang sedang kita

bicarakan ini adalah kata kerja inspirare, yang berarti secara hurufiah, “menghembuskan, atau menghirup”. Tradisi awal orang-orang kristen berbahasa Latin menggunakan kata-kata sebagai be rikut seperti “afflatus, inflatus, dan instinctus” – kata-kata klasik yang equivalent dengan kata inspirasi dalam dunia modern kita. Tetapi secara pelan-pelan, kata inspirare secara umum digunakan untuk menunjuk pada pengaruh Allah sebagai

sumber Kitab Suci. 25 Istilah ini dipakai untuk merujuk baik buku-buku dan para pengarangnya; dan mungkin juga digunakan untuk merujuk kata

“inspirasi”. Bahasa Yunani memiliki kosa kata yang cakupannya lebih luas untuk membahasakan persoalan yang sedang kita bicarakan. Bahasa Yunani

24 Bdk. E MILIO F OGLIASSO , “Il Decreto Perfectae Caritatis sul rinnovamento della Vita Religiosa in risondenza alle odierne circostanze”, Torino 1967, 300.

25 R ICHARD F. S MITH , SJ., “Inspiration and Inerrancy”, dalam R AYMOND E. B ROWN , S.S.- J OSEPH A. F ITZMYER , S.J.- R OLAND , E. M URPHY , ed., The New Jerome

Biblical Commentary , New Jersey 1990, 500.

17 | Petrus Suparyanto

menyediakan serangkaian kata untuk istilah inspirasi dari sudut pandang dokumen-dokumen/buku yang dihasilkan, dan serangkaian kata yang lain untuk istilah inspirasi sebagaimana ditinjau dari sudut pandang para penulis yang terlibat di dalam proses penulisan. Kata adjektif yang digunakan untuk merujuk suatu buku terinspirasi adalah “theopneustos” (= hembusan-

Allah). Kata bendanya “theopneustos”adalah “theopneustia”, tetapi tidak digunakan, dan baru pada waktu kemudian digunakan jarang-jarang. Di lain pihak, istilah “terinspirasi” sebagaimana diterapkan kepada para penulis Kitab Suci diterjemahkan dengan terminologi tertentu seperti theophorētos (= dilahirkan-oleh- Allah; bdk. 2 Pt 1, 21) dan “pneumatophoros” (= dilahirkan-oleh-Roh). Kata benda yang menghubungkan adalah “epipnoia” (= hembusan dari atas), dengan suatu kata tambahan atau frase untuk mengidentifikasi Allah sebagai sumbernya.

Dalam Bahasa Ibrani, terminologi untuk hal itu sederhana. Tidak ada serangkaian kata untuk membahasakan ide tentang inspirasi ilahi dari Kitab Suci. Tetapi, latarbelakang pemikirannya adalah ide Kitab Suci Perjanjian Lama mengenai hembusan-roh-Yahwe.

Pertanyaan objektif tentang inspirasi adalah relasi Allah dengan Kitab Suci. 26 Subjek inspirasi Kitab Suci adalah salah satu hal yang

membingungkan di dalam diskusi belakangan ini. Apa itu inspirasi? Bagaimana Allah menginspirasi Kitab Suci?

Teori tentang inspirasi dapat dibagi menjadi dua macam: deduktif- konservatif, dan induktif-liberal. Teori tradisional tentang konsep inspirasi mungkin dapat dikatakan bahwa “Kitab Suci secara keseluruhan dan semua bagiannya adalah Sabda Allah, dan karena Kitab Suci adalah Sabda Allah, ia memberikan dengan segala kesempurnaan atas Sabda itu. Tidak hanya bahwa Kitab Suci menyingkap kebenaran-kebenaran kodrat Ilahi dan cara kerjanya tak dapat dipahami, tetapi semua bagian memiliki otoritas yang sama, dan baik di dalam sejarah maupun di dalam doktrin terbebaskan dari

kesalahan.” 27 “Bahaya dari pandangan tradisional ini adalah inspirasi harus dipikirkan sebagai sesuatu yang mati dan mekanis; ketika pandangan ini

26 Bdk. D AVID R. L AW , “Inspiration”, London 2001, 144. 27 W. S ANDAY , “Inspiration”, New York 1896, 392.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 18 |

sampai pada pendekatan induktif, hal ini perlu dimengerti sebagai sesuatu yang hidup.” 28

Teori kedua tentang konsepsi inspirasi adalah induktif atau kritis. Pendekatan ini disebu t “teori induktif karena mulai dengan menguji kesadaran para penulis Kitab Suci. Pendekatan ini menyelidiki kesadaran para penulis Kitab Suci. Pendekatan ini meneliti tentang apa yang para penulis katakan, atau apa yang mereka berikan kepada kita untuk kita

mengerti, seperti corak khas inspirasi milik mereka. Itu terbentuk dari pikiran pribadi penulis.” 29 Dalam arti lebih luas, “ada sesuatu yang lebih

daripada pikiran-pikiran individual pada karya mereka; mereka termasuk ke dalam kategori yang lebih luas, sebagaimana adanya demikian, suatu cara kerja dari Pikiran yang lebih luas, yang merupakan pusat Inteligensi yang mengarahkan dan memberikan kesatuan dan tujuan dari gerakan dan

kumpulan manusia- 30 manusia yang terserak.” Inspirasi yang dimaksud oleh teori induktif dan tradisional adalah riil dan

tidak fiktif, yakni suatu tindakan objektif langsung dari Yang Ilahi terhadap manusia. Hukum universal dari aturan main atau tindakan Yang Ilahi adalah seleksi. “Umat tertentu dipilih dan kelas tertentu dari umat itu; dan orang- orang tertentu di dalam kelas tertentu itu dipilih untuk kegunaan dan tujuan

khusus sebagai alat atau menjadi bagian dari Yang Maha Tinggi.” 31 Gagasan mengenai peranan sebagai instrument tidaklah suatu alat yang pasif

melainkan aktif dan dinamis . “Ia adalah instrument, tetapi suatu alat dengan dinamika dan kegiatan yang dimilikinya, suatu alat yang sungguh-sungguh berpikir, berimaginasi, mengkomposisi. Kegiatan-kegiatan ini secara terus-

menerus dibawah pengaruh Allah.” 32 Karenanya, inspirasi menghasilkan bermacam-macam akibat: pewahyuan, yakni, Allah yang membuka Dirinya

kepada mereka semua yang akan mengambil Kitab Suci dan membacanya; Kitab suci adalah satu kesatuan, tidaklah hanya suatu koleksi dari tulisan- tulisan; dan Kitab suci adalah lengkap, tidak kurang sebagianpun. Akibat

28 W. S ANDAY , “Inspiration”, 399. 29 W. S ANDAY , “Inspiration”, 402. 30 W. S ANDAY , “Inspiration”, 402. 31 W. S ANDAY , “Inspiration”, 422.

32 R ICHARD F. S MITH , SJ., “Inspiration …”, 507.

19 | Petrus Suparyanto

terakhir dari inspirasi adalah ketidaksesatan, kualitas yang melindungi Kitab Suci dari kesalahan.

Ajaran Gereja paling baru tentang inspirasi Kitab Suci ditemukan di dalam Konstitusi Dogmatis Vatikan II tentang Wahyu I lahi. “Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus. Sebab Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian- bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan inspirasi Roh Kudus …” (DV 11). Ajaran ini menekankan Kitab suci secara keseluruhan adalah “kudus”; Inspirasi Kitab Suci seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sementara. Pengertian yang ditekankan tentang inspirasi adalah pembawa kebenaran. Tetapi, wahyu Ilahi bukanlah sekedar suatu pernyataan tentang kebenaran-kebenaran intelektual; wahyu Ilahi merupakan makna ilahi dari campur tangan Yang Ilahi di dalam sejarah

melalui “kata-kata” dan “tindakan”. 33 Kenyataannya, “pengarang manusiawi tidak selalu membuat pernyataan-pernyataan yang diakui sebagai suatu

kebenaran. Mereka tidak hanya mengakui; mereka menganjurkan, memuji atau mengeluh. Dengan kata lain, mereka tidak hanya mengungkapkan kebenaran-kebenaran, tetapi juga rasa-perasaan. Mereka tidak hanya memperbaiki pengetahuan pembaca mereka, tetapi juga sensibilitas dan

hidup rohani mereka.” 34 Kalimat selanjutnya dari Konstitusi Art. 11 mengatakan, ”Oleh sebab itu,

karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita.” Konstitusi tidak menggunakan kata ketidak-keliruan kitab suci, meskipun ia bicara tentang ajaran tanpa salah. Apa yang kita pilih tentang tanpa salah berarti akan bergantung pada pandangan kita mengenai

33 Bdk. C HRISTOPHER B UTLER , “The theology of Vatican II”, London 1981, 48- 49.

34 C HRISTOPHER B UTLER , “The theology …”, 49.

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 20 |

kebenaran dimana kitab suci di sini dikatakan untuk mengajar. Di sini kata kebenaran dikualifikasikan dengan suatu pernyataan tentang finalitas atau tujuan dari inspirasi; pertanyaan mengenai kebenaran ini sesuai dengan rencana penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Pada saat yang sama kebenaran ini dapat dimengerti bahwa kebenaran yang bersifat materi di dalam detil-detil sejarah profan atau ilmu pengetahun tidak penting berkaitan dengan tujuan tersebut. Dengan kata lain, kriteria kebenaran kitab suci tidaklah ketepatan materi tetapi relevansi formal. Inspirasi apa yang sungguh-sungguh memberi garansi adalah kebenaran rohani Kitab suci, dan kebenaran historisnya sejauh hal itu relevan dengan penebusan kita.

Di dalam teologi Katolik, kata- kata “diinspirasi” dan “inspirasi” sering digunakan baik secara umum maupun untuk semua karya rahmat Allah di dalam dan pada jiwa manusia. Upaya-upaya telah dibuat oleh Newman dan orang lain untuk menetapkan suatu batas tentang inspirasi dengan memberi kebebasan praktis terhadap kategori-kategori tertentu dari pernyataan- pernyataan alkitabiah. 35 Teori inspirasi mengakomodasi tidak hanya Kitab

Suci melainkan juga berkenaan dengan semua literatur yang berdasarkan pada satu kenyataan yang diperhatikan yakni relasi manusia dengan Allah. 36

Pemahaman ini memiliki pengaruh yang dapat dipertimbangkan yang hampir sama dengan konteks hidup religius. Mempertimbangkan bahwa proses pendirian lembaga-lembaga hidup bakti dapat dibandingkan dengan para penginjil di dalam menuliskan kita- kitab suci mereka, “para pendiri komunitas-komunitas religius, sebagai instrument dari Penyelenggaraan Ilahi dan dibawah inspirasi Roh Kudus, memikirkan visi dan melahirkan keluarga religius, mereka terbuka untuk potensi yang sangat banyak demi perkembangan kemuliaan Allah, demi untuk melayani orang-orang kepada keutuhan dan kekudusan, demi menjawab kebutuhan-kebutuhan mendesak

35 Lih. J OHN H ENRY N EWMAN , “An essay on the Development of Christian Doctrine”, London 1906. 36 Bdk. D AVID R. L AW , “Inspiration”, London 2001, 206. Kenyataannya, pada abad kesembilan belas, kodrat inspirasi Alkitabiah menjadi issue dan bahwa teologi

inspirasi ditempatkan bersama. Lih. M ARTIN M C N AMARA , MSC, “Inspiration”, dalam J OSEPH K OMONCHAK - M ARY C OLLINS - D ERMOT A L ANE , ed., The New Dictionary of Theology , Dublin 1987, 523.

21 | Petrus Suparyanto

Gereja dan dunia.” 37 Dalam konteks alkitabiah inilah, kata kunci “inspirasi” berguna untuk menganalisa inspirasi pada Pendiri.

7.2. Istilah “kharisma”

Istilah kharisma (Yunani: χάρισμα) berarti hadiah yang diberikan dengan ikhlas dan bebas, suatu pemberian yang tulus, suatu berkat. Kharisma- kharisma sebagaimana dimengerti di dalam Kitab Suci pertama-tama adalah suatu janji, kemudian relasinya dengan individu yang memilikinya, dan akhirnya artinya bagi kesatuan Gereja. 38 W. Harrington menegaskan bahwa:

“Pauluslah yang memperkenalkan istilah kharisma ke dalam bahasa hidup religius: istilah itu berarti rahmat yang dihadiahkan secara bebas. Kharisma merupakan hadiah supranatural yang diberikan oleh Roh Kudus untuk pembangunan tubuh Kristus. Kharisma merupakan hadiah yang memiliki sumbernya pada charis – rahmat atau hadiah yang diberikan dari ketulusan hati – Allah dan yang ditujukan demi kesejahteraan umum (1 Cor 12:7).

Kharisma-kharisma merupakan rahmat yang banyak dan yang berkaitan dengan macam- 39 macam fungsi dan pelayanan.”

Di dalam Perjanjian Baru istilah kharisma 40 tidak pernah menunjuk pada suatu hadiah dari seorang kepada yang lain. 41 “Kenyataannya, Paulus

37 S HAUN M C C ARTY , S.T., “Touching Each Other at the Roots. A Reflection on the Charism of the Founder”, RR

38 Bdk. J OSEPH F ICTNER , O.S.C., “Signs, charisms, Apostolates”, RR 27 (1968) 773-777.

39 W. H ARRINGTON , “Charism”, dalam J. A. K OMONCHAK – M. C OLLINS –

D ERMOT A. L ANE , ed., The New Dictionary of Theology , Dublin 1987, 180. 40 Kharisma adalah: karunia Allah (Rm 5, 15, 6,23; 11, 29; 2Tim 1,6; 1Kor 1,4.7; 7,7; 12,28; 2Kor 1,11; 1Ptr 4,10); karunia Krisus (1Kor 1,4-7, Rm 5, 15; 6, 23; 12, 5- 6; Ef 4, 7-12); karya Roh Kudus (1Kor 12, 4-11; Rm 1, 11; 2Tim, 1,6; Ibr 2,4). Kharisma-

kharisma adalah: karunia-karunia Roh (1Kor 12, 1.4;14, 12-19.32); berkata-kata oleh Roh Allah (1Kor 12,3.13), bermacam-macam (1Kor 12, 7.29-30; 8-10.28-30; 7,7; Rm 12,6- 8; Ef 4, 11-13; 12,5; 1Tim 4,14; 2Tim 1,6); tanda nyata karya Roh Kudus dalam dalam pribadi bagi suatu tugas tertentu (1Kor 12,7), atau bagi komunitas (bdk. LG 7c; 12b; St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae . III, q.27, a.7) atau untuk dirinya sendiri (1Kor 14,2.4.28); karunia luar biasa (1Kor 12,9-10; Rm 12,&) atau karunia biasa (penting untuk kehidupan Gereja: 1Kor 12,8-9; Rm 12,7-8; 1Kor 12,28; Ef 4,11; 1Tim 4,14; 2Tim 1,6; Rm 12,7; 1Ptr 4,11); temporer atau permanen (Rm 12,6; 1Kor 7,7; Ef 5,25-33; 1Ptr 4,10.11); yang dikomunikasikan langsung oleh Roh Kudus atau melalui penumpangan tangan (1Tm 4,12;2Tm 1,6).

BERTOLAK DARI SPIRITUALITAS PENDIRI 22 |

menggunakan istilah kharisma untuk merujuk hadiah rahmat, persembahan yang dilakukan dengan bebas dan penuh kasih oleh Roh Kudus untuk menghasilkan di dalam diri penerima suatu kapasitas definitif untuk bertindak sedemikian rupa untuk membangun komunitas orang-orang

beriman.” 42 (bdk. Roma 12 and 1 Korintus 12). Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan, pengertian kharisma adalah rahmat atau hadiah

cuma-cuma dari Allah untuk pembangunan komunitas demi kesejahteraan umum.

St. Thomas Aquinas 43 menyatakan bahwa rahmat yang diberikan Allah tidak untuk pembenaran atau kesucian pribadi, tetapi untuk kesejahteraan

spiritual bagi yang lain. Pernyataan itu membedakan secara esensial dari tipe rahmat yang membalas kebahagiaan pribadi kepada Allah atau kudus dalam pandangan-Nya (gratia gratum faciens). Semua rahmat adalah pemberian

cuma-cuma (gratis data) oleh Allah. Karena kharisma tidak mengurangi kesempurnaan dari kekudusan pribadi yang diberikan, kharisma dilukiskan dengan menggunakan istilah umum rahmat yang diberikan secara cuma-

Cuma (gratia gratis data). 44 Kharisma mungkin diberikan kepada tiap pribadi di dalam rupa instrument yang murni untuk memberi pengaruh baik bagi

yang lain. Dengan demikian, seorang pribadi yang kharismatis tidaklah penting sebagai pribadi yang kudus. Kharisma merupakan hasil intervensi khusus dari Allah terhadap fakultas dan cara kerja seseorang.

Roh Kudus hadir secara aktif di dalam Gereja. Kehadiran aktifnya menjadikan Gereja secara esensial Gereja yang kharismatis, suatu realitas organisma yang digerakkan oleh Roh Kudus. Kharisma diberikan untuk

41 Bdk. G. G HIRLANDA , “Carisma di un istituto e sua tutela”, VitaCon 58 (1992) 467. 42 A. R OMANO , “The Charism of the Founders: The person and charism of

founders in contemporary theological reflection”, Ireland 1994, 75. 43 Nampaknya rahmat tidak secara memuaskan dapat dibagi menjadi rahmat pengudusan dan rahmat yang dihadiahkan secara bebas. Karena rahmat merupakan

suatu karunia Allah… Tidak seorangpun membahagiakan Allah karena ia sendiri dihadiahi sesuatu oleh Allah, melainkan sebaliknya: seseorang dihadiahi sesuatu secara bebas oleh Allah karena ia membahagiakan Allah. Karenanya, tidak ada sesuatu pun

sebagai karunia pengudusan. Lihat dalam S T .T HOMAS . A QUINAS , Summa Theologiae. Vol. 30. The Gospel of Grace (1a2ae. 106-114), Blackfriars 1972, 125. English translation, introduction, notes, appendixes and glossary by Cornelius Ernst O.P.

44 Bdk. R. J. T APIA , “Given to Individual”, dalam NCE Vol. III, 462.

23 | Petrus Suparyanto

Gereja, karenanya tidak ada konflik antara kharisma dan institusi. 45 “Penafsiran tentang kharisma mengantar kepada suatu eklesiologi yang

hidup dimana Roh dilihat sebagai sumber dari segala aktifitas di antara umat Allah.” 46

Di dalam dokumen Vatikan II istilah kharisma digunakan sebelas kali (LG 12 b; 25c; 30; 50a; DV 8c; AA 3d; 30f; AG 23a; 28 a; PO 4b; 9b) dan

“kharismatis” tiga kali (LG 4a; 7c; AG 4) 47 . “Yang dimaksud kharisma, istilah ini menunjuk suatu hadiah dari Allah kepada seseorang yang

kepadanya Allah memanggil untuk pelayanan, suatu misi, suatu jabatan, di dalam dan untuk Gereja. Istilah kharisma tidak hanya membicarakan hadiah yang diberikan kepada seseorang tertentu, tetapi juga di dalam Gereja. Kharisma semestinya telah terlaksana di dalam kenyataan Gereja yang

kompleks, dengan segala institusi- 48 institusi yang tampak. (LG 7h; 12b; 8a).” Lumen gentium 49 12b adalah hal penting utama dalam mempertimbangkan ajaran Gereja tentang kharisma 50 . Lumen gentium 12 mengakui sebagai

berikut: Umat Allah berpartisipasi di dalam tugas kenabian Kristus. Mereka dibangun dan ditopang oleh Roh Kudus. Mereka dibimbing oleh magisterium. Roh Kudus membuat umat Allah kudus. Roh Kudus menganugerahkan rahmat khusus kepada orang beriman dengan macam-macam tugas dan perkerjaan di dalam Gereja untuk pembaruan dan pembangunan Gereja. Otoritas Gereja yang kompeten seharusnya menguji dan menilai autentisitas

45 Kharisma dan institusi tidak saling bertentangan: kharisma membutuhkan

suatu institusi. Bdk. G. G HIRLANDA , “Carisma ...”, 468.

46 J.F. G ALLAGHER , “For the Church”, dalam NCE Vol. III, 463. 47 G. G HIRLANDA , “Carisma”, dalam NDDC, 128. 48 G. G HIRLANDA , “Carisma”, dalam NDDC, 129. “Kharisma dipahami sebagai

hadiah yang Allah berikan kepada seseorang yang dipanggil untuk melaksanakan karya pelayanan, suatu misi, atau karya kerasulan, di dalam dan untuk Gereja. Dengan demikian, penjelasan tentang suatu karunia tidak hanya untuk seorang pribadi, tetapi juga bagi Gereja. Ia harus ditempatkan di dalam reliatas Gereja yang kompleks, dengan segala bentuk lembaga yang kelihatan.”

49 T HE V ATICAN C OUNCIL II, Lumen Gentium , Dogmatic Constitution on the Church, 21 Nov. 1964, AAS