Tabel 6. Persentase komposisi penduduk Kuta Rakyat Berdasarkan Pendidikan No
Tingkat Pendidikan Jumlah jiwa
Persentase 1
Tidak Tamat SD 177
10 2
SD 353
20 3
SMP 530
30 4
SMA 618
35 5
Perguruan Tinggi 88
5 Jumlah
1765 100
Berdasarkan tabel di atas, tdapat diasumsikan bahwa tingkat pendidikan penduduk di desa Kuta Rakyat masih tergolong rendah yang dapat kita lihat dari
jumlah keseluruhan penduduk hanya mencapai 5 yang melanjut ke perguruan tinggi sedangkan SMA 35.
d. Sarana dan Prasarana
Sarana kesehatan yang tersedia di desa Kuta Rakyat adalah 1 bangunan puskesmas dimana masyarakat pada umumnya akan dating ke tempat ini jika
mengalami penyakit ringan seperti demam, flu, dan batuk dan jika terserang penyakit berat dan bersifat serius maka lebih memilih untuk berobat ke kota
Brastagi atau Kabanjahe. Sarana ibadah yang terdapat di desa Kuta Rakyat adalah 1 bangunan
masjid untuk peribadatan umat muslim, 1 bangunan gereja untuk peribadatan agama Kristen Protestan, dan untuk agama Khatolik biasanya menjalankan ibadah
ke desa Sigarang- garang yang merupakan desa tetangga karena belum adanya gereja di desa Kuta Rakyat.
Sarana Pendidikan yang terdapat di desa Kuta Rakyat yaitu 1 bangunan sekolah untuk Taman Kanan- Kanak dan 1 bangunan sekolah Dasar. Untuk
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan pendidikan Ke tingkat SMP dan SMA harus keluar desa yaitu SMP ada di desa Sigarang- garang atau ke Brastagi dan Kabanjahe sedangkan SMA ada
di Brastagi dan Kabanjahe dan di Kecamatan Simpang Empat desa Sibintun.
Dusun Tongkoh Desa Dolat Rakyat a. Sejarah Desa
Menurut legendanya secara oral historis atau cerita turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dataran tinggi Karo mulai dihuni oleh
masyarakat Melayu Tua yang datang kedaerah pegunungan Karo, kemudian menjadi suku bangsa Haru. Salah satu sub-marganya adalah Karo Sekali yang
bermukim di kampung Capah, sekarang dinamai Seberaya. Disinilah pertama sekali bangsa Haru
menyebut Karou dan menjadi Karo oleh marga Karo Sekali. Sebelum kampung Sicapah bernama Seberaya, kampung ini masih terbagi dalam empat kesain yang
berpencar-pencar, yaitu Kesain Rumah Juluun, Kesain Rumah Seribu, Kesain Rumah Karo, dan Kesain Rumah Sinuraya. Kemudian setelah orang-orang Hindu
Tamil bermukim di daerah tersebut kira-kira tahun 1200-an, mereka berasimilasi dengan penduduk setempat dan mendapat keturunan sampai beberapa generasi,
maka kampung Sicapah berubah nama menjadi Seberaya. Seberaya berasal dari kata sabe-sabe yang berarti pemujaan dan raya yang berarti besar, karena di
kampung inilah pertama sekali diadakan sebuah musyawarah besar umat Hindu Perbegu, kira-kira pada permulaan abad ke-14 sebelum legenda Putri Hijau lahir
di kampung itu pada abad ke-16.
Universitas Sumatera Utara
Kampung Sicapah dengan ibukotanya Kerajaan Haru Sicapah berasal dari kata Capah yang artinya piring. Terjadinya nama kampung dan kerajaan Haru
Sicapah adalah karena pada mulanya nenek moyang suku Karo melahirkan bayi kembar lima berselaput dan dibedah diatas piring besar. Sejak saat itulah tempat
kediaman nenek moyangnya yang kembar lima itu dinamai kampung Sicapah yang awalnya dinamai burung Sicapah. Kelima nenek moyangnya itu melahirkan
keturunan yang bermarga Karo Sekali, Karo-karo Kemit, Karo-karo Samura, Karo-karo Bukit, dan Karo-karo Sinuhaji dan Sinuraya.
Penduduk desa Seberaya ini biasanya dengan bangga mengatakan bahwa merekalah penduduk asli di Tanah Karo.9 Setelah beberapa generasi mendiami
desa Seberaya sebagai Pemantek Kuta kelmpok pendiri desa, akhirnya sebahagian dari pada kelompok marga Karo Sekali semakin terdesak oleh
pendatang kelompok marga yang lain sehingga lahan pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin sempit. Hal ini mendorong
sebahagian kelompok marga Karo Sekali mencari tempat pemukiman yang baru untuk mengatasi tantangan tersebut.
Sebelum pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa di Tanah Tinggi Karo pada tahun 1901, yang dimulai dengan pecahnya Perang Garamata, timbullah
perselisihan paham diantara sesama marga Karo Sekali di desa Seberaya untuk memperebutkan masalah pembagian warisan tanah yang ada di desa tersebut.
Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan, maka sekelompok dari kelompok yang bertikai tersebut mencari alternatif dengan mencari pemukiman yang baru, untuk
menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya perang saudara. Akhirnya kelompok ini pergi meninggalkan desa Seberaya menuju kearah daerah sebelah
Universitas Sumatera Utara
selatan yang jaraknya kira-kira 18 km dari desa Seberaya, kemudian di tempat yang baru tersebut mereka mendirikan sebuah perkampungan baru sebagai tempat
tinggal yang baru. Desa yang baru ini kemudian dinamakan oleh mereka dengan nama Taneh Jawa. Tidak ada asal usul nama tempat yang baru ini, namun
awalnya bernama “Perawa-rawa” yang artinya pemarah, dibuat seperti itu agar tidak ada kelompok lain yang mengusik keberadaan mereka.
Dalam waktu yang relatif singkat daerah tersebut mengalami perkembangan. Berhubung komunikasi dengan daerah sekitarnya sangat sulit
serta adanya ancaman binatang buas sehingga keamanan mereka terganggu, pada akhirnya mereka pindah ke pinggir jalan raya Medan-Berastagi yang waktu itu
masih berupa jalan setapak, di dekat pemukiman yang baru ini terdapat sebuah aliran sungai yang kecil dan gendek. Perkembangan selanjutnya, pada dekade
awal tahun 1970-an, sebagaimana halnya dengan nama-nama desa yang lain, desa Lau Gendek dirubah namanya menjadi desa Daulat Rakyat sesuai dengan
musyawarah masyarakatnya, dan merupakan nama gabungan dari desa Lau Gendek dengan Desa Tongkoh.
Latar belakang berdirinya desa Tongkoh sendiri adalah karena perpindahan kaum pendatang marga Karo-karo Bukit dari desa Sampun, sebelum
Belanda berkuasa di Tanah Karo. Sama seperti perpindahan submarga lainnya yang ingin mencari lahan baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, marga
Karo-karo Bukit juga demikian. Namun tidak seperti marga Karo Sekali yang datang secara berkelompok, marga Karo-karo Bukit datang justru hanya dengan
sebuah keluarga saja, kemudian beberapa tahun berikutnya diikuti oleh kedatangan marga Karo-karo Gurusinga yang masih saudara dekat dengan
Universitas Sumatera Utara
keluarga Karo-karo Bukit. Singkat cerita Karo-karo Bukit yang pertama datang menyerahkan lahan-lahan kosong kepada Karo-karo Gurusinga. Pendatang yang
terakhir muncul adalah kelompok marga Sembiring yang menghuni di daerah perbatasan desa Tongkoh dengan desa Lau Gendek. Jadi hanya ketiga marga
inilah yang mendiami desa Tongkoh secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Asal mula nama desa Tongkoh sendiri tidak terlepas dari cerita terkenal Tanah Karo tentang legenda Putri Hijau versi orang Karo. Putri Hijau br
Sembiring Meliala lahir di Seberaya dari seseorang yang bermarga Sembiring Meliala keturunan Hindu Tamil.11 Ia pergi meninggalkan Seberaya disebabkan
terjadinya salah paham di dalam keluarganya. Dari Seberaya Putri Hijau pergi ke daerah Lau Kawar berharap akan ada yang akan menyusulnya, namun belum juga
ada Anak Berunya yang menyusulnya, kemudian ia pergi kedaerah Lau Gendek yang ketika itu masih berupa lahan yang kosong, Anak Berunya belum juga
kelihatan menyusul, hingga sampailah Putri Hijau di suatu tempat persinggahan, yaitu sebuah lahan yang kosong dengan hutan lebat dipinggirannya. Ia mulai
beristirahat dan berpikir di tempat itu, timbul tanda tanya dalam dirinya mengapa Anak Berunya tidak juga datang menyusulnya. Sambil menyunyah daun sirih,
pikirannyapun menjadi “Tongkoh”, apakah ia harus kembali ke Seberaya atau pergi ke tempat saudara ayahnya yang berada di daerah Deli Tua.
Hubungan desa Tongkoh sendiri dengan desa Lau Gendek adalah tidak lain atas hubungan tanah, karena marga Karo Sekali yang pertama sekali
mendiami desa Lau Gendek sampai ke daerah pinggiran desa Tongkoh, maka marga Karo Sekali dianggap sebagai tuan tanah seluruh daerah tersebut. Seperti
Universitas Sumatera Utara
halnya dengan desa-desa lain di Tanah Karo, karena kedua desa ini didirikan oleh marga Karo Sekali, secara otomatis jabatan Penghulu atau Kepala Desa di pegang
oleh kelompok marga tersebut secara turun-temurun. Demikian juga halnya dengan pemilikan tanah dimana sebagian besar dikuasai oleh kelompok marga
tersebut kecuali desa Tongkoh yang seluruh lahan pada mulanya dikuasai oleh marga Karo-karo Bukit, kemudian diberikan sebagian kepada marga Karo-karo
Gurusinga dan marga Sembiring. Sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan,
jabatan Kepala Desa dipegang oleh Atuk Karo Sekali, kemudian sejak tahun 1945-1975, jabatan tersebut diserahkan kepada keturunannya yang bernama Lias
Karo Sekali. Sedangkan pada periode 1975-2002, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Cengken Hasan Karo Sekali. Saat ini jabatan Kepala Desa diserahkan ke
Te Karo Sekali yang merupakan adik kandung dari Cengken Hasan Karo Sekali. Dengan demikian desa ini dapat dikatakan sebagai desa yang sifatnya homogen.
b. Letak Geografis dan Kondisi Iklim