Urgensi Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Terkait Hak Asasi Terdakwa.

(1)

i

URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK

DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA

I GEDE WINARTHA INDRA BHAWANA NIM. 1490561046

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA

Tesis ini untuk memperoleh gelar Magister Pada Program Magiser Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GEDE WINARTHA INDRA BHAWANA NIM. 1490561046

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 1 JUNI 2016

Pembimbing I,

(Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS.) NIP. 19530914 197903 1002

Pembimbing II,

(Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH) NIP. 19571212 198301 1001

Mengetahui,

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Udayana

(Dr. I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, SH., MH.) NIP. 19560410 198303 1 002


(4)

iv

Panitia Penguji

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2408/ UN14.4/ HK/ 2016

Tanggal : 6 Juni 2016

Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS. Anggota :

1. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH 2. Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH 3. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH., MH 4. Dr. Putu Tuni Cakabawa L., SH., M.Hum


(5)

v

Nama : I GEDE WINARTHA INDRA BHAWANA NIM : 1490561046

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Urgensi Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Terkait Hak Asasi Terdakwa

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, Maret 2016 Yang menyatakan,


(6)

vi

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, sehingga penulisan Tesis yang berjudul “Urgensi Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Terkait Hak Asasi Terdakwa”, dapat penulis selesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : Rektor Universitas Udayana Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Ibu Prof Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S2) Ilmu Hukum di Universitas Udayana.

Ketua Program Studi S2 Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM sejak tanggal 6 Juli 2016 Kaprodi diganti oleh Bapak Dr. I Dewa Nyoman Rai Asmara


(7)

vii

serta ilmu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana S2 Ilmu Hukum Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.H (Beliau sejak tanggal 6 juli 2016 menjabat kembali sebagai Sekretaris Prodi), atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister S2 Ilmu Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Bapak Prof Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MH., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran serta ilmu yang penulis terima baik selama mengikuti perkuliahan maupun selama Bapak Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran serta ilmu yang penulis terima baik selama mengikuti perkuliahan maupun selama bimbingan.

Bapak / Ibu / selaku Ketua / Sekretaris dan Anggota Penguji I, II dan III, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis guna penyempurnaan tesis ini.

Para Dosen pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah memberikan arahan serta ilmu yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan,

Seluruh kaiyawan/kaiyawati pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan


(8)

viii

Bapak / Ibu Orang Tua, serta adik-adik yang saya cintai dengan tekun memberi doa dan dorongan sehingga tesis ini bisa terselesaikan penyusunannya.

Bapak dan Ibu serta saudara-saudara handai taulan, dan teman-teman angkatan tahun 2014 di S2 Ilmu Hukum yang telah memberikan dukungan serta doa dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak dapat penuhs sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauli dari kesempurnaan baik mengenai isi maupun dari segi teknis penulisannya, sebagaimana pepatah mengatakan “Tiada Gading Yang Tak Retak”. Oleh karenanya penuhs dengan kerendahan hati sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahinat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, dan semoga tesis ini dapat bennanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pecinta hukum pada umumnya

Denpasar, Maret 2016


(9)

ix

Adapun judul penelitian tesis penulis adalah “Urgensi Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Terkait Hak Asask Terdakwa”. Fenomena yang tampak bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sangat mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, telah terjadi secara sistemik, menghambat pembangunan, merugikan keuangan negara, berpengaruh negatif terhadap roda perekonomian masyarakat luas, dirasakan sulit untuk ditanggulangi dan diberantas, secara teknis peradilan sulit dibuktikan pelakunya, bahkan korupsi terjadi di segala lini kehidupan seperti sektor eksekutif, legislatif, yudikatif dan sektor swasta. Permasalahan yang disajikan : 1. Apakah ada sinkronisan pengaturan sistem pembuktian antara KUHAP dengan UU Pemberantasan Korupsi saat ini ?. 2. Apakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?

Pengaturan sistem pembuktian antara KUHAP (Pasal 66) dengan UU Korupsi (Pasal 37 ayat (3)) tampak adanya norma hukum yang konflik. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Dengan kajian dan analisis diskriptif. Dengan memuat tujuan umum dan khusus, serta manfaat penelitian secara teoritis dan praktis. Dalam landasan teoritis dipaparkan asas-asas hukum dan konsep-konsep terkait dengan pembuktian, serta teori – teori hukum seperti Teori Kebijakan Hukum Pidana, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Keadilan, Teori Hukum Pembuktian, Teori Kewenangan, dan Teori Fungsi untuk mengkaji dan membahas masalah yagn diketengahkan.

Temuan penelitian terangkan bahwa pengaturan saat ini tentang sistem pembuktian dalam peradilan korupsi belum ada sinkronisasi antara aturan umum beracara dengan aturan beracara khusus peradilan korupsi dan pengaturan pembuktian dalam peradilan korupsi saat ini tampak bertentangan dengan hak terdakwa. Perspektif kedepan perlu perbaikan terkait kelemahan tersebut.


(10)

x

Corruption Related to the Defendant Rights”. Phenomenon appears that corruption happens very disruption the stability of the government administation. There has been a systemic obstacle to development, state financial harm, a negative effect on the economy of the community at large, was difficult to overcome and eardicated, it is technically difficult to establish justice the perpetators, even corruption occurs in all aspect of life such as sector executive , legislature, judicaiary and private sector. The problems presented : 1. If there is no synchronization between the authentication system, the criminal procedure code with the law on fithting corruption today ?. 2. Whether the system settings of proof in corruption is not contrary to the defendant’s rights ?

Verifications system setting between the criminal procedure code (Article 66) with corruption Act (Article : 37 Paragraph 3) it appears the legal norms. This research uses nomative research types. With studies and descriptive analyzes. By loading the gernal and specific objectives, as well as the benefits of research teretically and practically. The theoretical foundation otlined legal principles and concepts related to vertification, as well as legal theories such as the theory of criminal law policy, the law of harmony theory, theory of justice, rules of evidence theory, the theory of authority, and the theory of duncions to review and discuess issues presented.

Summarized the reeearch indings that the current settings of proof in the judicial system of corruption has been no general rules synchronization proceedings with special procedural rules of justice, and the setting of devidence in judicial corrption now seems contrary to the rights of the accused. Future perspetive relatd to these weaknesses need improvement.

Key words : Autentication be upside down, the judiciary, corruption, defendant rights.


(11)

xi

Penulisan tesis ini berjudul ““Urgensi Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Terkait Hak Asasi Terdakwa”. Tersusun ke dalam 5 (lima) bab dengan penjabaran ringkas seperti beriku t:

BAB I Pendahuluan, memuat : 1 Latar belakang : Fenomena korupsi terjadi di Indonesia sangat pesat secara kualitas dan kuantitas dirasakan menggnaggu stabilitas pemerintahan, ekonomi, sosial dan menghambat pembangunan, merugikan keuangan neara, dilakukan secara sistemik, korupsi terjadi disektor eksekutif, legislatif, yudikatif serta sektor swasta, pengungkapannya sangat rumit dan pembuktiannya semakin sulit. Dalam pengaturan pembuktian terjadi norma hukum yang konflik antara KUHAP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 37 ayat (3)) UU No. 31 Tahun 1999). 2. Dengan Rumusan Masalah : 1. Apakah ada sinkronisasi pengaturan antara sistem pemubktian dalam KUHAP dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi INdonesia saat ini ?, 2. Apakah sistem pembuktian terbalik dalam peradilan tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?. 3. Ruagn Lingkup Masalah : 1. Membahas tetnang pengaturan sistem pembuktian dalam UU Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Membahas tentang hubungan pembuktian terbalik dengan hak asasi terdakwa. 4. Tujuan Umum Penelitian, adalah sebagai pengembangan ilmu khususnya ilmu hukum dalam paradigma ilmu sebagai suatu proses (a science is a process). Tujuan khusus menyangkut untuk mengetahui, mengkaji serta menganalisis penggunaan beban pembuktian terbalik dalam peradilan korupsi dan mengkaji pula keterkaitan pembuktian terbalik dengan hak – hak asasi terdakwa khususnya hak atas asas praduga tak bersalah. 5. Manfaat Penelitian, secara teoritis diantaranya sebagai sumbangan pengembangan keilmuan hukum pidana formal terkait process peradilan pidana. Dan manfaat praktisnya adalah guna memperdalam pengetahuan penulis di bidang hukum acara menyangkut aspek pembuktian dalam peradilan korupsi, serta sumbangan bagi praktisi tentang pemahaman akan esensi sistem pembuktian terbalik. 6. Originalitas Penelitian,


(12)

xii

peradilan pembuktian Tindak Pidana Korupsi. 7. Landasan Teoritis dalam membahas masalah memakai asas – asas hukum, konsep serta teori – teori hukum seperti teori kebijakan hukum pidana, teori harmonisasi hukum, teori keadilan, teori pembuktian, teori kewenangan, dan teori fungsional. 8. Metode Penelitian, 1. Jenis penelitian tergolong penelitian hukum normatif (Penelitian hukum doktrinal / kepustakaan0. 2. Pendekatannya memakai pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus serta pendekatan perbandingan. 3. Sumber bahan hukumnya yakni bahan hukum primer meliputi UU seperti UU No. 8 / 1981 (KUHAP), UU TPK (UU No. 31 / 1999 jo UU No. 20 / 2001 tentang PTPK), UNCAC dan UNCATOC (UU NO. 1 / 2006 dan UU No. 5 / 2009). Bahan hukum sekunder menyangkut literatur terkait substansi hukum pembuktian dan korupsi, dan bahan hukum tersier kamus, ensiklopedia, majalah dan lain-lainnya. Teknik pengumpulan bahan hukumnya berupa studi dokumen, mengumpulkan bahan hukum terkait dengan substansi yagn dibahas. Teknis analisisnya menggunakan teknis deskriptif (menguraikan apa adanya) terhadap jenis penafsiran gramatikal, sejarah sistematis dan kontektual, serta menggunakan pula tkenis analisis evaluasi dan argumentasi terkait kasus pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi yang diterapkan saat ini.

BAB II, Memuat Tinjauan Umum yang menyangkut tentang penertian atau definisi, hakekat dan makna masing-masing dari variabel judul sehingga tersusun dalam kalimat judl yang saling terkait antara kata yagn satu dengan kata yang lain, seperti berikut : arti kata urgensi artinya secara asal kata “urgen” berarti keharusan mendeksa. Kata “sistem” diantaranya berarti “keseluruhan, unsur-unsur yang tersusun”, mempunyai tujuan sama dan lain-lain. Arti pembuktian diartikan perbuatan, hak, proses. Membuktikan diartikan menyakinkan, melakukan sesuatu dan lain-lain. Sistem pembuktian terbalik mengandung makna bahwa pembuktian pada umumnya. Pembuktian pada umumnya bahwa yang dibebani beban


(13)

xiii

putusan hakim. Sedangkan arti tindak pidana menyangkut makna perbuatan sesuai aturan yang dicantumkan dalam pasal-pasal sebagai rumusan delik. Batasan istilah terdakwa mengandung makna bahwa keadaan / posisi seseorang yang sebelumnya sebagai tersangka keudian dituntut diperisa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Sedangkan arti dan makkna kata kroupsi diartikan antara lain sebagai perbuatan kediakjujuran, kecurangan, kerusakan, keboborkan dan lain-lain. Ciri – ciri dan dampak korupsi seperti : korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang, selaku bersifat rahasia, kroupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, korupsi melanggar norma-norma, korupsi sebagai bentuk pengkhianatan dan lain-lain. Adapun tipologi korupsi dikalasifikasn sebagai : korupsi transaktif, korupsi sebagai pemeriksaan, korupsi investif (pemberian), korupsi perkerabatan korupsi merugikan keuangan negara, tipe tindak pidana korupsi suap, tipe tindak pidana korupsi pemerasan, tipe tindak pidana korupsi penyerbotoan, tipe tindak pidana korupsi gratifikasi, tipe tindak pidana korupsi percobaan, pembantuan, permufakatan dan tipe tindak pidana korupsi lainnya. Adapun modus operandi korupsi seperti : pemberian suap, emalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan dan wewenangkan, nepotisme, pemalsuan pajak, pengadaan barang dan modus operandi tindak pidana korupsi dengan pencucian uang (money loundering)

BAB III, memuat penjabaran substansi seperti : Hak-hak terdakwa berdasar KUHAP dan sistem pembuktian dalam peradilan umum dan pembuktian menurut UU tindak pidana korupsi.

1. Hak – hak terdakwa menurut KUHAP (UU No. 8 / 1981) dapat penulis inventansir mulai Pasal 50 sampai dengan beberapa pasal tersebar dalam kUHAP jumlahnya kurang lebih 37 buah pasal (seperti teruai pada halaman 95 sampai denga halaman 98 naskah tesis). Namun hak-ak prinsip bagi ter dakwa terkait pembuktian di depan sidang yagn merupakan hak asasi yang esensi seperti : hak terdakwa untuk tidak dibebani beban pembuktian (Pasal 66


(14)

xiv

depan sidang (Pasal 52 KUHAP), dan hak terdakwa untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 37 UU No. 48 Taun 2009).

2. Secara historis pengaturan pemberantasan korupsi di Indonesia secara hukum positif telah diatur mulai dari KUHP (Terdiri dari kurang lebih 17 buah pasal). Peraturan penguasa militer Angkatan Darat, UU No. 24 Prp. Tahun 1960, UU No. 3 Tahun 1971, dan terakhir UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyangkut tentang perkembangan pemberantasan snaksi pidananya.

3. Ketentuan pengaturan pembuktian terbalik dalam konvensi PBB, seperti di dalam UNCAC 2003 terkait pembuktian terbalik yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006, bahwa dalam konvensi diatru tentang pembuktian terbalik, namun sifatnya tidak mengikat tergantugn masing-masing dari negara peserta konvensi, terutama pembuktian terbalik dikaitkan dengan pengembalian aset / perampasan aset.

4. Ketentuan pengaturan pembuktian terbalik dalam UNCATOC 2000, yang telah diratifikasi oleh INdonesia dengan UU No. 5 Tahun 2009, dalam Article 12 angka 7 diatur tentang pembuktian terbalik terkait asal uslnya sah dan hasil tindak pidana yang diduga sebagai hasil tindak pidana

5. Jenis alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP terdiri dari : Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

6. Sistem pembuktian menurut KUHAP bahwa pada peradilan pidana dianut pembuktian berdasarkan UU secara negatif, maksudnya hakim baru akan menjatuhkan sanksi pidana apabila berpedoman pada minimal adanya 2 (dua) alat bukti yagn diakui sah. Menurut UU dan ditunjang adanya keyakinan hakim bahwa terdakwalah terbukti bersalah melakukan perbuatan sesuai tuduhan jaksa (Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 183 KUHAP).

7. Jenis alat bukti dan sistem pembuktian dalam UU Tindak Pidana Korupsi dalam peradilan korupsi meakai acuan alat bukti sesuai Pasal 184 ayat (1)


(15)

xv

1999 jo UU NO. 20 / 2001) adalah sistem pembuktian terbalik yang berimbang).

8. Analisis teori hukum terhadap masalah terkaiat penerapan pembuktian secara umum beban pembuktian menurut KUHAP dan beban pembuktian dalam peradilan korupsi (Peradilan Umum – Jaksa dibebani pembuktian, peradilan korupsi terdakwa pada awalnya dibebani pembuktian, baru terakhir kembali mengejar pembuktian dari terdakwa korupsi).

BAB IV : Sistem Pembuktian Terbalik Dan Hak Terdakwa Terkait Asa Praduga Tak Bersalah Dalam Peradilan Korupsi :

1. Pembuktian terbalik didapat pengaturannya secara universal dalam beberapa konvensi seperti UDHR / DUHAM pada Pasal 11 ayat (1) UDHR, juga dalam ICCPR Pasal 14 ayat (2) (Pada intinya seseoragn yang disangka ./ didakwa melakukan pelanggaran pidana dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan ia bersalah).

Dalam hukum positif Indo makna APTB terdapat pada Pasal 18 ayat (1) UU No. 39 / 1999 tentang HAM, Pada Pasal 8 UU No. 48 / 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Disamping sebelumnya secara aturan internasional APTB telah tersurat dan tersirat dalam UNCAC dan UNCATOC.

2. Perbandingan SPTB dibeberapa negara asing seperti dengan negara Inggris, Singapura, Malaysia juga menerapkan SPTB tersebut, khususnya perbuatan yang tergolong gratifikasi dan penyuapan terhadap pejabat yang menerima imbalan.

3. Pembagian beban pembuktian dan alat bukti dalam proses pembuktian, dalam hal ini beban pembuktian dalam peradilan umum beban pembuktian menjadi tugas Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya di dalam persidangan. Dalam tindak pidana korupsi disamping Jaksa Penuntut Umum masih membuktikan kesalahan yang didakwakan terlebih dahulu terdakwa


(16)

xvi

4. Urgensi SPTB dalam peradilan tindak pidana korupsi dan hubungannya dengan APTB. Dalam hal ini merupakan suatu hal yang dilemantis. Disatu sisi SPTB diperlukan guna pembuktian TPK yang sulit dan rumit pembuktiannya serta sifat TPK yang extra ordinary crime membutuhkan kebijakan-kebijakan penal dan non penal untuk memberantasan tindak pidana korupsi tetapi dalam pihak dibatasi oleh berbagai hak-hak asasi prinsip yang dimiliki terdakwa sebagai bentuk perlindungan hak asasi (HAM) terdakwa didepan proses peradilan

5. Analisis beberapa teori hukum terhadap masalah yang disajikan terkait SPTB dengan hak terdakwa serta APTB dalam peradilan TPK menampakkan kajian seperti : Teori hamonisasi hukum relevan untuk membahas dan mengkaji masalah pertama tetnang ketidakadanya sinkronisasi pengaturan sistem pembuktian antara kUHAP dengan UUPTPK (Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 37 ayat (3) UUPTPK) Maka perlu harmonisasi pengaruan kedepan tetnagn pembuktian tindak pidana korupsi (Terjadi konflik norma hukum). Sedagnkan untuk masalah kedua menyangkut penrapan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tampak bertentangan dengan prinsip asas praduga tak bersalah sehingga sepertinya teori hukum yang relevan membahasnya seperti teori keadilan, teori kebijakan hukum pidana, teori pembuktian, teori kewenangan dan teori fungsional.

BAB V : Penutup terdiri dari simpulan dan saran. Dalam simpulan dapat disarikan bahwa : 1. Dalam sistem pembuktian antara KUHAP dengan UUPTPK saat ini tidak adanya sinfkronisasi dan harmonisasi khususnya terhadap pihak yang dibebani tanggung jawab pembuktian. 2. Pengaturan sistem peembuktian terbalik dalam peradilan Tindak Pidana Korupsi saat ini pada prinsipnya bertentangan dengan hak asasi terdakwa, karena cenderung melanggar pelaksanaan asas praduga tak bersalah. Saran penulis berupa : 1. Agar legislatif


(17)

xvii

tidak dianggap melanggar asas praduga tak bersalah, karena hal itu merupakan pengecualian, mengingat tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus dan luar biasa (extra ordinary crime), memerlukan kebijakan – kebijakan khusus.


(18)

xviii

SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

RINGKASAN ... xi

DAFTAR ISI ...xviii

DAFTAR TABEL ...xvix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 20

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 21

1.4. Tujuan Penelitian ... 21

1.4.1. Tujuan Umum ... 22

1.4.2. Tujuan Khusus ... 22

1.5. Manfaat Penelitian ... 22

1.6. Orisinalitas Penelitian ... 23


(19)

xix

1.7.3. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) ... 33

1.7.4. Teori Hukum ... 37

1.8. Metode Penelitian ... 54

1.8.1. Jenis Penelitian ... 54

1.8.2. Jenis Pendekatan ... 55

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ... 57

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 59

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 59

BAB II TINJAUAN UMUM BEBERAPA PENGERTIAN DAN MAKNANYA DARI ISTILAH HUKUM TERKAIT PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 65

2.1. Pengertian dan Makna Kata : “Urgensi, Sistem Pembuktian, Pembuktian terbalik, Peradilan, Tindak Pidana” ... 65

2.1.1. Pengertian “Urgensi”dan “Sistem” ... 65

2.1.2. Arti dan Makna Pembuktian dan Sistem Pembuktian Terbalik ... 70

2.1.3. Arti Peradilan dan Tindak Pidana ... 74

2.1.4. Batasan Pengertian Terdakwa ... 79

2.2. Pengertian Dari Makna Korupsi Serta Komponennya ... 79


(20)

xx

2.2.3. Ciri-Ciri dan Dampak Korupsi ... 90 2.2.4. Tipologi dan Modus Operandi Korupsi ... 93 BAB III HAK-HAK TERDAKWA MENURUT KUHAP DAN SISTEM

PEMBUKTIAN DALAM PERADILAN UMUM DAN

PERADILAN KHUSUS ... 108 3.1. Sistem Pembuktian Dalam KUHAP dan Sistem Pembuktian

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ... 108 3.1.1. Hak-Hak Terdakwa Menurut KUHAP ... 108 3.1.2. Hak Terdakwa Yang Prinsip Terkait Sistem

Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang – Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi ... 111 3.2. Kebijakan Penal Oleh Legislatif Dalam Pengaturan

Pemberantasan Korupsi Menurut Hukum Positif Indonesia ... 122 3.2.1. Pengaturan Dalam KUHP ... 122 3.2.2. Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957,

Tanggal 9 April 1957 ... 125 3.2.3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat

Nomor : Prt/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN Nomor 40


(21)

xxi

Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

(LN Nomor : 72 Tahun 1960) ... 128 3.2.5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 130 3.2.6. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ... 131 3.3. Ketentuan Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Konvensi

Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) ... 134 3.3.1. Pengaturan Dalam Konvensi PBB Anti Korupsi 2003

(United Nations Convention Aganist Corruption

2003) Disingkat UNCAC 2003, Terkait Pembuktian

Terbalik ... 134 3.3.2. Pengaturan Dalam Konvensi PBB Menentang Tindak

Pidana Transnasional Yang Terorganisasi (United Nations Convention Organized Crime 2000) Atau


(22)

xxii

3.3.4. Jenis Alat Bukti dan Sistem Pembuktian Dalam Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ... 154 3.4. Kajian dan Analisis Dalam Kontek Teori Hukum Terhadap

Sistem Pembuktian Menurut KUHAP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Demi Adanya Sinkronisasi dan

Harmonisasi Pengaturan Dalam Peradilan Tindak Pidana

Korupsi ... 161 BAB IV SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DAN HAK TERDAKWA

TERKAIT ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM

PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 165 4.1. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Secara Universal

Dalam Beberapa Konvensi Kaitannya Dengan Asas

Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) ... 165 4.2. Perbandingan Sistem Pembuktian Terbalik di Beberapa

Negara Asing ... 176 4.2.1. Inggris ... 176 4.2.2. Singapura ... 176 4.2.3. Malaysia ... 177 4.2.4. Belanda ... 178


(23)

xxiii

4.4. Urgensi Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi dan Hubungannya Dengan Asas

Praduga Tak Bersalah ... 185 BAB V PENUTUP ... 202

5.1. Simpulan ... 202 5.2. Saran ... 204 DAFTAR PUSTAKA


(24)

xxiv

Tabel 1 Persidangan Tindak Pidana Korupsi Yang Menarik Perhatian Publik di Bali Dengan Para Terdakwa Dibebani Pembuktian Terbalik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)


(25)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi di Indonesia bergulir dari tahun ke tahun kejadian belakangan ini semakin menghawatirkan dan memprihatinkan. Bagaikan kekuatan monster yang akan melibas habis tatanan kehidupan bangsa. Ada tanggapan yang mengandaikan bahwa korupsi terjadi di Indonesia diibaratkan seperti orang yang mengidap penyakit kanker pada kondisi kritis stadium 4 (Empat). Korupsi terjadi di Indonesia dikait -kaitkan dengan aspek historis dan budaya bangsa. Korupsi ada yang mensinyalir telah terjadi sejak jaya-jayanya jaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Korupsi ketika itu telah ada, dikaitkan dengan sektor pajak atau upeti yang mesti disetorkan kepada kerajaan. Sehingga secara historis korupsi yang terjadi di Indonesia telah melembaga dan membudaya di kalangan masyarakat Indonesia pada tatanan dimulai dari penguasa negeri.

Sampai saat ini bahwa fenomena, fakta dan gejala korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat. Kondisinya semakin memprihatikan dan perkembangannya secara kuantitas dan kualitas terus meningkat dari tahun ketahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi serta jumlah kerugian keuangan negara terus meningkat. Kualitas tindak pidana yang terjadi semakin sistematis serta lingkupnya telah merambah seluruh aspek kehidupan serta sektor pemerintahan formal dan kalangan swasta. Melibatkan penyelenggara negara yang terdiri dari


(26)

lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif justru menjadi sarang pelaku tindak pidana korupsi.

Bagi Indonesia dengan terjadinya tindak pidana korupsi yang semakin sulit dicegah dan di berantas, dan dapat menggagalkan cita -cita luhur berdirinya negara Indonesia yakni tercapainya masyarakat adil dan makmur. Impian dan harapan bangsa tersebut seperti telah tert uang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni seperti tersurat : “Untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia... dstnya. Cita -cita luhur dari pendiri negara ini akan mengalami kegagalan bila salah satu penyebabnya yakni perbuatan korupsi dari para koruptornya tidak di tanggulanginya dan diberantas secara tuntas berdasarkan sistem serta kebulatan tekad semua komponen bangsa. Karena korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, pada gilirannya berdampak langsung terhadap timbulnya krisis perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Untuk itu segala daya dan kemampuan pemerintah bersama masyarakat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan segala cara, namun tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kepentingan masyarakat luas.


(27)

Pandangan konteks keilmuan hukum, bahwa tindak pidana korupsi sudah dianggapnya tidak lagi tergolong bentuk kejahatan konvensional , seperti pendapat pakar hukum Romli Atmasasmita menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sudah tergolong kejahatan inkonvensional dengan modus operandi yang bersifat sistemik dan meluas serta merupakan “extra

ordinary crimes”1

.

Sejalan dengan doktrin diatas, guru besar UNDIP Semarang Nyoman Serikat Putra Jaya memandang perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas dewasa ini menyatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes)2. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa “akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.3”

Predikat tindak pidana korupsi bagi Indonesia dengan kualifikasi delik sangat luar biasa (extra ordinary crimes), secara jelas diakui keberadaannya menurut hukum positif yang ada. Pengakuan tersebut tersurat dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada bagian anak kalimat: “…… Tindak pidana korupsi yang

1

Romli Atmasasmita, 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm: 13.

2

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008. Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm: 69

3


(28)

meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak -hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai ke jahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”. Kalau dicermati perumusan kalimat dalam penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2002 diatas, terumus kata-kata: “Kejahatan luar biasa”, tanpa disertai dengan arti istilah asingnya “extra ordinary crimes”, namun maknanya menurut penulis adalah sama bahwa

dalam memberi kualifikasi atau predikat tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah tergolong delik atau tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes)4. Terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi bagi Indonesia memerlukan pula langkah-langkah kuat (extra ordinary power). Langkah-langkah kuat melalui terobosan-terobosan

penal dan nonpenal berupa kebijakan hukum pidana (criminal policy), baik kebijakan hukum pidana materiil maupun kebijakan hukum pidana formal.

Kualifikasi delik atas tindak pidana korupsi bagi Indonesia bukan saja dengan klasifikasi extra ordinary crimes, juga dengan klasifikasi delik “transnational crime”, mengandung arti bahwa masalah pencegahan

dan pemberantasan korupsi bukan lagi merupakan masalah nasional semata, melainkan sudah merupakan masalah antar negara baik dilihat dari

4


(29)

sisi modus operandi, locus delicti maupun dari sisi jurisdiksi kriminal. Sehubungan dengan terjadinya tindak pidana korupsi (locus delicti) cenderung melibatkan jurisdiksi antar negara, akan lebih sulit lagi dalam pelacakan dan pengejaran baik pelaku-pelakunya maupun aset-aset yang dikorup, untuk cenderung dibawa lari atau dicuci (money laundering) atau disembunyikan disuatu negara tertentu oleh koruptor.

Kesulitan dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena pelaku korupsi dominan dilakukan kalangan pejabat atau memiliki status sosial menengah keatas atau dalam kalangan keilmuan hukum diistilahkan pelaku kaum berdasi (white collar crimes). Sehubungan dengan fenomena ini Indrianto Seno Adji berpendapat bahwa tak dapat dipungkiri korupsi merupakan “white collar crime” dengan perbuatan yang selalu mengalami

dinamisasi modus operandinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai

invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana.5

Penulis sependapat dengan pendapat doktrin diatas bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi siapapun pelakunya dan dari pihak kalangan manapun tepat dan perlu untuk menerapkan beberapa kebjikan hukum pidana, khususnya kebijakan pidana dibidang hukum acaranya seperti salah satunya terobosan dibidang pembuktian dalam proses peradilannya.

5

Indrianto Seno Adji, 2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum/Pidana, Diadit Media, Jakarta, hlm: 374.


(30)

Karena rumitnya penelusuran dan pengungkapan barang bukti selaku alat bukti dalam tindak pidana korupsi, maka substansi pembuktiannya memerlukan kebijakan khusus. Pembuktian menjadi titik penting dan penentu dalam proses peradilan korupsi, karena tindak pidana korupsi yang terjadi mengandung ciri-ciri khusus seperti digariskan oleh Syed Husein Alatas bahwa ciri-ciri korupsi terdiri dari 9 (sembilan) unsur, yang terpenting menurut penulis adalah “Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan dan menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum”6. Terkait faktor-faktor hambatan dalam pembuktian, maka terobosan hukum sebagai kebijakan penal dalam proses pembuktian memerlukan urgensitas sistem yang akurat guna memudahkan pengungkapan alat-alat bukti dalam proses persidangan tindak pidana korupsi.

Dalam proses peradilan pidana menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau KUHAP dapat diinterpretasikan bahwa menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijke bewijs theorie). Penerapan sistem pembuktian ini dapat dipahami dari acuan ketentuan Pasal 183 KUHAP dengan menyuratkan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

6

Syed Hussein Alatas, 1983, Sosiologi Korupsi sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta, hlm: 13


(31)

Alat bukti dalam KUHAP berpedoman pada ketentuan Pasal 184 ayat (1), alat bukti yang sah ialah :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Mencermati perumusan Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan sistem pembuktian yang dianut dan diterapkan dalam peradilan pidana pada umumnya, maka menurut pendapat Martiman Prodjohamidjojo bahwa makna dari pada Pasal 183 KUHAP tersebut menunjukkan yang dianut dan diterapkan dalam sistem pembuktian ialah sistem negatif menurut Undang -Undang (negatif wettelijke)7. Berpatokan pada ketentuan Pasal 183 KUHAP penulis dapat menarik hal-hal penting sehubungan proses pembuktian dan sistem pembuktian yang diterapkan seperti hakim dalam memutus terdakwanya bersalah berpedoman pada adanya syarat minimum pembuktian, yakni minimal harus ada 2 (dua) alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang (Pasal 184 ayat (1) KUHAP), serta ditambah adanya keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang terbukti bersalah sesuai apa yang telah dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam proses peradilan pidana menurut hukum acara pidana yang bertugas membuktikan kesalahan terdakwa adalah Jaksa Penuntut Umum. Jaksa dalam fungsinya

7

Martiman Prodjohamidjojo (I), 1984, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 129


(32)

sebagai penuntut dibebani kewajiban membuktikan dakwaannya didepan persidangan. Tugas dan fungsi jaksa untuk membuktikan dakwaannya sebagai bentuk implementasi asas legalitas formal. Asas legalitas formal pada prinsipnya adalah merupakan kewajiban bagi jaksa selaku penuntut umum untuk menuntut setiap orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Dalam dakwaan dan tuntutan jaksa mestinya harus dibuktikan alibi dan dasar dakwaan serta tuntutannya tersebut. Sehingga jaksa penuntut umum memikul beban tanggung jawab membuktikan dalam proses pembuktian dipersidangan. Secara teori dan praktek dalam peradilan tindak pidana pada umumnya jaksa selaku penuntut umum secara eksplisit dibebani tanggung jawab pembuktian dalam menginvestigasi terdakwa di depan sidang. Tugas dan kewajiban jaksa untuk membuktikan apa yang didakwakan tersebut, secara implisit diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Secara lengkapnya terumus : “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”.

Berdasarkan perumusan Pasal 8 ayat (3) tersebut, diatas jaksa menuntut terdakwa berdasar alat bukti Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menjadi dasar dakwaannya di persidangan. Tugas dan kewajiban jaksa membuktikan alibi dakwaannya yang telah disusunnya itulah secara praktek hukum dalam peradilan disebut dengan “beban pembuktian” atau


(33)

membuktikan perbuatan terdakwa berdasarkan alat – alat bukti yang telah dipakai dalam surat dakwaannya.

Sebagai konsekuensi hukum dari adanya jenis alat bukti “keterangan terdakwa” sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e, akan berhubungan dan terkait erat esensinya dengan Pasal 189 KUHAP seperti tersurat :

(1)Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri

(2)Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3)Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4)Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Makna keterangan terdakwa dalam proses pembuktian di depan persidangan adalah untuk memberikan keterangan apa yang ia alami, lihat atau dengar sendiri terhadap apa yang didakwakan jaksa penuntut umum. Oleh karena demikian jaksa secara aktif bertanya, mencocokkan, membantah keterangan terdakwa, demi mempertahankan dakwaannya. Terdakwa secara bebas dapat memberikan keterangan, bahkan apabila pertanyaan jaksa penuntut umum bila dijawab akan merugikan diri terdakwa, atas hal demikian terdakwa boleh atau dapat tidak menjawab pertanyaan polisi, jaksa, ataupun hakim, atau terdakwa memiliki hak untuk diam (remind silent), hal ini diatur dalam Pasal 52 KUHAP.


(34)

Ketentuan secara tegas tersurat bahwa telah menjadi tugas dan kewajiban jaksa penuntut umum untuk menggali, mencari, menemukan kebenaran materiil sesuai isi dakwaannya melalui proses pembuktian di depan sidang, atau kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa KUHAP telah mengatur hal dimaksud. Pasal 66 KUHAP secara implisit menyuratkan”, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Terhadap pengaturan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, praktisi hukum dari kalangan mantan hakim Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa8 : “Makna dari Pasal 66 KUHAP tersebut, bahwa pembebanan pembuktian diletakkan pada penuntut umum untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa. Dalam pasal ini hakim memperkenankan kepada terdakwa memberikan keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, akan tetapi segala sesuatunya dapat lebih memberikan kejelasan dan membuat terang tentang duduk perkaranya, setidak-tidaknya keterangan tersebut dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

Berpedoman dengan beberapa ketentuan Undang – Undang seperti KUHAP dan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 183, 184 ayat (1) huru f e, Pasal 189 dan Pasal 66 KUHAP, serta Pasal 8 ayat (3), UU No. 16 Tahun 2004

8


(35)

tersurat dan tersirat makna bahwa pembuktian atau beban pembuktian dalam tindak pidana umum menjadi tugas, beban dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakannya. Karena jaksa selaku wakil negara, badan hukum publik mewakili privat dan sekaligus selaku penegak hukum dan sub unsur struktur dalam sistem peradilan pidana.

KUHAP sebagai pedoman dalam beracara pidana dan sebagai payungnya semua ketentuan beracara diluar peradilan umum, seperti Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Mahkamah Konstitusi (MK), akan dihadapkan keberadaannya dengan berbagai jenis peradilan tindak pidana khusus. Salah satunya adalah peradilan tindak pidana korupsi. Peradilan tindak pidana korupsi memiliki beberapa ketentuan hukum acara yang sifatnya khusus (lex spesialist). Salah satu substansi hukum acara dalam peradilan korupsi dengan ciri khusus adalah substansi pembuktian. Dalam pembuktian tindak pidana korupsi dikenal dan diterapkan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast / the reversal of the burden of proof) atau sistem pembuktian terbalik.9

Pembalikan beban pembuktian atau penulis akan mengikuti dan memakai istilah pembuktian terbalik, sesuai pemakaian istilah dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang berlaku (hukum positif / ius constitutum) Indonesia. Saat ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1), (2),

9

Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep, dan Pemberantasannya, PT. Grafindo Persada , Jakarta, hlm. 201


(36)

(3), (4) dan ayat (5) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara rincinya tersurat seperti berikut :

(1)Terdakwa mempunyai hak untuk membuktian bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi

(2)Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

(3)Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan

(4)Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

(5)Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Lebih lanjut dalam penjelasan pasal demi pasal atas UU No. 31 Tahun 1999 tersebut penjelasan Pasal 37 menggariskan bahwa :

“Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Mencermati pengaturan ketentuan sistem pembuktian yang dianut oleh UU NO. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampak merupakan penyimpangan dari KUHAP, bahwa KUHAP menerapkan pembuktian negatif wettelijke


(37)

bewijs theorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, yakni yang dibebani pembuktian adalah jaksa dengan mengacu pada alat bukti sah menurut UU (KUHAP) sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dituangkan dalam surat dakwaannya. Dan jaksa tetap harus membuktikan apa yang telah didalilkannya melalui pembuktian di depan sidang pengadilan.

Berbeda halnya dengan pengaturan pembuktian oleh UU tindak pidana pemberantasan korupsi diatas menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian, atau sistem pembuktian terbalik. Dalam arti berbeda dengan kelaziman (terbalik), bahwa beban pembuktian sebagian diawal pembuktian dibebankan kepada terdakwa sehingga dikatakan menerapkan pembalikan beban pembuktian atau sistem pembuktian terbalik. Namun setelah terdakwa membuktikan melalui keterangannya bahwa ia tidak bersalah melakukan apa yang dituduhkan jaksa, maka jaksa tetap harus membuktikan dakwaannya, sehingga dikatakan dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dianut sistem pembuktian berimbang. Karena disamping terdakwa dibebani pembuktian juga jaksa tetap dibebani kewajibannya membuktikan terdakwa melalui surat dakwaannya.

Setelah mencermati ketentuan pembuktian dalam KUHAP melalui Pasal 66 yang pada intinya bahwa yang dibebani proses pembuktian atau pembebanan pembuktian adalah jaksa penuntut umum. Sedangkan menurut Pasal 37 ayat (1) khususnya bahwa yang dibebani beban pembuktian adalah terdakwa ditambah jaksa selaku penuntut umum, maka dalam 2


(38)

(dua) aturan terdapat pertentangan norma hukum (konflik norma hukum) dalam pembebanan pembuktian di persidangan. Dalam bahasa keilmuan teori hukum terjadi disharmonisasi norma hukum berupa konflik norma dalam perundang-undangan pidana sebagai dasar acuan proses peradilan pidana, khususnya dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

Ketentuan perlindungan hukum secara umum terhadap setiap orang diatur dalam konstitusi. Lebih lazimnya dikenal dengan sebutan istilah perlindungan Hak Asas Manusia (HAM). Secara formal perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia tersurat dan tersirat dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Setiap orang mendapat perlindungan hak asasinya. Apalagi jika posisi seseorang berada statusnya sebagai tersangka, terdakwa ataupun terpidana sudah pasti layak untuk diayomi dan diberi perlindungan akan hak asasinya. Sehubungan dengan seseorang berha dapan dengan hukum Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam beberapa ketentuan pasalnya mengatur pula perlindungan HAM -nya. Terutama peneliti kaitkan ketika seseorang statusnya sebagai terdakwa.

Adapun pengaturan perlindungan HAM bagi terdakwa tersurat dan tersirat tampak dalam pasal – pasal Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah :


(39)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

- Pasal 28 I ayat (2) :

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

- Pasal 28 J ayat (1) :

Setiap orang wajib menghormati hak asas manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Penjabaran pengaturan akan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatas tertuang pula dalam Undang – Undang Dasar No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) seperti tersurat dalam ketentuan Pasal 3 Undang – Undang ayat (2) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yakni :

“Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

Perlindungan hak asasi terdakwa dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang – Undang HAM tersebut lebih terjabar dan diperluas lagi ol eh KUHAP, dapat dihimpun sejumlah 37 buah pasal yang mengatur perlindungan HAM tersangka / terdakwa / terpidana dalam KUHAP (lebih lengkapnya peneliti tuangkan


(40)

penjabarannya pada Bab III halaman 102 – 105 naskah tesis ini). Namun HAM terdakwa terkait dengan topik dan masalah tesis ini terutama yang menyangkut tentang sistem pembuktian terbalik yang dicanangkan dan diterapkan oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampak dalam pasal-pasal KUHAP seperti :

- Hak terdakwa untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP)

- Hak perlindungan akan asas praduga tidak bersalah (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 8 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)

- Hak terdakwa untuk diam (Pasal 166 KUHAP)

- Hak terdakwa untuk bebas memberikan keterangan di depan persidangan (Pasal 52 KUHAP)

- Hak terdakwa untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP dan Pasal 37 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009).

Bagi peneliti yang menjadi penekanan bahasan adalah terkait dengan Pasal 66 KUHAP dan Pasal 66 ayat (2) KUHAP yang diperkuat pula oleh Pasal 8 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai pemecahan atau solusi hukum atas terdapatnya pertentangan norma hukum atau konflik norma (conflict of norm / geschijed van normen) antara undang – undang yang satu dengan undang-


(41)

undang lainnya, baik secara hirarki vertikal maupun horizontal dalam pengaturan substansi atau materi yang sama maka mesti dikembalikan pada posisi asas dalam hukum. Dalam hubungan dimaksud diatas menurut pendapat E. Sumaryono dikembalikan pada asas penyelesaian konflik Undang – Undang, yang disebut asas preperensi.10 Asas preperensi dalam hukum menurut Dudu Duswara Machmudin terdiri dari 4 (empat) elemen penjabaran makna dari ketentuan aturan yakni :

1. Lex niminem cogit ad impossibilia (undang – undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin) contoh penerapan Pasal 44 KUHP

2. Lex posterior derogat legi priori atau lex posterior derogat legi antireori (undang – undang yang lebih baru menyampingkan undang-undang yang lama).

3. Lex spesialis derogat legi generali (undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum) 4. Lex superior derogat legi, inferiori (undang-undang yang lebih

tinggi menyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatkannya).11

Sebagai solusi hukum dalam mengatasi norma hukum yang bertentangan atau konflik norma hukum antara Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 37 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya menyangkut pembebanan pembuktian di persidangan menyangkut tindak pidana korupsi, maka dikembalikan pada forsi asas preperensi. Dalam penjabaran asas seperti ada 4 (empat) diatas, yang paling tepat dipakai adalah sub penjabaran berupa lex posterior derogat legi priori dan lex spesialis derogat legi generali. Atau

10

E. Sumaryono, 1993, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 24

11

Dudu Duswara Machmudin, 2001, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hlm. 70


(42)

undang yang lebih baru akan menyampingkan undang-undang yang lama, dan undang-undang yang khusus akan menyampingkan undang-undang yang umum. Dalam arti terkait dengan undang-undang tindak pidana korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001) lebih baru daripada UU No. 8 Tahun 1981 / KUHAP, dan UU Tindak Pidana Korupsi bersifat khusus dan KUHAP sebagai UU payung dalam beracara pidana yang sudah tentu bersifat lebih umum, maka UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang lebih tepat diterapkan tentang pengaturan beban pembuktiannya dalam proses pembuktian di persidangan. Karena mengin gat pula sifat dan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes (kejahatan yang luar biasa) tersebut.

Terkait dengan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga harus pula ditangani dengan cara – cara luar biasa (extra ordinary efforts). Karena sulit pembuktiannya.12 Cara – cara luar biasa menurut penulis bahwa perlu terobosan – terobosan kebijakan hukum pidana di bidang hukum acaranya, seperti salah satunya pengaturan sistem pembuktian dan terutamanya menyangkut pembebanan pembuktian di persidangan. Hal tersebut perlu dirumuskan dalam ketentuan hukum acara pada undang – undang tindak pidana korupsi ke depannya (ius constituendum).

12

Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 138


(43)

Sistem pembuktian terbalik yang dicanangkan dan telah diterapkan dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi atas dasar praktek peradilan tindak pidana korupsi atas dasar Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tersebut sesuai dengan pertimbangan pembentuk UU ketika merancangnya salah satunya karena sulitnya pembuktian tindak pidana korupsi tersebut. Berkembang pula konsep pemikiran setelah kualifikasi tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga penanganannya pun memerlukan cara – cara yang ekstra luar biasa (extra ordinary efforts).13 Termasuk pula pertimbangan – pertimbangan lainnya seperti tersurat dan tersirat dalam konsideran UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia telah terjadi secara sistemik merugikan kerugian keuangan negara yang sangat besar, mengganggu stabilitas perekonomian rakyat, bahkan telah mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Serta dampak negatifnya yang lain bagi bangsa sudah memprihatinkan dan mengkhawatirkan bagi kelangsungan keselamatan kehidupan kenegaraan. Dari semua fenomena dan fakta korupsi yang terjadi itu, alasan untuk pemerintah menerapkan kebijakan dengan berbagai bentuk usaha penal dan non penal di bidang memberantas tindak pidana korupsi mesti tetap berpegang dan berorientasi pada batas – batas atau koridor, tanpa dengan melanggar prinsip – prinsip

13


(44)

atau asas – asas hukum umum. Terutama menyangkut asas – asas hukum umum seperti hak-hak asasi tersangka / terdakwa atau hak-hak asasi manusia (HAM) secara umum. Secara khusus tidak melanggar hak sosia l, politik, ekonomi dan hukum serta kebebasan yang dimiliki setiap individu mulai sejak lahir.

Melalui acuan pemaparan dalam fenomena dan fakta yuridis-sosiologis dalam latar belakang diatas, bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini masih sulit diberantas dan menjadi problematika teori dan praktek dalam penegakan hukumnya, maka peneliti tertarik untuk meneliti serta mengkaji dalam ranah karya ilmiah tesis, dengan j udul: “URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA”.

1.2Rumusan Masalah

Mengacu dan berorientasi dari paparan fenomena latar belakang yang terurai diatas, maka peneliti menyajikan rumusan masalah sepert i berikut:

1. Apakah ada sinkronisasi pengaturan antara sistem pembuktian dalam KUHAP dengan sistem pembuktian dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia saat ini?

2. Apakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?


(45)

Demikian permasalahan yang mengemuka dan disajikan dalam topik serta judul penelitian tesis ini, yang nantinya dikaji berdasarkan landasan teoritis keilmuan hukum, dengan penelusuran mulai dari as as-asas hukum, konsep-konsep hukum, doktrin, yurisprudensi, hasil penelitian yang ada terdahulu serta teori-teori (hukum) yang relevan dengan pokok atau topik judul serta rumusan masalah yang tersedia.

1.3Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang melebar dan terdapat kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan maka perlu diberikan pembatasan seperti berikut:

1. Permasalahan pertama akan membahas tentang pengaturan sistem pembuktian sesuai KUHAP dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Permasalahan kedua membahas tentang pembuktian terbalik dihadapkan dengan esensi azas praduga tak bers alah (presumption of innosence) tersebut terhadap terdakwa dalam peradilan tindak pidana korupsi.

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(46)

1.4.1 Tujuan Umum

Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg/fin al dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing -masing.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis relevansi penggunaan beban pembuktian terbalik dalam UU Tindak Pidana Korupsi sekarang ini dan dibandingkan sistem pembuktian yang diatur KUHAP.

2. Untuk mengetahui, mengkritisi dan mengkaji asas praduga tak bersalah dikaitkan dengan hak-hak terdakwa dalam persidangan.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hubungannya dengan pengaturan sistem pembuktian oleh KUHAP dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(47)

2. Manfaat praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah terhadap hukum acara pidana Indonesia melalui kajian yuridis terhadap pengaturan serta mekanisme pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan relevansi penggunaan beban pembuktian terbalik sebagai pembenar terdakwa dibebani pembuktian di depan sidang pengadilan.

1.6Orisinalitas Penelitian

Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset (penelitian) mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun kajiannya belum komprehensif membahas pengaturan serta mekanisme pembuktian terbalik dalam membahas pengaturan serta mekanisme pembuktian terbalik dalam korupsi dikaitkan dengan sinkronisasi pengaturan KUHAP dan Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi terkait pembuktian terbalik, serta hak asasi terdakwa , diantaranya ada beberapa penelitian sebagai berikut:

1. Judul Penelitian Tesis: “Analisis yuridis terhadap Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)”

Nama peneliti/NIM:Andy Faisal (067005064/HK)

Asal Universitas/Tahun:Universitas Sumatera Utara (USU), tahun 2008 Rumusan Masalah Tesis:


(48)

1. Bagaimana penerapan sistem pembalikan beban pembuktian (menurut ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 20 Tahun 2001). Dalam rangka pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Apakah yang menjadi hambatan maupun kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang tersebut?

3. Bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem pembalikan beban pembuktian agar dapat optimal dalam pemberantasan korupsi?

2. Judul Penelitian Tesis: Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Korupsi Atas Nama Syarifuddin).

Nama Peneliti/NIM: Defid Tri Rizky (1006789122)

Asal universitas/tahun:Universitas Indonesia (UI) Jakarta, 2012 Rumusan masalah tesis:

1. Bagaimana pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia?

2. Apa hambatan dan kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada penanganan tindak pidana korupsi?

3. Bagaimana seharusnya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian dalam UU tindak pidana korupsi agar dapat diterapkan secara optimal?


(49)

3. Judul Penelitian Tesis: “Kajian normatif Terhadap Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi”

Nama Peneliti/Tahun: I Wayan Gde Wiryawan, 2012

Asal Universitas:Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar Rumusan masalah:

1. Bagaimana pengaturan terhadap sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana formulasi kebijakan pengaturan pembuktian terbalik dimasa yang akan datang?

4. Judul Penelitian Tesis: ”Implementasi Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”

Nama Peneliti/NIM:Zainal Muhtar/09340075

Asal Universitas/Tahun:Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga – Yogyakarta, 2013

Rumusan masalah tesis:

1. Bagaimana ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana implementasi pembalikan beban pembuktian dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta?


(50)

Setelah dicermati judul-judul tesis diatas, begitu juga rumusan masalahnya, tidak ada kesamaan dengan judul dan masalah dari penelitian penulis. Memang topiknya sama menyangkut substansi pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Masalah penelitian, peneliti menyajikan tentang masalah sinkronisasi pengaturan pembuktian terbalik oleh UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) dengan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta masalah penerapan sistem pembuktian terbalik dihadapkan dengan hak asasi terdakwa di dalam peradilan pidana. Kesemua penelitian tesis yang ditelusuri dari beberapa Universitas tersebut di atas judul dan rumusan masalahnya masing-masing tidak ada menunjukkan kesamaan dengan penelitian tesis penulis. Kebaruan penelitian penulis menyangkut hal prinsip dalam substansi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi terhadap asas universalnya yakni, praduga tak bersalah (presumption of innocence) terkait dengan hak-hak terdakwa yang mesti tidak boleh dilanggar oleh penerapan hukum itu sendiri, serta kebaruannya membandingkan pengaturan pembuktian terbalik yang diatur KUHAP (Pasal 66 KUHAP) dengan pengaturan oleh Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1.7Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori -teori hukumumum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan


(51)

aturan hukum, doktrin hukum, yurisprudensi dan hasil penelitian terdahulu, yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas masalah penelitian. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan secara singkat landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah penelitian.

1.7.1 Asas-asas Hukum

Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum14.J.J.H. Bruggink dalam terjemahan Arif Sidhartha menyatakan bahwa, "Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran(kriteria) nilai"15. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan.

Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi asas-asas seperti asas due process of law (proses hukum yang adil), asas preperensi hukum, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination.

1.7.1.1 Asas due process of law (Asas proses hukum yang adil) Pada dasarnya, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil

(due process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan

14

Manwan, M. dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Compelte Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 56.

15

Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan Arief Sidharta, cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.123.


(52)

pidana, dan juga terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana. Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa:

"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak -hak tersangka dan terdakwa"16.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due process of law), peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses hukum yang adil. Asas huku m ini relevan untuk membahas permasalahan pertama yang terkait dengan mekanisme dari tindakan penegak hukum melakukan pembuktian terbalik di depan persidangan.

Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa:

16

Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, cetakan pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 7.


(53)

Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it condemns, -which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after trial...".

Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government)17

1.7.1.2 Asas Preferensi Hukum

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vague van normen) atau norma tidak jelas.18 Dalam menghadapi konflik antar norma (antinomi hukum), maka berlakulah asas preferensi yaitu :

1. Lex superiori derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;

2. Lex specialist derogate legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan; 3. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang

baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.19

Disamping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi,

17

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran, hlm. 113-114.

18

Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h lm. 89.

19

Mertokusumo, Sudikno, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hlm. 85-87.


(54)

pembatalan (invalidation),dan pemulihan (remedy)20. Menurut P. W. Bouwer sebagaimana dikutip oleh Phillipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antar norma hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut

Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah pertama mengenai disharmonisasi norma hukum yang berlaku yaitu konflik norma terkait sistem pembuktian menurut KUHAP dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

1.7.1.3 Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence

Pasal 8 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan ini dikenal dengan asas presumption of innocence

sebagai asas umum hukum acara, berlaku dalam setiap proses berperkara di Pengadilan yaitu dengan adanya kata : "dihadapkan di depan pengadilan".

Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua mengenai penyimpangan dan pemberlakuan asas praduga tidak

20

Hadjon, Phillipus, M., dan Djamiati, Sri Tatiek, 2009, Argumentasi Hukum,


(55)

bersalah dalam pembuktian tindak pidana korupsi, sebagai beban pembuktian terbalik, sehingga terdakwa dibebankan untuk melakukan pembuktian dalam penanganan perkara korupsi.

1.7.1.4 Asas Non-Self In crimination

Asas Non-Self Incrimination di Indonesia diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi : "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Adnan Paslyadja mengatakan hal tersebut berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Yahya Harahap menyatakan bahwa apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing -masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B begitu juga sebaliknya .

Setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah. Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua mengenai asas praduga tak bersalah yang seringkali dilanggar secara tidak logis oleh penegak hukum dengan dasar pembenar adanya beban pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi


(56)

1.7.1.5 Asas Unnus Testis Nullus Testis

Makna asas ini bahwa dalam pembuktian harus didukung oleh minimal 2 (dua) alat bukti. Unnus Testis Nullus Testis secara arti kata berarti 1 (saksi) bukan saksi. Maka dalam pembuktian bila alat bukti kurang dari 2 (dua), maka kesaksian dianggap tidak sah, asas ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal 306 RBG

1.7.1.6 Asas Actory Incumbit Onus Probandi

Makna asas ini bahwa siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan. Dalam konteks hukum pidana yang melakukan penuntutan adalah jaksa penuntut umum sehingga jaksa penuntut umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa.21

1.7.2 Konsep Kepastian Hukum

Menurut konsepsi yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa kepastian hukum terdiri dari komponen-komponen seperti berikut:

1. Kepastian aturan hukum yang akan diterapkan;

2. Kepastian proses hukum, baik dalam penegakan hukum maupun pelayanan hukum;

3. Kepastian kewenangan, yaitu kepastian lingkungan jabatan atau pejabat yang berwenang menetapkan atau mengambil suatu keputusan hukum;

4. Kepastian waktu dalam setiap proses hukum; dan

5. Kepastian pelaksanaan, seperti kepastian eksekusi putusan hakim, atau keputusan administrasi negara.22

21

Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 43 22

Bagir Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII, Jakarta, hlm : 20.


(57)

Terkait dengan kewenangan pembuktian dalam tindak pidana korupsi oleh pejabat/ yang berwenang untuk itu, maka konsepsi kepastian hukum yang dikonsep oleh Bagir Manan tersebut di atas, akan berkorelasi dengan konsep butir (1), (2), dan (3) tersebut yang terurai di atas. Dan untuk kepastiannya pihak siapa saja yang pantas dibebani pembuktian.

1.7.3 Konsep Hak Asas Manusia (HAM)

Pembuktian Terbalik dipandang bertentangan bahkan bertolak belakang dengan konsep HAM terutama HAM Generasi I menyangkut salah satunya HAM sipil dan politik. HAM sipil didalamnya adalah hak-hak individu yang paling asasi adalah “hak-hak kebebasan” bagi tiap orang, terutama bila dihadapkan pada proses hukum seperti individu dalam status sebagai tersangka atau terdakwa.

Status tiap orang bila posisinya sebagai ters angka / terdakwa mesti dilindungi haknya oleh negara. Dalam proses peradilan hak tersangka / terdakwa seperti hak untuk tidak dibebani pembuktian sesuai dengan Pasal 66 KUHAP mesti dihormati dan ditegakkan. Bila hal ini diterobos, tidak mustahil negara melalui penegak hukumnya sendiri cenderung dianggap telah melanggar HAM individu atau melanggar asas legalitas bahkan secara operasional praktik melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innosence).

Beberapa konsep HAM dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut :


(58)

a. Menurut Leach Levin, bahwa konsep HAM ada 2 (dua) konsepsi yaitu : 1. Natural Right (Hak Alamiah atau Hak Moral), yakni HAM tidak

bisa dipisahkan dan dicabut, karena merupakan hak manusia karena ia seorang manusia, maka kewajiban oleh negar a menjaga martabat setiap manusia

2. Hak menurut hukum, hak-hak individu menurut hukum dibentuk melalui proses pembentukan hukum oleh negara, maka hukum diciptakan untuk melindungi hak-hak setiap orang23.

b. Piagam Perjanjian Yang Agung (Magna Charta) Tahun 1215

“Bahwa tersurat salah satunya adanya larangan bagi polisi, jaksa tidak boleh menuduh dan menuntut seseorang tanpa saksi yang dapat dipercaya, serta melarang penahanan penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-wenang.24

c. Natural Right (Hak – Hak Alamiah) dari Konsep John Locke (1632 – 1704)

“Bahwa negara harus menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individu. Kepentingan negara atas dasar alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak-hak individu, bahwa setiap manusia atau individu mempunyai hak-hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat.25

Konsep natural rights inilah yang melahirkan hak-hak sipil dan politik sebagai pembela dan pelindung hak-hak sipil selaku individu, salah

23

Ny. Nartono, 1987, Hak – Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 3

24 Ibid 25

Aryanto Ignatius, 2000, Convenant International, Hak Sipil dan Politik, LSPP, Jakarta, hlm. 198.


(1)

5. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Gratifikasi"

Dalam tindak pidana korupsi "gratiflkasi" pegawai negeri sipi l atau penyelenggara negara bersifat pasif, sedangkan yang bersifai aka l adalah pemberi gratiflkasi. Selain itu dalam tipe tindak pidana korupsi ini tidak ada kesepakatan antara pemberi gratifikasi dengan pegawai negeri ataupun penyelenggara negara. Tindak pidana ini dijerat dengan Pasal 12B jo. Pasal 12 C, Pasal 13, dan Pasal 17.

6. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Percobaan, Pembantuan, dan Permufakatan"

Tindak pidana korupsi percobaan, pembantuan, dan permufakatan yang dilakukan masih atau hanya sebatas percobaan, pembantuan, dan permufakatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Pada tindak pidana ini sanksi pidananya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan d, Pasal 8, Pasal 10 huruf b, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17.

7. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Lainnya"

Tipe tindak pidana ini adalah peristiwa atau perbuatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun saksi dalam


(2)

perkara pidana. Tindak pidana ini dijerat dengan ketentuan Pasai 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.123

2.2.4.2 Modus Operandi Korupsi

Setiap tindak pidana yang terjadi selalu disertai dengan modus operandi, demikian juga dengan korupsi. Modus operandi korupsi semakin canggih sehingga tidak mudah untuk diketahui sebagai tindak pidana korupsi. Rochim124 menyebutkan beberapa modus operandi yang dijumpai terjadi di Indonesia yakni sebagai berikut:

1. Modus Operandi Korupsi Secara Umum, meliputi : a. Pemberian suap atau sogok (bribery)

b. Pemalsuan (fraud) c. Pemerasan (exorcion)

d. Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang (abuse of power) e. Nepotisme (nepotism)

2. Modus Operandi Korupsi Dalam Pemalsuan Pajak

Dalam bidang perpajak sering ditemukan faktur pajak palsu, bermasalah atau fiktif yang volumenya semakin meluas dan variasinya semakin rumit.

123

Komisi Pemberanfasan Korupsi, 2006, Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 3-4.

124

Rohim dalam Javvade Hafldz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Get. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 28 -69.


(3)

3. Modus Operandi Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Mengenai pengadaan barang dan jasa telah diatur dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 beserta perubahan-perubahannya, namun tetap saja ada celah bagi sebagian oknum pejabat dan rekanan pengadaan barang atau jasa untuk melakukan korupsi lewat berbagai modus operandinya. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui 15 tahapan, dan dari keseluruhan tahapan tersebut ditemukan 52 modus penyimpangan yang sering digunakan oleh rekanan atau oknum pejabat dinas atau instansi dalam pengadaan barang dan jasa sebagai berikut:

a. Tahapan Perencanaan Pengadaan,

Modus penyimpangannya sebagai berikut: 1) Penggelembungan anggaran

2) Rencana pengadaan yang diarahkan 3) Rekayasa pemaketan untuk KKN

b. Tahapan Pembentukan Panitia Lelang Modus penyimpangannya sebagai berikut:

1) Panitia tidak transparan

2) Integritas panitia lelang lemah 3) Panitia lelang yang memihak 4) Panitia lelang tidak independen


(4)

c. Tahapan Prakualifikasi Perusahaan

Modus penyimpangannya sebagai berikut:

1) Dokumen administrasi yang tidak memenuhi syarat 2) Dokumen administrasi"Aspal"

3) Legalisasi dokumen tidak dilakukan 4) Evaluasi tidak sesuai kriteria

d. Tahapan Penyusunan Dokumen Lelang Modus penyimpangannya : 1) Spesifikasi yang diarahkan

2) Rekayasa kriteria evaluasi 3) Dokumen lelang nonstandard

4) Dokumen lelang yang tidak lengkap

e. Tahapan Pengumuman Lelang Modus penyimpangannya : 1) Pengumuman lelang yang semu atau fiktif

2) Pengumuman lelang tidak lengkap

3) Jangka waktu pengumuman lelang singkat

f. Tahapan Pengambilan Dokumen Lelang Modus penyimpangannya: 1) Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten) 2) Waktu pendistribusian dokumen terbatas

3) Lokasi pengambilan dokumen sulit dicari

g. Tahapan Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri Modus penyimpangannya :

1) Gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutup-tutupi 2) Penggelembnngan (mark up) untuk keperluan KKN


(5)

3) Harga dasar yang tidak standart

4) Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan

h. Tahapan Penjelasan atau Aanwijzing Modus penyimpangannya :

1) Free-bid meeting yang terbatas

2) Informasi dan deskripsi terbatas 3) Penjelasan yang kontroversial

i. Tahapan Penyerahan dan Pembukaan Penawaran Modus penyimpangannya :

1) Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran 2) Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat 3) Penyerahan dokumen fiktif

j. Tahapan Evaluasi Penawaran Modus penyimpangannya: 1) Kriteria evaluasi yang cacat

2) Penggantian dokumen penawaran 3) Evaluasi tertutup dan tersembunyi

4) Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi

k. Tahapan Pengumuman Tender Pemenang Modus penyimpangannya: 1) Pengumuman yang terbatas

2) Tanggal pengumuman ditunda

3) Pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman l. Tahapan Sanggahan Peserta Lelang Modus penyimpangannya :

1) Tidak seluruh sanggahan ditanggapi 2) Substansi sanggahan tidak ditanggapi


(6)

3) Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur m. Tahanan Penunjukan Pemenang Lelang Modus penyimpangannya :

1) Syarat penunjukan yang tidak lengkap

2) Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya 3) Surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburu -buru 4) Surat penunjukan yang tidak sah.

n. Tahapan Penandatanganan Kontrak Modus penyimpangannya: 1) Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda

2) Penandatanganan kontrak secara tertutup 3) Penandatanganan kontrak tidak sah

o. Tahapan Penyerahan Barang atau Jasa Modus penyimpangannya : 1) Volume pekerjaan yang tidak sama

2) Mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari k etentuan dalam spesifikasi teknik

3) Mutu atau kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan spesifikasi tehnik

4) Contract Change Order (CCO)

p. Modus operandi korupsi dengan pencucian uang atau money