Asal Mula Olahraga Sumo

19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUMO

2.1. Asal Mula Olahraga Sumo

Sumo adalah salah satu olahraga tradisional yang telah berusia lebih dari 200 tahun. Pada literatur klasik Jepang abad ke-8 Masehi, bentuk awal sumo dikenal dengan sebutan Sumai. Pada awalnya, Sumo adalah ritual untuk menghormati dewa yang telah memberkati pertanian yang ditampilkan bersama tari-tarian di halaman kuil. Kemudian Kaisar mengubah sumo menjadi salah satu hiburan istana yang hanya dapat ditonton oleh para para bangsawan dan pejabat penting. Barulah pada awal zaman Edo tahun 1600-an teknik dan aturan sumo mulai dirumuskan dan dikembangkan sehingga pertandingan sumo lebih mirip dengan yang ada sekarang. Awalnya sumo dilakukan untuk menarik perhatian dewa agar hasil panen mereka berhasil. Pertandingan ini dilakukan di tempat pemujaan. Kemudian ditetapkan oleh kaisar menjadi shinji-zumo yaitu kegiatan yang terpenting dalam negara itu. Itu terlihat di periode Nara 646-796, yaitu bahwa sumo menjadi kegiatan istana pada setiap pada tahunnya. Selanjutnya pada periode Heian 794-1185 dipertunjukkan untuk hiburan yang dilaksanakan di arena yang disebut Sumai ni sechie yang artinya tarian tanpa menggunakan busana. Pada periode Kamakura 1185-1336 permulaan peranan samurai dalam pemerintahan dan banyak menggunakan sumo sebagai salah satu teknik latihan kemiliteran yang dipergunakan selama pertempuran berlangsung. Universitas Sumatera Utara 20 Pada periode Muromachi 1336-1568, sumo mengambil satu tahapan menjadi olahraga professional dengan mengembangkan beberapa hal yang disebut Kanjin-Zumo. Rikishi sumo professional bersama para samurai berkeliling daerah untuk berpatisipasi dalam kegiatan kanjin-Zumo. Pada periode edo 1603-1868, sumo menjadi festival kepercayaan. Di penghujung akhir periode meiji 18678-1912, sumo disebut olahraga nasional untuk pertama kalinya, dan diakui oleh pemerintah sebagai ritual kekaisaran. Penguasa Jepang di abad ke-16 yang bernama Oda Nobunaga sering menyelenggarakan turnamen sumo. Bentuk ring sumo seperti yang dikenal sekarang ini berasal dari zaman Oda Nobunaga. Dibandingkan dengan mawashi pada zaman sekarang yang dibuat dari kain bagus yang kaku, rikishi sumo di masa Oda Nobunaga masih memakai penutup tubuh bagian bawah dari kain kasar yang longgar. Di zaman Edo, rikishi sumo bertanding dengan mengenakan mawashi bermotif indah dan gagah yang disebut kesho mawashi. Di zaman sekarang kesho mawashi hanya dikenakan rikishi sumo pada saat berparade di atas dohyō di awal pembukaan turnamen. Sumo sering dikaitkan dengan ritual dalam agama Shinto. Sampai sekarang ini, di beberapa kuil Shinto masih diselenggarakan pertarungan antara rikishi sumo dengan Kami. Dalam sumo terdapat elemen-elemen yang terdapat dalam ajaran Shinto, yaitu terlihat pada arena dohyo, kain cawat mawashi, rencengan tali sagari, dan atap yakata. Pertandingan sumo berlangsung di atas ring yang disebut dohyō 土俵 yang dibuat dari campuran tanah liat yang dikeraskan dengan pasir yang disebarkan di atasnya. Dohyō dibongkar setelah pertandingan selesai dan dohyō Universitas Sumatera Utara 21 yang baru harus selalu dibangun untuk setiap turnamen. Pembangunan dohyō untuk keperluan turnamen atau latihan menjadi tanggung jawab penyelenggara yobidashi. Lingkaran tempat pertandingan berlangsung mempunyai diameter 4,55 meter dan panjang sisi-sisinya 570 cm, tingginya 66 cm, dikelilingi oleh karung beras yang disebut tawara 俵. Ukuran karung beras sekitar 13 ukuran karung beras standar yang sebagian dipendam di dalam tanah liat yang membentuk gundukan dohyō. Sedikit di luar lingkaran diletakkan empat buah tawara yang di zaman dulu dimaksudkan untuk menyerap air hujan sewaktu turnamen sumo masih diselenggarakan di tempat terbuka. Di tengah-tengah lingkaran terdapat dua garis putih yang masing-masing sepanjang 90 cm saling berhadapan secara sejajar dengan jarak 129 cm. Garis tersebut merupakan garis pemisah disebut shikiri-sen 仕切り線. Pada dua garis sejajar inilah kedua penain berhadapan dalam posisi merangkak siap untuk menjatuhkan lawannya. Kedua rikishi rikishi yang bertarung harus berada di belakang garis shikiri-sen sebelum pertandingan dimulai. Bagian luar sekeliling lingkaran disebut janome yang dilapisi pasir halus untuk membentuk permukaan yang mulus. Rikishi yang terdorong ke luar lingkaran atau terjatuh pasti menimbulkan tanda pada permukaan janome akibat terkena injakan kaki atau anggota tubuh yang lain. yobidashi harus memastikan permukaan janome berada dalam keadaan mulus sebelum pertandingan yang lain dimulai. Universitas Sumatera Utara 22 Para pengulat rikishi memakai rencengan tali-tali kaku yang disebut sagari. Sagari ini di selipkan pada ikat pinggang bagian muka, seperti orang memakai celemek. Rencengan tali-tali ini terbuat dari kain sutra masing-masing sepanjang 40 cm yang dipelintir menjadi tali-tali kaku setelah diberi tajin. Tali-tali tersebut berjumlah 19 buah, namun juga dapat berjumlah 17 atau 21 tergantung dari kemauan pemakainya, tetapi tidak pernah dalam jumlah genap karena sagari dibuat dengan meniru bentuk rencengan tambang yang digantungkan di muka kuil Shinto yang berfungsi untuk menangkal pengaruh jahat. Seragam utama seorang rikishi adalah Mawashi. Mawashi merupakan sabuk pinggang yang lebar yang dikenakan oleh para rikishi, memiliki panjang antara 10-13 cm tergantung kepada pemakainya dan lebar 80 cm. Mawashi yang dikenakan untuk latihan sehari-hari terbuat dari kain katun, warna biru untuk rikishi pemula, dan warna putih untuk para senior dan untuk peringkat teratas juryo, makuuchi, maegashira, komusubi, sekiwake, ozeki dan yokozuna terbuat dari kain sutra seharga beberapa ribu yen. Pada mulanya warna untuk turnamen hanya terbatas pada biru laut, ungu atau hitam tetapi kini diperbolehkan memakai warna menyala lainnya. Biarpun begitu empat peringkat terbawah jonokuchi, jonidan, sandanme dan makushita tetap terbatas pada kain katun berwarna biru tua saja. Di atas arena pertandingan dipasang atap pelindung yang disebut yakata dalam bentuk arsitektur kuil Shinto, yang disebut dengan istilah shimei-zukuri. Pada periode edo ketika pertandingan sumo masih diadakan di udara terbuka, yakata mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai pelindung dari hujan dan sekaligus sebagai simbol dari empat musim yang dinyatakan dalam bentuk empat tiang Universitas Sumatera Utara 23 dengan warna yang berbeda. Tiang-tiang ini menjadi tempat duduk empat orang hakim. Pada masa sekarang atap seberat 2 ton digantungkan dengan empat kabel baja pada langit-langit atap gedung olahraga. Sebagai ganti empat tiang simbol empat musim, dipasang empat pilar tali-tali sutera dengan warna yang berbeda yakni hijau di sisi timur melambangkan haru musim semi, put ih di sisi barat melambangkan aki musim gugur, merah di sisi selatan melambangkan natsu musim panas dan hitam di sisi utara melambangkan fuyu musim dingin. Atap ini mempunyai makna religius yang diyakini bisa memberi perlindungan pada arena dari berbagai unsur jahat. Gyoji wasit adalah orang bertugas mengawasi jalannya pertandingan termasuk juga terlibat dalam upacara pembukaan dan penutupan suatu pertandingan. Gyoji memasuki arena pertandingan memakai kimono dengan model kimono samurai zaman Kamakura dilengkapi topi biksu Shinto yang berwarna hitam. Sama seperti rikishi, gyoji juga mempunyai tingkatan dan hanya tate-gyoji yaitu gyoji tingkatan tinggi saja yang boleh memimpin pertandingan tingkatan makunouchi dan juryo. Tingkatan gyoji dilihat dari warna kipas dan jumbainya. Di sekitar dohyo juga duduk lima hakim yang disebut shinpan, yang sebagian besar dari pensiunan rikishi. Dalam hal pertanyaan mengenai pemenang dari setiap pertarungan, shinpan akan berkumpul di tengah-tengah dohyo dan untuk mengambil keputusan akhir, termasuk bila akan mengadakan pertandingan ulang dari pertandingan yang baru selesai. Universitas Sumatera Utara 24

2.2 Perkembangan Sumo Dewasa Ini