commit to user 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Ascaris lumbricoides, Linn.
a. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub Kelas : Scernentea Phasmidia
Bangsa : Ascaridia
Superfamili : Ascaridoidea
Famili : Ascarididae
Marga : Ascaris
Spesies :
Asca ris lumbricoides
, Linn Utari, 2002; Loreille, 2003
b. Morfologi
Asca ris lumbricoides
, Linn adalah Cacing Gelang berukuran besar yang ada pada usus manusia. Stadium dewasa hidup di rongga
usus halus. Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat
conica l
, berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai
panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 6 mm. Sementara cacing
commit to user 7
jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 30 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama
dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung ke arah ventral Zaman, 1997; Rasmaliah, 2001.
Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior bagian depan dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya,
bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan Soedarto, 1992. Pada potongan melintang, cacing mempunyai
kutikulum tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol ke dalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan
panjang dan terletak di hipodermis, gambaran histologinya merupakan sifat tipe
polymya rincoelomya rin
Zaman, 1997; Rasmaliah, 2001. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung di dalam rongga
badan. Cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka juga ditemukan
spikula atau bagian seperti untaian rambut
di ujung ekornya posterior Rasmaliah, 2001. Pada cacing betina vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah,
bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi Zaman, 1997; Wikipedia, 2009a.
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi
Gandahusada dkk, 2000. Telur yang dibuahi panjangnya antara 60 mikron dan 75 mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40 mikron
commit to user 8
dan 50 mikron. Telur cacing ini mempunyai kulit telur yang tak berwarna yang sangat kuat. Di dalam kulit telur cacing masih terdapat
suatu selubung vitelin tipis tetapi lebih kuat daripada kulit telur cacing. Selubung ini berfungsi untuk meningkatkan daya tahan telur cacing
tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Di sekitar selubung vitelin tersebut masih ada kulit
bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan
a lbuminoid
yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul
ma milla tion
. Lapisan
a lbuminoid
ini kadang-kadang terlepas atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit
decorticated
Gandahusada dkk, 2000. Telur yang dibuahi mengandung sel telur yang tak bersegmen. Di
setiap kutub telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit
Utari, 2002. Bila telur-telur cacing baru dikeluarkan oleh cacing betina, telur-telur tersebut bersifat tidak infektif dan berisi satu sel
tunggal Gandahusada dkk, 2000. Telur yang tidak dibuahi dijumpai di dalam tinja, bila di dalam
tubuh hospes hanya terdapat pada cacing betina. Telur ini bentuknya lebih besar dan lebih lonjong sekitar 90 x 40 mikron daripada telur yang
dibuahi Zaman 1997; Wikipedia, 2009a. Dinding tipis, berwarna cokelat dengan lapisan
a lbuminoid
yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur. Sel telur mengalami atrofi, yang tampak dari banyaknya
commit to user 9
butir-butir refraktil. Pada telur yang tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara Utari, 2002.
c. Habitat dan Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif
Asca ris lumbricoides
, Linn. Pada tinja penderita askariasis yang buang air
tidak pada tempatnya dapat mengandung telur
Asca ris
yang telah dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk yang infektif dalam waktu
21 hari pada lingkungan yang sesuai. Bentuk telur infektif ini jika tertelan oleh manusia, akan pecah dan menetas menjadi Larva Infektif
Asca ris lumbricoides
, Linn di dalam usus halus. Kemudian larva akan menembus dinding usus halus menuju vena porta hati dan selanjutnya
bersama dengan aliran darah dialirkan ke jantung kanan. Dari jantung kemudian dialirkan melalui arteri pulmonalis menuju paru-paru dengan
masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari Padmasutra, 2007; Gandahusada dkk., 2000.
Di dalam paru-paru, larva
Asca ris
ini tumbuh menjadi bentuk larva II. Kemudian larva ini akan masuk ke arteri pulmonalis. Karena
ukuran larva melebihi diameter pembuluh arteri, maka larva cacing ini terjebak kemudian menembus arteri pulmonalis masuk ke alveolus. Di
alveolus larva akan berganti kulit sebanyak 2 kali kemudian keluar dari kapiler
paru-paru menembus dinding pembuluh darah. Dari pembuluh darah kemudian larva
Asca ris
kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju faring sehingga
commit to user 10
menimbulkan rangsangan pada faring. Karena rangsangan ini penderita batuk kemudian larva akan tertelan ke dalam oesofagus melalui saliva
atau merayap melalui epiglotis masuk ke dalam traktus digestivus, lalu menuju ke usus halus bagian atas. Di usus halus larva akan berganti
kulit dan berubah menjadi cacing dewasa Padmasutra, 2007; Gandahusada dkk., 2000. Sejak telur matang tertelan oleh manusia
sampai cacing dewasa bertelur dibutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun Gandahusada dkk., 2000.
Gambar 1. Siklus Hidup
Asca ris lumbricoides
, Linn. Sumber: Wikipedia, 2009a
d. Patogenesis, Cara Infeksi dan Gejala Klinis
Penularan askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu dengan tertelannya telur infektif ke dalam mulut bersama makanan atau
minuman yang tercemar dan tertelannya telur melalui tangan yang
commit to user 11
kotor. Sebagian besar kasus askariasis ini tidak menujukkan gejala, akan tetapi karena tingginya angka infeksi, morbiditasnya perlu
diperhatikan Widoyono, 2008. Pada umumnya orang yang terkena infeksi cacing
Asca ris
dalam jumlah kecil tidak menunjukkan manifestasi klinis yang berarti. Tetapi
dengan jumlah cacing yang cukup besar
hyperinfection
terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, karena 20 ekor cacing
Asca ris lumbricoides
, Linn dewasa di dalam usus manusia mampu mengkonsumsi 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein setiap hari.
Selain itu cacing
Asca ris
dewasa sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti
demam
typhoid
yang disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, edema di wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas
Rasmaliah, 2001. Manifestasi klinis yang berarti akan terlihat pada stadium larva
yang bermigrasi maupun pada cacing dewasa Widoyono, 2008. Pada stadium Larva
Asca ris lumbricoides
, Linn dapat menyebabkan gejala ringan di hati. Sedangkan larva
Asca ris
di paru-paru, akan menimbulkan gejala-gejala
demam ,
sesak nafas ,
eosinofilia , dan pada
foto
roentgen
thoraks terlihat
infiltrat yang akan hilang selama 3
minggu, yang disebut
sindroma loeffler
Laskey, 2007. Cacing
Asca ris
dewasa dapat hidup pada saluran pencernaan selama 6 – 24 bulan. Ketika cacing masuk ke saluran pencernaan,
commit to user 12
sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyebabkan
akut abdomen . Kemudian cacing
Asca ris
ini akan masuk ke rongga usus kemudian menyumbat rongga usus yang menimbulkan
ileus obstructivus
. Selanjutnya cacing-cacing ini akan menembus peritoneum
dan menimbulkan peritonitis. Infeksi cacing
Asca ris
dewasa di usus akan menyebabkan gejala khas di saluran cerna seperti tidak
nafsu makan, muntah-muntah, diare
, konstipasi
, dan mual
. Sedangkan bila masuk ke saluran
empedu , maka cacing ini dapat menyebabkan
kolik yang berat disusul kolangitis supuratif dan abses multipel serta
dapat menyebabkan terjadinya ikterus Rasmaliah, 2001. Diagnosis
askariasis ini dapat ditegakkan dengan menemukan telur pada tinja
pasien atau ditemukannya cacing dewasa yang keluar lewat
anus ,
hidung , atau
mulut Gandahusada dkk, 2000; Laskey, 2007.
e. Pengobatan
Semua penderita askariasis positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban cacing, karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan
migrasi ektopik dengan akibat yang membahayakan. Pengobatan askariasis sebaiknya dapat digunakan baik untuk pengobatan
perseorangan maupun pengobatan massal. Obat pilihan utama untuk askariasis adalah
mebenda zole
,
pyra ntel pa moate
, atau
a lbenda zole
, sedangkan untuk pilihan keduanya adalah
leva mizole
atau
pipera zine
Katzung, 2004.
commit to user 13
Pyra ntel pa moate
dipasarkan sebagai garam
pa moate
yang berbentuk kristal putih yang bersifat labil.
Pyra ntel pa moate
dan analognya
menimbulkan depolarisasi
pada otot
cacing dan
meningkatkan ferkuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis.
Pyra ntel pa moate
juga menghambat enzim
a setilkolinesterase
. Obat ini tersedia dalam bentuk sirup berisi 50 mg
pyra ntel
basaml serta tablet 125 mg dan 250 mg.
Pyra ntel
diberikan dengan dosis tunggal 10 mgkgBB basa Ganiswara, 2007.
Mebenda zole
berupa bubuk putih kekuningan, tidak larut dalam air, dan tidak bersifat higroskopis sehingga stabil dalam keadaan terbuka.
Mebenda zole
menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan menghambat sekresi
a setilkolinestera se
.
Mebenda zole
tersedia dalam bentuk sirup 10 mgml serta tablet 100 mg.
Mebenda zole
diberikan dengan dosis 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari Ganiswara, 2007.
2.
Ascaris suum
, Goeze.
a. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Scernentea
Bangsa : Ascaridia
Superfamilia : Ascaridoidea
commit to user 14
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies :
Asca ris suum
, Goeze Loreille, 2003 b.
Morfologi
Asca ris suum
, Goeze ini merupakan variasi fisiologis dari
Asca ris lumbricoides
, Linn dimana bukti perbedaan fisiologis antara strain manusia dan babi salah satunya yaitu telur infektif yang dihasilkan oleh
Asca ris lumbricoides
, Linn tidak dapat menjadi cacing dewasa pada babi, begitu juga pada
Asca ris suum
, Goeze Roberts
et a ll
., 2005. Cacing
Asca ris suum
, Goeze ini juga disebut
Asca ris suilla
yang secara morfologi hampir sama dengan
Asca ris lumbricoides
, Linn Miyazaki, 1991.
Morfologi Telur
Asca ris suum
, Goeze mempunyai lapisan
a lbuminoid
yang tebal dan
irreguler
. Pada ujung anterior terdapat struktur seperti
operculum
Yamaguchi, 1992. Sedangkan Cacing Dewasa
Asca ris suum
, Goeze secara morfologi sangat sukar dibedakan dari
Asca ris lumbricoides
, Linn Yamaguchi, 1992. Perbedaan cacing dewasa ini hanya terletak pada deretan gigi dan bentuk bibirnya
Miyazaki, 1991. Cacing jantan mempunyai panjang 15-31 cm dengan lebar 2- 4
mm. Ujung posteriornya melengkung ke ventral. Cacing ini mempunyai spikula sebagai yang berukuran 2-3,5 mm. Cacing betina berukuran
lebih besar. Panjangnya mencapai 20-49cm dan lebar 3-6 mm. Alat
commit to user 15
kelaminnya terdapat pada sepertiga bagian anterior tubuh. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur per hari dan uterusnya dapat
menampung 27 juta telur dalam satu waktu Roberts
et a ll.
, 2005. c.
Siklus Hidup Siklus hidup
Asca ris suum
, Goeze berbeda dengan
Asca ris lumbricoides
, Linn. Pada
Asca ris suum
, Goeze siklus hidup dapat
terjadi secara langsung
direct
maupun tidak langsung
indirect
. Hospes penting untuk cacing ini adalah babi, tetapi dapat juga menjadi
parasit pada manusia, kambing, domba, anjing, ayam. Pada siklus
direct
, babi akan menelan telur infertil yang mengandung larva II. Larva tersebut akan bermigrasi ke hati dan
menjadi larva III. Selanjutnya larva tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus. Ketika host batuk, larva akan tertelan dan masuk ke
saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan
hepato- tra chea l migrration.
Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa. Cacing dewasa akan hidup dan
berkembang biak dalam usus halus babi. Pada siklus tidak langsung, perkembangan akan melalui host
perantara atau host paratenik seperti cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur infertil yang berisi larva II. Larva ini akan akan tetap
berbentuk sebagai larva II dan akan berada di jaringan sampai babi memangasa host paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan
commit to user 16
berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus
direct
Moejer Roepstroff, 2006. d.
Patogenensis dan Gejala Klinis Dalam hal menginfeksi hospes utamanya yakni babi, cacing ini
mirip dengan
Asca ris lumbricoides
, Linn. Akan tetapi, gejala akibat infeksi
Asca ris lumbricoides
, Linn berbeda dengan yang diakibatkan oleh
Asca ris suum
, Goeze Miyazaki, 1991. Infeksi
Asca ris suum
, Goeze dapat terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung larva
stadium III melalui makanan atau minumannya. Gejala klinis mulai terlihat pada waktu larva III bermigrasi dan menimbulkan kerusakan
pada mukosa intestinal babi. Walaupun demikian, simptom yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya Roberts
et a ll.
, 2005. Sedangkan
migrasi larva cacing ini dapat menyebabkan hemoragi
ketika bermigrasi ke kapiler paru. Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan dan kematian epitel sehingga
menyebabkan kongesti jalan nafas yang disebut dengan
Asca ris
pneumonitis. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada babi Roberts
et a ll.
, 2005. Oleh karena itu
Asca ris suum
, Goeze menjadi salah satu masalah kesehatan yang perlu diperhatikan Yamaguchi,
1992.
commit to user 17
3.
Camellia sinensis
, Linn.
a. Sinonim
Ca mellia bohea ,
Griff;
Ca mellia theifera ,
Dyer;
Thea sinensis,
Linn;
Thea a ssa mica ,
Mast;
Thea cochinchinensis,
Lour;
Thea ca ntoniensis,
Lour;
Thea chinensis,
Sims;
Thea viridis,
Linn. Dalimartha, 1999.
b. Nama Daerah
Sumatera : Teh
Sunda : Enteh
Jawa Tengah : Teh
Jawa Barat : Nteri
c. Nama Asing
China : Pu Erh Cha
Perancis : Theler
Jerman : Teestrauch
Italia : Te
Portugis : Cha da India
Inggris : Tea
Melayu : Pokok Teh Dalimartha, 1999
d. Taksonomi
Kingdom :
Planta rum
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Ericales
commit to user 18
Famili : Theaceae
Genus : Camellia
Spesies :
Ca mellia sinensis, Linn.
Dalimartha, 1999 e.
Morfologi
Ca mellia sinensis
, Linn berasal dari daratan Asia Selatan dan Tenggara, namun sekarang telah banyak dibudidayakan di seluruh
dunia, baik daerah tropis maupun subtropis. Tumbuhan ini merupakan perdu atau pohon kecil yang biasanya dipangkas bila dibudidayakan
untuk dipanen daunnya. Tanaman ini memiliki akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5 - 4 cm dengan 7 – 8 petal.
Daunnya memiliki panjang 4 – 15 cm dan lebar 2 – 5 cm. Daun muda berwarna hijau dengan rambut-rambut pendek putih di bagian bawah
daun. Daun Teh yang tua berwarna lebih gelap Andi 2006; Duke, 2009b.
f. Ekologi
Gambar 2. Tanaman Teh
Sumber : Wikipedia, 2009b
commit to user 19
Ekologi dari tanaman teh ini berkisar antara temperatur hangat kering, basah dan tropis hingga lembab. Tanaman ini dilaporkan dapat
mentoleransi temperatur dari 14 – 27
o
C dan pH 4,5 – 7,3. Tetapi tanaman teh tidak dapat bertahan pada suhu beku. Rata-rata temperatur
minimum untuk tanaman teh tidak boleh lebih rendah dari 13
o
C dan maksimum tidak boleh lebih tinggi dari 30
o
C. Curah hujan tahunan 120 cm atau lebih, jika curah hujan dalam beberapa bulan kurang dari 5 cm
maka tanaman teh tidak dapat bertahan hidup Andi 2006; Duke, 2009b.
g. Kandungan Kimia Teh
Daun Teh mengandung
ca fein
,
theobromine
,
theophilyn
,
tannin
,
xa nthine
,
a denine
, minyak atsiri,
na ringenine
, dan
natura l flouride
. Substansi lain yang terkandung dalam daun teh antara lain substansi
phenol
yang terdiri dari
ka tekine polyphenol
dan
fla vonol
.
Katekine polyphenol
dalam teh berbeda dengan
katekine
pada tanaman lain, karena
ka tekine
di dalam teh tidak bersifat menyamak dan tidak berpengaruh buruk terhadap pencernaan makanan.
Katekine
bersifat antimikroba, antioksidan, antiradiasi, memperkuat pembuluh darah, melancarkan sekresi air seni, dan menghambat pertumbuhan sel
kanker.
Ka tekin
dalam tanaman teh dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu
proa ntocya nidine
dan
polyester
.
Fa lvonol
pada teh meliputi
kuersetine
,
ka emferol
, dan
mirisetine
.
Fla va nol
merupakan satu di antara sekian banyak antioksidan alami
commit to user 20
yang terdapat dalam tanaman pangan dan mempunyai kemampuan mengikat logam.
Selain substansi
phenol
seperti di atas, terdapat substansi bukan
phenol
dan enzim-enzim. Substansi bukan
phenol
terdiri dari karbohidrat, substansi pektin, alkaloid, klorofil, protein dan asam
amino, asam organik, substansi resin, vitamin, serta substansi mineral. Sedangkan enzim-enzim dalam teh antara lain
inverta se
, amilase, β
- glukosida se
,
oximetila se
,
protea se
, dan
peroksidase
Andi, 2006; Alamsyah, 2006.
h. Kandungan Daun Teh yang Mempunyai Efek Antihelmintik
Kandungan bahan kimia dalam Daun Teh yang memiliki efek antihelmintik adalah
ta nnin
.
Ta nnin
ini termasuk golongan
a lka loid
.
Alka loid ta nnin
merupakan
polyphenol
tanaman yang dapat larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein. Berdasarkan struktur kimianya,
ta nnin
dapat dibedakan menjadi
tannin
terkondensasi dan
tannin
yang larut air Westendarp, 2006.
Alka loid tannin
memiliki efek vermifuga dengan cara merusak protein tubuh cacing Harvey dan John, 2004;
Duke, 2009a. Hal ini dimungkinkan karena
ta nnin
mempunyai ikatan karbonil yang menyebabkan molekul
ta nnin
mudah terprotonisasi menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion positif ini kemudian akan
menarik ion-ion negatif struktur protein pada organisme lain pada saluran pencernaan manusia Sutrasno dkk, 2008. Oleh sebab itulah
ta nnin
pada daun teh ini dapat bersifat sebagai antihelmintik.
commit to user 21
Ta nnin
memiliki efek antihelmintik
In vitro
maupun
In vivo
di dalam tubuh kambing dan domba Brunet dan Hoste, 2006; Iqbal dkk
2007; Cenci dkk, 2007; Athanasiadou dkk, 2001.
Ta nnin
juga memiliki aktifitas penghambatan terhadap migrasi larva cacing pada kambing
Alonso dkk, 2008.
4.
Pirantel pamoate
Pyra ntel pa moate
merupakan “
drug of choice
“ penyakit askariasis. Obat ini banyak digunakan dalam masyarakat karena efek samping yang
ditimbulkan cukup
rendah.
Pyra ntel pa moate
bekerja dengan
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan ferkuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Selain itu,
pyra ntel pa moate
juga menghambat enzim
a setilkolinestera se
sehingga akan meningkatkan kontraksi otot cacing Syarif Elysabeth, 2007.
Pyra ntel pa moate
tersedia dalam bentuk sirup berisi 50 mg
pyra ntel
basaml, serta tablet 125 mg dan 250 mg.
Pyra ntel
diberikan dengan dosis tunggal 10 mgkgBB basa Ganiswara, 2007. Penggunaannya
Pyra ntel
mempunyai
3
Sumber: Wikipedia, 2009c Struktur Molekul Zat
Ta nnin
commit to user 22
efek seperti keluhan saluran cerna, demam, atau sakit kepala.
Pyra ntel
ini tidak dianjurkan pada ibu hamil dan anak-anak di bawah usia 2 tahun,
serta tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat penyakit hati karena pada beberapa pasien dapat meningkatkan SGOT Katzung, 2004.
commit to user 23
B. KERANGKA PEMIKIRAN