Uji Coba Asam Sunti sebagai Bahan Pengawet Ikan Bandeng (Chanos-Chanos)

(1)

UJI COBA ASAM SUNTI SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN BANDENG (Chanos-chanos)

SKRIPSI

Oleh:

LINDA RAHAYU NIM. 071000019

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UJI COBA ASAM SUNTI SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN BANDENG (Chanos-chanos)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

LINDA RAHAYU NIM. 071000019

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul :

UJI COBA ASAM SUNTI SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN BANDENG (Chanos-chanos)

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh

LINDA RAHAYU NIM. 071000019

Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 11 Oktober 2011 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

(Ernawati Nasution, SKM., MKes) (Dr.Ir. Zulhaida Lubis, MKes) NIP. 19700212 199501 2 001 NIP. 19620529 198903 2 001

Penguji II Penguji III

(Dr.Ir.Evawany Y. Aritonang, MSi) (Dra. Jumirah, Apt, MKes) NIP. 19680616 199303 2 003 NIP. 19580315 198811 2 001

Medan, November 2011 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan

(Dr.Drs. Surya Utama, M.S.) NIP.19610831 198903 1 001


(4)

ABSTRAK

Ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami proses pembusukan yang disebabkan oleh bakteri. Hal ini dapat terjadi karena susunan (komposisi) ikan seperti kandungan air yang tinggi dan kondisi lingkungan yang memungkinkan sebagai tempat pertumbuhan mikroba pembusuk. Oleh karena itu, diperlukan teknik pengawetan untuk memperpanjang masa simpan ikan. Asam sunti mengandung senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri diantaranya kandungan asam dan garam sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang aman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asam sunti terhadap jumlah bakteri sebagai bahan pengawet ikan bandeng (Chanos-chanos).

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap. Sampel yang digunakan adalah ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti konsentrasi 0%, 10%, 20%, dan 30% dengan waktu pengamatan 10 jam. Hasil pengujian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (anova). Jika ada pengaruh secara nyata dilanjutkan uji DMRT dengan α (0,01).

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang nyata antara konsentrasi suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet terhadap kandungan bakteri ikan bandeng dan suspensi asam sunti dapat menurunkan jumlah bakteri pada ikan bandeng dimana semakin tinggi kosentrasi suspensi asam sunti yang digunakan maka semakin rendah kandungan bakteri pada ikan bandeng.

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kualitas cita rasa dan kandungan gizi pada ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti.


(5)

ABSTRACT

Fish is a food ingredient that is rapidly undergoing the process of decay caused by bacteria . This can occur because the arrangement (the composition) of fish such as the high moisture content and environment condition allows for the growth of microbe. Therefore, it is necessary to extend the period of preservation techniques to save the fish. “Asam sunti” is containing compounds that have antibacterial activity of acid and salt. Because of that, it can be used as a preservative. The aim this research is determining the influence of a number of bacteria “asam sunti” suspension as a preservative milkfish (chanos chanos).

used is milkfishes that has soaked “asam sunti” with concentration 0% ,10%, 20% and 30% with 10-hour observation. Analysis usin If there is a significantly influence resumed, test would be continued by DMRT test with α (0.01).

The results of research can be inferred that there is a noticeable influence on the concentration of “asam sunti” suspension as preservative against the bacterial content of milkfish and “asam sunti” suspension can lower the amount of bacteria in milkfish where the higher the concentrations “asam sunti” suspension used causing lower total bacterial content in milkfishes.

Need for further research to determine the quality of taste and nutritional content of the milkfish that has soaked “asam sunti” suspension.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Linda Rahayu

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 03 Juli 1989

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah Jumlah Bersaudara : 2 (dua) Bersaudara

Alamat : Jl. Kesatria Gg.Gereja No. 2 Medan Sunggal

Riwayat Pendidikan

Tahun 1995 – 2001 : SD Negeri 064979 Medan Tahun 2001 – 2004 : SMP Negeri 7 Medan

Tahun 2004 – 2007 : SMA Dharmawangsa Medan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNya yang telah memberikan kekuatan maupun kesehatan kepada penulis selama dalam penyelesaian skripsi yang berjudul : “Uji Coba Asam Sunti sebagai Bahan Pengawet Ikan Bandeng (Chanos-Chanos)” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda

Muhammad Hasan dan Ibunda Maswati tercinta yang telah banyak berkorban materil dan moril serta membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang dan juga untuk kakak tercinta, Mutia Sari, AMF yang tak henti-hentinya memberikan dorongan, bimbingan, nasehat dan doa pada penulis setiap saat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Ernawati Nasution, SKM, MKes selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Zulhaida Lubis, MKes selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, mendidik dan memberi banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Albiner Siagian, Ir, MSi selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat dan selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama melaksanakan perkuliahan di FKM USU.

3. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, MSi selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan kritik dan saran dalam penulisan skipsi ini.

4. Dra. Jumirah, Apt, MKes selaku Dosen Penguji III yang telah banyak memberikan kritik dan saran dalam penulisan skipsi ini.


(8)

5. Ir. Tetra Frida Suciari, MKes selaku Kepala Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL & PPM) Medan yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

6. Mahyudi, ST, MKes selaku Manajer Teknik Laboratorium Biologi BTKL & PPM yang telah membantu penulis untuk melakukan penelitian Uji TPC 7. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU yang telah membantu dalam

penyelesaian pendidikan dan skripsi ini.

8. Bapak Ramlan Pulungan, Ibu Ariani dan Nurul Ardillah Pulungan yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat penulis Tengku Hera Zafirah, Khairunnisa, Eka Purwanti, Dina Permatasari, Day Santri Hasibuan, Siti afsyah, Nanda Rizaldi Lubis, Amd, Ananda Rahman, US, Adlinsyah, Putra Apriadi Siregar, Sasmar Aurivan Harya, Riska Furnanda, Riski Elhafis dan seluruh teman-teman dari peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat antara lain

Karlina, Fatimah, Ahmad Taupiq, dll yang telah memberikan dukungan dan bantuan serta kritikan yang menambah semangat penulis serta seluruh teman-teman stambuk 2007, dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Terkhusus untuk Irfan Hidayat, Amd yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, waktu, cinta serta kasih sayang yang tulus kepada penulis.

11.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi dan inspirasi bagi penulis selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan masyarakat.

Medan, Oktober 2011 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Asam Sunti ... 7

2.1.1. Jenis Asam Sunti ... 7

2.1.2. Cara Pembuatan ... 7

2.1.3. Sifat-sifat ... 8

2.1.4. Penggunaan Asam Sunti ... 8

2.2. Bahan Pengawet ... 9

2.3. Ikan ... 11

2.3.1. Ikan Bandeng ... 13

2.3.2. Klasifikasi Ikan Bandeng ... 13

2.3.3. Ciri-ciri Ikan Bandeng ... 14

2.3.4. Nilai Gizi Ikan Bandeng ... 15

2.4. Parameter Kesegaran Ikan... 15

2.5. Metode Penentuan Kesegaran Ikan ... 17

2.6. Bakteri ... 21

2.6.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri. ... 22

2.6.2. Total Bakteri ... 24

2.7. Kerangka Konsep ... 27

2.8 Hipotesa Penelitian ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2.1.Lokasi Penelitian ... 29


(10)

3.3. Objek Penelitian ... 29

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 29

3.5. Defenisi Operasional... 30

3.6. Alat dan Bahan ... 30

3.6.1. Alat-alat ... 30

3.6.1.1. Alat untuk Pembuatan Asam Sunti ... 30

3.6.1.2. alat untuk Uji Total Plate Count (TPC) ... 30

3.6.2. Bahan-bahan ... 31

3.6.2.1. Bahan untuk Perendaman Ikan Bandeng ... 31

3.6.2.2. Bahan untuk Uji Total Plate count (TPC) ... 31

3.7. Tahap Penelitian ... 32

3.7.1. Pemilihan Sampel ... 32

3.7.2. Proses Pembuatan asam sunti ... 32

3.7.3. Proses Perendaman Ikan Bandeng dalam Larutan Asam Sunti 33 3.7.4. Proses Uji TPC Ikan bandeng dengan/tanpa Perendaman Larutan Asam Sunti ... 34

3.8. Uji Bakteri TPC pada Ikan bandeng dengan/tanpa Perendaman Larutan Asam Sunti ... 34

3.8.1. Prosedur Kerja Uji Total Plate Count (TPC) ... 34

3.8.2. Pembacaan Hasil dan Pelaporan Uji TPC ... 36

3.9 Pengolahan dan Analisa Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40

4.1 Penelitian Pendahuluan ... 40

4.2 Hasil Tahapan Pembuatan Asam Sunti ... 41

4.3 Hasil Pemeriksaan Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng ... 41

BAB V PEMBAHASAN ... 45

5.1 Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan Perendaman dalam Larutan Asam Sunti ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Ikan Bandeng per 100 gr... 15

Tabel 2.2. Perbandingan Ikan Segar dengan Ikan Busuk ... 18

Tabel 3.1. Karakteristik Fisik Ikan Bandeng ... 32

Tabel 3.2. Daftar Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap ... 37

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan terhadap Fisik Ikan selama Perendaman dalam Suspensi Asam Sunti ... 40

Tabel 4.2. Hasil Tahapan Pembuatan Asam Sunti ... 41

Tabel 4.3. Hasil Pemeriksaan Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet ... 42

Tabel 4.4. Analisis Sidik Ragam Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet ... 42

Tabel 4.5. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap Kandungan Bakteri Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet ... 43


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Asam Sunti ... 7

Gambar 2.2. Ikan Bandeng ... 14

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian... 27

Gambar 3.1. Diagram Alir Proses Pembuatan Asam sunti... 33

Gambar 3.2. Diagram Alir Proses Uji Total Plate Count Ikan Bandeng tanpa/ dengan Perendaman Larutan Asam sunti ... 34


(13)

ABSTRAK

Ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami proses pembusukan yang disebabkan oleh bakteri. Hal ini dapat terjadi karena susunan (komposisi) ikan seperti kandungan air yang tinggi dan kondisi lingkungan yang memungkinkan sebagai tempat pertumbuhan mikroba pembusuk. Oleh karena itu, diperlukan teknik pengawetan untuk memperpanjang masa simpan ikan. Asam sunti mengandung senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri diantaranya kandungan asam dan garam sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang aman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asam sunti terhadap jumlah bakteri sebagai bahan pengawet ikan bandeng (Chanos-chanos).

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap. Sampel yang digunakan adalah ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti konsentrasi 0%, 10%, 20%, dan 30% dengan waktu pengamatan 10 jam. Hasil pengujian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (anova). Jika ada pengaruh secara nyata dilanjutkan uji DMRT dengan α (0,01).

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang nyata antara konsentrasi suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet terhadap kandungan bakteri ikan bandeng dan suspensi asam sunti dapat menurunkan jumlah bakteri pada ikan bandeng dimana semakin tinggi kosentrasi suspensi asam sunti yang digunakan maka semakin rendah kandungan bakteri pada ikan bandeng.

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kualitas cita rasa dan kandungan gizi pada ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti.


(14)

ABSTRACT

Fish is a food ingredient that is rapidly undergoing the process of decay caused by bacteria . This can occur because the arrangement (the composition) of fish such as the high moisture content and environment condition allows for the growth of microbe. Therefore, it is necessary to extend the period of preservation techniques to save the fish. “Asam sunti” is containing compounds that have antibacterial activity of acid and salt. Because of that, it can be used as a preservative. The aim this research is determining the influence of a number of bacteria “asam sunti” suspension as a preservative milkfish (chanos chanos).

used is milkfishes that has soaked “asam sunti” with concentration 0% ,10%, 20% and 30% with 10-hour observation. Analysis usin If there is a significantly influence resumed, test would be continued by DMRT test with α (0.01).

The results of research can be inferred that there is a noticeable influence on the concentration of “asam sunti” suspension as preservative against the bacterial content of milkfish and “asam sunti” suspension can lower the amount of bacteria in milkfish where the higher the concentrations “asam sunti” suspension used causing lower total bacterial content in milkfishes.

Need for further research to determine the quality of taste and nutritional content of the milkfish that has soaked “asam sunti” suspension.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan pangan yang memiliki kandungan zat gizi yang tinggi. Kandungan gizi pada ikan adalah protein, lemak, vitamin-vitamin, mineral, karbohidrat, serta kadar air. Dalam proses pendistribusian dan pengolahannya, ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami proses pembusukan yang disebabkan oleh bakteri dan mikroorganisme. Hal ini dapat terjadi karena susunan (komposisi) ikan seperti kandungan air yang tinggi dan kondisi lingkungan yang memungkinkan sebagai tempat pertumbuhan mikroba pembusuk. Kondisi lingkungan tersebut meliputi suhu, pH, oksigen, kadar air, waktu simpan dan kondisi kebersihan sarana dan prasarana.

Komposisi ikan segar per seratus gram antara lain terdiri dari komponen kandungan air (76,00 %), protein (17,00), lemak (4,50) dan mineral dan vitamin (2,52 - 4,50). Dapat dipastikan bahwa kadar air yang terkandung di dalam ikan sebagai faktor utama penyebab kerusakan bahan pangan. Untuk memperpanjang daya simpan atau membuat pangan lebih awet, kadar air harus diturunkan. Pengurangan kadar air dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberian bahan pengawet yang dapat mengikat air, serta membatasi dan membunuh aktivitas mikroba perusak bahan pangan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan maka semakin besar kemungkinan kerusakannya, baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolism) maupun masuknya mikroba perusak (Setyo, 2010).


(16)

Ikan bandeng adalah jenis ikan air payau yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan karena banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan ikan bandeng memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis ikan lainnya yaitu memiliki rasa cukup enak dan gurih, rasa daging netral (tidak asin seperti ikan laut) dan tidak mudah hancur jika dimasak. Selain itu, harganya juga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat (Purnomowati, 2007).

Berdasarkan data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2009, ikan bandeng termasuk komoditas utama dalam produksi perikanan budidaya memiliki pertumbuhan produksi yang sangat tinggi dalam periode 2005 sampai 2009, dimana pada tahun 2005 (254.067 ton), 2006 (212.883 ton), 2007 (263.139 ton), 2008 (277.471 ton) dan 2009 (291.300 ton) dengan mengalami kenaikan rata-rata 4,46% pada periode 2005-2009 dan 4,98% pada periode 2008-2009.

Produksi bandeng sebagian besar berada di Provinsi Aceh di enam daerah yaitu Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Produksi ikan bandeng di Aceh sangat besar dan mengalami peningkatan setiap tahunnya serta diperkirakan akan terus meningkat. Hal ini dikarenakan harga ikan laut yang sering berfluktuasi akibat musim dibandingkan ikan bandeng yang harganya cukup stabil dan budaya masyarakat aceh yang gemar makan ikan bandeng (Anonim, 2011).

Ikan bandeng memiliki kandungan gizi yang sangat baik dan digolongkan sebagai ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Adapun nillai gizi ikan bandeng per 100 gram berat ikan mengandung 129 kkal energi, 20 gram protein, 4,8 gram lemak,150 gram fosfor, 20 gram kalsium, 2 mg zat besi, 150 SI vitamin A, 0,05 gram vitamin B1 dan 74 gram air (Saparinto, 2006). Sebagaimana kita ketahui bersama


(17)

bahwa ikan bandeng juga memiliki sifat yang sama dengan komoditas perikanan lainnya, yaitu mudah busuk. Karenanya, untuk memperpanjang daya simpan atau membuat ikan bandeng lebih awet selain kadar air yang harus diturunkan maka perlu adanya suatu bahan pengawet pada ikan bandeng.

Bahan pengawet merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan baik yang disebabkan mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat, mencegah, dan menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan. Pengawet memang diperlukan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme dengan mempertimbangkan keamanan dari bahan pengawet tersebut

Undang-undang No.7 tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman yang dimaksud disini mencakup bebas dari pencemaran biologis, mikrobiologis, kimia dan logam berat, akan tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi dalam penggunaan bahan pengawet tidak mengindahkan kesehatan konsumen seperti penggunaan formalin pada ikan.

Di Indonesia pemanfaatan tanaman (bahan-bahan alami) sebagai pengawetan banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan alami tersebut memiliki potensi untuk menghambat aktivitas mikroba yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada di dalamnya. Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman rempah (seperti belimbing wuluh, jahe, kayu manis, daun nimba, dan sebagainya) telah banyak dilakukan (Prahasta, 2009). Direktorat


(18)

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dalam Elidahanum (2007), menyatakan di Indonesia terutama pada masyarakat yang berada di daerah pedesaan dalam pengawetan ikan sering menggunakan tumbuhan sebagai pengawet.

Rempah-rempah yang mempunyai efek sebagai antimikroba salah satunya adalah belimbing wuluh. Banyak peneliti di bidang pertanian mencoba mengkaji lebih jauh pemanfaatan air belimbing wuluh sebagai alternatif untuk mengawetkan ikan dan daging (Anonim, 2010). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan batang belimbing wuluh mengandung sifat kimiawi saponin, tannin, glukoside, calsium oksalat, sulfur, asam format, dan peroksidase serta kalium sitrat yang terdapat pada

daunnya (Amnur, 2008). Selain itu pada buah belimbing wuluh juga terkandung flavonoid dan terpenoid (Kamilah, 2009).

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) atau sering disebut belimbing asam termasuk salah satu jenis tanaman tropis yang mempunyai kelebihan yaitu dapat berbuah sepanjang tahun dan dapat hidup dengan mudah di pekarangan rumah yang terkena sinar matahari (Safitri, 2010). Belimbing wuluh dapat dimanfaatkan atau diolah menjadi belimbing kering asin atau biasa disebut asam sunti sehingga dapat disimpan dalam waktu lebih dari tiga bulan. Kandungan asam dan garam yang cukup tinggi pada asam sunti diduga dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lathifah (2008), tentang uji efektifitas ekstrak kasar pada buah belimbing wuluh dilakukan terhadap bakteri S. aureus dan E. coli menggunakan metode difusi cakram dengan konsentrasi ekstrak 100, 150, 200,


(19)

250, 300, 350, 400 dan 450 mg/mL membuktikan bahwa Ekstrak kasar buahbelimbing wuluh dianggap berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteriS. aureus dan E. coli.

Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap konsentrasi larutan yang digunakan untuk pengamatan terhadap sampel selama masa perendaman didapatkan bahwa pada konsentrasi 10%, 20% dan 30% dapat digunakan untuk perendaman sampel.

Menurut Nasran dalam Pratiwanggini (1986) mengemukakan bahwa ikan bandeng utuh mempunyai daya awet 16 ½ jam pada suhu kamar 4°C – 28,5°C dan pada suhu 28,5°C – 32,2°C mempunyai daya awet 9 ½ jam.

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian terhadap uji coba asam sunti sebagai bahan pengawet pada ikan bandeng (Chanos-chanos) dengan konsentrasi 0%, 10%, 20% dan 30% Selama 10 jam.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah seberapa besar pengaruh asam sunti dalam mengawetkan ikan bandeng (Chanos-chanos).

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh asam sunti terhadap jumlah bakteri sebagai bahan pengawet ikan bandeng (Chanos-chanos).

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui total kandungan bakteri pada ikan bandeng (Chanos-chanos) yang direndam dengan larutan asam sunti pada konsentrasi 0%, 10%, 20%,


(20)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat asam sunti dalam pengawetan ikan bandeng (Chanos-chanos).

2. Mengoptimalkan pemanfaatan asam sunti sebagai pengawet pangan, khususnya ikan bandeng (Chanos-chanos).

3. Sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat dalam upaya memperpanjang masa simpan ikan, khususnya ikan bandeng (Chanos-chanos).


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asam Sunti

Asam sunti adalah sejenis bumbu dapur khas yang sering digunakan oleh masyarakat Aceh yang terbuat dari belimbing wuluh karena dapat memberikan cita rasa, warna dan kekentalan pada masakan. Asam sunti dapat ditemukan di penjual bumbu dapur pasar tradisional dan di supermarket bagian bumbu dapur Indonesia (Saptriyawati, 2010).

Gambar 2.1 Asam Sunti 2.6.1 Jenis Asam Sunti

Pada saat ini hanya buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) yang dipakai untuk pembuatan asam sunti. Hal ini disebabkan karena jenis tanaman tersebut lebih mudah untuk didapatkan (Hayati, 2002).

2.6.2 Cara Pembuatan

Proses pembuatan asam sunti meliputi beberapa tahapan yaitu pelayuan, penggaraman, dan penjemuran sehingga dihasilkan produk setengah kering. Biasanya


(22)

asam sunti yang dihasilkan berwarna coklat dan teksturnya agak kenyal. Asam sunti dapat disimpan sampai lebih dari satu tahun tanpa adanya perubahan warna atau tekstur.

Di daerah Aceh asam sunti dibuat dengan cara sebagai berikut: buah belimbing setelah dipanen, dicuci, kemudian dijemur dengan menggunakan sinar matahari dan warnanya berubah menjadi coklat. Setelah warnanya berubah, malam harinya diberikan garam. Keesokan harinya dijemur kembali dan penambahan garam dilakukan sampai 3 kali. Biasanya asam sunti dapat disimpan dalam waktu lebih dari 3 bulan.

Selain itu ada cara pembuatan asam sunti yang lain. Buah belimbing yang sudah matang diasinkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari dan dimasukkan dalam air asin dan dapat disimpan untuk 3 bulan. Cara lainnya adalah dengan cara buah digarami, kemudian dimasukkan dalam air mendidih, tetapi produk ini hanya dapat bertahan 4 sampai 5 hari (Hayati,2002).

2.6.3 Sifat-sifat

Asam sunti mempunyai sifat-sifat penampilan sebagai berikut: bentuknya pipih, ukuran lebih kecil dari buah segar karena kadar airnya sudah berkurang, rasanya asam dan asin, lunak, warnanya kecoklatan, bila disimpan lama makin menjadi coklat tua.

2.6.4 Penggunaan Asam Sunti

Pada dasarnya asam sunti banyak digunakan dalam masakan-masakan khas Aceh. Asam sunti terutama dipakai sebagai bumbu dalam masakan ikan, misalnya tumis ikan (terutama ikan tongkol), asam ke'eung (ikan bilih), pepes ikan, tumis


(23)

sayur, masakan sayur lemak, ikan kemamah (ikan kayu). Sebagai perangsang untuk menambah selera makan, asam sunti dapat dibuat sebagai bicah asam udeng. Selain itu, Kandungan asam (6.08 gr/100 gr bahan) dan garam (27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan, khususnya pada ikan (Saptriyawati, 2010).

2.2 Bahan Pengawet

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh fungi, bakteri dan mikroba lainnya. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan (Junita, 2009).

Menurut Rabiatul Adawyah (2008), bahan pengawet ada dua yaitu bahan pengawet kimia dan alami yang berfungsi membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroorganisme pembusuk bakteri dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusukan, fermentasi, pengasaman atau kerusakan komponen lain dari bahan pangan.

2.2.1. Bahan Pengawet Kimia

Bahan pengawet kimia adalah sejumlah besar bahan-bahan kimia yang baik ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan atau penyimpanan.

Menurut Saparianto dalam Junita (2009), beberapa bahan pengawet kimia yang sering digunakan oleh para produsen makanan antara lain:


(24)

1. Natrium benzoat, yang biasa dikenal dengan pengawet antibasi. Natrium benzoat sering digunakan pada bahan makanan sebagai penambah citra rasa. Selain sebagai pengawet juga sebagai antiseptik serta untuk menghilangkan sejumlah air yang digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhan.

2. Asam Sorbat, biasanya digunakan dalam bentuk garam sodium atau potasium. Bahan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang dan ragi. Asam sorbat tidak mempengaruhi cita rasa makanan pada tingkat penggunaan 0.3% per berat bahan pada produk makanan.

3. Asam benzoat, bahan ini sering digunakan sebagai pengawet bahan makanan. Garam sodium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat mudah larut dalam air, dari pada bentuk asamnya. Asam benzoat lebih potensial terhadap ragi dan bakteri dan paling efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang. Penggunaan asam benzoat sering dikombinasikan degan asam askorbat dan ditambahkan dalam jumlah sekitar 0.05-0.1% per berat bahan.

2.2.2. Bahan Pengawet Alami

Bahan tambahan yang alami lebih pekat dan harganya lebih murah. Bahan tambahan alami yang sering digunakan dalam pengolahan pangan karena dianggap masih dalam batas toleransi. bahan-bahan alami tersebut memiliki potensi untuk menghambat aktivitas mikroba yang ada pada makanan khususnya pada ikan yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada di dalamnya seperti jahe, rimpang, kunyit, lengkuas dan belimbig wuluh.


(25)

2.3 Ikan

Ikan merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses kelangsungan hidup manusia. Manusia telah memanfaatkan ikan sebagai bahan pangan sejak beberapa abad yang lalu. Sebagai bahan pangan, ikan mengandung zat gizi utama berupa protein, lemak, vitamin dan mineral (Junianto, 2003).

Kelebihan produk perikanan dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah sebagai berikut:

a. Kandungan protein yang cukup tinggi (20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati pola kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia.

b. Daging ikan mudah dicerna oleh tubuh karena mengandung sedikit tenunan pengikat (tendon).

c. Daging ikan mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.

d. Daging ikan mengandung sejumlah mineral seperti K, Cl, P, S, Mg, Ca, Fe, Ma, Zn, F, Ar, Cu, dan Y, serta vitamin A dan D dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Disamping itu, ternyata ikan juga memiliki beberapa kekurangan yaitu:

a. Kandungan air yang tinggi (80%), pH tubuh ikan yang mendekati netral, dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis menyebabkan daging sangat lunak, sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk.


(26)

b. Kandungan asam lemak tak jenuh mengakibatkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik.

Pada umumnya ikan mempunyai bentuk yang sistematis kecuali untuk ikan sebelah. Tubuh ikan dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepala (mulai dari ujung mulut sampai akhir tutup insang), badan (akhir tutup insang sampai pangkal sirip anal) dan ekor (sirip anal sampai ujung ekor). Ikan memiliki beberapa sirip yaitu sirip pektoral atau sirip dada, sepasang sirip ventral atau sirip perut, sirip dorsal atau sirip punggung, sirip anal atau sirip dubur, dan sirip ekor. Berdasarkan struktur daging ikan dibedakan menjadi tiga tipe yaitu daging yang bergaris melintang/lurik, daging yang polos dan otot jantung. Daging bergaris melintang menurut warnanya dikenal dua jenis daging yaitu daging ikan putih dan merah (Adawyah, 2008).

Ikan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu ikan bertulang belakang atau ikan bersirip yang biasanya disebut dengan istilah ikan, badannya ditutupi dengan sisik. Sedangkan yang tidak bertulang belakang yang sering disebut sebagai kerang atau kerang-kerangan, badannya dibungkus kulit keras yang terdiri dari citin.

Berdasarkan kandungan lemak dan protein, ikan dapat digolongkan menjadi lima golongan yaitu lemak rendah (<5 %) – protein tinggi (15-20 %), lemak sedang (5-15 %) – protein sedang (15-20 %), lemak tinggi (>15 %) – protein rendah (<15 %), lemak rendah (<5 %) – protein tinggi (>20 %), dan lemak rendah (<5 %) – protein rendah (<15 %) (Junianto, 2003).

Menurut tempat hidupnya dikenal tiga golongan ikan yaitu ikan air laut, air tawar, dan air payau atau tambak. Jenis ikan air payau adalah semua jenis ikan di tambak dekat daerah pantai. Air payau adalah air campuran antara air laut dengan air


(27)

tawar atau air yang kadar garamnya rendah. Jenis-jenis ikan air payau misalnya ikan kandalan, ikan mujair dan ikan bandeng.

2.3.1 Ikan Bandeng

Ikan bandeng merupakan ikan campuran antara air asin dan air tawar atau payau. Ikan ini dapat hidup sampai ke pinggiran dan tengah laut. Ikan bandeng lebih menyenangi perairan dangkal dengan banyak tanaman bakau di sekitarnya. Karena akar tanaman bakau akan melindungi telur dan bayi ikan bandeng dari pemangsa seperti ikan lain yang berukuran lebih besar. Mereka hidup di menyeberanginya sampai untuk 2 – 3 minggu, lalu berpindah ke kadangkal berkembang biak (Jeffri, 2010).

2.3.2 Klasifikasi Ikan Bandeng

Menurut Saanin dalam Purnomowati (2007), dalam taksonomi binatang ikan bandeng memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Chanidae


(28)

Spesies : Chanos-chanos

2.3.3 Ciri-Ciri Ikan Bandeng

Ikan Bandeng (chanos chanos ) termasuk ikan yang penting di kawasan Asia Tenggara. Bandeng mempunyai penampilan yang umumnya simetris dan berbadan ramping dengan sirip ekor yang bercabang dua. Mereka bisa bertambah besar menjadi 1,7 meter, tetapi yang paling sering sekitar 1 meter panjangnya. Mereka tidak memiliki gigi, dan umumnya hidup dari ganggang dan invertebrata. Insang terdiri dari tiga bagian tulang yaitu penutup paling luar disebut pro- copercolum, penutup tengah disebut intra-copercolum, dan paling belakag disebut sub-copercolum (Purnomowati, 2007). Seluruh permukaan tubuhnya tertutup oleh sisik yang bertipe lingkaran yang berwarna keperakan, pada bagian tengah tubuh terdapat garis memanjang dari bagian penutup insang hingga ke ekor. Sirip dada dan sirip perut dilengkapi dengan sisik tambahan yang besar, sirip anus menghadap ke belakang. Selaput bening menutupi mata, mulutnya kecil dan tidak bergigi, terletak pada bagian depan kepala dan simetris. Ikan bandeng memiliki dua jenis kelamin yaitu jantan dan betina, bandeng jantan dapat diketahui dari lubang anusnya yang hanya dua buah dan ukuran badan agak kecil sedangkan bandeng betina memiliki lubang anus tiga buah dan ukuran badan lebih besar dari ikan bandeng jantan (Jeffri, 2010).

2.3.4 Nilai Gizi Ikan Bandeng

Nilai gizi ikan bandeng cukup tinggi, setiap 100 gr daging bandeng mengandung energi, protein, lemak, mineral dan vitamin. Berikut disajikan tabel mengenai kandungan gizi ikan bandeng per 100 gr :


(29)

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Ikan Bandeng per 100 gr

Komposisi Jumlah Satuan

Proksimat - Air - Kalori - Protein - Lemak 74,00 129,00 20,00 4,80 gr kkal gr gr Mineral - Kalsium - Fosfor - Zat besi

20,00 150,00 2,00 mg mg mg Vitamin

- Vitamin A - Vitamin B1

150,00 0,05

SI Mg

Sumber : Saparinto, 2006

2.4 Parameter Kesegaran Ikan

Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor fisikawi, sensoris/organoleptik/kimiawi, dan mikrobiologi. Kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan melihat kondisi fisik, yaitu sebagai berikut (Adawyah, 2008)

1. Kenampakan Luar

Ikan yang masih segar mempunyai penampakan cerah dan tidak suram. Keadaan itu dikarenakan belum banyak perubahan biokimia yang terjadi. Metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan sempurna. Pada ikan tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna, tetapi secara berangsur warna semakin suram karena timbulnya lendir sebagai akibat dari berlangsungnya proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikroba.


(30)

2. Lenturan Daging Ikan

Daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan segera akan kembali kebentuknya semula apabila dilepaskan. Kelenturan itu dikarenakan belum terputusnya jaringan pengikat pada daging, sedangkan pada ikan busuk jaringan pengikat banyak mengalami kerusakan dan dinding selnya banyak yang rusak sehingga daging ikan kehilangan kelenturan.

3. Keadaan Mata

Parameter ini merupakan yang paling mudah untuk dilihat. Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan matanya.

4. Keadaan Daging

Kualitas ikan ditentukan oleh dagingnya. Ikan yang masih segar berdaging kenyal, jika ditekan dengan telunjuk atau ibu jari maka bekasnya akan segera kembali. Daging ikan yang belum kehilangan cairan daging kelihatan basah dan pada permukaan tubuh belum terdapat lendir yang menyebabkan kenampakan ikan menjadi suram/kusam dan tidak menarik. Setelah ikan mati, beberapa jam kemudian daging ikan menjadi kaku. Karena kerusakan pada jaringan dagingnya, maka semakin lama kesegarannya akan hilang, timbul cairan sebagai tetes-tetes air yang mengalir keluar dan daging kehilangan kekenyalan tekstur.

5. Keadaan Insang dan Sisik

Warna insang dapat dikatakan sebagai indikator apakah ikan masih segar atau tidak. Ikan yang masih segar berwarna merah cerah, sedangkan yang tidak segar berwarna cokelat gelap. Insang ikan merupakan pusat darah mengambil oksigen dari dalam air. Ikan yang mati mengakibatkan peredaran darah terhenti, bahkan


(31)

sebaliknya dapat teroksidasi sehingga warnanya berubah menjadi merah gelap. Sisik ikan dapat menjadi parameter kesegaran ikan, untuk ikan bersisik jika sisiknya masih melekat kuat, tidak mudah dilepaskan dari tubuhya berarti ikan tersebut masih segar.

2.5 Metode Penentuan Kesegaran Ikan

Penentuan kesegaran ikan dapat dilakukan secara fisika, kimia, mikrobiologi, dan organoleptik/sensorik.

2.5.1 Metode Penentuan Ikan Secara Fisik

Secara fisika kesegaran ikan dapat ditentukan dengan mengamati tanda-tanda visual melalui ciri-cirinya. Ciri-ciri ikan segar dapat dibedakan dengan ikan yang mulai membusuk, dapat dilihat pada tabel berikut:


(32)

Tabel 2.2. Perbandingan Ikan Segar dengan Ikan Busuk

Keadaan Ikan Segar Ikan Mulai Busuk

Kulit - Warna kulit terang dan jernih

- Kulit masih kuat

membungkus tubuh, tidak mudah sobek, terutama pada bagian perut.

- Warna-warna khusus yang masih ada terlihat jelas

- Kulit berwarna suram, pucat, dan berlendir banyak - Kulit mulai terlihat

mengendur di beberapa tempat tertentu.

- Kulit mudah sobek dan warna-warna khusus sudah hilang

Sisik - Menempel kuat pada tubuh sehingga sulit dilepas

- Sisik mudah terlepas dari tubuh

Mata - Tampak terang, jernih, menonjol, dan cembung

- Suram, tenggelam, dan berkerut

Insang - Berwarna merah sampai merah tua, dan terang - Tertutup oleh lendir

berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan

- Berwarna cokelat suram atau abu-abu

- Lendir insang keruh dan berbau asam, menusuk hidung

Daging - Kenyal, menandakan rigormortis masih berlangsung - Berbau segar

- Bila ditekan dengan jari tidak tampak bekas lekukan - Melekat pada tulang

- Perut utuh dan kenyal - Warna daging putih

- Lunak, menandakan rigormortis telah selesai - Berbau busuk

- Bila ditekan dengan jari tampak bekas lekukan - Mudah lepas dari tulang - Lembek dan isi perut

sering keluar

- Berwarna kuning kemerah-merahan terutama di sekitar tulang punggung

Bila ditaruh di dalam air

- Tenggelam - Mengapung di permukaan

air

Sumber : Adawyah, 2008

2.5.2 Metode Penentuan Kesegaran Ikan secara Kimia

Penentuan kesegaran ikan secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa cara di antaranya sebagai berikut (Adawyah, 2008):


(33)

a. Analisis pH Daging Ikan

Ikan yang sudah tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih segar. Hal itu karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa misalnya amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatil lainnya.

b. Analisis Kandungan Hipoksantin

Hipoksantin berasal dari pemecahan ATO, semakin tinggi kandungan

hipoksantin maka tingkat kesegaran ikan semakin rendah. Besar kadar hipoksantin yang masih dapat diterima oleh konsumen tergantung berbagai faktor di antaranya jenis hasil perikanan dan keadaan penduduk setempat.

c. Analisis Kadar Dimetilamin, Trimetilamin atau Amoniak

Penguraian protein akan menghasilkan senyawa di atas, jika kesegaran ikan mengalami penurunan maka kandungan nitrogen yang mudah menguap akan mengalami peningkatan. Pola penguraian protein pada ikan laut berbeda dengan ikan darat. Ikan darat akan dihasilkan amonia, sedangkan ikan laut akan dihasilkan dimetilamin dan trimetilamin. Untuk ikan dengan tingkat kesegaran yang masih

tinggi, analisis yang dilakukan adalah dimetilamin sedangkan trimetilamin untuk ikan dengan tingkat kesegaran rendah.

d. Defosforilasi Inosin Monofosfat (IMP)

IMP berkaitan denga perubahan cita rasa daging ikan dan kesegaran ikan, sehingga dapat digunakan untuk menentukan kesegaran ikan. Kelemahannya sulit dilakukan karena proses defosforilasi IMP untuk setiap jenis ikan berbeda.


(34)

e. Analisis Kerusakan Lemak pada Daging Ikan

Kerusakan lemak terjadi karena oksidasi, baik secara oto-oksidasi (enzimatis) maupun secara nonenzimatis. Analisa kerusakan lemak dapat dilakukan dengan analisis kandungan peroksidasanya atau jumlah malonaldehida yang biasanya dinyatakan sebagai angka TBA (thiobbarbituric acid). Pengujian kesegaran ikan dengan analisis kerusakan lemak kurang akurat karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses penguraian lemak.

2.5.3 Metode Penentuan secara Mikrobiologi

Pengujian ikan secara mikrobiologi dapat dilakukan dengan penentuan Total Plate Count (TPC) yaitu hanya menghitung total jumlah koloni bakteri kemudian

dibandingkan dengan standar mutu ikan segar, pengujian itu dapat berlangsung lebih cepat.

2.5.4 Metode Penentuan Ikan secara Organoleptik/sensorik

Cara ini umum dikerjakan dalam praktek, terutama di pabrik-pabrik pengolahan ikan. Cara ini lebih mudah dan lebih cepat karena hanya menggunakan alat indrawi saja, tidak memerlukan banyak peralatan serta lebih murah. Pengujian sensorik lebih banyak ke arah pengamatan secara visual. Sebagai parameter dalam pengujian sensorik berupa penampakan warna, cita rasa, dan tekstur. Para panelis akan memberikan skor pada sampel yang diamati. Biasanya semakin segar ikan yang dianalisis skor akan semakin tinggi. Sifatnya sangat subjektif hanya mengandalkan indra panelis, kepekaan masing-masing berbeda dan keterbatasan kemampuan dalam mendeteksi, misalnya membedakan antara bau busuk dengan bau amoniak atau bau indol.


(35)

2.6 Bakteri

Bakteri merupakan mikroorganisme bersel tunggal, tidak berklorofil dan berkembangbiak dengan cara membelah diri. Ukuran bakteri lebih kecil dari protozoa maupun fungsi satu sel. Pengamatan-pengamatan yang dilakukan Leewenhoek merupakan pengamatan yang menampakkan penampilan kasar bakteri yang hanya menampakkan sel bulat, seperti batang atau spiral (Purnomo, 2005).

Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok dasar tergantung pada bentuk sel seperti coccus (bulat), bacillus (batang), vibrio (lengkung), dan spirillum

(melingkar). Sebagian besar bakteri berkembangbiak secara aseksual, dengan cara memanjangkan sel diikuti dengan pembelahan sel menjadi dua bagian sel anakan. Pembelahan demikian kita sebut pembelahan biner melintang. Pembelahan biner melintang merupakan suatu proses reproduksi aseksual. Pembelahan biner lebih banyak terjadi pada bakteri yang berkaitan dengan tubuh manusia. Bakteri-bakteri lain dapat berproduksi dengan proses pembentukan spora, fragmentasi filamen, dan pertunasan (Purnomo, 2005).

Bahan – bahan makanan yang biasanya mudah tercemar bakteri antara lain meliputi kue – kue yang mengandung saus, susu, daging cincang dan daging panggang, ikan, unggas yang diperdagangkan. Sebagian bakteri dalam bahan pangan dapat menguntungkan, misalnya untuk kelangsungan proses fermentasi, sedangkan sebagian lainnya dapat merugikan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan (patogenik) (Anonim, 2006).

Bakteri yang terdapat pada seekor ikan yang baru ditangkap tidak didistribusikan secara merata pada seluruh tubuh ikan melainkan terpusat pada tiga


(36)

tempat yaitu lendir kulit, insang dan isi perut. Jenis bakteri yang dominan terdapat pada ikan segar terutama pada saluran pencernaan, insang dan lendir adalah pseudomonas sp dan acinetobacter-moraxella (achromobacter sp) dalam jumlah

sekitar 60 % dari total bakteri ikan. Jenis lainnya adalah corynebacterium sp, flavobacterium sp dan micrococcus sp (termasuk sarcina sp) dalam jumlah sekitar

20%. Sisanya meliputi bermacam-macam bakteri seperti alcaligenes sp, bacillus sp, proteus serratia sp, gaffkya sp, Escherichia sp dan beberapa jenis yang belum

teridentifikasi (Pratiwanggini, 1986)

2.6.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri

Pertumbuhan bakteri pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor dan setiap bakteri membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda, oleh karena itu jenis dan jumlah bakeri yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan juga berbeda, tergantung dari jenis pangan tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri meliputi :

a. Suplai Nutrisi

Bakteri sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Unsur-unsur dasar tersebut adalah : karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah kecil logam lainnya. Ketiadaan atau kekurangan sumber-sumber nutrisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri hingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Kondisi tidak bersih dan higienis pada lingkungan adalah kondisi yang menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sehingga mikroba dapat tumbuh berkembang di lingkungan seperti ini. Oleh karena itu, prinsip daripada menciptakan lingkungan


(37)

bersih dan higienis adalah untuk mengeliminir dan meminimalisir sumber nutrisi bagi mikroba agar pertumbuhannya terkendali (Anonim, 2006).

b. Suhu

Suhu selain mempengaruhi pertumbuhan, juga mempengaruhi perbanyakan, dan daya tahan. Suhu setiap jenis bakteri bervariasi. Berdasarkan suhu pertumbuhan dibedakan menjadi :

- Mesofil, terdapat pada tanah, air, dan tubuh vertebrata, suhu pertumbuhan

10-470C. Suhu pertumbuhan optimum 30-400C.

- Termofil, ditemukan pada habitat yang bersuhu tinggi, pembuatan kompos, susu,

tanah, dan air laut. Mampu tumbuh pada suhu 45-500C, dibedakan menjadi psikrodura yang mampu hidup dibawah 00C dan termodura yang tahan hidup pada suhu diatas 500C (Fauzi, 2009).

c. Waktu

Bakteri dalam medium yang sesuai dan pada keadaan yang optimum bagi pertumbuhannya, maka terjadi kenaikan jumlah yang sangat tinggi dalam waktu yang relatif pendek. Pada beberapa spesies, populasi (panen sel terbanyak yang dapat diperoleh) tercapai dalam waktu 24 jam, populasinya dapat mencapai 10 sampai 15 milyar sel bakteri per mililiter. Perbanyakan ini disebabkan oleh pembelahan sel secara aseksual (Fauzi, 2009).

d. Keasaman atau Kebasaan (pH)

Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH netral sekitar pH 5,0- 8,0. Pada pH dibawah 5,0 dan diatas 8,5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik.


(38)

e. Aktivitas Air

Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air di dalam pangan yang dapat digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai kebutuhan aw yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu pertumbuhannya dapat dicegah degan cara merubah kadar air bahan makanan tersebut (Siagian, 2008).

f. Ketersediaan Oksigen

Bakteri memiliki karakteristik sendiri-sendiri di dalam kebutuhannya akan oksigen. Bakteri dalam hal ini digolongkan menjadi (Anonim, 2006):

1) Aerob : dapat tumbuh apabila ada oksigen bebas.

2) Anaerob : dapat tumbuh apabila tidak ada oksigen bebas.

3) Anaerob fakultatif : dapat tumbuh baik dengan atau tanpa oksigen bebas. 4) Mikroaerofilik : dapat tumbuh apabila ada oksigen dalam jumlah kecil.

2.6.2 Total Bakteri

Menghitung atau menentukan banyaknya mikroba dalam suatu bahan (makanan, minuman, dan lain-lain) dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh bahan itu tercemar oleh mikroba. Dengan mengetahui jumlah mikroba, maka dapat diketahui kualitas mikrobiologi dari bahan tersebut. Bahan yang dapat dikatakan baik jika jumlah mikroba yang terkandung dalam bahan tersebut masih di bawah jumlah standar yang ditentukan oleh suatu lembaga. Kandungan mikroba pada suatu bahan juga sangat menentukan tingkat kerusakannya, serta dapat ditentukan oleh tingkat kelayakan untuk dikonsumsi (Asri, 2010).

Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk menghitung atau mengukur jumlah jasad renik di dalam suatu suspensi atau bahan, adapun salah satu untuk


(39)

menghitung jumlah sel adalah dengan cara hitungan cawan (Total plate count = angka lempeng total). Plate count / viable count didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah ditumbuhkan dalam media pertumbuhan dan lingkungan yang sesuai (Pradhika, 2008).

Prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode hitungan cawan merupakan metode yang paling sensitif untuk menghitung jumlah mikroba, karena hanya sel yang masih hidup yang dihitung, beberapa mikroba dapat dihitung sekaligus, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan spesifik (Fardiaz, 1992).

Untuk melaporkan hasil analisis mikrobiologi dengan cara hitungan cawan (TPC) digunakan suatu standard yang disebut Standard Plate Count (SPC) sebagai berikut (Fardiaz, 1992):

1. Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 30 dan 300.

2. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan satu kumpulan koloni yang besar di mana jumlah koloninya diragukan dapat dihitung sebagai satu koloni.

3. Satu deretan rantai koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai satu koloni.


(40)

Dalam Standard Plate Count (SPC) ditentukan cara pelaporan dan perhitungan koloni sebagai berikut:

1. Hasil yang dilaporkan terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama didepan koma dan angka dibelakang koma. Jika angka ketiga lebih besar dari 5 maka harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.

2. Jika semua pengenceran menghasilkan angka kurang dari 30 koloni pada cawan petri maka hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 koloni dikalikan dengan faktor pengenceran tetapi jumlah sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung.

3. Jika semua pengenceran menghasilkan angka lebih dari 300 koloni pada cawan petri maka hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 koloni dikalikan dengan faktor pengenceran tetapi jumlah sebenarnya harus dicantumkan didalam kurung. 4. Jika semua pengenceran menghasilkan angka antara 30-300 koloni pada

cawan petri. Perbandingan dari pengenceran tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran lebih kecil atau sama dengan 2, tentukan rata-rata dari kedua pengenceran tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil pengenceran tertinggi dan terendah hasilnya lebih dari 2 maka yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil.

5. Jika digunakan dua cawan petri (duplo) perpengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun salah satu dari cawan duplo tidak memenuhi syarat 30-300 koloni.


(41)

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan :

Bagan di atas menjelaskan bahwa untuk mengetahui bagaimana kandungan bakteri pada ikan bandeng tanpa perendaman (0%) dan yang telah direndam dalam suspensi asam sunti dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 20%, dan 30%) kemudian dilihat dan dibandingkan jumlah bakteri pada masing-masing ikan bandeng tersebut.

2.8 Hipotesa Penelitian

Ho: Tidak ada pengaruh perendaman suspensi asam sunti 10%, 20%, dan 30% terhadap kandungan bakteri.

Ha : Ada pengaruh perendaman suspensi asam sunti 10%, 20%, dan 30% terhadap kandungan bakteri.

Ikan bandeng tanpa perendaman suspensi asam sunti

Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng Ikan bandeng dengan

perendaman suspensi Asam Sunti


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan satu faktor yang terdiri dari 4 perlakuan yaitu konsentrasi 0%, 10%, 20%,dan 30% dengan waktu pengamatan 10 jam. Penelitian ini dilakukan dengan dua kali perulangan setiap perlakuan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL & PPM) Medan. Laboratorium ini dipilih karena peralatan untuk melakukan uji mikrobiologi tersedia dan memadai.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September 2011.

3.3 Objek Penelitian

Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah ikan bandeng (chanos-chanos) yang direndam suspensi asam sunti dengan konsentrasi 0%, 10%, 20 % dan

30%.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk analisis mikrobiologi yaitu dengan metode Total Plate Count (TPC) atau hitungan cawan. Metode ini adalah


(43)

3.5 Definisi Operasional

1. Ikan bandeng tanpa perendaman suspensi asam sunti adalah ikan bandeng tanpa pemberian suspensi asam sunti dan akuades (0%).

2. Ikan bandeng dengan perendaman suspensi asam sunti adalah ikan bandeng dengan pemberian suspensi asam sunti 10% (10 gr asam sunti dalam 100 ml akuades), 20% (20 gr asam sunti dalam 100 ml akuades) dan 30% (30 gr asam sunti dalam 100 ml akuades).

3. Kandungan bakteri adalah banyaknya bakteri yang terkandung dalam ikan bandeng dengan/tanpa perendaman dalam suspensi asam sunti.

3.6 Alat dan Bahan 3.6.1 Alat-alat

3.6.1.1 Alat untuk Pembuatan Asam Sunti

1. Wadah (baskom) untuk menyimpan belimbing wuluh yang telah dijemur 2. Tampah (untuk menjemur buah belimbing wuluh)

3. Timbangan (untuk menimbang bahan baku asam sunti dan garam) 4. Beaker Glass 100 ml

3.6.1.2 Alat untuk UjiTotal Plate Count (TPC)

1. Cawan petri 2. Tabung reaksi

3. Pipet volumetric 1 ml 4. Beaker glass 100 ml

5. Spatula 6. Coloni counter


(44)

7. Hot Plate

8. Oven 9. Incubator

10. Medium Petri PCA 11.Erlenmeyer Steril 12.Kertas Label.

3.6.2 Bahan-bahan

3.6.2.1 Bahan untuk Perendaman Ikan Bandeng

1. Akuades 2. Garam

3. Suspensi asam sunti 10% (10 gr asam sunti dalam 100 ml akuades), 20% (20 gr asam sunti dalam 100 ml akuades), 30% (30 gr asam sunti dalam 100 ml akuades).

4. Ikan Bandeng

3.6.2.2 Bahan untukUjiTotal Plate Count (TPC)

1. Aquadest Steril 2. Nutrient Agar

3. Ikan Bandeng yang Telah Direndam Suspensi Asam Sunti 4. peptone water 0,1%


(45)

3.7 Tahap Penelitian 3.7.1 Pemilihan Sampel

Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bandeng yang masih dalam keadaan hidup agar dapat dipastikan bahwa keadaan ikan masih dalam keadaan segar dan tidak pernah mengalami pengawetan sebelumnya. Ikan diperoleh dari tambak ikan bandeng Pasar Nipon Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan dengan ukuran 100 gram/ekor yang kemudian dilakukan proses pencucian, penyiangan, dan pemotongan ikan. Adapun karakteristik fisik ikan bandeng setelah proses tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Karakteristik Fisik ikan bandeng

Karakteristik Fisik Ikan Bandeng Ikan Segar

Warna kulit Mengkilat Mengkilat, jelas dan terang

Tekstur daging Kukuh dan Kenyal Kukuh dan kenyal

Penampakan mata Jernih Jernih

Dari tabel di atas terlihat bahwa secara umum penampakan fisik ikan bandeng relatif sama dengan penampakan ikan segar. Dengan demikian ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini dalam keadaan baik dan segar.

3.7.2 ProsesPembuatan Asam Sunti

1. Petik buah belimbing wuluh ±1000 gr lalu letakkan dalam baskom, kemudian bersihkan hingga tidak terdapat tangkai .

2. Jemur belimbing wuluh di terik matahari sampai berkerut ±2 hari 3. Letakkan dalam baskom lagi lalu beri garam ±100 gr

4. Jemur sampai ½ kering, lalu angkat dan beri garam lagi (sedikit saja) 5. Jemur lagi sampai benar-benar kering, angkat dan beri sedikit garam.


(46)

6. Asam sunti siap untuk dipergunakan.

Tahapan pembuatan asam sunti dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini:

Gambar 3.1. Diagram Alir Proses Pembuatan Asam Sunti.

3.7.3 Proses Perendaman Ikan Bandeng dalam Suspensi Asam Sunti

1. Sediakan ikan bandeng.

2. Dilakukan pencucian pada ikan bandeng dengan membuang insang dan isi perutnya.

3. Ikan bandeng dipotong-potong terlebih dahulu dengan masing-masing bagiannya ±20 gr.

4. Ikan bandeng direndam dalam akuades (100 ml) dan suspensi asam sunti masing-masing 10gr, 20gr dan 30gr selama 2 menit pada suhu kamar.

Buah belimbing wuluh tanpa tangkai ±1000 gr

Jemur sampai kering dan beri garam Diberi garam ±100 gr

Buah belimbing wuluh dijemur ±2 hari


(47)

3.7.4 Proses Uji Total Plate Count Ikan Bandeng dengan / tanpa Perendaman Suspensi Asam Sunti.

Tahapan uji total plate count pada ikan bandeng tanpa / dengan perendaman asam sunti dapat dilihat pada Gambar 3.2 dibawahini :

Gambar 3.2. Diagram Alir Proses Uji Total Plate Count Ikan Bandeng tanpa / dengan Perendaman Suspensi Asam Sunti

3.8 Uji Bakteri Total Plate Count (TPC) pada Ikan Bandeng dengan/tanpa Perendaman Suspensi Asam Sunti

Metode kuantitatif yang umum digunakan untuk mengetahui jumlah bakteri pada suatu sampel adalah total plate count (TPC). TPC pada bakteri ditentukan berdasarkan penanaman sampel dalam jumlah pengenceran tertentu ke dalam media.

3.8.1 Prosedur Kerja Uji Total Plate Count (TPC)

1. Sterilkan alat-alat yang digunakan dengan menggunakan autoclaf dan Bio

Safety Cabinet (BSC) class 2.

- Ikan bandeng dengan perendaman suspensi asam sunti 10%

- Ikan bandeng tanpa perendaman suspensi asam sunti

- Ikan bandeng dengan perendaman suspensi asam sunti 20%

- Ikan bandeng dengan perendaman suspensi asam sunti 30%

Dibiarkan selama 10 jam

Uji Total Plate Count (TPC) Ikan bandeng tanpa /

dengan perendaman suspensi asam sunti


(48)

2. Daging ikan bandeng tanpa perendaman (0%) dan dengan perendaman 10%, 20% dan 30% selanjutnya dihancurkan dan dihomogenasi dengan peptone water 0,1% dan suspensi garam fisiologis 0,9% di dalam erlenmeyer steril.

3. Tiap sampel diambil 1 cc, kemudian masukkan ke dalam tabung yang berisi 9 cc Aquades (101).

4. Ambil 1 cc dari 101 (tabung I), lalu masukkan ke dalam tabung yang berisi aquades 102 (tabung II).

5. Ambil 1 cc dari 102 (tabung II), lalu masukkan ke dalam tabung yang berisi aquades 103 (tabung III).

6. Ambil 1 cc dari 103 (tabung III), lalu masukkan ke dalam tabung yang berisi aquades 104 (tabung IV).

7. Ambil 1 cc dari 104 (tabung IV), lalu masukkan ke dalam tabung yang berisi aquades105 (tabung V).

8. Ambil masing-masing 1 cc dari tabung I, II, III,IV dan V kemudian masukkan ke Plat (Petridis) 1, 2, 3,4 dan 5 diberi tanda sebagai kode pengenceran. 9. Sediakan satu petridis dan beri tanda “blanko” sebagai kontrol.

10. Kemudian tuangkan Nutrient Agar yang sudah cair sebanyak 15-20 ml ke dalam keenam Plat (Petridis) tadi kemudian goyang-goyang, biarkan membeku.

11. Setelah membeku, balikkan plat kemudian masukkan ke dalam inkubator. Inkubasi pada suhu 370c selama 24 jam.

12. Koloni akan tumbuh pada kelima cawan tersebut.


(49)

3.8.2 Pembacaan Hasil dan Pelaporan Uji Total Plate Count (TPC)

Dalam Standard Plate Count (SPC) ditentukan cara pembacaan hasil dan

pelaporan koloni sebagai berikut: 6. Pembacaan Hasil

- Hitung koloni yang tumbuh pada tiap-tiap petri dish.

- Koloni - koloni yang bergabung menjadi satu atau membentuk satu deretan/koloni yang terlihat sebagai garis tebal atau jumlah koloni meragukan dihitung sebagai 1 (satu) koloni kuman.

- Hitung jumlah koloni yang tumbuh pada petri dish berisi kontrol. Bila jumlah koloni pada petri dish kontrol lebih besar 10, pemeriksaan harus diulang karena sterilitas dianggap kurang baik. Pemeriksaan ulang harus menggunakan Nutrient Agar dari pembuatan yang lain.

7. Pelaporan

Pelaporan didasarkan pada perhitungan angka kuman yang diperoleh. Perhitungan hanya dilaksanakan pada petri dish yang dihasilkan pada petri dish yang menghasilkan jumlah koloni antara 30-300 serta bila jumlah pada petri dish kontrol lebih kecil dari 10. Jumlah koloni pada masing-masing petri dish ini harus terlebih dahulu dikurangi dengan jumlah koloni pada petri dish kontrol.

Contoh perhitungan:

Jumlah koloni yang tumbuh pada petri dish:

− Kontrol : 1 koloni

− Pengenceran 101 : 326 koloni

− Pengenceran 102 : 157 koloni


(50)

− Pengenceran 104 : 37 koloni

− Pengenceran 105 : 28 koloni

− Pengenceran 106 : 22 koloni

Angka Kuman

kuman tiap gram atau ml.

3.9 Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium diolah secara manual dan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam, yaitu Uji Analisis Varians (Anova) (Hanafiah, 2008).

Tabel 3.2 Daftar Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap Sumber

Keragaman Db JK KT F. Hitung

F. Tabel 5% 1%

Perlakuan

Galat

t-1 = V1

(rt-1)-(r-1) = V2

JKH

JKG

JKH (t-1) JKG (rt-1)-(r-1)

KTP KTG

F (V1, V2)

Total rt-1 JKT

Keterangan:

Db : Derajat bebas t : Jumlah perlakuan JK : Jumlah Kuadrat r : Jumlah pengulangan KT : Kuadrat tengah G : Galat


(51)

Rumus :

1. Derajat bebas (db)

a. db perlakuan = t - 1

b. db galat = (rt –1) – (r-1) c. db total = (rt) – 1

2. Faktor koreksi (FK)

Tij2 Faktor koreksi =

r x t

3. Jumah kuadrat (JK)

a. Jumlah kuadrat total = T(Yij)2 – FK TA2

b. Jumlah kuadrat perlakuan = - FK r

c. Jumlah kuadrat galat = jumlah kuadrat total - jumlah kuadrat perlakuan

4. Kuadrat total (KT)

JK perlakuan a. KT perlakuan =

db perlakuan JK galat b. KT galat =

db galat

5. F-Hitung

KT perlakuan F-hitung =

KT galat Bandingkan F-hitung dengan F-tabel


(52)

Lihat tabel Anova, dimana :

Pembilang = db perlakuan Penyebut = db galat

Bila F-hit > F-tabel = Ho ditolak, Ha diterima Bila F-hit < F-tabel = Ho diterima, Ha ditolak Dengan menggunakan derajat bebas α 1 %

Bila F-hitung > F-tabel berarti ada perbedaan antara perlakuan-perlakuan tersebut. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan tiap-tiap perlakuan maka akan dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). Dengan Uji Ganda Duncan maka dapat diketahui perlakuan mana yang paling berbeda dengan perlakuan lainnya dan perlakuan mana yang hanya sedikit berbeda dengan perlakuan lainnya.

SZAy =

percobaan Unit

galat KT

Kemudian dilanjutkan dengan menghitung range tingkat nyata 1% dengan melihat derajat bebas galat dimana akan diperoleh :


(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi suspensi dan selang waktu yang digunakan untuk pengamatan terhadap sampel selama masa perendaman.

Asam sunti yang digunakan dalam penelitian pendahuluan sebanyak 150 gram dan dibagi menjadi 10, 20, 30, 40 dan 50 gram yang kemudian diblender dengan air 100 ml. Dari kelima perlakuan menunjukkan bahwa 10, 20, dan 30 gram asam sunti berbentuk suspensi sehingga dapat digunakan untuk perendaman sampel, sedangkan pada berat 40 dan 50 gram asam sunti berbentuk koloid sehingga tidak dapat digunakan sebagai perendaman terhadap sampel.

Sampel ikan yang digunakan sebanyak 60 gram dan tiap 20 gram direndam dalam suspensi asam sunti 10%, 20%, dan 30% selama 1 – 10 menit. Dari ketiga sampel menunjukkan hasil sebagai berikut:

tabel 4.1 Hasil Pengamatan terhadap Fisik Ikan selama Perendaman dalam Suspensi Asam Sunti.

Menit Perubahan Fisik Ikan

1 – 2 - belum ada perubahan

3 – 5 - sekitar mata berubah menjadi pucat - tekstur daging kenyal

6 – 7 - mata menjadi pucat dan kabus - tekstur daging mulai mengeras 8 – 10

- seluruh bagian mata ikan menjadi putih/pucat dan tampak tenggelam


(54)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semakin lama masa perendaman ikan dalam suspensi asam sunti maka perubahan terhadap fisik ikan akan semakin terlihat baik dari segi warna maupun tekstur daging ikan.

4.2 Hasil Tahapan Pembuatan asam Sunti

Dari tahapan pembuatan asam sunti terjadi penurunan kadar air dan peningkatan kandungan garam pada buah belimbing wuluh sebagai berikut:

tabel 4.2 Hasil Tahapan Pembuatan Asam Sunti

Lamanya Pengeringan

Berat Buah Belimbing Wuluh Sebelum

Pengeringan (gr)

Sesudah Pengeringan

(gr)

Setelah Pemberian Garam

(gr)

1 hari 1000 850 900

2 hari 900 700 750

3 hari 750 500 550

4 hari 550 300 350

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahapan pembuatan asam sunti terjadi penurunan kadar air pada buah belimbing wuluh sebanyak 700 gram (70%) dengan total pemberian garam sebanyak 200 gram.

4.3 Hasil Pemeriksaan Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet

Dari hasil pemeriksaan bilangan kuman pada 8 (delapan) sampel yang dilakukan di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Medan dapat diketahui sebagai berikut:


(55)

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet No Ikan bandeng dengan/ tanpa perendaman suspensi asam sunti

Jumlah Bilangan Kuman

Jumlah Rata-rata Pengulangan

I

Pengulangan II

1 A0 (0%) 5,4 x 105 8,6 x 105 14,0 x 105 7,0 x 105 2 A1 (10%) 5,1 x 105 5,4 x 105 10,5 x 105 5,2 x 105 3 A2 (20%) 2,7 x 105 3,0 x 105 5,7 x 105 2,9 x 105 4 A3 (30%) 1,8 x 105 2,0 x 105 3,8 x 105 1,9 x 105

Dari tabel 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa ikan bandeng dengan/tanpa pengawet (perendaman suspensi asam sunti) dengan menggunakan uji Total plate Count dari empat perlakuan A0 , A1, A2 dan A3 yang memiliki jumlah bilangan

kuman paling tinggi adalah pada perlakuan A0 sebanyak 7,0 105 CFU/gr (Colony

Forming Unit / gr) dan paling rendah pada perlakuan A3 sebanyak

1,9 103 CFU/gr. Dengan demikian, semakin tinggi konsentrasi asam sunti yang digunakan maka semakin rendah bilangan kuman yang dihasilkan.

Hasil analisis sidik ragam jumlah bilangan kuman pada ikan bandeng dengan perendaman 0%, 10%, 20%, dan 30% dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4. Analisis Sidik Ragam Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet

Sumber

Keragaman db JK KT Fhitung

Ftabel Keterangan 0,01

Perlakuan 3 32,1 x 1010 10,7 x 1010

11,9 9,78

Ada Pengaruh

Galat 6 5,2 x1010 0,9 x 1010

Total 9 37,3 x1010 11,6 x 1010

Berdasarkan tabel analisis sidik ragam di atas, dapat dilihat bahwa F-hitung (11,9) > F-tabel (9,78) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh kandungan


(56)

bakteri pada ikan bandeng dengan perendaman suspensi asam sunti. Oleh karena adanya perbedaan penambahan asam sunti terhadap kandungan bakteri ikan bandeng, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan. Uji Ganda Duncan digunakan untuk mengetahui perlakuan mana yang sama atau lebih dari yang lain dan memerlukan analisis lebih lanjut terhadap perlakuan tersebut. Hasil uji didapatkan seperti tabel di bawah ini :

Tabel 4.5. Hasil Uji Ganda Duncan Terhadap Kandungan Bakteri Ikan Bandeng dengan/tanpa Pengawet

Perlakuan A0 A1 A2 A3

Rata-rata 7,0 105 5,3 105 2,9 105 1,9 105

A0 –A1 7,0 105–5,3 105 1,7 Jadi A0 A1

A0 A2 A0 A3 A1 A2 A1 A3 A2 A3

A0 –A2 7,0 105– 4,1

A0 –A3 7,0 – 5,1

A1 –A2 – 2,4

A1 –A3 – 3,4

A2 –A3 – 1,0

Keterangan:

A0 : suspensi asam sunti konsentrasi 0% A1 : suspensi asam sunti konsentrasi 10% A2 : suspensi asam sunti konsentrasi 20% A3 : suspensi asam sunti konsentrasi 30%

A0 A1 : Konsentrasi suspensi asam sunti 0% tidak sama dengan konsentrasi 10% A0 A2 : Konsentrasi suspensi asam sunti 0% tidak sama dengan konsentrasi 20% A0 A3 : Konsentrasi suspensi asam sunti 0% tidak sama dengan konsentrasi 30% A1 A2 : Konsentrasi suspensi asam sunti 10% tidak sama dengan konsentrasi 20% A1 A3 : Konsentrasi suspensi asam sunti 10% tidak sama dengan konsentrasi 30% A2 A3 : Konsentrasi suspensi asam sunti 20% sama dengan konsentrasi 30%

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, hasil Uji Ganda Duncan menujukkan bahwa tingkat kandungan bakteri pada empat perlakuan (A0 (0%) , A1 (10%), A2 (20%) dan


(57)

A3 (30%)) terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, kecuali pada perlakuan A2 (20%) dengan A3 (30%) . Hal itu berarti bahwa kandungan bakteri A0 (0%) lebih tinggi daripada kandungan bakteri A1 (10%), A2 (20%), dan A3 (30%) begitu juga dengan kandungan bakteri A1 (10%) lebih tinggi daripada kandungan bakteri A2 (20%), dan A3 (30%), Sedangkan Kandungan bakteri pada ikan bandeng dengan perendaman suspensi asam sunti A2 (20%) dan ikan bandeng yang direndan suspensi asam sunti A3 (30%) mempunyai kandungan bakteri yang rendah dan masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi, dimana berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 01-2729.1-2006 batas Angka Lempeng Total (seluruh koloni yang

tumbuh pada bahan pangan ataupun produk jadi) pada ikan segar adalah 5 105 CFU/gram. Dengan demikian semakin rendah kandungan bakteri pada ikan


(58)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Kandungan Bakteri pada Ikan Bandeng dengan Perendaman dalam Suspensi Asam Sunti

Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif terlihat perbedaan kandungan bakteri pada masing-masing ikan bandeng. Terjadi perbedaan kandungan bakteri pada perendaman suspensi asam sunti dengan konsentrasi 0%, 10%, 20% dan 30%. Secara deskriptif kandungan bakteri pada konsentrasi 20% dan 30% memang berbeda yaitu 2,9 105 CFU/gr dan 1,9 105 CFU/gr. Akan tetapi, setelah dilakukan analisis degan Uji Ganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) tidak ada perbedaan antara konsentrasi 20% dan 30%. Hasil tersebut juga dibuktikan dengan analisis sidik ragam terhadap kandungan bakteri yang menunjukkan beda nyata sehingga ada perbedaan bermakna terhadap variasi perendaman dalam suspensi asam sunti ( F hitung 11,9> F tabel 9,78 ) pada α 0,01. Sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan yang nyata antara konsentrasi suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet ikan bandeng terhadap kandungan bakteri.

Kandungan bakteri pada ikan bandeng tanpa perendaman dalam suspensi asam sunti memiliki jumlah bakteri sebanyak 7,0 x 105 CFU/gr. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang paling tinggi dibandingkan dengan ikan bandeng yang mendapatkan perlakuan dan telah melebihi batas kelayakan konsumsi yang diperbolehkan yakni 5,0 x 105. Hal ini disebabkan karena waktu pengamatan pada ikan melebihi dari daya awet ikan bandeng sehingga aktivitas bakteri cenderung akan meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian Nasran dalam Pratiwanggini (1986) yang


(59)

mengemukakan bahwa ikan bandeng utuh mempunyai daya awet 16 ½ jam pada suhu kamar 4°c – 28,5°c dan pada suhu 28,5°c – 32,2°c mempunyai daya awet 9 ½ jam. Sedangkan menurut Ilyas (1972), menyatakan ikan bandeng tahan 15 hari dalam es (suhu sekitar 0°c, pada 6°c hanya 15 hari dan pada suhu 28°c hanya 12 jam telah busuk tidak dapat dimakan lagi.

Pada perlakuan perendaman suspensi asam sunti dengan konsentrasi 10 % diperoleh bakteri ikan bandeng sebanyak 5,2 x 105 CFU/gr. Berdasarkan SNI No.01-2729.1-2006 Jumlah bakteri tersebut telah melebihi standar yang ditentukan. hal ini disebabkan karena konsentrasi suspensi tersebut belum sesuai untuk mempercepat fase kematian bakteri dan untuk menghambat pertumbuhan serta aktivitas bakteri, sehingga beberapa bakteri masih dapat tumbuh dan berkembang.

Pada konsentrasi 20% dan 30% jumlah bakteri yang terdapat pada ikan bandeng masih memenuhi standar yang diperbolehkan untuk dikonsumsi yaitu 5,0 x 105 hal ini dikarenakan suspensi asam sunti yang digunakan besar sehingga kandungan asam dan garam dalam suspensi cukup tinggi dan dapat menghambat aktifitas bakteri. Pada konsentrasi yang sama dengan bahan pengawet yang berbeda seperti ekstrak mengkudu pada daging ikan tongkol cenderung meningkat melebihi batas kelayakan konsumsi sehingga tidak efektif menghambat pertumbuhan bakteri pada daging ikan tongkol (Sonya, 2010). Dengan demikian, asam sunti merupakan bahan pengawet yang lebih baik jika dibandingkan dengan bahan pengawet alami lainnya seperti ekstrak mengkudu.

Perbedaan konsentrat asam sunti tiap perlakuan akan mempengaruhi jumlah asam dan garam yang terkandung dalam bahan pengawet. Kandungan asam (6,08


(60)

gr/100 gr bahan) dan garam (27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan, khususnya pada ikan (Saptriyawati,2010).

Ikan yang diberikan perlakuan perendaman suspensi asam memiliki perbedaan kadar air bila dibandingkan dengan ikan tanpa perendaman dalam suspensi asam. Ikan yang diberikan perlakuan perendaman suspensi asam memiliki kadar air yang lebih rendah. Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Dapat dikatakan bahwa kadar air berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, semakin besar kadar air suatu bahan pangan, maka semakin kecil daya awetnya (Rochmatul, 2002). Penelitian lain yang mendukung adalah Siringoringo (1997) yang menyebutkan bahwa adanya pemberian suspensi asam jawa dapat mempengaruhi kadar air ikan yang dihasilkan, dimana semakin tinggi asam jawa yang digunakan semakin rendah kadar air ikan yang dihasilkan. Pengaruh rempah-rempah yang diberikan pada proses pengolahan dapat mempengaruhi aktivitas air bahan pangan.

Selain asam, garam juga mempunyai sifat bakteriosidal dan bakteriostatik (daya membunuh dan menghambat mikroorganisme). Hal ini disebabkan garam dapat mempengaruhi aktivitas air dari bahan makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang tidak dikehendaki. Garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora, adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun yaitu sampai 6%. Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium botulinum dengan pengecualian


(61)

pada Streptococcus aureus, dapat dihambat oleh konsentrasi garam sampai 10-12%

(Anonim, 2010). Menurut Fardiaz (1992), garam dapat terionisasi menghasilkan ion Cl- yang berbahaya bagi mikroba, garam dapat mengurangi kesuspensi oksigen di dalam air, menyebabkan sel lebih sensitif terhadap CO2 dan mengganggu kerja enzim proteolitik di dalam sel mikroba. Beberapa mikroba proteolitik dan penyebab kebusukan tidak toleran pada konsentrasi garam kira-kira 2,5 pesen (Winarno dalam Rochmatul, 2002).


(62)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan bakteri pada ikan bandeng yang direndam dalam suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh yang nyata antara konsentrasi suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet terhadap kandungan bakteri ikan bandeng.

2. Suspensi asam sunti dapat menurunkan jumlah bakteri pada ikan bandeng dimana semakin tinggi kosentrasi suspensi asam sunti yang digunakan maka semakin rendah kandungan bakteri pada ikan bandeng.

5.3. Saran

1. Perlu dilakukan uji organoleptik untuk mengetahui kualitas cita rasa ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti agar layak dan aman dikonsumsi masyarakat.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat kandungan gizi ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, rabiatul. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Edisi Pertama. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Amnur. 2008. Cikal Bakal Averrhoa Bilimbi. Http://averrhoabilimbi .blogspot. com/2008/10/cikal-bakal-averrhoa-bilimbi.html, Diakses pada Tanggal 27 Januari 2011

Anonim. 2006. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri.

Anonim. 2010. Belimbing Wuluh (Averhoa Bilimbi), Pengawet Ikan dan Daging. Anonim. 2010. Pengawetan Alami dengan Garam dan Asam.

Anonim. 2011. Panduan Pengolahan dan Pemasaran Ikan Bandeng. Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Bekerjasama dengan Food and Agriculture Organization of the United Nations(un-fao), didanai oleh American Red Cross.

Asri, A. 2010. Bakteri Salmonella pada Telur. Elidahanum, Husni dkk, 2007. Pengawetan Ikan Segar dengan Menggunakan Biji

Buah Kapayang (Pangium Edule Reinw) dan Analisa secara Kualitatif. Jurnal Sains Tek. Far.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Fauzi, Syarif. 2009 . Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri. http:// syariffauzi.wordpress.com/tag/faktor-faktor-yang-mempengaruhi pertumbuh- an-bakteri/. Diakses Tanggal 23 Juli 2011.

Hanafiah. 2008. Rancangan Percobaan. Edisi kedua. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Hayati, Rita. 2002. Kajian Penggaraman dan Pengeringan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi l.) dalam Pembuatan Asam Sunti dari Aceh. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Ilyas, S. 1972. Peranan Es dalam Industri Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.


(1)

gr/100 gr bahan) dan garam (27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan, khususnya pada ikan (Saptriyawati,2010).

Ikan yang diberikan perlakuan perendaman suspensi asam memiliki perbedaan kadar air bila dibandingkan dengan ikan tanpa perendaman dalam suspensi asam. Ikan yang diberikan perlakuan perendaman suspensi asam memiliki kadar air yang lebih rendah. Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Dapat dikatakan bahwa kadar air berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, semakin besar kadar air suatu bahan pangan, maka semakin kecil daya awetnya (Rochmatul, 2002). Penelitian lain yang mendukung adalah Siringoringo (1997) yang menyebutkan bahwa adanya pemberian suspensi asam jawa dapat mempengaruhi kadar air ikan yang dihasilkan, dimana semakin tinggi asam jawa yang digunakan semakin rendah kadar air ikan yang dihasilkan. Pengaruh rempah-rempah yang diberikan pada proses pengolahan dapat mempengaruhi aktivitas air bahan pangan.

Selain asam, garam juga mempunyai sifat bakteriosidal dan bakteriostatik (daya membunuh dan menghambat mikroorganisme). Hal ini disebabkan garam dapat mempengaruhi aktivitas air dari bahan makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang tidak dikehendaki. Garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora, adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun yaitu sampai 6%. Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium botulinum dengan pengecualian


(2)

pada Streptococcus aureus, dapat dihambat oleh konsentrasi garam sampai 10-12% (Anonim, 2010). Menurut Fardiaz (1992), garam dapat terionisasi menghasilkan ion Cl- yang berbahaya bagi mikroba, garam dapat mengurangi kesuspensi oksigen di dalam air, menyebabkan sel lebih sensitif terhadap CO2 dan mengganggu kerja enzim proteolitik di dalam sel mikroba. Beberapa mikroba proteolitik dan penyebab kebusukan tidak toleran pada konsentrasi garam kira-kira 2,5 pesen (Winarno dalam Rochmatul, 2002).


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan bakteri pada ikan bandeng yang direndam dalam suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh yang nyata antara konsentrasi suspensi asam sunti sebagai bahan pengawet terhadap kandungan bakteri ikan bandeng.

2. Suspensi asam sunti dapat menurunkan jumlah bakteri pada ikan bandeng dimana semakin tinggi kosentrasi suspensi asam sunti yang digunakan maka semakin rendah kandungan bakteri pada ikan bandeng.

5.3. Saran

1. Perlu dilakukan uji organoleptik untuk mengetahui kualitas cita rasa ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti agar layak dan aman dikonsumsi masyarakat.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat kandungan gizi ikan bandeng yang telah direndam suspensi asam sunti.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, rabiatul. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Edisi Pertama. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Amnur. 2008. Cikal Bakal Averrhoa Bilimbi. Http://averrhoabilimbi .blogspot. com/2008/10/cikal-bakal-averrhoa-bilimbi.html, Diakses pada Tanggal 27 Januari 2011

Anonim. 2006. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri.

Anonim. 2010. Belimbing Wuluh (Averhoa Bilimbi), Pengawet Ikan dan Daging. Anonim. 2010. Pengawetan Alami dengan Garam dan Asam.

Anonim. 2011. Panduan Pengolahan dan Pemasaran Ikan Bandeng. Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Bekerjasama dengan Food and Agriculture Organization of the United Nations(un-fao), didanai oleh American Red Cross.

Asri, A. 2010. Bakteri Salmonella pada Telur. Elidahanum, Husni dkk, 2007. Pengawetan Ikan Segar dengan Menggunakan Biji

Buah Kapayang (Pangium Edule Reinw) dan Analisa secara Kualitatif. Jurnal Sains Tek. Far.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Fauzi, Syarif. 2009 . Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri. http:// syariffauzi.wordpress.com/tag/faktor-faktor-yang-mempengaruhi pertumbuh- an-bakteri/. Diakses Tanggal 23 Juli 2011.

Hanafiah. 2008. Rancangan Percobaan. Edisi kedua. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Hayati, Rita. 2002. Kajian Penggaraman dan Pengeringan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi l.) dalam Pembuatan Asam Sunti dari Aceh. Tesis. Institut Pertanian Bogor.


(5)

Jeffri. 2010. Ikan Air Payau. http://jeffri022.student.umm.ac.id/2010/05/01/ morfologi/. Diakses Tanggal 23 Juli 2011.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta

Junita, Endang. 2009. Analisis Kandungan Formalin pada Ikan Kembung Rebus di Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kamilah. 2009. Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Tanin pada Daun Belimbing Wuluh (averrhoa bilimbi l.). Jurnal Kimia 4 (2), Juli 2010 : 193-200

Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. Lathifah, Qurrotu A’yunin. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak Kasar Senyawa Antibakteri

pada Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) dengan Variasi Pelarut. Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Malang.

Pradhika. 2008. Menentukan Ukuran Mikroba pada Pangan. 2011

Prahasta, Arief. 2009. Agribisnis Belimbing. CV. Pustaka Grafika. Bandung

Pratiwanggini, Ayu. 1986. Pengaruh Air Pencuci terhadap Daya Tahan Kesegaran Ikan Badeng (Chanos-chanos). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Purnomo, Bambang. 2005. Bahan Bacaan Kuliah : Dasar-dasar Mikrobiologi. PS. IHPT. Faperta Unib.

Purnomowati, Ida, dkk. 2007. Ragam Olahan Bandeng. Cetakan I. Kanisius. Yogyakarta.

Rochmatul, Anna. 2002. Keberadaan Merkuri dan Pengaruh Perendaman Larutan Asam terhadap Kandungan Gizi serta Daya Cerna Protein pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Safitri, Khairina. 2010. Pengaruh Penambahan Filtrat Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) Sebagai Penggumpal Lateks Terahadap Mutu Karet. Skripsi. Medan. Universitas Sumatera Utara.

Saparinto, Cahyo, dkk. 2006. Bandeng Duri Lunak. Cetakan I. Kanisius. Yogyakarta. Saptriyawati,Evi. 2010. Identifikasi Mikroorganisme pada Bumbu Dapur “Asam

Sunti” Asal Belimbing Wuluh. Laporan Akhir PKM-p. Program kreativitas Mahasiswa Penelitian. Institut Pertanian Bogor.


(6)

Setyo, Wulang, 2010. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale) Terhadap Penghambatan Mikroba Perusak Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus).

Skripsi. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Siagian, Albiner. 2008. Teknologi Pangan dan Gizi. Diktat. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU.

Siringoringo, M. 1997. Pengaruh lama Pemberokan, Konsentrasi Asam Jawa (Tamarindus indica) dan Kunyit (Curcuma domestika) terhadap Perubahan Citarasa Lumpur pada Bandeng (Chanos-chanos) Presto. Skripsi. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Sonya, Veneranda. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia l.) dan Waktu Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Ikan Tongkol. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Standar Nasional Indonesia Nomor 01-2729.1-2006