2.4 Pengaruh Memasak terhadap Protein
Diantara pengaruh memasak secara umum ialah melunaknya jaringan ikat dan hancurnya lemak yang memungkinkan cairan-cairan pencernaan menembus
lebih baik ke dalam bahan makanan. Tetapi di luar pengaruh ini, beberapa jenis protein menjadi lebih mudah dicerna karena perubahan penyusunan asam-asam
aminonya, sebagai contoh, putih telur mentah lebih sukar dicerna dan diserap, dibandingkan dengan putih telur yang bergumpal karena dimasak. Tetapi
sebaliknya suhu tinggi ketika memanggang dapat menurunkan nilai protein, seperti yang terdapat pada bagian kulit yang berwarna coklat sebuah roti, yang
mempunyai nilai cerna dan nilai biologik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan protein di bagian dalam roti tersebut. Di dalam bagian kulit ini telah
terjadi pengrusakan pada sebagian lysine dan mungkin pula pada asam-asam amino lainnya. Nilai-nilai protein mungkin pula menjadi berkurang karena bahan
makanan dimasak terlalu lama atau karena diulang pemasakannya; tetapi cara- cara memasak yang baik akan menambah digestibilitas protein bukan
menguranginya Budianto, 2009.
2.5 Analisis Protein dan Non Protein Nitrogen Dalam Belut 2.5.1 Penetapan Kadar Protein
Salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengetahui kadar protein dalam bahan makanan adalah berdasarkan kandungan rata-rata unsur N yang
terdapat dalam protein tersebut dengan metode Kjeldahl. Penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl ini mengandung kelemahan karena adanya senyawa lain
yang bukan protein yang mengandung N akan tertentukan sebagai protein seperti
Universitas Sumatera utara
urea, asam nukleat, asam amino bebas, nitrat, nitrit, dan lain-lain, sehingga kadar protein yang diperoleh langsung dengan cara Kjeldahl ini sering disebut dengan
kadar protein kasar crude protein Sudarmadji dan Suhardi, 1989. Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl adalah berdasarkan
hasil penelitian yang menyatakan bahwa umumnya protein mengandung rata-rata 16 N dalam protein murni. Apabila jumlah N dalam bahan telah diketahui, maka
jumlah protein dihitung dengan mengalikan jumlah N dengan 10016 N x 6,25. Sedangkan untuk protein-protein tertentu yang telah diketahui komposisinya
dengan tepat, maka faktor perkalian yang lebih tepat yang dipakai. Pada analisis protein dengan cara Kjeldahl ini dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
1. Tahap Destruksi Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam H
2
SO
4
pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen, teroksidasi menjadi
CO, CO
2
, dan H
2
O. Sedangkan nitrogennya N akan berubah menjadi NH
4 2
SO
4
. Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na
2
SO
4
dan HgO 20 : 1. Gunning menganjurkan menggunakan K
2
SO
4
atau CuSO
4.
Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan dengan cepat. Tiap
1 gram K
2
SO
4
dapat menaikkan titik didih 3ºC. Suhu destruksi berkisar antara 370º - 410ºC. Bila menggunakan HgO, ammnonium sulfat yang terbentuk dapat
mengadakan reaksi dengan merkuri oksida membentuk senyawa kompleks. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna. Agar
analisa lebih tepat maka pada tahap destruksi ini dilakukan pula perlakuan blanko
Universitas Sumatera utara
yaitu untuk koreksi adanya senyawa N yang berasal dari reagensia yang digunakan.
2. Tahap Destilasi Pada tahap ini, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia NH
3
dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan
selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4 dalam jumlah yang berlebihan. Agar
kontak antara asam dan amoniak lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebih maka diberikan indikator misalnya BCG MR + PP. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilasi
tidak bereaksi basis. 3. Tahap Titrasi
Apabila penampung destilasi digunakan asam klorida maka sisa asam klorida yang tidak bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar
0,1 N. Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP.
Selisih jumlah titrasi balnko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen nitrogen. N =
ml NaOH blanko −sampel
berat sampel gx 1000
x N NaOH x 14,007 x 100 Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat
Yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1N dengan indikator BCG + MR. Akhir titrasi ditandai dengan
perubahan warna larutan biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.
Universitas Sumatera utara
N =
ml HCl blanko −sampel
berat sampel gx 1000
x N HCl x 14,007 x 100 Setelah diperoleh N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan
suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan Sudarmadji dan Suhardi,
1989.
2.5.2 Penetapan Kadar Non Protein Nitrogen
Ketelitian penentuan kadar NPN tergantung pada kemampuan dari metode yang digunakan untuk memisahkan protein dari NPN. Setelah pemisahan protein
dari NPN maka kadar protein dan NPN dapat ditentukan kadarnya dengan metode Kjeldahl. Dari analisis yang telah dilakukan, umumnya larutan ATA 10 dipilih
untuk mengendapkan protein dalam bahan makanan. Beberapa keuntungan pemakaian larutan ATA ini yaitu pengerjaannya mudah, endapan protein yang
diperoleh mudah dipisahkan dari larutan ATA nya dan tidak mempengaruhi ketelitian metode Kjeldahl. Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui
kadar NPN ini, yaitu dengan menentukan langsung kadar NPN dengan metode Kjeldahl, atau dengan cara mengurangkan kadar N total yang diperoleh dengan
kadar N endapan N protein Silalahi, 1994.
2.6 Penetapan Kadar Non Protein Nitrogen Terhadap Penetapan Kadar Protein
Adanya NPN dalam bahan makanan yang kaya protein perlu diketahui untuk memberi gambaran nilai gizi yang sebenarnya dari bahan makanan tersebut.
Pada umumnya NPN yang terdapat dalam bahan mentah hanya sedikit dibandingkan dengan kandungan proteinnya. NPN yang terdapat dalam bahan
Universitas Sumatera utara
mentah tersebut biasanya berasal dari asam-asam amino bebas yang kemungkinan merupakan hasil degradasi proteinnya ataupun residu dari sintesis protein yang
tidak jadi. Jadi nilai gizi dari bahan mentah sebenarnya tidak begitu dipengaruhi oleh adanya NPN tersebut. Pada bahan makanan yang telah mengalami
perubahan-perubahan baik karena pengaruh kondisi dari luar ataupun karena proses pengolahannya kemungkinan sekali NPN nya semakin bertambah.
Misalnya dalam ikan laut, senyawa amina yang dalam ikan segar relatif kecil akan naik dengan cepat bila mengalami pembusukan. Hal ini terjadi karena adanya
enzim-enzim yang berasal dari mikroorganisme pembusuk yang terdapat dalam ikan atau yang dihasilkan ikan itu sendiri, yang mengkatalisa perubahan asam
amino bebas menjadi senyawa amina Silalahi, 1994. Banyak senyawa-senyawa amina yang dapat terbentuk dari asam-asam
amino bebas, seperti ammonia sebagai hasil deaminasi asam amino bebas, ataupun His yang berasal dari dekarboksilasi histidin yang aktif secara fisiologis.
Jadi penentuan kadar NPN dalam bahan makanan yang telah diproses penting sekali untuk mengetahui nilai gizi yang sebenarnya tersedia dalam bahan makanan
tersebut Silalahi, 1994.
2.7 Belut