Kerangka Teori 1.6.1 Feminisme Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

I.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap keterwakilan perempuan. Diharapkan hasil penelitian ini secara konseptual bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Secara Lembaga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada lembaga apakah itu lembaga adat atau lembaga legislatif dalam membuat kebijakan khusunya yangberkaitan dengan perempuan. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen Ilmu Politik FISIP USU. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat Sumatera Barat secara khusus dalam memahami pengaruh budaya matrilineal terhadap keterwakilan politik perempuan.

I.6 Kerangka Teori 1.6.1 Feminisme

Feminisme lahir akibat dari ketidakadilan dalam struktur sosial antara laki dan perempuan yang kemudian termanifestasikan melalui kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis di berbagai bidang kehidupan secara kritis. Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap kaum perempuan sebenarnya telah lama terjadi. Kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan membebaskan diri dari ketidakadilan. Universitas Sumatera Utara Tetapi pada waktu itu belum ada istilah feminism femenisme. Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi pada tahun 1914. Kata feminisme yang berasal dari bahasa Perancis pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata femenisme dan femeniste. Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan femenisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perempuan dan laki-laki telah dijajah oleh struktur yang tidak adil melalui Universitas Sumatera Utara kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan juga praktik keagamaan. Kemunculan gerakan emasipatoris yang menanggapi masalah ini, yakni gerakan feminisme itu merupakan upaya untuk mendudukkan relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis berbagai bidang kehidupan. Gerakan ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat secara luas. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dan di nomor duakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat trdisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan dan diluar rumah, sedangkan kaum perempuan domestik. Inti pandangan femenisme adalah bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki atau orang lain baginya sebagai perempuan. Teori feminisme tidak hanya satu melainkan banyak. Namun, hampir dari semua teori tersebut menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, menerangkan sebab dan akibat serta strategi pembebasannya. Ada 2 teori yang membahas tentang feminisme yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal yang akan diuraikan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Feminisme Liberal Feminisme Liberal secara sederhana adalah episteme dan gerakkan politik yang berupaya untuk menempatkan perempuan guna memiliki kebebasan secara dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional yang sama. Akar ketertindasan dan keterbelakangan perempuan menurut logika mereka adalah karena disebabkan kesalahan perempuan itu sendiri. Aliran ini muncul akibat kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskrisikan kaum perempuan. Oleh karena itu jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa atau mampu bersaing diberbagai aspek kehidupan dalam persaingan bebas, sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Woolstonecraft 1759- 1799 dalam tulisan “The Vindication of The Right Of Woman ” dan Jhon Stuart Mill dalam tulisannya “ The Subjection of Women “, kemudian Betty Frei dan dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”. Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik. Universitas Sumatera Utara Akar pemikiran ini muncul dari pengalaman perempuan yang secara pribadi tidak bebas menentukan hidupnya. Sejak lahir dalam keluarga, pribadi perempuan telah diatur tergantung kepada bapak, abang, suami atau laki-laki yang lain. Bahkan negara juga mengatur dan memgontrol setiap pribadi perempuan. Dalih melindungi kaum perempuan yang terjadi justru perempuan tidak bebas secara individu. Asumsi dasar pemikiran liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan freedom dan kesamaan equality berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempataan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu ketika menyoalkan mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Dengan kata lain jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan Universitas Sumatera Utara laki-laki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan dalam bebagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan “ persamaan dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi idiologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentuk - bentuk feminisme radikal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural. 16 Kritik paling utama bagi feminisme liberal adalah bahwa feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi patriarki dan sama sekali tidak bisa menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Feminisme liberal dianggap hanya mengatakan permasalahan pada perempuan selama ini adalah pada perempuan sendiri dan jalan keluarnya ialah perempuan harus membekali diri sendiri dengan pendidikan dan pendapatan. Teori ini tidak bisa melihat bahwa justru kaum perempuanlah yang merupakan golongan yang paling minim untuk mendapatkan akses pendidikan, baik karena biaya pendidikan yang mahal ataupun bentuk diskriminasi yang kerap terjadi. Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan freedom Universitas Sumatera Utara dan kesamaan equaliy berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki. Perempuanlah yang harus membekali dirinya dengan bekal pendidikan dan pendapatan ekonomi. Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan equality haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Femenisme liberal ini muncul pada abad 18, gerakannya menuntut persamaan pendidikan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Dasar pemikirannya, perempuan tidak mengetahui hak-haknya dibidang hukum karena rendahnya pendidikan. Oleh sebab itu asumsinya, apabila pendidikan perempuan meningkat maka mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya. Gerakan ini berkembang pada abad 19 dan mulai memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara dan hak dibidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Pada abad 20, tuntutan mereka berkembang menjadi tuntutan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, yakni dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya yaitu menambah kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan partisipasi perempuan. Feminisme Radikal Femisnisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970an dimana aliran ini menawarkan ideologi perjuangan “separatisme perempuan” pada sejarahnya aliran ini Universitas Sumatera Utara muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah datu fakta dalam sistem masyarakat yang ada sekarang. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang “radikal” aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriaki. Beberapa tokoh aliran ini seperti Allison Jaggar dan Paula Rothenberg mengatakan bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah. Situasi ini digambarkan pada perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang tertindas, penindasan terhadap perempuan tersebar luas ke berbagai kehidupan sosial, penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser oleh perubahan sosial antar kelas, penindasan perempuan menyebabkan penderitaan secara kantitatif dan kualitatif walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan diasadari baik oleh pelaku maupun korban, dan penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk mengetahui Universitas Sumatera Utara bentuk penindasan lainnya. Kelompok pertama penganut teori konflik adalah Feminisme Radikal yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau deskriminasi sosial atas jenis kelamin. Teori Feminisme radikal mempersoalkan fungsi reproduksi dan melahirkan mothering, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Teori ini didasari pada pandangan bahwa perhatian analisis langsung pada cara laki-laki menguasai tubuh perempuan dan secara eksplisit teori ini mengkonstruksikan seksualitas sehingga perempuan melayani laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan melalui lembaga keluarga. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarki. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politisi adalah bagian dari permasalahan. Dengan demikian aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan kaum laki-laki tehadap kaum perempuan. Feminisme radikal bertujuan menghancurkan sistem klas jenis kelamin dan yang membuat aliran ini radikal adalah fokus utamanya pada akar dominasi dan klaim yang menyatakan bahwa segala bentuk penindasan adalah perpanjangan Universitas Sumatera Utara dari supermasi laki-laki. Dalam kaitan dengan kekuasaan teori ini mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian di konstruksikan menjadi perbedaan gender oleh budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini perempuan teralieansi dari berbagai bidang kehidupan khususnya bidang politik yang mengatur masyarakat. Analisis perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehiduipan domestik dan pribadi perempuan. Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem ketidakadilan, ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan equality, banyak orang yang mempelajari teory gender dan politik dari perspektif kesetaraan equality sangat menyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami bebeda dalam lingkungan politik. Selain kesetaraan equality, keadilan justice pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai Universitas Sumatera Utara perspektif, etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Adapun ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan equality, kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan equality dan keadilan justice hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.Bagi gerakan feminisme radikal revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil reaksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Lain halnya dengan feminisme liberal yang lebih menekankan akan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, aliran feminisme radikal menekankan pada perbedaan antara kaum wanita dan kaum laki-laki.. Seperti halnya wanita dan laki-laki dalam mengkonseptualisasikan kekuasaan secara berbeda, dimana bila laki-laki berusaha mendominasi dan mengontrol orang lain, maka maka wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat kekuasaan. Pada dasarnya ajaran feminisme radikal menyatakan “the personal is political ” yang merupakan slogan yang kerap digunakan oleh kaum feminisme radikal. Yang artinya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal. Pada hakikatnya feminisme radikal menganggap bahwa isu -isu politik yang membuat ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Aliran feminisme radikal juga menolak sistem hirarki yang berstrata berdasarkan garis gender dan klas, yang sebagaimana hal tersebut diterima oleh aliran feminisme liberal. 1. Politik Perempuan Kata politik yang digunakan dalam tulisan ini adalah segala usaha, kegiatan, dan upaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan yang berkaitan Universitas Sumatera Utara dengan issue perempuan. 8 Di mana politik berkaitan erat dengan konsep demokrasi dan secara sederhana pengertian demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian persoalan keterwakilan perempuan dalam proses demokrasi adalah bagian inheren dari demokrasi dan juga turut pula menentukan kualitas demokrasi itu sendiri. Oleh sebab itu, keterwakilan perempuan dalam institusi-institusi politik sangat penting untuk menentukan apakah sebuah item politik adalah sistem perwakilan. 9 Karena semua anggota masyarakat dari berbagai kelompok dan golongan perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan disegala tingkatan kehidupan bangsa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan dengan adanya perempuan di dalam lembaga-lembaga politik merupakan suatu keharusan dan keperluan yang memungkinkan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya melalui arena politik. 2. Keterwakilan Politik Untuk mengetahui defenisi keterwakilan terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai defenisi perwakilan, dimana secara sederhana perwakilan diartikan sebagai suatu proses interaksi wakil dengan yang diwakili. Dalam perwakilan ini, yang diwakili adalah sejumlah warga negara yang bertempat tinggal disuatu daerah atau distrik tertentu. Hal ini mencakup berbagai kepentingan, sedangkan yang mewakili adalah seorang atau lebih wakil rakyat yang bergabung ke dalam satu atau lebih partai politik. 8 Indriyati Suparno, 2005, Masih dalam posisi pinggiran: membaca tingkat partisipasi politik perempuan di kota Surakarta, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 29 9 Ibid hal 31 Universitas Sumatera Utara Dalam sistem perwakilan, seorang warga negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Sedangkan pengertian perwakilan dalam buku Perwakilan Politik Indonesia karangan Drs. Arbi Sanit, yaitu: “perwakilan adalah bahwa seseorang ataupun sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain. 10 Dari segi keterikatan wakil rakyat dan keinginan rakyat yang diwakili, konsep perwakilan dibedakan menjadi dua, yaitu : pertama perwakilan tipe delegasi manndat, yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat. Wakil rakyat harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat yang diwakilinya. Wakil rakyat sangat terikat dengan keinginan rakyat diwakili. Wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk berbicara lain daripada apa yang dikehendaki konstituennya. Fungsi wakil rakyat menuruut tipe perwakilan ini menyuarakan pendapat dan keinginan para pemilihnya serta memperjuangkan kepentingan para pemilihnya. Keinginan konstituennya dapat diketahui melalui kontak langsung yang secara periodik dilakukan. Dan keinginan yang harus diikuti wakil rakyat ialah suara mayoritas konstituen. Kedua, perwakilan tipe trustee independen berpendirian wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan secara baik good judgment. Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan hal ini wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, tipe perwakilan ini berpandangan tugas wakil rakyat adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Dengan demikian, manakala terdapat pertentangan antara keinginan lokal atau para pemilih dan kepentingan nasional maka wakil rakyat harus memihak kepada kepentingan nasional. 10 Drs. Arbi Sanit, 1985, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta, CV Rajawali, hal 23 Universitas Sumatera Utara Jadi, keinginan para pemilih tetap ikut dipertimbangkan tetapi tidak mengikat. Tipe perwakilan ini disebut trustee karena wakil rakyat dipercaya sebagai pemegang kekuasaan. Setelah mempercayakan kekuasaan kepada wakilnya melalui pemilihan umum, dan para pemilih tidak lagi mempunyai kekuasaan sampai pada pemilihan berikutnya. Secara implisit terkandung penilaian bahwa wakil rakyat memiliki kemampuan politik yang lebih tinggi daripada para pemilihnya. Sedangkan pengertian keterwakilan disini adalah “sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan proses politik”. 11 Kadar keterwakilan tersebut ditentukan oleh sistem perwakilan yang berlaku di dalam masyaraat bersangkutan. Sistem perwakilan politik yang formalistis seringkali tidak menghasikan tingkat ‘keterwakilan politik’ yang cukup. Kemungkinan menciptakan tingkat keterwakilan yang cukup menjadi lebih besar jika terdapat keserasian di antara segi formal dengan aspek aktual dari sistem perwakilan politik. Karena keterwakilan diukur dari kemampuan wakil bertindak atas pihak yang diwakili, maka konsep ini menyangkut himpunan elit di dalam lembaga-lembaga politik yang berwenang bertindak atas nama anggota masyarakat, untuk menentukan kebijakan guna mencapai tujuan dan kepentingan masyarakat tersebut. Dan dua lembaga politik utama yang dimaksud ialah badan perwakilan legislatif dan pemerintah eksekutif. 3. Budaya Politik Menurut Cliford Geertz, kebudayaan adalah seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat yang berkaitan dengan nilai, praktik, sosial, lembaga, dan hubungan antarmanusia. Sedangkan menurut Samuel Huntington, kebudayaan berarti nilai-nilai, sikap, 11 Ibid hal 28 Universitas Sumatera Utara kepercayaan, orientasi dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mendefenisikan budaya poitik sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik. 12 Dengan kata lain, budaya politik tidak lain merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik. 13 Sikap positif atau negatif seseorang terhadap sistem politik tergantung dari corak orientasi budaya politik yang dimilikinya. Di samping orientasi terhadap sistem politik, menurut Almond dan Powell, terdapat aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangan dan sikap individu dalam masyarakat sebagai sesama waga negara. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan rasa percaya dan permusuhan antara warga negara yang satu dan lainnya atau antara golongan yang satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat. 14 Perasaan-perasaan yang merupakan cerminan budaya politik tersebut mungkin terlihat pada pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada di sekitarnya dalam bentuk kualitas politik, yaitu konflik dan kerja sama. 15 Jadi, kerja sama dan konflik antar kelompok atau golongan sosial merupakan ciri aktual yang dapat mewaarnai budaya politik di dalam masyarakat. Perkembangan budaya politik suatu masyarakat dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antarorientasi dan antarnilai yang memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik suatu kelompok atau golongan, yang mungkin lebih tepat disebut ‘subbudaya politik’ yang pada dasarnya merupakan proses terjadinya pengembangan budaya bangsa. 12 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, Bumi Aksara, hal 13 13 Affan gaffar, 1999, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 99 14 R. Siti Zuhro, 2003, Demokrasi lokal perubahan dan kesinambungan nilai-nillai budaya politik lokal, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal 36 15 Nazarudin Syamsudin, 1991, Aspek-aspek budaya politik Indonesia, Gramedia pustaka, Jakarta, hal 23 Universitas Sumatera Utara Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya bangsa yang matang, menurut Almond dan Verba, pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa itu dan struktur politiknya. Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baikbila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Menurut Almmond dan Verba, budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond sebagai civic culture. Antara budaya politik dan demokrasi dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada s aat yang bersamaan adalah ‘sub-budaya etnik dan daerah’ yang mejemuk pula. 16 Keanekargaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi antara sub-sub budaya politik kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik tingkat nasional yang tempak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap antara sub bdaya politik yang salling berinteraksi pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah subbudaya politik yang lebih kuat dalam arti primordial. Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut : 16 Koentjaraningrat, 2007, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal 11 Universitas Sumatera Utara

a. Budaya politik parokial parochial political culture, yaitu tingkat partisipasi politiknya