Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

(1)

POLA BUDAYA MATRILINEAL DALAM POLITIK

(STUDI KASUS KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPRD SUMATERA BARAT TAHUN 2014)

Skripsi

Diajukan unutk memenuhi salah satu syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Disusun oleh:

Mezbah Simanjuntak 110906062

Dosen Pembimbing: Drs. Zakaria, M.SP

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MEZBAH SIMANJUNTAK (110906062)

POLA BUDAYA MATRILINEAL DALAM POLITIK (STUDI KASUS KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPRD SUMATERA BARAT TAHUN 2014)

Rincian isi Skripsi, 123 Halaman, 3 tabel, 2 gambar, 17 buku, 3 jurnal, 1 dokumen, 2 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan tentang pola budaya matrilineal dalam politik yang berkaitan mengenai keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat pada tahun 2014. Penelitian ini di latar belakangi oleh budaya matrilineal yang sangat kuat di masyarakat Sumatera Barat yang tampak dari kehidupan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat seperti pada sistem pemargaan atau garis keturunan yang bergaris ke ibu, serta pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan perempuan. Hal ini berdampak besar terhadap perkembangan kualitas perempuan Sumatera Barat terutama dalam bidang politik.

Adapun teori yang digunakan dalam menganalisis budaya tersebut adalah Teori Budaya Politik oleh Gabriel Almond yang mengklasifikasikan budaya politik kedalam tiga jenis, yakni politik parokial, politik kaula, serta politik partisipan, ini digunakan agar dapat melihat dan mengklasifikasikan perempuan-perempuan minang dari segi budaya dalam keaktifannya/partisipasi mengikuti politik. Selain itu digunakan Teori Politik Perempuan, serta Teori Keterwakilan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi.

Hasil analisis data menujukkan bahwa pola budaya matrilineal tak berkaitan dengan keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Barat. Hal ini terlihat dari rendahnya jumlah anggota legislatif yang berjenis kelamin perempuan yang jumlahnya hanya mencapai 9 % saja. Ini dikarenakan, untuk kegiatan yang bersifat publik, masyarakat Minang terkhusus wanita memberikan kepercayaan penuh kepada pihak laki-laki. Solusi dengan meningkatkan keaktifan lembaga Bundo Kanduang diharapkan dapat membuat perempuan dapat meningkatkan kualitas diri, serta menambah hukuman kepada partai politik peserta pemilu agar partai lebih serius memberikan pendidikan kepada kader partainya merupakan solusi yang dapat diterapkan.


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MEZBAH SIMANJUNTAK (110906062)

PATTERNS IN POLITICAL CULTURE MATRILINEAL (CASE STUDY REPRESENTATION OF WOMEN IN WEST SUMATRA COUNCIL OF 2014)

Content, 123 pages, 3 tables, 2 graphs, 17 books, 3 journals, 1 document, 2 websites. ABSTRACT

This study describes the pattern of matrilineal culture in political circumstances regarding the representation of women in Parliament West Sumatra in 2014. This research background backs by strong matrilineal culture in the people of West Sumatra that appear from social and cultural life of West Sumatra as the clan system or lineages are striped to the mother, as well as the division of the estate who prefers women. This is a major impact on the development of women's quality of West Sumatra, especially in the political field.

The theory used to analyze this culture is Theory of Political Culture by Gabriel Almond. This political culture classifies into three types, which are parochial politics, political subjects, and political participants, this aim is to view and classify women Minang’s culture in terms of theirs activity or their political participation. This study also used Women's Political Theory and Representation Theory. The method used in this study is a qualitative method using interview techniques and documentation.

The result of this study shows that the pattern of matrilineal culture has no any relation to the representation of women in West Sumatra Provincial Parliament. It seems from the low number of legislators are female which is only reached 9% only. This is because Women Minang gives full credence to the men for public activities. Solutions to enhance the activity of the institution Kanduang Bundo expected to make women can improve the quality and increase the penalty to political parties participating in the election that the party is serious about providing education to the party cardes is a solution that can be applied.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Mezbah Simanjuntak NIM : 110906062

Judul : Pola Budaya Matrilineal dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat : Majelis Penguji: Ketua :

Nama ( )

NIP

Penguji Utama:

Nama ( )

NIP

Penguji Tamu:

Nama ( )

NIP


(5)

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Mezbah Simanjuntak

NIM : 110906062 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Pola Budaya Matrilineal dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014)

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si) (Drs. Zakaria M.SP) NIP. 196806301994032001 NIP.

Mengetahui: Dekan FISIP USU

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(6)

Karya ini dipersembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda Tercinta


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan atas berkat rahmat Allah yang senantiasa menolong dan memberkati sehingga penulis diberikan kesehatan, kemampuan, dan kesempatan untuk menyelesaikan tahap demi tahap dalam pembuatan skripsi ini. Semoga namaMu semakin ditinggikan, Amin.

Skripsi ini berjudul Pola Budaya Matrilineal Dalam Politik (Studi Kasus Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat Tahun 2014) diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini menjelaskan tentang budaya matrilineal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, serta dampaknya terhadap keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Barat. Adat Istiadat

Matrilineal yang begitu kental nyatanya tak memiliki dampak apapun dalam bidang politik, sehingga menjadikannya paradoks dilain sisi. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini ke depan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini banyak mendapat bantuan dan dukungan baik dari segi materiil maupun moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu


(8)

3. Bapak Drs. Zakaria, M.SP selaku Dosen Pembimbing yang telah mengarahkan, mengkritik dan memberikan saran yang sangat berguna dalam penulisan skripsi ini. 4. Dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara.

5. Kak Ema, kak Siti dan Pak Burhan yang selalu membantu dalam urusan administrasi. 6. Seluruh narasumber di kota Padang yang rela memberikan waktunya untuk

diwawancarai dan dimintai penjelasannya.

7. Teristimewa untuk Mama yang kini berada di surga atas limpahan kasih sayang , pengertian serta kesabarannya yang selama ini telah beliau berikan agar saya selalu semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak tersayang atas kepercayaan dan perlindungan dan pengajaran hidup yang terus dibagi kepada penulis hingga saat ini. Sungguh kalian orang tua yang paling sempurna bagi kami anak-anakmu.

8. Teristimewa kepada saudara kandung penulis, Christina Simanjuntak, Elisabeth Simanjuntak, dan Herna Julin Simanjuntak yang tak henti-hentinya memberikan dukungan kepada saya adikmu. Senang bisa tumbuh bersama kalian di dalam keluarga itu. Kalian adalah kakak terbaik yang kumiliki. Sukses untuk kita dan kebahagiaan orang tua kita.

9. Kepada lembaga Pers Mahasiswa SUARA USU yang telah menempah saya sedemikian rupa sehiingga bisa menulis, memotret dan yang paling penting belajar dewasa dalam pikiran dan tindakan.


(9)

Mujahid, Sayed, Lambok, Hans, Christian, Josua, Yandri, Danny, Ajo dan Politik Sebelas Lainnya.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan Ilmu Politik kedepannya.

Medan, Agustus 2015 Penulis

Mezbah Simanjuntak


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iv

Halaman Pengesahan ... v

Halaman Persetujuan... vi

Lembar Persembahan ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Gambar ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Pembatasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.6 Kerangka Teori ... 10

1.6.1 Feminisme ... 10


(11)

1.8.1 Lokasi Penelitian... 40

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data ... 41

1.8.3 Teknik Analisa Data... 42

1.9 Sistematika Penulisan ... 43

BAB II: PROFIL SUMATERA BARAT ... ... 45

II.1 Sejarah Sumatera Barat ... 45

II.2 Topografi Sumatera Barat... 51

II.2.1 Keadaan Geografi ... 51

II.2.2 Keadaan Iklim... 52

II.2.3 Wilayah Administrasi... 54

II.3 Demografis... 54

II.3.1 Umur Penduduk... 56

II.3.2 Pendidikan... 56

II.3.3 Penduduk Usia Sekolah... 58

II.4 Gambaran Umum DPRD Sumatera Barat... 58

II.4.1 Tugas dan Wewenang DPRD... 59

II.4.2 Fungsi DPRD ... 60

II.4.3 Hak-Hak Yang Dimiliki DPRD ... 60

II.4.4 Kewajiban Anggota DPRD dalam Mengemban tugas dan wewenang 63

II.4.5 Hal-Hal Terlarang yang Dilakukan oleh Anggota DPRD... 64

II.4.6 Struktur DPRD Sumbar... 65

II.5 Gambaran Umum Budaya Matrilineal... 70


(12)

II.5.2 Hak dan Kewajiban dlam Matrilineal... 77

II.5.3 Struktur Matrilineal... 89

BAB III: POLA BUDAYA MATRILINEAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPRD SUMATERA BARAT TAHUN 2014... 93

3.1 Mengeksplorasi Budaya Matrilineal yang Berkembang dalam Kehidupan Bermasyarakat di Provinsi Sumatera Barat... ... 93

3.1.1 Perkembangan Budaya Matrilineal dalam Masyarakat Sumatera Barat 94

3.2 Gambaran Umum Adat dan Agama di Sumatera Barat Simalungun... 98

3.2.1 Falsafah Budaya Matrilineal ... ... 101

3.2.2 Budaya Minangkabau Memandang Pemimpin ... 107

3.2.3 Fungsi dan Peranan Penghulu dalam Kepemimpinan di Minangkabau... 110

3.3 Alasan Mengapa BudayaMAtrilineal Tidak Berpengaruh Terhadap Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Barat ... 115

BAB IV: PENUTUP... 131

4.1 Kesimpulan ... 131

4.2 Saran ... 134


(13)

DAFTAR TABEL Daftar Tabel

Tabel 1.1 Klasifikasi Budaya Politik di Dala Masyarakat ... 28 Tabel 1.2 Nama-Nama Narasumber... 41


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MEZBAH SIMANJUNTAK (110906062)

POLA BUDAYA MATRILINEAL DALAM POLITIK (STUDI KASUS KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPRD SUMATERA BARAT TAHUN 2014)

Rincian isi Skripsi, 123 Halaman, 3 tabel, 2 gambar, 17 buku, 3 jurnal, 1 dokumen, 2 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini menguraikan tentang pola budaya matrilineal dalam politik yang berkaitan mengenai keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat pada tahun 2014. Penelitian ini di latar belakangi oleh budaya matrilineal yang sangat kuat di masyarakat Sumatera Barat yang tampak dari kehidupan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat seperti pada sistem pemargaan atau garis keturunan yang bergaris ke ibu, serta pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan perempuan. Hal ini berdampak besar terhadap perkembangan kualitas perempuan Sumatera Barat terutama dalam bidang politik.

Adapun teori yang digunakan dalam menganalisis budaya tersebut adalah Teori Budaya Politik oleh Gabriel Almond yang mengklasifikasikan budaya politik kedalam tiga jenis, yakni politik parokial, politik kaula, serta politik partisipan, ini digunakan agar dapat melihat dan mengklasifikasikan perempuan-perempuan minang dari segi budaya dalam keaktifannya/partisipasi mengikuti politik. Selain itu digunakan Teori Politik Perempuan, serta Teori Keterwakilan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi.

Hasil analisis data menujukkan bahwa pola budaya matrilineal tak berkaitan dengan keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Barat. Hal ini terlihat dari rendahnya jumlah anggota legislatif yang berjenis kelamin perempuan yang jumlahnya hanya mencapai 9 % saja. Ini dikarenakan, untuk kegiatan yang bersifat publik, masyarakat Minang terkhusus wanita memberikan kepercayaan penuh kepada pihak laki-laki. Solusi dengan meningkatkan keaktifan lembaga Bundo Kanduang diharapkan dapat membuat perempuan dapat meningkatkan kualitas diri, serta menambah hukuman kepada partai politik peserta pemilu agar partai lebih serius memberikan pendidikan kepada kader partainya merupakan solusi yang dapat diterapkan.


(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MEZBAH SIMANJUNTAK (110906062)

PATTERNS IN POLITICAL CULTURE MATRILINEAL (CASE STUDY REPRESENTATION OF WOMEN IN WEST SUMATRA COUNCIL OF 2014)

Content, 123 pages, 3 tables, 2 graphs, 17 books, 3 journals, 1 document, 2 websites. ABSTRACT

This study describes the pattern of matrilineal culture in political circumstances regarding the representation of women in Parliament West Sumatra in 2014. This research background backs by strong matrilineal culture in the people of West Sumatra that appear from social and cultural life of West Sumatra as the clan system or lineages are striped to the mother, as well as the division of the estate who prefers women. This is a major impact on the development of women's quality of West Sumatra, especially in the political field.

The theory used to analyze this culture is Theory of Political Culture by Gabriel Almond. This political culture classifies into three types, which are parochial politics, political subjects, and political participants, this aim is to view and classify women Minang’s culture in terms of theirs activity or their political participation. This study also used Women's Political Theory and Representation Theory. The method used in this study is a qualitative method using interview techniques and documentation.

The result of this study shows that the pattern of matrilineal culture has no any relation to the representation of women in West Sumatra Provincial Parliament. It seems from the low number of legislators are female which is only reached 9% only. This is because Women Minang gives full credence to the men for public activities. Solutions to enhance the activity of the institution Kanduang Bundo expected to make women can improve the quality and increase the penalty to political parties participating in the election that the party is serious about providing education to the party cardes is a solution that can be applied.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Ketika orang mendengar tentang Minangkabau, barangkali yang terbayang adalah bahwa adat dan budaya Minang sangat menghormati posisi kaum perempuan. Hal ini

dikarenakan budaya Minangkabau sebelum penjajahan Belanda hingga kini me nganut sistem matrilineal.1 Matrilineal sendiri berarti bahwa keturunan dan pembentukan kelompok

keturunan diatur menurut garis ibu.2

Ini tentu sejalan dengan persepsi bahwa masyarakat dan budaya Minang mengandung nilai-nilai demokratis. Ini dapat diihat dari Ungkapan duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) mencerminkan egaliterianisme budaya masyarakat Minang, termasuk untuk kalangan perempuan. Dalam sistem adat matrilineal di Minangkabau, perempuan ditempatkan dalam posisi yang sentral. Dalam sistem ini,

perempuan dianggap berkuasa atas harta pusaka dalam keluarga maupun kaum. Dalam literatur lama, memang digunakan juga istilah matriachaats, atau perempuan penyambung keturunan dan sekaligus pemilik segala kekuasaan.3


(17)

sekaligus harapan terhadap perempuan. Perempuan sebagai limpapeh mengandung makna yang prinsipil. Secara harfiah, limpapeh artinya tiang tengah yang menjadi penyangga bagi tiang lainnya dalam sebuah bangunan. Apabila tiang tengah ini ambruk, maka tiang-tiang lainnya ikut jatuh berantakan.4

Dalam konteks keluarga, terlihat betapa sentralnya posisi dan peran ibu atau disebut juga bundo kanduang sebagai pembimbing dan pendidik bagi anak-anaknya serta anggota keluarga lainnya. Bundo kanduang bahkan memiliki tanggung jawab yang besar. Ungkapan umbun puruak pagangan kunci mengandung makna bahwa bundo kanduang adalah sosok wanita bijaksana, telaten dalam rumah tangga, pandai merawat penampilan diri, serta patuh pada suami.

Pusek jalo kumpulan tali, berarti bahwa perempuan sebagai pengatur kehidupan rumah tangga. Baik jeleknya anggota keluarga ditentukan oleh ibu atau perempuan. Ia tempat suri teladan, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga masyarakat. Karena itu, ibu juga dituntut memiliki ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama, sebagai bekal kehidupan anak-anak. Ilmu itu didapatkan dengan cara belajar dan menuntut ilmu.

Bundo kanduang sebagai sumarak dalam nagari memperlihatkan sanjungan tinggi kepada perempuan/ibu sebagai orang yang pandai bergaul, memelihara diri dan keluarga, tolong menolong dengan sesama tetangga, serta menjaga adat sopan santun. Dalam ketentuan adat, seorang bundo kanduang haruslah memiliki sifat sifat kepemimpinan serta ibu sebagai perantara keturunan dan menentukan watak manusia (anak-anak) yang dilahirkannya.

Tuntutan karakter perempuan Minang tampaknya sama dengan tuntutan karakter para pemimpin adat (penghulu) pada umumnya, diantaranya bersifat benar, bersifat jujur,

dipercaya lahir dan batin, cerdik dan punya ilmu pengetahuan, pandai berbicara dan

4


(18)

mempunyai sifat malu. Tampak di sini, bahwa karakter yang hendak dilekatkan pada perempuan. Jika dielaborasi, sifat-sifat kepemimpinan perempuan yang ditentukan dalam adat Minang tak berbeda dengan sifat-sifat kepemimpinan pada umumnya. Sekilas ungkapan “ibu” menunjukkan suatu wujud emansipasi ketentuan adat terhadap kaum perempuan. Sifat

cerdik, misalnya ternyata tidak hanya menyangkut kemampan menggunakan akal sehat (rasio), membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, tetapi juga keharusan memiliki ilmu pengetahuan, supaya perempuan bisa pula di keluarga dan kaumnya.

Pandai berbicara, juga mencerminkan tuntutan keterampilan berargumentasi untuk melindungi keluarga dan kaumnya. Budayawan AA Navis mengatakan, sistem matrilineal menjadi lahan subur berkembangnya kultur demokratis justru dalam masyarakat tradisional Minang. Sebab matrilineal adalah sistem dari budaya egaliter (egalite) yang memungkinkan berlangsungnya kesetaraan gender. Secara harfiah, egaliter itu sendiri berarti persamaan, kesamaan, kebersamaan antara seasama manusia. Menurutnya, matrilineal merupakan sistem untuk memantapkan kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki secara hukum, sosial dan kebudayaan.

Dari dulu identitas Minangkabau kuat dan ambivalen, beraneka lapisan, dan penuh dengan kontradiksi-kontradiksi serta ketegangan-ketegangan. Secara historis lapisan yang tertua berakar dalam adat. Tetapi adat telah digabungkan, secara parsial dikesampingkan tetapi tidak pernah benar-benar digusur, oleh pandangan-pandangan dunia, dunia-dunia simbolik dan tatanan-tatanan hukum lain. Meskipun sejauh mana Minangkabau memeluk


(19)

Masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi isu sekaligus persoalan yang hangat di Indonesia khususnya Sumbar. Permasalahan keterwakilan perempuan ini penting dalam kehidupan perpolitikan di Indoensia dan masalah keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan isu keadilan politik yang masih membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan oleh kaum perempuan. Rendahnya representasi keterwakilan perempuan dalam politik formal merupakan penghambat bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentigannya. Karena dengan keadaan seperti itu maka kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan menjadi kurang berpihak terhadap kepentingan-kepentingan perempuan.

Diketahui bahwa keterbatasan keterwakilan perempuan dalam politik banyak dibatasi oleh sistem sosial dan budaya yang ada di masyarakat membuat perempuan berperan terbatas dan hal ini terjadi pada sistem budaya yang berkembang di masyarakat. Di mana Indonesia adalah negara yang memiliki realitas politik yang didominasi laki-laki sedangkan penduduk Indonesia diketahui mayoritas adalah perempuan.

Sehingga adanya bias gender antara laki-laki atas perempuan, dimana jumlah laki-laki lebih besar di dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan dan perempuan dianggap tidak terlalu penting sehingga dalam mengambil keputusan perempuan sangat jarang diikutsertakan dan perempuan ditempatkan pada posisi sebagai orang yang selalu harus menaati keputusan dan peraturan yang dihasilkan tersebut kurang berpihak pada kepentingan perempuan.

Sebagai ibu, perempuan dituntut tanggung jawab lebih besar dalam mengurus anak -anaknya dibanding laki-laki. Karena besarnya tanggung jawab yang dipikul oleh perempuan berdampak pada masalah keterwakilan perempuan dalam politik. Begitu juga halnya dengan masalah tingkat pendidikan perempuan yang relatif rendah yang berakibat tidak siapnya perempuan memasuki wilayah-wilayah politik praktis yang berkompetitif dan maskulin.


(20)

Selain hal di atas, banyak kalangan masih enggan untuk melihat keterlibatan perempuan dalam politik dengan dimensi yang lebih luas. Banyak kalangan belum sadar bahwa melibatkan perempuan dalam politik adalah bagian dari penciptaan mayarakat demokratis yang berkeadilan baik secara politik, ekonomi maupun budaya.6

Besarnya polemik yang dihadapi oleh perempuan disegala apek kehidupan terutama aspek politik mengakibatkan kurang berpengaruhnya proses pengambilan keputusan dan produk kebijakan yang menyuarakan aspirasi perempuan. Karena permasalahan keterwakilan perempuan dan untuk memenuhi azas keterwakilan, kuota 30% diberlakukan. Sebagaiman ditetapkan dalam UU Pemilu Pasal 65 ayat 1 menyebutkan: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan sekurang-kurangnya 30%.7

Namun penjatahan yang diyakini membuka jalan bagi keterwakilan perempuan secara optimal di dunia politik tidaklah memberikan penyelesaian. Karena ketika daftar caleg

disusun oleh peserta pemilu, banyak kalangan peserta pemilu kurang serius meningkatkan keterwakilan perempuan. Dan caleg-caleg perempuan tidak ditempatkan di “nomor jadi” sehingga kesempatan perempuan untuk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaumnya terhambat.

Untuk itulah di Minang, perempuan diberi kekuatan pengimbang dengan pemilikan atas harta dan anak. Namun, tuntutan dan kepercayann yang diberikan kepada perempuan


(21)

kelamin perempuan. Melihat kondisi tersebut keterwakilan perempuan perlu mendapatkan perhatian yang serius di daerah yang mengadopsi budaya matrilineal dalam kehidupaan budayanya.

Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan budaya Matrilineal. Dimana hubungan antara ibu sangat kuat, karena sentralnya posisi perempuan di dalam keluarga. Namun berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, hanya terdapat enam perempuan yang mewakili kaum perempuannya di lembaga legislatif tahun 2014-2019. Keenam perempuan tersebut adalah, dari partai NasDem yakni Endarmy berasal dari daerah pemilihan 2, dari PDI-P Riva Melda berasal dari daerah pemilihan 4, dari partai Golkar Siti Izzati Aziz berasal dari daerah pemilihan 2 dan Marlina Suswati berasal dari daerah pemilihan 6, dari partai Hanura yakni Armiati yang berasal dari daerah pemilihan 3 se rta Zusmawati yang berasal dari daerah pemilihan 4. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik bagaimana bisa struktur budaya dan kondisi sosial yang mengagungkan perempuan sebagai pemimpin namun dalam bidang politik hal ini tidak tercermin, bahkan negara dengan kebijakan Affirmative action telah mendukung perempuan agar kiranya bisa lebih banyak perempuan yang ikut mengambil peran dalam bidang politik. Namun, jika kita melihat kuota sebesar 30% yang telah ditentukan pemerintah seharusnya sebanyak 19-20 orang perempuan yang duduk di DPRD, namun melihat kenyataannya hal itu masih sangat jauh dari harapan.

I.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan. Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang di atas maka dapat


(22)

dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu, Mengapa keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat rendah padahal di Sumbar menganut budaya matrilineal?

I.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana budaya matrilineal yang berkembang dalam hubungan bermasyarakat di kota Padang?

2. Mengapa budaya matrilineal tidak berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Barat?

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


(23)

I.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap keterwakilan perempuan. Diharapkan hasil penelitian ini secara konseptual bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Secara Lembaga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada lembaga apakah itu lembaga adat atau lembaga legislatif dalam membuat kebijakan

khusunya yangberkaitan dengan perempuan. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen Ilmu Politik FISIP USU.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat Sumatera Barat secara khusus dalam memahami pengaruh budaya matrilineal terhadap keterwakilan politik perempuan.

I.6 Kerangka Teori 1.6.1 Feminisme

Feminisme lahir akibat dari ketidakadilan dalam struktur sosial antara laki dan perempuan yang kemudian termanifestasikan melalui kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis di berbagai bidang kehidupan secara kritis. Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap kaum perempuan sebenarnya telah lama terjadi. Kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan membebaskan diri dari ketidakadilan.


(24)

Tetapi pada waktu itu belum ada istilah feminism (femenisme). Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi pada tahun 1914. Kata feminisme yang berasal dari bahasa Perancis pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata femenisme dan femeniste.

Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan femenisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perempuan dan laki-laki telah dijajah oleh struktur yang tidak adil melalui


(25)

kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan juga praktik keagamaan. Kemunculan gerakan emasipatoris yang menanggapi masalah ini, yakni gerakan feminisme itu merupakan

upaya untuk mendudukkan relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis berbagai bidang

kehidupan. Gerakan ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat secara luas. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dan di nomor duakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya.

Dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat trdisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan dan diluar rumah, sedangkan kaum perempuan (domestik). Inti pandangan femenisme adalah bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki atau orang lain baginya sebagai perempuan. Teori feminisme tidak hanya satu melainkan banyak. Namun, hampir dari semua teori tersebut menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, menerangkan sebab dan akibat serta strategi pembebasannya. Ada 2 teori yang membahas tentang feminisme yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal yang akan diuraikan sebagai berikut :


(26)

Feminisme Liberal

Feminisme Liberal secara sederhana adalah episteme dan gerakkan politik yang berupaya untuk menempatkan perempuan guna memiliki kebebasan secara dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional yang sama. Akar ketertindasan dan keterbelakangan perempuan menurut logika mereka adalah karena disebabkan kesalahan perempuan itu sendiri.

Aliran ini muncul akibat kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskrisikan kaum perempuan. Oleh karena itu jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa atau mampu bersaing diberbagai aspek kehidupan dalam persaingan bebas, sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Woolstonecraft (1759-1799) dalam tulisan “The Vindication of The Right Of Woman” dan Jhon Stuart Mill dalam tulisannya “ The Subjection of Women “,

kemudian Betty Frei dan dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”.

Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik.


(27)

Akar pemikiran ini muncul dari pengalaman perempuan yang secara pribadi tidak bebas menentukan hidupnya. Sejak lahir dalam keluarga, pribadi perempuan telah diatur tergantung kepada bapak, abang, suami atau laki-laki yang lain. Bahkan negara juga mengatur dan memgontrol setiap pribadi perempuan. Dalih melindungi kaum perempuan yang terjadi justru perempuan tidak bebas secara individu. Asumsi dasar pemikiran liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang

sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan.

Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempataan antara laki-laki dan perempuan.

Oleh karena itu ketika menyoalkan mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Dengan kata lain jika sistem sudah memberikan kesempatan

yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan


(28)

laki-laki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan dalam bebagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah

teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan “ persamaan dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan

diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi idiologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentuk -bentuk feminisme radikal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam -bentuk feminisme radikal atau kultural.16Kritik paling utama bagi feminisme liberal adalah bahwa feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi patriarki dan sama sekali tidak bisa menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Feminisme liberal dianggap hanya mengatakan permasalahan pada perempuan selama ini adalah pada perempuan sendiri dan jalan keluarnya ialah perempuan harus membekali diri sendiri dengan pendidikan dan pendapatan. Teori ini tidak bisa melihat bahwa justru kaum perempuanlah yang merupakan golongan yang paling minim untuk mendapatkan akses pendidikan, baik karena biaya pendidikan yang mahal ataupun bentuk diskriminasi yang kerap terjadi.

Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom)


(29)

dan kesamaan (equaliy) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia

dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.

Perempuanlah yang harus membekali dirinya dengan bekal pendidikan dan pendapatan (ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan (equality) haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki.

Femenisme liberal ini muncul pada abad 18, gerakannya menuntut persamaan pendidikan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Dasar pemikirannya, perempuan tidak mengetahui hak-haknya dibidang hukum karena rendahnya pendidikan. Oleh sebab itu asumsinya, apabila pendidikan perempuan meningkat maka mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya.

Gerakan ini berkembang pada abad 19 dan mulai memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara dan hak dibidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Pada abad 20, tuntutan mereka berkembang menjadi tuntutan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, yakni dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya yaitu menambah kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan partisipasi perempuan.

Feminisme Radikal

Femisnisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970an dimana aliran ini


(30)

muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah datu fakta dalam sistem masyarakat yang ada sekarang. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang “radikal”

aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriaki. Beberapa tokoh aliran ini seperti Allison Jaggar dan Paula Rothenberg mengatakan bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah. Situasi ini digambarkan pada perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang tertindas, penindasan terhadap perempuan tersebar luas ke berbagai kehidupan sosial, penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser oleh perubahan sosial antar kelas, penindasan perempuan menyebabkan penderitaan secara kantitatif dan kualitatif walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan diasadari baik oleh pelaku maupun korban, dan penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk mengetahui


(31)

bentuk penindasan lainnya. Kelompok pertama penganut teori konflik adalah Feminisme Radikal yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau deskriminasi sosial atas jenis kelamin. Teori Feminisme radikal mempersoalkan fungsi reproduksi dan melahirkan (mothering), serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Teori ini didasari pada pandangan bahwa perhatian analisis langsung pada cara laki-laki menguasai tubuh perempuan dan secara eksplisit teori ini mengkonstruksikan seksualitas sehingga perempuan melayani laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan melalui lembaga keluarga.

Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarki. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politisi adalah bagian dari permasalahan. Dengan demikian aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan kaum laki-laki tehadap kaum perempuan. Feminisme radikal bertujuan menghancurkan sistem klas jenis kelamin dan yang membuat aliran ini radikal adalah fokus utamanya pada akar dominasi dan klaim yang menyatakan bahwa segala bentuk penindasan adalah perpanjangan


(32)

dari supermasi laki-laki. Dalam kaitan dengan kekuasaan teori ini mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian di konstruksikan menjadi perbedaan gender oleh budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini perempuan teralieansi dari berbagai bidang kehidupan khususnya bidang politik yang mengatur masyarakat. Analisis perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehiduipan domestik dan pribadi perempuan.

Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem ketidakadilan, ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan (equality), banyak orang yang mempelajari teory gender dan politik dari perspektif kesetaraan (equality) sangat menyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami bebeda dalam lingkungan politik. Selain kesetaraan (equality), keadilan (justice) pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai


(33)

perspektif, etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Adapun ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan (equality), kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.Bagi gerakan feminisme radikal revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil reaksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Lain halnya dengan feminisme liberal yang lebih menekankan akan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, aliran feminisme radikal menekankan pada perbedaan antara kaum wanita dan kaum laki-laki.. Seperti halnya wanita dan laki-laki dalam mengkonseptualisasikan kekuasaan secara berbeda, dimana bila laki-laki berusaha mendominasi dan mengontrol orang lain, maka maka wanita lebih tertarik untuk

berbagi dan merawat kekuasaan. Pada dasarnya ajaran feminisme radikal menyatakan “the personal is

political” yang merupakan slogan yang kerap digunakan oleh kaum feminisme radikal. Yang artinya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal. Pada hakikatnya feminisme radikal menganggap bahwa isu -isu politik yang membuat ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Aliran feminisme radikal juga menolak sistem hirarki yang berstrata berdasarkan garis gender dan klas, yang sebagaimana hal tersebut diterima oleh aliran feminisme liberal.

1. Politik Perempuan

Kata politik yang digunakan dalam tulisan ini adalah segala usaha, kegiatan, dan upaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan yang berkaitan


(34)

dengan issue perempuan.8 Di mana politik berkaitan erat dengan konsep demokrasi dan secara sederhana pengertian demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dengan demikian persoalan keterwakilan perempuan dalam proses demokrasi adalah bagian inheren dari demokrasi dan juga turut pula menentukan kualitas demokrasi itu sendiri. Oleh sebab itu, keterwakilan perempuan dalam institusi-institusi politik sangat penting untuk menentukan apakah sebuah item politik adalah sistem perwakilan.9

Karena semua anggota masyarakat dari berbagai kelompok dan golongan perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan disegala tingkatan kehidupan bangsa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan dengan adanya perempuan di dalam lembaga-lembaga politik merupakan suatu keharusan dan keperluan yang memungkinkan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya melalui arena politik.

2. Keterwakilan Politik

Untuk mengetahui defenisi keterwakilan terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai defenisi perwakilan, dimana secara sederhana perwakilan diartikan sebagai suatu proses interaksi wakil dengan yang diwakili. Dalam perwakilan ini, yang diwakili adalah sejumlah warga negara yang bertempat tinggal disuatu daerah atau distrik tertentu. Hal ini mencakup berbagai kepentingan, sedangkan yang mewakili adalah seorang atau lebih wakil rakyat yang


(35)

Dalam sistem perwakilan, seorang warga negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Sedangkan pengertian perwakilan dalam buku Perwakilan Politik Indonesia karangan Drs. Arbi Sanit, yaitu: “perwakilan adalah bahwa seseorang ataupun sekelompok

orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain.10

Dari segi keterikatan wakil rakyat dan keinginan rakyat yang diwakili, konsep

perwakilan dibedakan menjadi dua, yaitu : pertama perwakilan tipe delegasi (manndat), yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat. Wakil rakyat harus

menyuarakan apa saja keinginan rakyat yang diwakilinya. Wakil rakyat sangat terikat dengan keinginan rakyat diwakili. Wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk

berbicara lain daripada apa yang dikehendaki konstituennya. Fungsi wakil rakyat menuruut tipe perwakilan ini menyuarakan pendapat dan keinginan para pemilihnya serta

memperjuangkan kepentingan para pemilihnya. Keinginan konstituennya dapat diketahui melalui kontak langsung yang secara periodik dilakukan. Dan keinginan yang harus diikuti wakil rakyat ialah suara mayoritas konstituen.

Kedua, perwakilan tipe trustee (independen) berpendirian wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan secara baik (good judgment). Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan hal ini wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, tipe perwakilan ini berpandangan tugas wakil rakyat adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Dengan demikian, manakala terdapat pertentangan antara keinginan lokal atau para pemilih dan kepentingan nasional maka wakil rakyat harus memihak kepada kepentingan nasional.


(36)

Jadi, keinginan para pemilih tetap ikut dipertimbangkan tetapi tidak mengikat. Tipe perwakilan ini disebut trustee karena wakil rakyat dipercaya sebagai pemegang kekuasaan. Setelah mempercayakan kekuasaan kepada wakilnya melalui pemilihan umum, dan para pemilih tidak lagi mempunyai kekuasaan sampai pada pemilihan berikutnya. Secara implisit terkandung penilaian bahwa wakil rakyat memiliki kemampuan politik yang lebih tinggi daripada para pemilihnya.

Sedangkan pengertian keterwakilan disini adalah “sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga dan proses

politik”.11

Kadar keterwakilan tersebut ditentukan oleh sistem perwakilan yang berlaku di dalam masyaraat bersangkutan. Sistem perwakilan politik yang formalistis seringkali tidak menghasikan tingkat ‘keterwakilan politik’ yang cukup.

Kemungkinan menciptakan tingkat keterwakilan yang cukup menjadi lebih besar jika terdapat keserasian di antara segi formal dengan aspek aktual dari sistem perwakilan politik. Karena keterwakilan diukur dari kemampuan wakil bertindak atas pihak yang diwakili, maka konsep ini menyangkut himpunan elit di dalam lembaga-lembaga politik yang berwenang bertindak atas nama anggota masyarakat, untuk menentukan kebijakan guna mencapai tujuan dan kepentingan masyarakat tersebut. Dan dua lembaga politik utama yang dimaksud ialah badan perwakilan (legislatif) dan pemerintah (eksekutif).


(37)

kepercayaan, orientasi dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mendefenisikan budaya poitik sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik. 12 Dengan kata lain, budaya politik tidak lain merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik.13 Sikap positif atau negatif seseorang terhadap sistem politik tergantung dari corak orientasi budaya politik yang dimilikinya.

Di samping orientasi terhadap sistem politik, menurut Almond dan Powell, terdapat aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangan dan sikap individu dalam masyarakat sebagai sesama waga negara. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan rasa percaya dan permusuhan antara warga negara yang satu dan lainnya atau antara golongan yang satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat.14 Perasaan-perasaan yang merupakan cerminan budaya politik tersebut mungkin terlihat pada pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada di sekitarnya dalam bentuk kualitas politik, yaitu konflik dan kerja sama.15 Jadi, kerja sama dan konflik antar kelompok atau golongan sosial

merupakan ciri aktual yang dapat mewaarnai budaya politik di dalam masyarakat.

Perkembangan budaya politik suatu masyarakat dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antarorientasi dan antarnilai yang memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik suatu kelompok atau golongan, yang mungkin lebih tepat disebut ‘subbudaya politik’ yang pada dasarnya merupakan proses terjadinya pengembangan budaya bangsa.

12

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, Bumi Aksara, hal 13

13

Affan gaffar, 1999, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 99

14

R. Siti Zuhro, 2003, Demokrasi lokal perubahan dan kesinambungan nilai-nillai budaya politik lokal, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal 36


(38)

Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya bangsa yang matang, menurut Almond dan Verba, pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa itu dan struktur politiknya. Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baikbila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Menurut Almmond dan Verba, budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya

partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond sebagai civic culture. Antara budaya politik dan demokrasi dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.

Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya

kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ‘sub-budaya etnik

dan daerah’ yang mejemuk pula.16

Keanekargaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi antara sub-sub budaya politik kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik tingkat nasional yang tempak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap antara sub bdaya politik yang salling berinteraksi pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah subbudaya politik yang lebih kuat dalam arti primordial.


(39)

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

No Budaya Politik Uraian / Keterangan

1. Parokial a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.


(40)

f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

2. Subyek/Kaula a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah

c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.

e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

3. Partisipan a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.


(41)

c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik

d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki

setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara.

Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan

mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap


(42)

sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol

terhadap berjalannya sistem politik.

Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian

terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.

Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan


(43)

4.Beberapa Pendapat Para Ahli Tentang Matrilineal 1. Menurut Yoke Van Reenen

Salah seorang peneliti dari Eropa yang bernama Yoke Van Reenen ditemani oleh seseorang yang bernama Irfani Dharma pada ahir 1990an telah langsung turun ke

Minangkabau, tepatnya di Nagari Rao-Rao Kecamatan Sei Tarab Kabupaten Tanah Datar Batu Sangkar yang terletak di pinggir jalan propinsi yang dapat menuju ketiga kota di Sumatera Barat yaitu ke selatan Batusangkar, ke timur ke Payakumbuh, dan ke utara-barat Bukittinggi. 17

Dalam penelitiannya ini difokuskan kepada dua desa yang terdapat di nagari Rao-Rao yaitu Desa Carano Batirai dan Desa Balerong Bunta. Hampir semua rumah di desa ini terbuat dari kayu, baik dinding dan lantai dengan atap seng. Diantaranya terdapat rumah gadang, rumah adat yang dihuni oleh keluarga besar matrilineal yang kenyataan rumah gadang itu banyak kosong dan jika dihuni kebanyakan oleh nenek seorang diri atau beberapa orang penghuninya.

Bahwa di Desa ini rumah tangga yang dikepalai wanita cukup tinggi yaitu 31,8 % atau 64 RT dari 201 WKRT, tetapi yang diseleksi untuk studi hanya 16 Wanita Kepala Rumah Tangga. Jumlah ini sudah bisa mencerminkan hasil survey. Bahwa tugas pokok WKRT ini ialah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak-anak, dana kesehatan dan sebagainya. Pekerjaan ini diambil oleh WKRT adalah sebagai pengganti dari tanggung jawab. Karena suami mereka ada yang sudah meninggal atau pergi merantau. Bagi merea yang tidak dapat bantuan dari rantau , mereka mencari nafkah sendiri, bertani, berdagang, Kadang-kadang berdagang di kampung seperti bua warung bagi kaum


(44)

wanita tidak memadai. Jika ada anak-anak di perantauan maka merea mengharapkan bantuan dari rantau.

Menurutnya, tingkat merantau di Rao-Rao tergolong tinggi, meski bukan termasuk yang tertinggi untuk Sumatera Barat. Baik tipe merantau sirkuler maupun permanen, keduanya ditemui di daerah ini. Ia berpendapat bahwa perubahan sistem matrilineal di Rao-Rao hampir sama dengan yang terdapat di nagari lain di Minangkabau. Salah satu dari pengaruh Islam yang menekankan pentingnya kedudukan dan tanggung jawab laki-laki. Merantau telah menyebabkan laki-laki mempunyai pendapatan sendiri. Harta pencarian yang didapat diperuntukkan bagi istri dan ana-anaknya. Perubahan yang terpenting dalam sistem keerabatan Matrilineal Minangkabau ialah kedudukan suami/ayah semakin kuat dan keluarga inti menjadi kesatuan sosial dan ekonomi yang semakin penting. Mengakibatkan pula

peranan mamak kepala waris menjadi semakin tipis atau kurang.

2. Menurut Tsuyoshi Kato (1977)

Merantau adalah suatu tradisi yang telah disadari akan pentingnya perkembangannya masyarakat Minangkabau tetapi barulah di tahun 1975 hal ini secara mendalam diperjlas oleh Prof. Dr. Muchtar Naim. Beliau mengemukakan bahwa merantau menurut sensus 1930 Minangabau tidalah merupakan suku bangsa yang tertinggi tingkat migrasinya, tetapi baru kelihatan tingkatt migrasinya setelah terjadi peristiwa PRRI/Permesta.


(45)

matrilineal Minangkabau. Beliau mengidentifikasikan ciri-ciri sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau sebagai berikut:

a. Keturunan dihitung melalui garis ibu.

Setiap nagari terdiri dari sejumlah kelompok keturunan yang disebut suku (matriclan) b. Setiap suku terdiri dari sejumlah “payung”

(matrilinage) pada malam harinya suami mengunjungi rumah istrinya

c. Perkawinan tidak melebur pasangan tersebut menjadi keluarga inti, masing- masing tetapi bagian dari kerabat matrilinealnya

d. Siang hari suami biasanya mengunjungi rumah ibunya

e. Wewenang dalam kaum atau paruik teretak di tangan mamak, bukan di tangan ayah. Mamak berati saudara laki-lai dari ibu, tetapi dalam kenyataan istilah itu juga dipakai untuk menunjukkan paman klasifiatoris, seperti penghulu atau tungganai rumah.

Dalam keadaan ideal tradisional itu kesatuan sosial dan ekonomi yang terpenting dan paling fungsional adalah saparuik, suatu kelompok keturunan yang terdiri dari beberapa generasi (biasanya paling tinggi 3-4 generasi) dan biasanya tinggal di rumah gadang. Kehidupan sosial di rumah gadang berpusat kepada kaum wanita yaitu saudara-saudara perempuan dengan ibu mereka yang merupakan inti penghuni yang tinggal bersama anak-anak kecil dan anak-anak-anak-anak gadis mereka. Sebaliknya kedudukan anak-anak laki-laki di rumah gadang kurang stabil.

Posisi laki-laki dalam sistem kekerabatan matrilineal seperti itu sebenarnya juga agak marginal. Di rumah ibunya tidak tersedia kamar untuknya dan dia uga tidak memiliki harta


(46)

pusaka, meskipun ia berwenang mengurusnya untuk saudara-saudara perempuannya atau untuk kemenakan-kemenakannya.

Pola berpikir orang Minangkabau sudah berubah. Meskipun demikian, perubahan tidak lalu berarti bahwa sistem matrilineal menjadi kabur atau diperlemah atau akan

digantikan sama sekali dengan sistem lain. Keturunan tetap juga diatur menurut garis ibu dan harta pusaka tetap merupakan milik kaum matrillineal yang pada prinsipnya tidak boleh dijual.

Meskipun pola menetap sudah bergeser ke pola baru, namun hal ini belum berarti matrilineal diperlemah. Banya suami, ayah yang mampu membangun rumah untuk keluarga intinya, tetapi rumah itu biasanya dibangun di tanah kerabat istrinya, dan sebagaimana halnya dengan harta pencaharian lainnya, akhirnya akan diwarisi oleh anak perempuannya dan selanjutnya akan mengikuti aturan pewarisan menurut sistem matrilineal.

Pada prinsipnya hak anak laki-laki di Minangkabau tetap mempunyai hak yang penuh di rumah ibunya, mereka dapat memanfaatkan harta puaka pusaka tinggi. Hukum adat

Minangkabau tidak membedakan hasil yang diperoleh kedua jenis anak-anak ini. Cuma dalam praktik anak perempuan punya kamar di rumah gadang dan anak laki-laki dari kecil sudah diajar dan dibiasakan untuk tidur di surau pesukuan bersama-sama dengan teman sebayanya di bawah pengawasan gurunya, selesai belajar mengaji agama, membaca Al-Quran mereka tidur bersama-sama di Surau. Sedangkan anak-anak perempuan tidak dibiasaan tidur di surau.


(47)

Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem masyarakat Matrilineal” beliau

berkesimpulan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Minangabau yang matrilineal tetapi tidak matriarkat.18 Kekuasaan formal baik secara tradisional maupun

modern tetap dipegang oleh laki-laki. Buktinya menurut Saafroedin Bahar bahwa enam orang peneliti perempuan yaitu Lany Veryanti, Lusi Herlina, Dwi Bertha dan Zaiyardam Zubir dan seorang Jerman Keebet von Benda Beckmann yang meneliti persengkataan adat sejak dari pengadilan adat di Nagari sampai kepada Pengadilan Negeri.

Hasil penelitian mereka seluruhnya menunjukkan bahwa dalam banya hal keberadaan perempuan Minangabau tidaklah dihargai apalagi didengar. Semuanya diputuskan oleh laki-laki baik dalam keluarga di dalam suku maupun dalam nagari.

Menurut Lusi Herlina, hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Namun hampir di semua wilayah Sumbar terdapat kasus dimana mamak mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan.

Hak kepemilikan pusaka yang secara sah berada di bawah kekuasaan perempuan seringkali tidak berlaku efektif. Kekuasaan dan intervensi mamak sangat kuat dalam mengambil keputusan terhadap harta pusaka tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak memilii kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah dan harta pusaka tinggi lainnya.

Selain dari pada adanya intervensi mamak terhadap peranan perempuan terhadap harta pusaka yang menjadi milik dan wewenang kaum perempuan Minangkabau Lusi Herlina mengingatkan bahwa institusi perempuan dalam budaya Minagkabau bahwa Bundo

Kanduang merupakan seorang tokoh penting.


(48)

Bundo Kanduang sempat dimitoskan oleh masyarakat bahwa beliau menurut tambo alam Minangkabau ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana yang sangat menentuan jalannya roda pemerintahan. Sebagai seorang perempuan dia dipahami sebagai tokoh perempuan dalam suku/kaum yang menjadi pemimpin dalam rumah gadang. Dia adalah perempuan yang disegani, dihormati dan dimuliakan karena karisma, kecerdasannya dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal dalam rumah gadang.

Akan tetapi Sejarawan Taufik Abdullah mempunyai pandangan yang berbeda yang mengatakan bahwa Bundo Kanduang adalah sebagai sumber kebijakan, namun ia tidak memiliki peranan dalam pengambilan keutusan karena ia bukanlah seorang yang memegang jabatan resmi dalam hirarki kekuasaan dalam sistem politik Minagkabau. Pada gilirannya ia tetap saja sebagai simbol percaturan politik kekuasaan. Namun demikian meskipun Bundo Kanduang tidak memiliki kekuasaan secara forma, Bundo Kanduang tetap saja menjadi komponen yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam perembangan sejarah Minangabau selanjutnya, Bundo Kanduang kemudian dipahami sebagai tokoh peremuan dalam suku dan kaum yang disegani, dihormati, dan dimuliakan oleh karena karismanya. Kecerdasannya dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal di rumah gadang. Demikian pula dikalangan masyarakat ibu-ibu di Minangkabau nama Bundo Kanduang sudah tidak asing lagi bagi mereka karena dianggap perempuan yang bijaksana di Minangkabau pada zamannya.


(49)

I.7. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat terhadap fenomena sosial bedasarkan gejala-gejalanya. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.19 Penelitian deskriptif kualitatif melakukan analisis dan menyajikan data-data serta fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.

I.8. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. 20 Dengan

demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan wawancara terhadap aktifitas dari objek yang diteiti serta dari dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelengkap data yang dibutuhkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat mengapa budaya matrilineal tidak mempengaruhi keterwakilan perempuan di DPRD Sumbar.

19

Hadari Nawawi, 1987, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, ha 63


(50)

I.8.I. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dalam penelitian ini adalah di Provinsi Sumatera Barat, karena budaya Matrilineal hanya ada di Sumatera Barat dan yang menjadi studi kasus adalah keterwakilan perempuan di DPRD, yang bertepatan kantor DPRD Provinsi Sumatera Barat berada di Kota Padang.

I.8.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yakni seperti berikut:

a. Wawancara

Dalam wawancara peneliti menentukan key informan, adapun yang menjadi key informan dalam penelitian ini berjumlah 8 (delapan orang) yang berasal dari pengamat politik, pengamat budaya, dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari kelompok perempuan.

No Nama Status

1 Asrinaldi S.Sos, M.Si Pengamat Politik

2 Dr. Lindawati, M.Hum Pengamat Budaya


(51)

8 Endarmy Anggota DPRD Prov Sumbar

Jumlah 8 orang

b. Dokumentasi

Data dalam bentuk dokumen, bersifat tak terbatas pada ruang dan waktu, sehingga memberi peluang bagi peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi diwaktu silam. Secara detail dokumen berbentuk surat-surat, buku atau catatan, dokumen pemerintah atau swasta, data pada server dan website, laporan dan lain sebagainya. Maka, peneliti akan mengumpulkan data yang tentu saja berhubungan dengan masalah penelitian ini.

I.8.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan. Penganalisaan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan data, fakta, informasi kemudian data yang diperoleh akan dianalisa sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permaslahan penelitian. Jadi, teknik analisa data kualitatif yaitu dengan menyajikan data dengan melakukan analisa terhadap masalah yang ditemukan di lapangan, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti kemudian menarik kesimpulan. Harapannya dari data dan informasi yang diperoleh

sebelumnya untk dapat menganalisa dan memberikan gambaran tetntang mengapa pola budaya matrilineal tidak berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di DPRD Sumbar.


(52)

I.9. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Profil Sumatera Barat dan Budaya Matrilineal

Dalam bab 2 ini akan dipaparkan hal-hal sebagai berikut, yakni mengenai deskripsi singkat mengenai profil daerah Sumatera Barat baik dari segi sejarah, geografis dan keadaan penduduknya serta deskripsi singkat mengenai budaya matrilineal yang ada di Sumatera Barat.

BAB III : Penyajian dan Analisis Data

Bab ini 3 ini akan menyajikan data tentang hasil dari penelitian yang didapatkan dari lapangan terkait pola budaya matrilineal terhadap keterwakilan perempuan di DPRD


(53)

BAB II

PROFIL SUMATERA BARAT

II.1 Sejarah Provinsi Sumatera Barat

Nama Provinsi Sumatera Barat bermula pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dimana sebutan wilayah untuk kawasan pesisir barat Sumatera adalah Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatera mulai dari Barus sampai Inderapura.

Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.

Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust, termasuk di dalamnya wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukkan Tapanuli dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914,

Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepualauan Mentawai di Samudera Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke


(54)

dalam Residentie Sumatra's Westkust. Pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi, diberikan kepada Residentie Riouw, dan juga dibentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan.

Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar

dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.

Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Empat tahun kemudian, Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah. Pada masa PRRI, berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau.

Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini masih tetap di Bukittinggi. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 ibu kota provinsi dipindahkan ke Padang.


(55)

Pada periode kolonialisme Belanda, nama Sumatera Barat muncul sebagai suatu unit administrasi, sosial-budaya, dan politik. Nama ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda de Westkust van Sumatra atau Sumatra's Westkust, yaitu suatu daerah bagian pesisir barat pulau Sumatera.

Memasuki abad ke-20 persoalan yang dihadapi Sumatera Barat menjadi semakin kompleks. Sumatera Barat tidak lagi identik dengan daerah budaya Minangkabau dan telah berubah menjadi sebuah mini Indonesia. Di daerah ini bermukim sejumlah besar suku bangsa Minangkabau penganut sistem matrilineal, suku bangsa Tapanuli dengan sistem

patrilinealnya dan suku bangsa Jawa dengan sistem parentalnya. Di samping itu juga ada masyarakat Mentawai, Nias, Cina, Arab, India serta berbagai kelompok masyarakat lainnya dengan berbagai latar belakang budaya yang beraneka ragam.

Di Sumatera Barat banyak ditemukan peninggalan jaman prasejarah di Kabupaten 50 Koto, di daerah Solok Selatan dan daerah Taram. Sisa-sisa peninggalan tradisi barn besar ini berwujud dalam berbagai bentuk; bentuk barn dakon, barn besar berukir, barn besar

berlubang, barn rundell, kubur barn, dan barn altar, namun bentuk yang paling dominan adalah bentuk menhir. Peninggalan jaman prasejarah lainnya yang juga ditemukan adalah gua-gua alam yang dijadikan sebagai tempat hunian.

Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabupaten 50 Koto merupakan daerah-daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Sumatera Barat. Penafsiran ini rasanya beralasan, karena dari daerah 50 Koto ini mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara di pantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari jaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.


(56)

Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (Indo-Cina) mengarungi laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Indragiri (atau; Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Koto sekarang.

Percampuran dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya menyebabkan tingkat kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka jadi bertambah.

Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka menyebar ke berbagai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke daerah kabupaten Agam dan sebagian lagi sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran

dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Banyak di antara mereka menyebar ke bagian barat terutama ke daerah pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.

Sejarah daerah Propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa

pemerintahan Raja Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya-warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang dipercayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.


(57)

Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memonopoli kegiatan perekonomian di daerah ini. Seiring dengan semakin intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.

Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

Pengaruh politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat warga

Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini akhirnya diungkapkan de-ngan menerima kedatade-ngan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.

Bukti arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh Koto merupakan daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian

diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima puluh Koto

tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan


(1)

maju menjadi calon. Karena kebanyakan dari anggota dewan tersebut masih ba nyak yang mengandalkan uangnya pribadi sehingga bisa dikenal oleh masysarakat.

Namun, uang tersebutpun merupakan miliki dari sang suami, jadi jika seorang istri ingin berkompetisi dengan perempuan lain walaupun ia berkemampuan tetapi tidak memiliki uang maka itu merupakan suatu hal yang mustahil untuk dicapai oleh perempuan tersebut agar dapat duduk di pemerintahan.

Karena tidak mungkin jika seorang calon legislatif tak memiliki uang jika ingin menjadi seorang wakil rakyat, ini juga merupakan suatu pola pemikiran masyarakat yang salah. Tak perlu uang yang banyak jika ingin mencalonkan, kita hanya perlu mempersiapkan diri kita sendiri dengan baik, baik dari segi kemampuan pendidikan serta mental pribadi yang baik. Dengan semua itu, bisa dipastikan jika perempuan dapat lebih tinggi tingkat keterpilihannya.

Perempuan harus berpikir bagaimana ia dapat berkontribusi dalam hal berpolitik, karena negara juga telah memberikan peluang kepada perempuan agar bisa duduk di lembaga legislatif. Namun bukan berarti kita bisa seenaknya tanpa membekali diri sendiri. Tetap harus memiliki kemampuan bersaing.


(2)

BAB IV PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Pada saat ini, dimana zaman telah berubah hampir semua negara maju maupun berkembang di dunia telah memberikan hak-hak politik pada warga negara perempuannya. Meskipun proses pemberian hak tersebut tidak sama realisasinya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa PBB juga telah berperan dalam proses perkembangan kedudukan perempuan.

Usaha PBB dalam memperbaiki kedudukan perempuan adalah membentuk badan The United Nations Commitee on the Status of Woman, dimana PBB menyarankan kepada anggotanya agar membentuk UU yang menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki. Begitu pula penjelasan pada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 49 ayat 1: perempuan berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, serta profesi sesuai dengan persyaratan perundang-undangan.

Pun begitu sebagaimana ditetapkan dalam UU Pemilu Pasal 65 ayat 1 menyebutkan: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan sekurang-kurangnya 30%.

Maka dari itu, sudah seharusnya perempuan berusaha agar kuota yang telah ditetapkan dapat dipenuhi. Tidak boleh diam saja melihat minimnya jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif, karena minimnya jumlah perempuan di lembaga legislatif akan berdampak dengan minimnya kebijakan yang dibuat ramah kepada pihak perempuan.


(3)

sendiri serta pengetahuan yang baik. Hal ini dapat diasah dengan seringnya mengikuti acara yang diadakan oleh bundo kanduang. Bundo kanduang sendiri merupakan sebuah organisasi yang dimaksudkan agar perempuan minang dapat mempelajari cara berorganisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Seperti bagaimana caranya berbicara di hadapan umum, bagaimana mengatur waktu serta dapat mempelajari bagaimana mengatur anggota/bawahan. Bundo kanduang sendiri di dalam pemerintahan seperti biro perempuan. Di bundo kanduang juga mempelajari bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama.

Namun, dari sejarahnya bundo kanduang sendiri tak pernah berjaya, karena masih ortodoksnya pemikiran perempuan yang disebabkan karena kurangnya pendidikan politik masyarakat selama ini, bahkan tak pernah dirasakan karena memang tak pernah diberikan oleh pemerintah. Seharusnya perempuan dapat membangun dan menghidupkan kembali bundo kanduang tersebut agar bisa dipergunakan sebagai wadah pembelajaran.

Kembali lagi karena kualitaslah perempuan dapat dikenal oleh masyarakat, melihat uraian di atas maka masih banyaknya perempuan yang duduk di lembaga legislatif karena semata mengandalkan uang saja. Sehingga setelah duduk di lembaga legislatif perempuan kurang berpengaruh dalam pembuatan keputusan karena lagi-lagi kurangnya kemampuan pribadi dan ketika beradu dengan lelaki maka perempuan dengan mudahnya dikalahkan. Dan hal ini juga berpengaruh terhadap cara mereka memandang suatu permasalahan. Maka perempuan di lembaga legislatif hanya sekadar ada, hal ini dikarenakan perempuan kurang berkualitas, dan jumlah perempuannya yang sedikit.


(4)

IV.2 Saran

Hasil penelitian yang telah dilakukan memberikan pengetahuan tentang kekurangan yang ada dan harus segera diperbaiki agar tak terjadi lagi minimnya jumlah perempuan di DPRD Sumatera Barat kedepannya. Pertama, agar perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki maka dari itu perempuan harus aktif mengikuti organisasi-organisasi baik itu organisasi kedaerahan maupun organisasi perempuan. Karena soft skill yang dari perempuan lama kelamaan akan terbentuk dengan seringnya mengikuti organisasi. Dan tak lagi memiliki pandangan bahwa perempuan sudah sepantasnya berada di rumah dan mengurusi anak, tak lagi memiliki pandangan bahwa politik hanya ramah kepada laki-laki. Dan sudah seharusnya perempuan lebih giat lagi untuk ikut terjun langsung ke dalam partai politik.

Kedua, partai politik sebaiknya memainkan fungsi dan peranannya sebagai partai politik, jangan setengah hati dalam memberikan kaderisasi. Jangan karena mau pemilihan umum maka meminta para wanita darimana saja untuk bergabung dengan partainya hanya karna agar partai tersebut dapat mengikuti pemilihan umum. Partai harus menyadari bahwa mereka harus diberikan edukasi yang sama ataupun lebih dibandingkan dengan laki-laki, dan perempuan juga harus meminta hak yag sudah seharusnya diberikan partai politik. Jadi, partai dapat bertanggung jawab terhadap kader, sehingga kader perempuan dari semua partai politik dapat bersaing dengan laki-laki ataupun sesama perempuan.


(5)

Daftar Pustaka

Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba, 1990, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, Bumi Aksara

Drs. Sanit, Arbi, 1985, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta, CV Rajawali

Gaffar, Affan, 1999, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Jurnal Perempuan No 34, 2004, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta

J. Moloeng, Lexy, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya

Koentjaraingrat, Prof. Dr. 2007, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan

Mahyuddin, H. Suardi, SH. 2009, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Jakarta, PT. Candi Cipta Paramuda

Mahmoed IA, BA, Sutan, 2004, Nagari Limo Kaum Pusat Bodi Caniago Minangkabau, Yayasan Mesjid Raya Limo Kaum

Mr. M. Nasroen, Prof. 1965, Dasar Falsafah Alam Minangkabau, Jakarta, Percetakan Negara

Musdah Mulia dan Anik Farida , Siti, 2005, Perempuan dan Politik, PT Gramedia Pustaka Utama

Nawawi, Hadari, 1987, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press


(6)

Perempuan No 34, , Jurnal, 2004, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan

Pusat kajian wanita dan Gender Universitas Indonesia, 2004, Hak Azasi Perempuan: Instrumen untuk mewujudkan keadilan Gender, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Saidah dan Husnul Khatimah, Najmah, 2003, Revisi Politik Perempuan, , Bogor , CV. IdeA Pustaka Utama

Syamsudin, Nazarudin, 1991, Aspek-aspek budaya politik Indonesia, Jakarta, Gramedia pustaka

Undang-undang Politik 2003, 2003, UU No 12 Tentang Pemilu, Bandung, Fokus Media

Schulte, Henk, Nordholt, Gerry van Klinken dan Ireen Karang-Hoogenboom, 2007, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,

Suparno, Indriyati, 2005, Masih dalam posisi pinggiran: membaca tingkat partisipasi politik perempuan di kota Surakarta, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Zuhro, R. Siti, 2003, Demokrasi lokal perubahan dan kesinambungan nilai-nillai budaya politik lokal, Jakarta, Gramedia Pustaka

Website:

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=13&wilayah=Sumatera%20Barat

Jurnal: