Budaya politik parokial parochial political culture, yaitu tingkat partisipasi politiknya Budaya politik kaula subyek political culture, yaitu masyarakat bersangkutan sudah Metodologi Penelitian Jenis Penelitian

a. Budaya politik parokial parochial political culture, yaitu tingkat partisipasi politiknya

sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif misalnya tingkat pendidikan relatif rendah.

b. Budaya politik kaula subyek political culture, yaitu masyarakat bersangkutan sudah

relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif.

c. Budaya politik partisipan participant political culture, yaitu budaya politik yang

ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut. No Budaya Politik Uraian Keterangan 1. Parokial a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol. b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat. c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik. d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim. Universitas Sumatera Utara f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif. 2. SubyekKaula a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol. b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif. d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan. e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. 3. Partisipan a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek- obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu. b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif aspekinput dan output sistem politik Universitas Sumatera Utara c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik d. Masyarakat berperan sebagai aktivis. Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair. Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya trust antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik. Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap Universitas Sumatera Utara sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik. Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik. Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Universitas Sumatera Utara

4. Beberapa Pendapat Para Ahli Tentang Matrilineal

1. Menurut Yoke Van Reenen Salah seorang peneliti dari Eropa yang bernama Yoke Van Reenen ditemani oleh seseorang yang bernama Irfani Dharma pada ahir 1990an telah langsung turun ke Minangkabau, tepatnya di Nagari Rao-Rao Kecamatan Sei Tarab Kabupaten Tanah Datar Batu Sangkar yang terletak di pinggir jalan propinsi yang dapat menuju ketiga kota di Sumatera Barat yaitu ke selatan Batusangkar, ke utara-timur ke Payakumbuh, dan ke utara- barat Bukittinggi. 17 Dalam penelitiannya ini difokuskan kepada dua desa yang terdapat di nagari Rao-Rao yaitu Desa Carano Batirai dan Desa Balerong Bunta. Hampir semua rumah di desa ini terbuat dari kayu, baik dinding dan lantai dengan atap seng. Diantaranya terdapat rumah gadang, rumah adat yang dihuni oleh keluarga besar matrilineal yang kenyataan rumah gadang itu banyak kosong dan jika dihuni kebanyakan oleh nenek seorang diri atau beberapa orang penghuninya. Bahwa di Desa ini rumah tangga yang dikepalai wanita cukup tinggi yaitu 31,8 atau 64 RT dari 201 WKRT, tetapi yang diseleksi untuk studi hanya 16 Wanita Kepala Rumah Tangga. Jumlah ini sudah bisa mencerminkan hasil survey. Bahwa tugas pokok WKRT ini ialah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak-anak, dana kesehatan dan sebagainya. Pekerjaan ini diambil oleh WKRT adalah sebagai pengganti dari tanggung jawab. Karena suami mereka ada yang sudah meninggal atau pergi merantau. Bagi merea yang tidak dapat bantuan dari rantau , mereka mencari nafkah sendiri, bertani, berdagang, Kadang-kadang berdagang di kampung seperti bua warung bagi kaum 17 Ibid hal 46 Universitas Sumatera Utara wanita tidak memadai. Jika ada anak-anak di perantauan maka merea mengharapkan bantuan dari rantau. Menurutnya, tingkat merantau di Rao-Rao tergolong tinggi, meski bukan termasuk yang tertinggi untuk Sumatera Barat. Baik tipe merantau sirkuler maupun permanen, keduanya ditemui di daerah ini. Ia berpendapat bahwa perubahan sistem matrilineal di Rao- Rao hampir sama dengan yang terdapat di nagari lain di Minangkabau. Salah satu dari pengaruh Islam yang menekankan pentingnya kedudukan dan tanggung jawab laki-laki. Merantau telah menyebabkan laki-laki mempunyai pendapatan sendiri. Harta pencarian yang didapat diperuntukkan bagi istri dan ana-anaknya. Perubahan yang terpenting dalam sistem keerabatan Matrilineal Minangkabau ialah kedudukan suamiayah semakin kuat dan keluarga inti menjadi kesatuan sosial dan ekonomi yang semakin penting. Mengakibatkan pula peranan mamak kepala waris menjadi semakin tipis atau kurang. 2. Menurut Tsuyoshi Kato 1977 Merantau adalah suatu tradisi yang telah disadari akan pentingnya perkembangannya masyarakat Minangkabau tetapi barulah di tahun 1975 hal ini secara mendalam diperjlas oleh Prof. Dr. Muchtar Naim. Beliau mengemukakan bahwa merantau menurut sensus 1930 Minangabau tidalah merupakan suku bangsa yang tertinggi tingkat migrasinya, tetapi baru kelihatan tingkatt migrasinya setelah terjadi peristiwa PRRIPermesta. Mengenai sifat merantau daam sistem mtrilineal seorang Jepang yang bernama Tsuyoshi Kato beranggapan bahwa merantau itu adalah satu faktor utama dari kuatnya sistem Matrilineal di Minangkabau. Tsuyoshi Kato sangat tertarik juga kepada sistem kekerabatan Universitas Sumatera Utara matrilineal Minangkabau. Beliau mengidentifikasikan ciri-ciri sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau sebagai berikut: a. Keturunan dihitung melalui garis ibu. Setiap nagari terdiri dari sejumlah kelompok keturunan yang disebut suku matriclan b. Setiap suku terdiri dari sejumlah “payung” matrilinage pada malam harinya suami mengunjungi rumah istrinya c. Perkawinan tidak melebur pasangan tersebut menjadi keluarga inti, masing- masing tetapi bagian dari kerabat matrilinealnya d. Siang hari suami biasanya mengunjungi rumah ibunya e. Wewenang dalam kaum atau paruik teretak di tangan mamak, bukan di tangan ayah. Mamak berati saudara laki-lai dari ibu, tetapi dalam kenyataan istilah itu juga dipakai untuk menunjukkan paman klasifiatoris, seperti penghulu atau tungganai rumah. Dalam keadaan ideal tradisional itu kesatuan sosial dan ekonomi yang terpenting dan paling fungsional adalah saparuik, suatu kelompok keturunan yang terdiri dari beberapa generasi biasanya paling tinggi 3-4 generasi dan biasanya tinggal di rumah gadang. Kehidupan sosial di rumah gadang berpusat kepada kaum wanita yaitu saudara-saudara perempuan dengan ibu mereka yang merupakan inti penghuni yang tinggal bersama anak- anak kecil dan anak-anak gadis mereka. Sebaliknya kedudukan anak laki-laki di rumah gadang kurang stabil. Posisi laki-laki dalam sistem kekerabatan matrilineal seperti itu sebenarnya juga agak marginal. Di rumah ibunya tidak tersedia kamar untuknya dan dia uga tidak memiliki harta Universitas Sumatera Utara pusaka, meskipun ia berwenang mengurusnya untuk saudara-saudara perempuannya atau untuk kemenakan-kemenakannya. Pola berpikir orang Minangkabau sudah berubah. Meskipun demikian, perubahan tidak lalu berarti bahwa sistem matrilineal menjadi kabur atau diperlemah atau akan digantikan sama sekali dengan sistem lain. Keturunan tetap juga diatur menurut garis ibu dan harta pusaka tetap merupakan milik kaum matrillineal yang pada prinsipnya tidak boleh dijual. Meskipun pola menetap sudah bergeser ke pola baru, namun hal ini belum berarti matrilineal diperlemah. Banya suami, ayah yang mampu membangun rumah untuk keluarga intinya, tetapi rumah itu biasanya dibangun di tanah kerabat istrinya, dan sebagaimana halnya dengan harta pencaharian lainnya, akhirnya akan diwarisi oleh anak perempuannya dan selanjutnya akan mengikuti aturan pewarisan menurut sistem matrilineal. Pada prinsipnya hak anak laki-laki di Minangkabau tetap mempunyai hak yang penuh di rumah ibunya, mereka dapat memanfaatkan harta puaka pusaka tinggi. Hukum adat Minangkabau tidak membedakan hasil yang diperoleh kedua jenis anak-anak ini. Cuma dalam praktik anak perempuan punya kamar di rumah gadang dan anak laki-laki dari kecil sudah diajar dan dibiasakan untuk tidur di surau pesukuan bersama-sama dengan teman sebayanya di bawah pengawasan gurunya, selesai belajar mengaji agama, membaca Al-Quran mereka tidur bersama-sama di Surau. Sedangkan anak-anak perempuan tidak dibiasaan tidur di surau. 3. Menurut Lusi Herlina Suatu penelitian baru yang dilakukan oleh Lusi Herlina dan kawan-kawannya dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat dalam bukunya yang berjudul: Universitas Sumatera Utara Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem masyarakat Matrilineal” beliau berkesimpulan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Minangabau yang matrilineal tetapi tidak matriarkat. 18 Kekuasaan formal baik secara tradisional maupun modern tetap dipegang oleh laki-laki. Buktinya menurut Saafroedin Bahar bahwa enam orang peneliti perempuan yaitu Lany Veryanti, Lusi Herlina, Dwi Bertha dan Zaiyardam Zubir dan seorang Jerman Keebet von Benda Beckmann yang meneliti persengkataan adat sejak dari pengadilan adat di Nagari sampai kepada Pengadilan Negeri. Hasil penelitian mereka seluruhnya menunjukkan bahwa dalam banya hal keberadaan perempuan Minangabau tidaklah dihargai apalagi didengar. Semuanya diputuskan oleh laki- laki baik dalam keluarga di dalam suku maupun dalam nagari. Menurut Lusi Herlina, hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Namun hampir di semua wilayah Sumbar terdapat kasus dimana mamak mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan. Hak kepemilikan pusaka yang secara sah berada di bawah kekuasaan perempuan seringkali tidak berlaku efektif. Kekuasaan dan intervensi mamak sangat kuat dalam mengambil keputusan terhadap harta pusaka tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak memilii kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah dan harta pusaka tinggi lainnya. Selain dari pada adanya intervensi mamak terhadap peranan perempuan terhadap harta pusaka yang menjadi milik dan wewenang kaum perempuan Minangkabau Lusi Herlina mengingatkan bahwa institusi perempuan dalam budaya Minagkabau bahwa Bundo Kanduang merupakan seorang tokoh penting. 18 Ibid hal 54 Universitas Sumatera Utara Bundo Kanduang sempat dimitoskan oleh masyarakat bahwa beliau menurut tambo alam Minangkabau ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana yang sangat menentuan jalannya roda pemerintahan. Sebagai seorang perempuan dia dipahami sebagai tokoh perempuan dalam sukukaum yang menjadi pemimpin dalam rumah gadang. Dia adalah perempuan yang disegani, dihormati dan dimuliakan karena karisma, kecerdasannya dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal dalam rumah gadang. Akan tetapi Sejarawan Taufik Abdullah mempunyai pandangan yang berbeda yang mengatakan bahwa Bundo Kanduang adalah sebagai sumber kebijakan, namun ia tidak memiliki peranan dalam pengambilan keutusan karena ia bukanlah seorang yang memegang jabatan resmi dalam hirarki kekuasaan dalam sistem politik Minagkabau. Pada gilirannya ia tetap saja sebagai simbol percaturan politik kekuasaan. Namun demikian meskipun Bundo Kanduang tidak memiliki kekuasaan secara forma, Bundo Kanduang tetap saja menjadi komponen yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam perembangan sejarah Minangabau selanjutnya, Bundo Kanduang kemudian dipahami sebagai tokoh peremuan dalam suku dan kaum yang disegani, dihormati, dan dimuliakan oleh karena karismanya. Kecerdasannya dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal di rumah gadang. Demikian pula dikalangan masyarakat ibu-ibu di Minangkabau nama Bundo Kanduang sudah tidak asing lagi bagi mereka karena dianggap perempuan yang bijaksana di Minangkabau pada zamannya. Universitas Sumatera Utara

I.7. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat terhadap fenomena sosial bedasarkan gejala-gejalanya. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. 19 Penelitian deskriptif kualitatif melakukan analisis dan menyajikan data-data serta fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.

I.8. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. 20 Dengan demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan wawancara terhadap aktifitas dari objek yang diteiti serta dari dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelengkap data yang dibutuhkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat mengapa budaya matrilineal tidak mempengaruhi keterwakilan perempuan di DPRD Sumbar. 19 Hadari Nawawi, 1987, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, ha 63 20 Lexy J. Moloeng, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal 5. Universitas Sumatera Utara I.8.I. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian dalam penelitian ini adalah di Provinsi Sumatera Barat, karena budaya Matrilineal hanya ada di Sumatera Barat dan yang menjadi studi kasus adalah keterwakilan perempuan di DPRD, yang bertepatan kantor DPRD Provinsi Sumatera Barat berada di Kota Padang.

I.8.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yakni seperti berikut: a. Wawancara Dalam wawancara peneliti menentukan key informan, adapun yang menjadi key informan dalam penelitian ini berjumlah 8 delapan orang yang berasal dari pengamat politik, pengamat budaya, dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari kelompok perempuan. No Nama Status 1 Asrinaldi S.Sos, M.Si Pengamat Politik 2 Dr. Lindawati, M.Hum Pengamat Budaya 3 Riva Melda Anggota DPRD Prov Sumbar 4 Armiati Anggota DPRD Prov Sumbar 5 Zusmawati Anggota DPRD Prov Sumbar 6 Siti Izatti Azis Anggota DPRD Prov Sumbar 7 Marlina Siswati Anggota DPRD Prov Sumbar Universitas Sumatera Utara 8 Endarmy Anggota DPRD Prov Sumbar Jumlah 8 orang b. Dokumentasi Data dalam bentuk dokumen, bersifat tak terbatas pada ruang dan waktu, sehingga memberi peluang bagi peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi diwaktu silam. Secara detail dokumen berbentuk surat-surat, buku atau catatan, dokumen pemerintah atau swasta, data pada server dan website, laporan dan lain sebagainya. Maka, peneliti akan mengumpulkan data yang tentu saja berhubungan dengan masalah penelitian ini.

I.8.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan. Penganalisaan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan data, fakta, informasi kemudian data yang diperoleh akan dianalisa sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permaslahan penelitian. Jadi, teknik analisa data kualitatif yaitu dengan menyajikan data dengan melakukan analisa terhadap masalah yang ditemukan di lapangan, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti kemudian menarik kesimpulan. Harapannya dari data dan informasi yang diperoleh sebelumnya untk dapat menganalisa dan memberikan gambaran tetntang mengapa pola budaya matrilineal tidak berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di DPRD Sumbar. Universitas Sumatera Utara

I.9. Sistematika Penulisan