4. Beberapa Pendapat Para Ahli Tentang Matrilineal
1. Menurut Yoke Van Reenen Salah seorang peneliti dari Eropa yang bernama Yoke Van Reenen ditemani oleh
seseorang yang bernama Irfani Dharma pada ahir 1990an telah langsung turun ke Minangkabau, tepatnya di Nagari Rao-Rao Kecamatan Sei Tarab Kabupaten Tanah Datar
Batu Sangkar yang terletak di pinggir jalan propinsi yang dapat menuju ketiga kota di Sumatera Barat yaitu ke selatan Batusangkar, ke utara-timur ke Payakumbuh, dan ke utara-
barat Bukittinggi.
17
Dalam penelitiannya ini difokuskan kepada dua desa yang terdapat di nagari Rao-Rao yaitu Desa Carano Batirai dan Desa Balerong Bunta. Hampir semua rumah di desa ini terbuat
dari kayu, baik dinding dan lantai dengan atap seng. Diantaranya terdapat rumah gadang, rumah adat yang dihuni oleh keluarga besar matrilineal yang kenyataan rumah gadang itu
banyak kosong dan jika dihuni kebanyakan oleh nenek seorang diri atau beberapa orang penghuninya.
Bahwa di Desa ini rumah tangga yang dikepalai wanita cukup tinggi yaitu 31,8 atau 64 RT dari 201 WKRT, tetapi yang diseleksi untuk studi hanya 16 Wanita Kepala
Rumah Tangga. Jumlah ini sudah bisa mencerminkan hasil survey. Bahwa tugas pokok WKRT ini ialah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan
anak-anak, dana kesehatan dan sebagainya. Pekerjaan ini diambil oleh WKRT adalah sebagai pengganti dari tanggung jawab. Karena suami mereka ada yang sudah meninggal atau pergi
merantau. Bagi merea yang tidak dapat bantuan dari rantau , mereka mencari nafkah sendiri, bertani, berdagang, Kadang-kadang berdagang di kampung seperti bua warung bagi kaum
17
Ibid hal 46
Universitas Sumatera Utara
wanita tidak memadai. Jika ada anak-anak di perantauan maka merea mengharapkan bantuan dari rantau.
Menurutnya, tingkat merantau di Rao-Rao tergolong tinggi, meski bukan termasuk yang tertinggi untuk Sumatera Barat. Baik tipe merantau sirkuler maupun permanen,
keduanya ditemui di daerah ini. Ia berpendapat bahwa perubahan sistem matrilineal di Rao- Rao hampir sama dengan yang terdapat di nagari lain di Minangkabau. Salah satu dari
pengaruh Islam yang menekankan pentingnya kedudukan dan tanggung jawab laki-laki. Merantau telah menyebabkan laki-laki mempunyai pendapatan sendiri. Harta pencarian yang
didapat diperuntukkan bagi istri dan ana-anaknya. Perubahan yang terpenting dalam sistem keerabatan Matrilineal Minangkabau ialah kedudukan suamiayah semakin kuat dan keluarga
inti menjadi kesatuan sosial dan ekonomi yang semakin penting. Mengakibatkan pula peranan mamak kepala waris menjadi semakin tipis atau kurang.
2. Menurut Tsuyoshi Kato 1977 Merantau adalah suatu tradisi yang telah disadari akan pentingnya perkembangannya
masyarakat Minangkabau tetapi barulah di tahun 1975 hal ini secara mendalam diperjlas oleh Prof. Dr. Muchtar Naim. Beliau mengemukakan bahwa merantau menurut sensus 1930
Minangabau tidalah merupakan suku bangsa yang tertinggi tingkat migrasinya, tetapi baru kelihatan tingkatt migrasinya setelah terjadi peristiwa PRRIPermesta.
Mengenai sifat merantau daam sistem mtrilineal seorang Jepang yang bernama Tsuyoshi Kato beranggapan bahwa merantau itu adalah satu faktor utama dari kuatnya sistem
Matrilineal di Minangkabau. Tsuyoshi Kato sangat tertarik juga kepada sistem kekerabatan
Universitas Sumatera Utara
matrilineal Minangkabau. Beliau mengidentifikasikan ciri-ciri sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau sebagai berikut:
a. Keturunan dihitung melalui garis ibu. Setiap nagari terdiri dari sejumlah kelompok keturunan yang disebut suku matriclan
b. Setiap suku terdiri dari sejumlah “payung”
matrilinage pada malam harinya suami mengunjungi rumah istrinya c. Perkawinan tidak melebur pasangan tersebut menjadi keluarga inti, masing- masing
tetapi bagian dari kerabat matrilinealnya d. Siang hari suami biasanya mengunjungi rumah ibunya
e. Wewenang dalam kaum atau paruik teretak di tangan mamak, bukan di tangan ayah. Mamak berati saudara laki-lai dari ibu, tetapi dalam kenyataan istilah itu juga dipakai
untuk menunjukkan paman klasifiatoris, seperti penghulu atau tungganai rumah. Dalam keadaan ideal tradisional itu kesatuan sosial dan ekonomi yang terpenting dan
paling fungsional adalah saparuik, suatu kelompok keturunan yang terdiri dari beberapa generasi biasanya paling tinggi 3-4 generasi dan biasanya tinggal di rumah gadang.
Kehidupan sosial di rumah gadang berpusat kepada kaum wanita yaitu saudara-saudara perempuan dengan ibu mereka yang merupakan inti penghuni yang tinggal bersama anak-
anak kecil dan anak-anak gadis mereka. Sebaliknya kedudukan anak laki-laki di rumah gadang kurang stabil.
Posisi laki-laki dalam sistem kekerabatan matrilineal seperti itu sebenarnya juga agak marginal. Di rumah ibunya tidak tersedia kamar untuknya dan dia uga tidak memiliki harta
Universitas Sumatera Utara
pusaka, meskipun ia berwenang mengurusnya untuk saudara-saudara perempuannya atau untuk kemenakan-kemenakannya.
Pola berpikir orang Minangkabau sudah berubah. Meskipun demikian, perubahan tidak lalu berarti bahwa sistem matrilineal menjadi kabur atau diperlemah atau akan
digantikan sama sekali dengan sistem lain. Keturunan tetap juga diatur menurut garis ibu dan harta pusaka tetap merupakan milik kaum matrillineal yang pada prinsipnya tidak boleh
dijual. Meskipun pola menetap sudah bergeser ke pola baru, namun hal ini belum berarti
matrilineal diperlemah. Banya suami, ayah yang mampu membangun rumah untuk keluarga intinya, tetapi rumah itu biasanya dibangun di tanah kerabat istrinya, dan sebagaimana halnya
dengan harta pencaharian lainnya, akhirnya akan diwarisi oleh anak perempuannya dan selanjutnya akan mengikuti aturan pewarisan menurut sistem matrilineal.
Pada prinsipnya hak anak laki-laki di Minangkabau tetap mempunyai hak yang penuh di rumah ibunya, mereka dapat memanfaatkan harta puaka pusaka tinggi. Hukum adat
Minangkabau tidak membedakan hasil yang diperoleh kedua jenis anak-anak ini. Cuma dalam praktik anak perempuan punya kamar di rumah gadang dan anak laki-laki dari kecil
sudah diajar dan dibiasakan untuk tidur di surau pesukuan bersama-sama dengan teman sebayanya di bawah pengawasan gurunya, selesai belajar mengaji agama, membaca Al-Quran
mereka tidur bersama-sama di Surau. Sedangkan anak-anak perempuan tidak dibiasaan tidur di surau.
3. Menurut Lusi Herlina Suatu penelitian baru yang dilakukan oleh Lusi Herlina dan kawan-kawannya dari
Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat dalam bukunya yang berjudul:
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem masyarakat Matrilineal” beliau berkesimpulan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Minangabau yang
matrilineal tetapi tidak matriarkat.
18
Kekuasaan formal baik secara tradisional maupun modern tetap dipegang oleh laki-laki. Buktinya menurut Saafroedin Bahar bahwa enam orang
peneliti perempuan yaitu Lany Veryanti, Lusi Herlina, Dwi Bertha dan Zaiyardam Zubir dan seorang Jerman Keebet von Benda Beckmann yang meneliti persengkataan adat sejak dari
pengadilan adat di Nagari sampai kepada Pengadilan Negeri. Hasil penelitian mereka seluruhnya menunjukkan bahwa dalam banya hal keberadaan
perempuan Minangabau tidaklah dihargai apalagi didengar. Semuanya diputuskan oleh laki- laki baik dalam keluarga di dalam suku maupun dalam nagari.
Menurut Lusi Herlina, hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Namun hampir di semua wilayah Sumbar terdapat kasus
dimana mamak mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan.
Hak kepemilikan pusaka yang secara sah berada di bawah kekuasaan perempuan seringkali tidak berlaku efektif. Kekuasaan dan intervensi mamak sangat kuat dalam
mengambil keputusan terhadap harta pusaka tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak memilii kontrol terhadap sumber daya, seperti
tanah dan harta pusaka tinggi lainnya. Selain dari pada adanya intervensi mamak terhadap peranan perempuan terhadap
harta pusaka yang menjadi milik dan wewenang kaum perempuan Minangkabau Lusi Herlina mengingatkan bahwa institusi perempuan dalam budaya Minagkabau bahwa Bundo
Kanduang merupakan seorang tokoh penting.
18
Ibid hal 54
Universitas Sumatera Utara
Bundo Kanduang sempat dimitoskan oleh masyarakat bahwa beliau menurut tambo alam Minangkabau ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana yang sangat
menentuan jalannya roda pemerintahan. Sebagai seorang perempuan dia dipahami sebagai tokoh perempuan dalam sukukaum yang menjadi pemimpin dalam rumah gadang. Dia
adalah perempuan yang disegani, dihormati dan dimuliakan karena karisma, kecerdasannya dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal dalam rumah
gadang. Akan tetapi Sejarawan Taufik Abdullah mempunyai pandangan yang berbeda yang
mengatakan bahwa Bundo Kanduang adalah sebagai sumber kebijakan, namun ia tidak memiliki peranan dalam pengambilan keutusan karena ia bukanlah seorang yang memegang
jabatan resmi dalam hirarki kekuasaan dalam sistem politik Minagkabau. Pada gilirannya ia tetap saja sebagai simbol percaturan politik kekuasaan. Namun demikian meskipun Bundo
Kanduang tidak memiliki kekuasaan secara forma, Bundo Kanduang tetap saja menjadi komponen yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam perembangan sejarah Minangabau selanjutnya, Bundo Kanduang kemudian dipahami sebagai tokoh peremuan dalam suku dan kaum yang disegani, dihormati, dan
dimuliakan oleh karena karismanya. Kecerdasannya dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal di rumah gadang. Demikian pula dikalangan
masyarakat ibu-ibu di Minangkabau nama Bundo Kanduang sudah tidak asing lagi bagi mereka karena dianggap perempuan yang bijaksana di Minangkabau pada zamannya.
Universitas Sumatera Utara
I.7. Metodologi Penelitian