Epistemologi Fenomenologi Kerangka Teori

fenomenologi dalam penelitian ini memiliki hubungan komplementer untuk mencapai tujuan penelitian. Ilmu Sosiologi dan Antropologi maupun Pendidikan dikenal sebagai ilmu yang berparadigma ganda, artinya paradigma yang dipakai lebih dari satu dalam ranah teori-teori sosial. Penulisan ini mengkaji pendidikan dengan multi paradigma, terutama paradigma-paradigma yang diambil dari Sosiologi, Antropologi dan Ilmu Pendidikan. Tujuan dari penggunaan multi paradigma itu adalah untuk mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif dan holistik.

1. Epistemologi Fenomenologi

Pada awal kemunculannya, fenomenologi merupakan sebuah metode filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl. Metode Husserl adalah memeriksa dan menganalisis kehidupan bathiniah individu, yakni pengalaman-pengalamannya mengenai fenomena atau penampakan-penampakan sebagaimana yang terjadi dalam apa yang terjadang disebut ‘arus kesadaran’ Campbell, 1994:233. Awal penggunaan fenomenologi ke dalam ranah sosial dan budaya adalah ketika fenomenologi menjawab permasalahan sosial- budaya yang tidak dapat dijawab pendekatan positivisme dalam sebuah proyek besar cross-cultural comparisson. Model linguistik yang diperkenalkan oleh Goodenough membawa banyak implikasi pada studi antropologi yang mengarah pada aliran fenomenologi Brata, 2008:17. Permasalahan perbandingan kebudayaan yang terhambat dalam hal konsistensi subjek penelitian, konsistensi data dan menyangkut masalah klasifikasi dapat diatasi dengan model linguistik yang merupakan ciri pendekatan fenomenologi. Dalam model linguistik terdapat dua metode, yaitu metode etik dan emik yang dianggap mampu melakukan perbandingan kebudayaan secara tepat. Fenomenologi meletakan karakteristik kebudayaan sebagai sebuah diferensiasi yang tidak terpengaruh konsep-konsep primitif- beradab, tradisonal-modern, baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya, yang masih terlihat dalam karya-karya positivitme. Semua bentuk kebudayaan dinilai dari makna yang diciptakan baik melalui gagasan, perilaku, serta artefak, dan semua makna yang terkandung tersirat dan tersurat dalam simbol-simbol yang digunakan. Schutz mengungkapkan bahwa memberi makna merupakan sebuah proses refleksi tingkah laku yang membagi-bagi arus tindakan menjadi sebuah rentetan tindakan yang terpilah-pilah dengan tujuan-tujuan yang dapat dibeda-bedakan Campbell, 1994:236. Fenomenologi membebaskan penelitan-peneilitan humaniora menjadi lebih humanis. Perbedaan yang menyolok antara pendekatan fenomenologi dengan pendekatan lain adalah membiarkan proses pemaknaan terjadi secara alamiah dan intervensi kognitif penulis dalam proses pemaknaan dikurangi atau bahkan dihilangkan dan subjek penelitian mengungkapkan fenomena-fenomena secara terbuka. Fenomena yang terjadi pada subjek penelitian diungkapkan melalui simbol-simbol yang disepakati bersama oleh komunitas. Simbol-simbol itu secara umum adalah bahasa yang dipakai oleh komunitas. Realita pendidikan yang muncul ke permukaan akan dikaji secara fenomenologis, sehingga penulis menggunakan konsep relativitas kebudayaan. Penulis menggunakan pendekatan emik dalam menghimpun data dari subjek penelitian maupun informan penelitian. Sudut pandang pada pendekatan emik merupakan sudut pandang alamiah dari subjek penelitian, jadi penulis menjauhkan diri dari intervensi kognitif terhadap pemikiran subjek penelitian.

2. Analisis Wacana Kritis Critical Discourse Analysis