TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON MUSLIM
commit to user
TINJAUAN YURIDIS TENTANG
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM
(Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH MUTMAINI NIM : E0006181
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
(2)
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN
CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
OLEH MUTMAINI NIM : E0006181
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Oktober 2010 Pembimbing I
Soehartono, S.H, M.Hum NIP. 195604251985031002
Pembimbing II
Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H NIP. 197511302005011001
(3)
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN
CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
Oleh Mutmaini NIM : E0006181
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 28 Desember 2010
DEWAN PENGUJI
1. Harjono, S.H., M.H : ………
NIP. 196101041986011001 Ketua
2. Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H : ………. NIP. 197511302005011001
Sekretaris
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H : ……….
NIP. 195706291985031002 Anggota
Mengetahui, Dekan
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP.1961 0930 1986 011001
(4)
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Mutmaini
NIM : E0006181
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, November 2010 Yang menyatakan
(Mutmaini) NIM. E 0006181
(5)
commit to user
v ABSTRAK
Mutmaini, 2010, TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra). Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji mengenai dasar pertimbangan Pengadilan Agama dalam menerima dan memeriksa permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim, dan mengetahui akibat hukum dalam putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penulis dalam penelitian ini ingin menemukan aturan hukum yang menjadi dasar yuridis Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah berupa putusan hakim nomor : Putusan Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra tentang permohonan cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah pola berfikir deduktif dengan premis mayor dan premis minor yang kemudian dicapai suatu kesimpulan. Premis mayor yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, premis minornya adalah Putusan Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra, kesimpulan yang didapat bahwa permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim tetap merupakan kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim tersebut adalah penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud “orang Islam” adalah orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela terhadap Hukum Islam. Hal ini mengesampingkan asas personalitas keislaman para pihak yang berperkara,apabila para pihak secara sukarela dengan sendirinya tunduk dan menundukkan diri pada Hukum Islam, maka perceraiannya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama
(6)
commit to user
vi
sekalipun salah satu atau kedua pihaknya telah berpindah agama menjadi non-muslim. Kedua, akibat hukum dalam putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim. Dalam putusan tersebut memutus dengan fasakh, akibat hukum dari fasakh adalah Fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga, Suami tidak boleh melakukan rujuk terhadap mantan istrinya apabila antara mantan suami dan isteri tersebut berkeinginan untuk hidup kembali sebagai suami-istri harus melakukan akad nikah baru, tidak mengurangi sisa talak istri, maksudnya jika terjadi fasakh kemudian dilakukan akad yang baru, fasakh tersebut tidak dihitung sebagai talak pertama, sehingga suami masih mempunyai tiga hitungan talak, Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar talak, Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim, masa iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap.
(7)
commit to user
vii ABSTRACT
Mutmaini, 2010, A JURIDICAL REVIEW ON THE RELIGION COURT’S AUTHORITY IN DECIDING THE TALAK DIVORCE APPLICATION BY NON-MUSLIM APPLICANT (A Case Study on Talak Divorce Application in Karanganyar Religion Court in Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra). Law Faculty of UNS.
This research studies the rationale of Religion Court in accepting and examining the talak divorce application filed the non-muslim applicant and find out the legal consequence of decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra published by Karanganyar Religion Court on the talak divorce application by non-Muslim applicant.
In this research, the writer employed the prescriptive and applied law research in which the law research is a process of finding legal rules, principles, and doctrines to answer the legal issue encountered. The writer wants to find the legal rule becoming the juridical foundation for the Religion Court in deciding the talak divorce application by non-Muslim applicant and legal consequence of talak divorce application by non-Muslim applicant. The types of law materials used was primary and secondary law materials. The primary materials used were the decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra about the talak divorce application by non-Muslim applicant in Karanganyar Religion Court, Republic of Indonesia’s 1945 Constitution, Acts Number 48 of 2009 about the Power of Justice, 50 of 2009 about the Second Amendment of Act Number 7 of 1989 about Religion Judicature. The secondary law material used by the writer was literatures, documents, archive, article, paper, literature consistent with the research object. Technique of collecting law material was done by identifying the content of primary and secondary law materials from library research. Technique of analyzing data used was deductive mindset with major and minor premises that then arrived at a conclusion. Major premise used was Act Number 50 of 2009, while the minor one was Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra, and the conclusion obtained is that the talak divorce application by non-Muslim applicant remains to be the authority of religion court in deciding.
Considering the result of research and discussion, it can be concluded that: firstly the rationale of Religion Court’s authority in deciding the talak divorce application by non-Muslim applicant was the explanation of Article 49 of Act Number 50 of 2009. The explanation of such article states that what “Moslem” is the one or enterprise subjected itself voluntarily to Islamic Law. It overrides the Islamic personality principle in the parties having case, when the parties voluntarily are subjected and submitted to the Islam Law, therefore the divorce remains to be the Religion Court’s authority although one or both parties has converted to non-Muslim. Secondly, the legal consequence in Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra published by the Karanganyar’s Religion Court over the talak divorce application by non-Muslim applicant. The decision decides with fasakh, the legal consequence of fasakh is that Fasakh terminates the marriage instantaneously, the husband may not undertake reconciliation to his former wife when they want to live again as husband-wife so that they should make new
(8)
commit to user
viii
marriage contract, does not reduce the rest of wife’s talak, it means that if there is fasakh in the future, the new marriage agreement should be made, fasakh is not counted as the first talak, so that husband still have three talak counts, in the case of applicant is non-Muslim, the applicant has no right to utter the talak pledge, in the term of iddah period for the widow divorced by non-muslim husband, it is calculated from the date when the decision of Judge Chambers has fixed legal power.
(9)
commit to user
ix MOTTO
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari alaq, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S Al-Alaq:1-5)
“Bila engkau berada pada sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka jangan menunggu datangnya sore. Manfaatkan
sehatmu sebelum sakitmu dan waktu hidupmu sebelum matimu “ (HR. Ibnu Umar)
“Harapan haruslah disertai dengan amalan, kalau tidak maka harapan itu hanyalah sebuah lamunan”
(Al-Hikam).
“Kesabaran itu adalah sesuatu yang terpuji kecuali ketika agama dihina, harga diri dikoyak dan hak dirampas”
(unknown).
“Success is a journey, not a destination”. (Ben Sweetland)
“A good name is better than riches” (Unknown)
“The way to get started is to quit talking and begin doing” (Walt Disney)
“Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang” (Einstein)
“Segala cobaan dalam hidup untuk mendewasakan kita, tanpa itu kita tidak akan sadar betapa berharganya hidup dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan”
(Penulis)
“Selama nafas masih berhembus dalam raga, selama itu pula mimpi harus terus dikejar”
(10)
commit to user
x
PERSEMBAHAN
Karya kecil penulis ini senantiasa dipersembahkan kepada :
v Allah SWT, Rabb yang menguasai
alam semesta, Maha dari segala Maha, yang karena kekuasaannya menerangi setiap hati-hati yang penuh kecintaan pada-Nya, Sungguh tiada Tuhan selain Engkau.
v Muhammad SAW, suri tauladan
terbaik umat manusia.
v Ibu Jumiyatun, insan mulia yang telah
melahirkan, membesarkan serta
mendidikku dengan penuh kasih sayang. Tiada hal yang lebih indah selain cinta, do’a dan dukungan yang kau berikan tiada henti kepadaku. Aku menyayangimu ibu.
v Bapak Prapto Hartono Suwandi, sosok
ayah yang dengan disiplin dan keteguhan hatinya menjadikan penulis sebagai pribadi yang baik, semoga penulis dapat meneladani ketegasanmu.
v Kakak-kakakku tercinta. Sundari, Tri
Ningsih, Widyaningsih, Yusuf Irwanto, Supriyadi dan Anton Ari Wibowo. Do’a dan dukungan dari kalian lah yang membuat penulis tetap berdiri kokoh dalam setiap keterpurukan.
v Yang terkasih, Taat Hendrawan, yang
telah mencurahkan waktu dan
perhatiannya dalam mendampingi penulis.
v Indonesia, tanah tumpah darahku. Besar
inginku mengharumkan namamu.
v Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Kenangan terindah dalam hidupku.
(11)
commit to user
xi
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan baik. Penulisan hukum ini membahas mengenai mengenai dasar pertimbangan Pengadilan Agama dalam menerima permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim, dimana putusan atas permohonan tersebut mengacu pada undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selain itu penulis juga
memaparkan mengenai akibat hukum dalam putusan Nomor:
208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganya atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai bahan terkait, mengingat putusan nomor : 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar tersebut merupakan putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim. Permohonan seperti ini dianggap tidak biasa karena pemohonnya tidak beragama Islam, padahal kewenangan Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi umat yang beragama Islam.
Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan baik oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis hendak mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-sesarnya kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.
2. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing
(12)
commit to user
xii
dan memberi solusi atas permasalahan yang penulis temui dalam penulisan hukum ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum UNS sekaligus sebagai Penguji yang telah memberikan kesempatan serta saran yang berharga kepada penulis dalam penulisan hukum ini.
4. Bapak Soehartono S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing, yang di dalam kesibukannya yang luar biasa telah bersedia membimbing penulis hingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Bapak Harjono, S.H.,M.H. selaku dosen penguji penulisan hukum ini yang telah banyak membantu dalam perjalanan penyelesaian skripsi ini serta memberikan banyak saran dan nasehat yang berharga bagi penulis
6. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua Pengelola Penulisan Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk penelitian dan penulisan hukum ini.
7. Segenap dosen Fakultas Hukum UNS, untuk ilmu yang menjadi bekal bagi
masa depan penulis. Semoga berguna bagi penulis dan menjadi amalan yang tak terputus.
8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH), terutama maz Wawan yang tidak hanya membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi, tetapi juga atas motivasinya.
9. Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah memberikan pelayanan dengan baik kepada penulis.
10. Sahabat-sahabatku, Ita, Pipin, Tiwi, Agus Waloyo, Andri, Delon, Eriek, Didit, Farid, Wiwin Suryani, Anin, Arunda, sahabat yang senantiasa mendukung dan membawa keceriaan dalam hari-hari Penulis.
11. Maz Irawan, Mz Widinta, Mz A’ad, Mz Probo, Mz Bagus, Mz Hatta, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang senantiasa menjadi teman diskusi dan menuntut ilmu di FH UNS tercinta.
(13)
commit to user
xiii
12. Keluarga besar, FOSMI, BEM FH UNS DAN DEMA FH UNS yang telah
menjadi sosok keluarga, mendewasakan, memberikan ilmu
keorganisasian, pengetahuan ilmiah, prestasi dan pengalaman yang sangat luar biasa. Terkhusus Kakak-kakak teladan FOSMI FH UNS, Mbak Nunik sebagai inspirator bagi Penulis untuk selalu bersemangat dalam hidup, Mbak Wiwiek dan Mbak Farin, kakak yang selalu membuat tersenyum dan membawa keceriaan, Mbak Athina, Mbak Putri, dan Mbak Wiwik sebagai sosok kakak yang memberikan banyak motifasi, pengalaman dan masukan bagi Penulis.
13. Teman-teman Kusumawati, Mega, Whike, Dhinie, Vina, Beta, Anjar, Uyie’, Afif, Lilis, Minie, Reninta, Niken, Anik atas kebersamaannya selama ini. Kenangan yang tak terlupakan, penulis akan selalu merindukan saat kebersamaan itu.
14. Teman-teman Community Of Klaten (COKLAT) UNS, yang banyak memberikan pelajaran dan pengalaman berharga kepada penulis.
15. teman SD Daleman 2 Tulung Klaten angkatan 1994, Teman-teman SMP Negeri 2 Tulung Klaten angkatan 2000, Teman-Teman-teman SMA Negeri 1 Karanganom Klaten angkatan 2003, Teman-teman F.Hukum UNS angkatan 2006 yang senantiasa menyayangi dan menjaga persahabatan yang tak terputus. Salam semangat dan sukses selalu untuk kita.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang telah diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraokatuh
Surakarta, 28 Desember 2010 Penulis
(14)
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
HALAMAN MOTTO ... ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ... x
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR BAGAN... xvi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Peradilan Agama a. Perkembangan Peradilan Agama Di Indonesia ... 15
b. Tugas dan Kewenangan Peradilan agama... ... 21
2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Peradilan Agama a. Tahap-tahap Pemeriksaan di Pengadilan Agama …… ... 24
b. Bentuk dan Macam Produk Hukum Pengadilan Agama. .... 28
c. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama... 30
(15)
commit to user
xv
3. Tinjauan Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan ... 37
b. Tujuan Perkawinan ... 38
c. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 39
d. Larangan-larangan Perkawinan ... 41
e. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perkawinan ... 43
f. Bentuk-bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 49
4. Tinjauan Tentang Cerai Talak a. Pengertian Perceraian ... 52
b. Pengertian Cerai Talak ... 52
c. Syarat-syarat Talak ... 53
d. Waktu Menjatuhkan Talak ... 54
e. Hak Talak ... 54
f. Akibat Talak ... 55
g. Alasan-alasan Menjatuhkan Talak ... 56
h. Macam-macam Talak ... 58
B. Kerangka Pemikiran …………...………...…... 60
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 63
B. Pembahasan ... 70
1. Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim ... 70
2. Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ PA.Kra) ... ...80
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 93
(16)
commit to user
xvi
B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(17)
commit to user
xvii
DAFTAR BAGAN
(18)
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Tuhan menciptakan semua makhluknya dalam keadaan berpasang-pasangan, ada jantan dan betina, begitupun manusia, ada perempuan dan laki-laki. Bagi umat Islam, hal ini diatur dalam kitab suci Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21 : “Dan di antara bukti-bukti kebesaran Allah adalah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu tentram disampingnya dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Dari ayat tersebut, jelas bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berpasang-pasangan sebagai wujud kasih sayang. Untuk dapat hidup berpasangan, tidak seperti pada hewan, manusia harus melalui ikatan yang dapat dianggap sah menurut tatacara yang diatur oleh manusia itu sendiri yang disebut perkawinan.
Perkawinan antara dua manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Perkawinan bukan hanya sekedar suatu upacara adat, tetapi juga suatu pencatatan status perkawinan oleh aparatur negara. Menurut Ahmad Azhar Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan. Perkawinan bukan hanya sebagai sarana untuk menyalurkan nafsu biologis semata seperti pada binatang, tetapi mempunyai makna yang lebih luas dan mendalam, yaitu menciptakan kehidupan keluarga yang aman dan tentram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawadah) dan saling menyantuni (rahmah) (Ahmad Azhar Basyir, 2000: 1).
(19)
commit to user
Untuk menyeragamkan pengaturan tentang perkawinan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang, ordonansi, dan Peraturan-peraturan sebelumnya, sejauh telah diatur dalam Undang-Undang yang baru dinyatakan tidak berlaku. Meskipun demikian, Hukum Perkawinan Islam bagi kaum muslim memperoleh jaminan tetap berlaku sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini sejalan pula dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, disebutkan dalam Pasal 1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Dalam mewujudkan tujuan perkawinan tersebut sangat tidak mudah, dibutuhkan perasaan saling mengasihi dan menyayangi, serta menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Dalam suatu ikatan perkawinan, bisa saja dan sering terjadi perbedaan pendapat yang berujung pertengkaran atau bahkan perceraian. Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perceraian bagi umat Islam dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
(20)
commit to user
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan Umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah serta ekonomi syariah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan signifikan di bidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (one roof system) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut disahkan terlebih dahulu dengan dimasukkannya Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amandemen ketiga UUD 1945, kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi: “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Kekhususan wewenang Pengadilan Agama ini selanjutnya menjadi menarik ketika ditemui pengajuan permohonan maupun gugatan ke Pengadilan Agama yang mana salah satu atau kedua belah pihak bukan beragama Islam. Pihak tersebut secara jelas dan meyakinkan mengaku beragama selain Islam, namun tetap mengajukan permohonan maupun gugatan ke Pengadilan Agama, khususnya pengajuan permohonan cerai talak. Ini
(21)
commit to user
menjadi pertanyaan mengenai kepastian hukum tentang kewenangan absolut Pengadilan Agama. Permohonan cerai talak tersebut, bisa diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama atau tidak, karena pihaknya bukan muslim sedangkan kewenangan Pengadilan Agama adalah pada ranah penyelesaian perkara untuk para pihak yang beragama Islam.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui dan melakukan penelitian mengenai kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon yang bukan beragama Islam ini di dalam bentuk sebuah penulisan hukum dengan judul:
”TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON NON-MUSLIM (STUDI KASUS
PERMOHONAN CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA
KARANGANYAR DENGAN NOMOR 208/PDT.G/2010/PA.KRA.)”
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting sekali bagi penulis untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian yang dirumuskan penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim?
2. Bagaimana akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor
(22)
commit to user C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas agar memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi orang lain. Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam
memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
2. Tujuan Subyektif
c. Untuk menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai hukum acara peradilan agama khususnya dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim.
d. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana strata satu dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Di dalam suatu penelitian sangat diharapkan adanya manfaat, dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(23)
commit to user 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Peradilan Agama pada khususnya.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi peneliti yang akan datang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberi jawaban atas masalah yang diteliti.
b. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai
hukum acara peradilan agama khususnya mengenai dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
(24)
commit to user
adanya hal-hal yang bertentangangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 2006: 42). Sedangkan metode penelitian adalah cara dan langkah-langkah yang efektif dan efisien untuk mencari dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah. Sedangkan merupakan kegiatan ilmianyang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sitematis dan konsisten (Soerjono Soekanto, 2006 : 43 ).
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
doktrinal. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas (Amirudin dan Zainal Asikin, 2004 : 118). Penelitian hukum normatif menurut Johny Ibrahim adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Lebih lanjut dikatakan oelh Johny Ibrahim bahwa dalam tipe penelitian yuridis normatif, dimana objek penelitiannya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johny Ibrahim, 2008:295).
Penelitian hukum jenis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan-bahan hukum itu disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 22). Dari hasil
(25)
commit to user
telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di dalam litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna keperluan praktik hukum dibutuhkan penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009:37).
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 35).
Penulis dalam penelitian ini ingin menemukan aturan hukum yang menjadi dasar yuridis Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim. Penulis mengkaji putusan Pengadilan Agama Karanganyar nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang mana permohonannya diajukan oleh pemohon non-muslim di Pengadilan Agama Karanganyar.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
comparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(26)
commit to user
dalam penelitian ini Penulis hanya menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). “Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral” (Johnny Ibrahim, 2005:302). Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Metode Penelitian Hukum menjelaskan “bahwa pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani” (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93).
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan pertama atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Penelitian ini tidak menggunakan pendekatan kasus karena merupakan studi kasus (case study). Studi kasus (case study) merupakan studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 94). Studi kasus memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci mengenai latar belakang keadaan yang dipermasalahkan. Kasus yang diteliti merupakan satu kesatuan secara mendalam, hasilnya merupakan gambaran lengkap atas kasus itu (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 58). Kasus yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim di Pengadilan Agama Karanganyar nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra.
(27)
commit to user 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan adannya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi Sumber-sumber-Sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud
Marzuki,2009:141).
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian dan pemeriksaan kasus permohonan cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar nomor 208/ pdt.g/ 2010/ pa.Kra. yaitu:
Dalam penelitian hukum ini Penulis menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari :
a. Putusan Nomor 208/ pdt.g/ 2010/ pa.Kra. tentang permohonan cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
(28)
commit to user
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
g. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
h. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
(Kompilasi Hukum Islam).
Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas kasus yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang mencakup kamus hukum, bahan-bahan dari internet dan bahan lain yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut disebut studi pustaka.
(29)
commit to user 6. Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis dengan metode deduksi dan interpretasi. menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), Dalam logika silogistik untuk penalaran hukum, yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan fakta hukum merupakan premis minor yang kemudian dari kedua premis tersebut ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 47). Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.
Pada penelitian ini, yang menjadi premis mayor adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam). Adapun premis minor, yaitu perkara Nomor:208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra. Akhir dari proses ini diperoleh simpulan (conclusion) atas permasalahan dalam penelitian hukum ini. Kesimpulan atau conclusion dari penelitian ini bahwa berdasarkan premis mayor tersebut apabila diterapkan terhadap premis minornya, maka ternyata permohonan cerai talak dengan pemohon-non muslim masih menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memutus ini didasarkan pada penjelasan Undang-Undang nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, terutama dalam penjelasan Pasal 49. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa “Orang Islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sukarela menundukkan diri pada Hukum Islam.
(30)
commit to user
Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi adalah sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Menjelaskan ketentuan undang-undang adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 154).
Metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi Otentik, yaitu interpretasi untuk mengetahui makna undang-undang yang didapat dari penjelasan otentik dari suatu Undang-Undang (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 156). Dalam hal ini penulis menggunakan metode interpretasi ini untuk menjelaskan yang dimaksud orang Islam dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian didapati maknanya dalam penjelasan undang-undang tersebut.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun susunannya adalah sebagai berikut ;
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan landasan teori berdasarkan sumber-sumber data yang digunakan oleh penulis berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tinjauan pustaka terbagi atas dua bagian, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran.
(31)
commit to user
Kerangka teori meliputi tinjauan tentang peradilan agama, tinjauan tentang hukum acara peradilan agama, tinjauan tentang perkawinan dan tinjauan tentang cerai talak. . Kerangka pemikiran merupakan gambaran logika hukum berbentuk bagan dan disertai deskripsi singkat guna mempermudah alur pemikiran dalam menjawab permasalahan yang diteliti.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim danAkibat hukum permohonan cerai talak nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang diajukan oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diterangkan dari keseluruhan uraian yang telah dipaparkan ke dalam bentuk simpulan dan saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini.
(32)
commit to user
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama
a. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005: 34). Berdasarkan kedua definisi tersebut jelas bahwa Peradilan Agama adalah lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan yang didasarkan pada ketentuan Islam dan diperuntukan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad Nomor 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan dngan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak
(33)
commit to user
dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946,
dibentuklah Kementerian Agama. Departemen Agama
dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri. Dalam rentang waktu 12 tahun sejak proklamasi kemerdekaan RI ada tujuh hal yang dapat di ungkapkan yang terkait langsung dengan peradilan agama di Indonesia:
1) Berkaitan dengan penyerahan kementrian agama melalui
penetapan pemerintah Nomor 5 – sampai dengan tanggal 25 maret 1946;
2) Lahirnya UU No. 22/1946;
3) Lahirnya UU No. 19/1948;
4) Masa Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat) tanggal 27 Desember 1946 – 17 Agustus 1950;
5) Lahirnya UU darurat Nomor 1/1951;
6) Lahirnya UU Nomor 32/1954.
Peradilan Agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun, yakni tahun 1957-1974 mengalami perkembangan dengan dikeluarkannya PP dan UU yakni PP No. 29/1957 PP Nomor 45/1957, UU Nomor 19/1970 dan penambahan kantor dan cabang kantor peradilan agama . Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964 disahkan UU Nomor. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-Undang ini,
(34)
commit to user
melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Namun tidak lama kemudian, Undang-Undang ini diganti dengan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam Undang -Undang baru ini ditegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.
Ditegaskan demikian karena sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 merupakan Undang-Undang organik, sehingga perlu adanya Undang-Undang lain sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang yang berkait dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk juga Peradilan Agama.
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan sampai menjelang lahirnya UU Nomor.7/1989 tentang peradilan agama. Ada dua hal yang menonnjol dalam perjalanan peradilan agama di Indonesia;
1) Tentang proses lahirnya UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan
dengan peraturan pelaksanaannya PP Nomor 9/1974
2) Tentang lahirnya PP Nomor 28/1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui UU Nomor 41/2004 tentang wakaf.
Pada saat sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama , Peradilan Agama
(35)
commit to user
di Indonesia menggunakan beraneka nama dan dikategorikan sebagai peradilan kuasi, karena berdasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat Pengadilan Agama secara de facto lebih rendah kedudukannya dari pada Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat lingkup Peradilan di Indonesia, yaitu :
1. Peradilan umum; 2. Peradilan Agama; 2) Peradilan Militer;
3) Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan di atas menegaskan bahwa terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia yang memiliki kedudukan setara. Kesetaraan empat lingkup peradilan tersebut merupakan koreksi terhadap ketentuan yang terdapat dalam Staatblad 1882 No 152 dan Staatblad 1937 No 116 dan No 610 tentang Peraturan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, Staatblad 1937 No 638 dan No 639 tentang Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur serta Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara tahun 1957 No 99) yang telah menempatkan Peradilaan Agama berada di bawah Peradilan Umum.
Koreksi yang dilakukan Pasal 10 Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut bukan hanya tidak ditindaklanjuti dengan mengeluarkan peraturan organik yang dapat membuat Peradilan
(36)
commit to user
Agama mampu melaksanakan putusannya secara mandiri, namun sebaliknya, empat tahun kemudian, Pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang No 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
mengembalikan Peradilan Agama secara utuh kepada peradilan kuasi dengan cara mengharuskan setiap putusan Peradilan Agama dikukuhkan oleh Peradilan Umum.
Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga kewenangan absolut Peradilan Agama yang didasarkan pada :
1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad 1882 No 152 dan Staatblad 1937 No 116 dan No 610);
2) Peraturan tentang kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagai Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad 1937 No 638 dan No 639);
3) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di luar jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 No 99).
Ketentuan-ketentuan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga sejak itu pula lembaga pengukuhan yang terdapat dalam Staatblad 1882 No 152 jo. Staatblad 1937 No 116 dan No 610, Staatblad 1937 No 638 dan No 639, Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 No 99) dan Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan oleh Pasal 107 ayat (4) Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama tidak berlaku lagi.
(37)
commit to user
Pernyataan tidak berlaku terhadap semua peraturan hukum tersebut menempatkan Peradilan Agama sebagai peradilan yang sesungguhnya (court of law), sehingga sejak itu Peradilan Agama mempunyai susunan peradilan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan kewenangan absolute yang terunifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 49 serta hukum acara yang jelas menurut Pasal 54 Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama . Sebenarnya kemunculan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dianggap terlambat karena masyarakat semakin membutuhkan wadah untuk memperkarakan hak yang dilanggar oleh orang lain, namun tidak menimbulkan suatu gejolak yang berarti. Hal ini sesuai dengan yang pemikiran Soehartono yang mengatakan bahwa keterlambatan pengesahan dan pengundangannya (Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989) bukan berarti mengurangi makna kehadirannya (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989), tetapi sebagai akibat kandungan
“sensitivitas” yang melekat pada batang tubuhnya
(Soehartono,2004:757).
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, maka ditemukan dua hal yang cukup mengganjal dalam Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama , yaitu mengenai pilihan hukum dan penyelesaian sengketa hak milik serta sengketa kewenangan mengadili. Berkenaan dengan hal ini maka pada tanggal 28 Februari 2006 dikeluarkan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan perubahan
(38)
commit to user
tersebut tersurat bahwa Amandemen ini membawa perubahan besar dalam Peradilan Agama khususnya mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam menangani masalah ekonomi syariah. Terakhir, Undang-Undang tersebut disempurnakan lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama
Pasal 1 Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan kehakiman Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila
demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Agama adalah sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman disamping tiga peradilan lainnya yaitu peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata Usaha Negara.
Suatu kekuasaan kehakiman, memiliki dua kewenangan atau kompetensi, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.
1) Kewenangan Absolut Pengadilan Agama
Kewenangan absolut yaitu kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (Basiq Djalil, 2006:139). Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No 50 Tahun 2009 adalah:
(39)
commit to user
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq;
h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.
Kewenangan diatas inilah yang disebut kewenangan absolut Pengadilan Agama di Indonesia.
2) Kewenangan Relatif Pengadilan Agama
Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Basiq Djalil, 2006:138). Kewenangan relatif Pengadilan Agama dimaksudkan sebagai pemberian kekuasaan dan wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum kerja antar pengadilan dalam lingkungan badan peradilan yang sama, antar Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama, antar Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Negeri, antar pengadilan Tata Usaha Negara dengan pengadilan Tata Usaha Negara dan seterusnya (Taufiq Hamami, 2003: 117).
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan tingkat banding, yang berpuncak pada
(40)
commit to user
Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi dan secara administratif Pengadilan Agama berada di bawah Departemen Agama.
Dalam bidang perkawinan terutama untuk perkara perceraian, apabila pihak yang berinisiatif mengajukan perceraian dari pihak suami atau talak, yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri kecuali dalam hal pihak istri dengan sengaja meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami. Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Pasal 66. Dalam hal istri bertempat tinggal di luar negeri, maka yang berwenang atas perkara tersebut adalah pengadilan agam yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Dan jika keduanya bertempat tinggal di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan pernikahan mereka atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Untuk perceraian yang inisiatif perceraiannya dari istri, Pengadilan Agama yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman istri kecuali apabila pihak istri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal istri tinggal di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Apabila keduanya bertempat tinggal di luar negeri, maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan pernikahan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ini tertuang dalam Pasal 73 Undang-Undang No 7 Tahun 1989. (Taufiq Hamami, 2003: 117-118).
(41)
commit to user
2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Pengadilan Agama
Dalam Pasal 54 UU Nomor. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan bunyi Pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
a. Tahap-tahap Pemeriksaan di Pengadilan Agama
Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA). Pemeriksaan untuk sengketa perkawinan terutama perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Tahapan-tahapan cerai talak yang harus dilakukan pemohon atau suami atau kuasanya :
1) Tahap tahap membuat surat Permohonan
a) Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR, 142 RBG Jo. Pasal 66 Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
b) Pemohon di anjurkan untuk meminta petunjuk kepada
Pengadilan Agama atau tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 RGB Jo. Pasal 48 Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
(42)
commit to user
c) Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
2) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/ :
a) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
b) Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989)
c) Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka Permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat 3 UU Nomor.7 tahun 1989)
d) Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan di ajukan kepada Pengadilan Agama/ yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusar (Pasal 66 ayat 34UU Nomor.7 tahun 1989)
3) Permohonan tersebut memuat :
a) Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon
dan Termohon ;
b) Posita (Fakta kejadian dan Fakta hukum
c) Petitum (hal-hal yang di tuntut berdasarkan posita).
4) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat di ajukan bersama-sama dengan permohonan
(43)
commit to user
cerai talak atau sesudah ikrar talak di ucapkan (Pasal 66 ayat 5 UU Nomor.7 tahun 1989)
5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 RBG Jo. Pasal 89 UU Nomor.7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (Prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 RBG ) 6) Proses Penyelesaian Perkara :
a) Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
b) Pemohon dan Termohon di panggil oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c) Tahapan persidangan :
i. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU Nomor.7 tahun 1989); ii. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada
kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat 1 PERMA Nomor.2 tahun 2003);
iii. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara di lanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonpensi/gugatan balik (Pasal 132a HIR, 158 RBG)
d) Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas
permohonan cerai talak sebagai berikut :
i. Permohonan di kabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/ tersebut.
(44)
commit to user
ii. Permohonan di tolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Tinggi Agama. Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya, selanjutnya Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya sebagai jawaban atas memori banding. Jika atas putusan banding, tidak ada upaya hukum lagi yang diajukan oleh para pihak, maka dapat dilakukan eksekusi. Jika atas putusan banding dilakukan upaya Kasasi maka harus dibuat Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya dan atas memori kasasi tersebut dijawab dengan Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi/kuasanya.
iii. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
e) Apabila permohonan dapat di kabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
i. Pengadilan Agama/ menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak.
ii. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memanggil
pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak; iii. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak di tetap
sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan hukum tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat 6 UU Nomor. 7 tahun 1989)
f) setelah ikrar talak di ucapkan panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4 UU Nomor. 7 tahun 1989)
(45)
commit to user
b. Bentuk dan Macam Produk Hukum Pengadilan Agama
Salah satu tugas pokok Pengadilan Agama adalah mengadili atau memutus perkara yang diajukan kepadannya yang dituangkan dalam putusan. ”Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”(SudiknoMertokusumo, 2002: 02). Berdasarkan hal tersebut, putusan yang diucapkan oleh Hakim di persidangan adalah harus sama dengan amar putusan yang tertulis (vonis).
”Putusan Pengadilan Agama adalah dalam bentuk tertulis dan Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang untuk membuat putusan sesuai dengan kewenangan absolut yang diberikan kepadannya” (Chatib Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa yang dimaksud perkara yang diterima di pengadilan adalah termasuk perkara voluntair. Dengan demikian, perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah perkara contentiosa (persengketaan) dan perkara voluntair (gugat yang bersifat permohonan) (Chatib Rasyid, 2009: 119). Dalam penjelasan Pasal 60 Undang-Undang No 50 tahun 2009 disebutkan ada dua produk Pengadilan Agama, yaitu putusan dan penetapan.
Penetapan adalah putusan pengadilan untuk perkara permohonan, pengertian ini sesuai Pasal 60 Undang-Undang No 50 tahun 2009. Putusan penetapan menyesuaikan diri dengan sifat gugat permohonan, bahwa Undang-Undang menilai putusan yang sesuai dengan permohonan adalah penetapan (beschikking). Untuk penetapan ini berlaku asas kebenaran sepihak, bahwa kebenaran yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran yang berasal dari diri pemohon saja.
(46)
commit to user
Penetapan juga tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak lain dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian ilai kekuatan pembuktian (Yahya Harahap, 2003: 306).
Putusan disebutkan sebagai keputusan pengadilan atas perkara gugatan karena adanya suatu sengketa, sedangkan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan.
Adapun macam-macam putusan dalam Pengadilan Agama dapat dibagi dua, yaitu;
1). Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang dujatuhkan sebelum
putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk
memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela, yaitu;
a) Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuaitu guna mengadakan putusan akhir;
b) Putusan Interlacutoir, yaitu putusan yang isinya
memerintahkan pembuktian;
c) Putusan Incidental, yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden, seperti putusan yang bertujuan untuk menghentikan prosedur biasa;
d) Putusan Provisionil, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi dalam hal penggugat meminta agar diadakan
tindakan pendahuluan sebelum putusan akhir
dijatuhkan(Chatib Rasyid, 2009: 119).
2). Putusan akhir
”Putusan akhir adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu menyelesaikan
perkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
(47)
commit to user
dari amarnya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu (Chatib Rasyid, 2009: 118-119);
a) Putusan condemnatoir, yaitu yang amarnya bersifat
menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Amar yang bersifat condemnatoir tersebut dirinci sebagai berikut ;
(1) menghukum atau memerintahkan untuk
menyerahkan;
(2) menghukum atau memerintahkan untuk
pengosongan;
(3) menghukum atau memerintahkan untuk membagi; (4) menghukum atau memerintahkan untuk melakukan
sesuatu;
(5) menghukum atau memerintahkan untuk
menghentikan sesuatu;
(6) menghukum atau memerintahkan untuk membayar sesuatu;
(7) menghukum atau memerintahkan untuk
membongkar;
(8) menghukum atau memerintahkan untuk tidak melakukan sesuatu.
b) Putusan Declaratoir adalah putusan yang amarnya
menyatakan, bahwa keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum. Misalnya ”Menyatakan sah atau tidak suatu perbuatan hukum. Amarnya dimulai dengan menyatakan...”;
c) Putusan Konstitutif adalah putusan yang bersifat
mengentikan atau menimbulkan hukum baru. Misalnya
memutuskan suatu ikatan perkawinan. Contoh
”Menyatakan bahwa perkawinan antara A dan B putus karena.
c. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan
(48)
commit to user
penjelasannya ditemukan dua macam produk Pengadilan Agama, yaitu putusan dan penetapan. Kedua hal tersebut harus dibuat secara tertulis dengan susunan sebagai berikut ;
1) Kepala Putusan
Kepala putusan memuat hal-hal sebagai berikut ; a) judul,yaitu : PUTUSAN
b) No putusan
c) Irah-irahan, yaitu kalimat ”BISMILLAHIRRAHMAAN
IRROHIM” yang diikuti dengan kalimat ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2) Identitas
Identitas dalam putusan sama dengan identitas yang ada dalam surat gugatan atau permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu sekurang-kurangnya memuat nama, umur, dan alamat para pihak yang berperkara.
3) Duduk Perkara
Dalam bagian tentang duduk perkara sebuah putusan harus
mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195 R.bg / Pasal 184 HIR dan Pasal 25 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu memuat hal-hal sebagai berikut ;
a) Gugatan yang diajukan Penggugat;
b) Jawaban dan tanggapan yang diajukan Tergugat, termasuk
didalamnya eksepsi, jawaban terhadap pokok perkara, tuntutan provisi dan rekonvensi.
(49)
commit to user
c) Fakta kejadian dalam persidangan, hal ini dapat berupa sikap para pihak yang berperkara di persidangan, keterangan saksi dan keterangan yang diperoleh dari para pihak tentang alat bukti yang diajukan para pihak;
d) Duduk perkara, adalah menguraikan seluruh fakta yang
terakumulasi mulai dari fakta yang terdapat dalam surat gugatan sampai pada kesimpulan.
4) Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum adalah suatu tahap dimana Majelis Hakim
mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban dan eksepsi dari Tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan meteriil yang mencapai batas minimal pembuktian.
Dalam memutus perkara Hakim harus mempunyai alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan. Dasar pertimbangan tersebut bertitik tolak dari ketentuan sebagai Pasal-Pasal tertentu dari peraturan perUndang-Undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin hukum. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 50 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa ”segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan Pasal-Pasal peraturan perUndang-Undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum”.
5) Amar / Diktum putusan
Amar atau diktum putusan adalah jawaban atas petitum yang
dimintakan oleh Penggugat, sama ada petitum dalam bagian eksepsi, provisi, konvensi maupun dalam rekonvensi. Berdasarkan Pasal 189 Ayat (3) R.bg, Hakim dilarang mengabulkan atau memutus lebih dari yang diminta (petitum).
(50)
commit to user 6) Penutup
Dalam bagian penutup disebutkan kapan perkara tersebut
diputuskan dan kapan diucapkan dengan menyebutkan susunan majelis Hakim yang memutus perkara serta susunan Majelis Hakim yang hadir pada saat putusan diucapkan dengan tidak boleh melupakan pencantuman Panitera yang ikut bersidang sebagai pembantu Majelis Hakim. Selain hal tersebut, juga harus dicantumkan tentang hadir atau tidaknya Penggugat dan Tergugat pada saat putusan diucapkan.
Adanya musyawarah Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan
harus sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. 189 Ayat (1) R.Bg. sementara itu, tanggal dijatuhkannya putusan adalah sama dengan tanggal musyawarah Majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut. Tanggal putusan yaitu tanggal hari pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum oleh ketua sidang dengan dihadiri oleh Hakim anggota dan dibantu oleh panitera yang turut bersidang. Putusan ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota dan Panitera yang turut bersidang, dengan pembubuhan materai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) pada tanda tangan. d. Kekuatan Putusan Pengadilan Agama
Putusan Pengadilan Agama memiliki tiga macam kekuatan pembuktian diantarannya adalah;
1) Kekuatan mengikat kepada para pihak
Putusan Pengadilan Agama yang dijatuhkan oleh Hakim adalah untuk menyelesaikan perkara yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat dengan menetapkan siapa yang berhak serta menentukan hukumnya. Menurut Yahya Harahap putusan Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada beberapa pihak, diantaranya adalah (Yahya Harahap, 2003 : 310);
(1)
commit to user
Pemohon yang tidak bisa hadir, dapat mengirimkan wakilnya untuk mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang pengadilan sekalipun tidak dihadiri termohon atau wakilnya. Bila dalam waktu enam bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, suami atau wakilnya tidak datang meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU Nomor & tahun 1989).
Sejak diucapkannya ikrar talak itulah cerai talak dianggap telah terjadi dan perkawinan antara pemohon dan termohon telah putus dengan segala akibatnya. Jadi cerai talak belum sah bila baru berupa putusan hakim saja, yang mana ikatan perkawinan antara pemohon dan termohon secara hukum masih tetap utuh dan belum putus.
2) Untuk perkara cerai talak dengan pemohon non muslim, dalam
amar putusan tidak dicantumkan perintah atau kata-kata untuk mengucapkan ikrar talak, yang ada hanyalah pernyataan bahwa perkawinan di fasakh ataupun pengadilan agama menjatuhkan putusan menceraikan perkawinan antara pemohon dan termohon dengan talak ba’in. Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar talak. Hakim pun tidak berwenang memaksa pemohon untuk mengucapkan ikrar talak, yang merupakan salah satu ibadah menurut ajaran agama Islam. Jadi untuk perkara cerai talak dengan pemohon non-muslim, perkawinan putus seketika setelah adanya putusan Majelis hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap tanpa adanya pengucapan ikrar talak oleh suami.
(2)
Masa iddah atau masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan dengan pria lain setelah terjadinya perceraian dengan suaminya dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami. Menurut Hartini dalam Jurnal berjudul Cerai Talak Suami Non-Muslim Di Pengadilan Agama, bahwa penghitungan masa iddah janda yang dicerai oleh suami muslim dan non muslim berbeda.
1) Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami muslim,
penghitungannya tidak dimulai ketika putusan berkekuatan hukum tetap, tetapi dihitung sejak suami mengucapkan ikrar talak.
2) Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim,
masa iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, diatur bahwa waktu iddah bagi janda yang perkawinannya putus karena khuluk, fasakh dan li’an berlaku iddah talak. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa masa iddah bagi janda yang dicerai oleh suami non-muslim dan muslim adalah sama, yaitu berlaku ketentuan masa iddah seperti iddah talak.
Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana dari UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa lama masa tunggu bagi janda adalah sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 huruf b PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
(3)
commit to user
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda
tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan (Pasal 39 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (2) huruf c KHI).
3) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinannya
karena perceraian sedangkan janda tersebut dengan bekas suaminya qabla ad dhukul (belum melakukan hubungan suami istri) (Pasal 39 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (1) KHI).
4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, masa tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan perceraian oleh Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 39 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (4) KHI.
(4)
commit to user
93 BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah Penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan
cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Bahwa berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, setiap orang atau badan hukum yang dengan sukarela menundukkan diri dengan Hukum Islam, maka ia juga tunduk pada Pengadilan Agama. Terkait dengan perkara perceraian di pengadilan agama, terutama cerai talak oleh suami non-muslim juga berlaku dalil yang sudah dijelaskan diatas. Pengadilan Agama tetap berwenang memutus permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim sepanjang para pihaknya dengan sukarela menundukkan diri pada Hukum Islam. Alasan lain adalah, menurut Yahya harahap, apabila pada perkawinannya menggunakan tatacara Islam, maka perceraiannya pun masih bisa dilaksanakan menurut Hukum Islam yaitu melalui Pengadilan Agama.
2. Akibat hukum permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
non-muslim (studi putusan nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra).
Akibat hukum antara cerai talak dengan pemohon muslim berbeda dengan cerai talak dengan pemohon non muslim, terutama dalam hal penentuan saat kapan perkawinan menjadi putus. Untuk perkara cerai talak dengan pemohon non muslim, dalam amar putusan tidak dicantumkan perintah atau kata-kata untuk mengucapkan ikrar talak, yang ada hanyalah pernyataan bahwa perkawinan di fasakh ataupun
(5)
commit to user
pengadilan agama menjatuhkan putusan menceraikan perkawinan antara pemohon dan termohon dengan talak ba’in. Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar talak. Jadi untuk perkara cerai talak dengan pemohon non-muslim, perkawinan putus seketika setelah adanya putusan Majelis hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap tanpa adanya pengucapan ikrar talak oleh suami. Berikut adalah akibat hukum dari fasakh dengan pemohon non-muslim:
a. Fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga
b. Suami tidak boleh melakukan rujuk terhadap mantan istrinya.
Apabila antara mantan suami dan isteri tersebut berkeinginan untuk hidup kembali sebagai suami-istri. Mereka harus melakukan akad nikah baru.
c. Tidak mengurangi sisa talak istri, maksudnya jika terjadi fasakh
kemudian dilakukan akad yang baru, fasakh tersebut tidak dihitung sebagai talak pertama, sehingga suami masih mempunyai tiga hitungan talak
d. Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon
tidak berhak mengucapkan ikrar talak
e. Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim, masa
iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap
B. SARAN
Setelah mengetahui dasar pertimbangan Hakim yang digunakan dalam memutus perkara Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. tentang permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslinm di Pengadilan Agama Karanganyar, Penulis hendak memberi saran sebagai berikut :
(6)
1. Hendaknya masyarakat diberi kesempatan untuk mengetahui bahwa permohonan cerai talak dengan pemohon non muslim, adalah tetap menjadi kewenangan Pengadilan agama namun dengan syarat para pihak secara sukarela menundukkan diri kepada Hukum Islam yang menjadi dasar Pengadilan Agama. Ini bisa dilakukan melalui penyuluhan hukum, seminar hukum, atau bisa juga dijelaskan dalam website resmi setiap Pengadilan Agama di Indonesia, dengan begitu masyarakat bisa mengakses informasi yang lebih jelas.
2. Hendaknya semua aparatur Pengadilan agama, terutama hakim
memahami betul mengenai Petunjuk Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang sudah diperbarui, supaya tidak terjadi perbedaan putusan atas permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim, yang memang sudah diatur menjadi satu keseragaman bagi semua Peradilan Agama yang ada di Indonesia.